"Keikhlasan
adalah ruhnya pesantren. Ia diletakkan pada urutan paling atas Panca Jiwa
Pondok. Tapi tidak seperti Pancasila, keikhlasan tidak hanya diketahui, dibaca,
dan dihafal, tapi ditanamkan melalui proses pendidikan."
”Ustadz, terima kasih ya atas kerja samanya kemarin,” ujar seorang Pejabat di sebuah departemen kepada seorang Ustadz dari sebuah pondok pesantren. Keduanya habis menyelenggarakan kerja sama seminar nasional yang sukses.
”Terima kasih kembali. Semoga kerja sama seperti ini dapat terjalin terus di kemudian hari dan selalu ada perbaikan kualitasnya,” jawab Sang Ustadz.
”Oh ya Ustadz, ada satu hal yang saya ingin tanyakan soal keterlibatan para santri kemarin,” sela Pak pejabat. Sang Ustadz dengan sopan langsung mempersilakan tamunya bertanya.
”Begini Ustadz, para santri itu ’kan diajari keikhlasan dalam bekerja dan beramal. Dengan honor yang kemarin kita berikan, apakah itu tidak merusak keikhlasan mereka?” tanyanya.
Belum juga Sang Ustadz menjawab, Pak Pejabat itu sudah bertanya lagi. ”Yang juga menjadi pertanyaan kawan-kawan saya di kantor, kok para santri mau menerima honor itu? Lalu apa sebenarnya keikhlasan yang diajarkan di sini,” begitu Pak pejabat mengakhiri pertanyaannya.
”Istilah ikhlas yang kita pakai itu diambil dari bahasa Arab, akhlasho, yukhlishu, ikhlaashun. Salah satu artinya adalah membersihkan. Seseorang disebut ikhlas atau mukhlis apabila sanggup membersihkan motif di balik tindakannya yang bukan karena Allah supaya murni karena Allah,” jawab Sang Ustadz memulai.
”Yang dimaksud ’murni karena Allah’ itu adalah bahwa Allah itu bukan soal dibayar atau tidak. Allah itu kesadaran yang letaknya di hati manusia. Jika Anda sadar bahwa apa yang Anda lakukan itu perintah Allah (karena itu baik, benar, dan bermanfaat), atau untuk mencari ridha-nya, maka Anda mukhlis.”
“Bagaimana soal dibayar atau tidak dibayar tadi? Itu hanya praktik yang terjadi di wilayah hubungan sesama manusia. Adapun ikhlas dan tidak ikhlas itu adanya di wilayah hubungan seseorang dengan Tuhannya. Jadi pada hakikatnya, ikhlas itu tidak ada hubungannya dengan soal dibayar atau tidak. Dibayar atau tidak itu tergantung kesepakatan, kebiasaan, dan kepatutan.”
“Pak,” tegas Ustadz di akhir penjelasannya, “Seandainya keikhlasan itu diukurnya dari dibayar atau tidak, maka tak satu pun dari ribuan pegawai di departemen Bapak yang mukhlis. Kenapa?”
“Bapak bekerja mencari apa, saya tanya sekarang?” ujar Sang Ustadz.
“Salah satunya ya mencari duit-lah, Ustadz”
“Karena apa dan siapa Bapak mencari duit?”
Jawab Pak Pejabat, “Terkadang karena Allah, tapi terkadang bukan karena-Nya.”
”Hanya yang karena Allah yang disebut ikhlas,” tegas Sang Ustadz mengakhiri jawabannya.
Menjadi Ruh Pesantren
Dalam Panca Jiwa pesantren, seperti di Gontor atau Darunnajah, keikhlasan diletakkan di urutan paling atas. Tapi, Panca Jiwa itu tidak dibacakan ke santri seperti Pancasila yang setiap hari Senin dibaca di upacara bendera. Keikhlasan itu ditanamkan melalui proses pendidikan.
Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah transformasi nilai melalui penjelasan di kelas, penjelasan umum di awal tahun, ceramah mingguan, dan lain-lain. Tak cukup dengan penjelasan saja, keikhlasan juga ditanamkan melalui pembiasan, dan agar terbiasa, maka harus dilatih.
Bentuk latihannya adalah memberi penugasan yang terkait dengan nilai-nilai pendidikan, misalnya menyapu, membersihkan kamar tidur, mengajar di kelas, atau membantu berbagai macam pekerjaan yang ditugaskan oleh pesantren. Bahkan termasuk ronda malam secara bergiliran sesuai asramanya.
Untuk mendukung iklim pendidikan di pesantren, semua itu dilakukan oleh santri tanpa dibayar dan tak mengharapkan bayaran. Sekali lagi, tidak berarti ini menyempitkan arti keikhlasan. Bagi pesantren, ini adalah cara mendidik agar santri tidak menjadikan bayaran sebagai persyaratan untuk berbuat baik. Santri dilatih untuk berbuat baik karena kesadaran dan cintanya pada kebaikan.
Pendidikan keikhlasan ini tak hanya diterapkan pada santri/siswa. Para ustadz, bahkan Kiai sekali pun terkena disiplin untuk berlatih keikhlasan setiap saat. Kenapa? Pengalaman pendidikan di pesantren membuktikan bahwa peranan metode pengajaran itu memang lebih penting dari materinya. Tapi, jiwa si pengajar lebih penting ketimbang metode dan materinya. Dan pengajar yang mukhlis akan beda hasilnya dengan yang tidak mukhlis.
Lalu, kenapa keikhlasan dijadikan ruh pesantren—diletakkan dalam urutan pertama Panca Jiwa Pondok? Jawabannya, karena terkait dengan cita-cita pesantren yang tak lain adalah untuk mendidik pejuang di masyarakat, terlepas apa pun profesi, spesialisasi, atau pekerjaannya.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana cita-cita itu akan terwujud apabila para santri tidak dilatih keikhlasan. Tak terbayangkan, bagaimana seandainya para santri itu tidak dilatih menghilangkan persyaratan pribadi ketika hendak berbuat baik. Pejuang yang tidak memiliki landasan spiritual dalam perjuangannya pasti akan mudah patah di tengah jalan.
Itulah kenapa keikhlasan itu disebut sebagai ruhnya tindakan. Dengan ikhlas, orang tak larut ke dalam kekecewaan yang panjang saat menghadapi kegagalan. Dengan ikhlas, orang selalu punya motivasi untuk berbuat baik, untuk apa pun dan kepada siapa pun. Wallahualam.
Kutipan:
Bagi pesantren, keikhlasan adalah cara mendidik agar santri tidak menjadikan bayaran sebagai persyaratan untuk berbuat baik...
”Ustadz, terima kasih ya atas kerja samanya kemarin,” ujar seorang Pejabat di sebuah departemen kepada seorang Ustadz dari sebuah pondok pesantren. Keduanya habis menyelenggarakan kerja sama seminar nasional yang sukses.
”Terima kasih kembali. Semoga kerja sama seperti ini dapat terjalin terus di kemudian hari dan selalu ada perbaikan kualitasnya,” jawab Sang Ustadz.
”Oh ya Ustadz, ada satu hal yang saya ingin tanyakan soal keterlibatan para santri kemarin,” sela Pak pejabat. Sang Ustadz dengan sopan langsung mempersilakan tamunya bertanya.
”Begini Ustadz, para santri itu ’kan diajari keikhlasan dalam bekerja dan beramal. Dengan honor yang kemarin kita berikan, apakah itu tidak merusak keikhlasan mereka?” tanyanya.
Belum juga Sang Ustadz menjawab, Pak Pejabat itu sudah bertanya lagi. ”Yang juga menjadi pertanyaan kawan-kawan saya di kantor, kok para santri mau menerima honor itu? Lalu apa sebenarnya keikhlasan yang diajarkan di sini,” begitu Pak pejabat mengakhiri pertanyaannya.
”Istilah ikhlas yang kita pakai itu diambil dari bahasa Arab, akhlasho, yukhlishu, ikhlaashun. Salah satu artinya adalah membersihkan. Seseorang disebut ikhlas atau mukhlis apabila sanggup membersihkan motif di balik tindakannya yang bukan karena Allah supaya murni karena Allah,” jawab Sang Ustadz memulai.
”Yang dimaksud ’murni karena Allah’ itu adalah bahwa Allah itu bukan soal dibayar atau tidak. Allah itu kesadaran yang letaknya di hati manusia. Jika Anda sadar bahwa apa yang Anda lakukan itu perintah Allah (karena itu baik, benar, dan bermanfaat), atau untuk mencari ridha-nya, maka Anda mukhlis.”
“Bagaimana soal dibayar atau tidak dibayar tadi? Itu hanya praktik yang terjadi di wilayah hubungan sesama manusia. Adapun ikhlas dan tidak ikhlas itu adanya di wilayah hubungan seseorang dengan Tuhannya. Jadi pada hakikatnya, ikhlas itu tidak ada hubungannya dengan soal dibayar atau tidak. Dibayar atau tidak itu tergantung kesepakatan, kebiasaan, dan kepatutan.”
“Pak,” tegas Ustadz di akhir penjelasannya, “Seandainya keikhlasan itu diukurnya dari dibayar atau tidak, maka tak satu pun dari ribuan pegawai di departemen Bapak yang mukhlis. Kenapa?”
“Bapak bekerja mencari apa, saya tanya sekarang?” ujar Sang Ustadz.
“Salah satunya ya mencari duit-lah, Ustadz”
“Karena apa dan siapa Bapak mencari duit?”
Jawab Pak Pejabat, “Terkadang karena Allah, tapi terkadang bukan karena-Nya.”
”Hanya yang karena Allah yang disebut ikhlas,” tegas Sang Ustadz mengakhiri jawabannya.
Menjadi Ruh Pesantren
Dalam Panca Jiwa pesantren, seperti di Gontor atau Darunnajah, keikhlasan diletakkan di urutan paling atas. Tapi, Panca Jiwa itu tidak dibacakan ke santri seperti Pancasila yang setiap hari Senin dibaca di upacara bendera. Keikhlasan itu ditanamkan melalui proses pendidikan.
Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah transformasi nilai melalui penjelasan di kelas, penjelasan umum di awal tahun, ceramah mingguan, dan lain-lain. Tak cukup dengan penjelasan saja, keikhlasan juga ditanamkan melalui pembiasan, dan agar terbiasa, maka harus dilatih.
Bentuk latihannya adalah memberi penugasan yang terkait dengan nilai-nilai pendidikan, misalnya menyapu, membersihkan kamar tidur, mengajar di kelas, atau membantu berbagai macam pekerjaan yang ditugaskan oleh pesantren. Bahkan termasuk ronda malam secara bergiliran sesuai asramanya.
Untuk mendukung iklim pendidikan di pesantren, semua itu dilakukan oleh santri tanpa dibayar dan tak mengharapkan bayaran. Sekali lagi, tidak berarti ini menyempitkan arti keikhlasan. Bagi pesantren, ini adalah cara mendidik agar santri tidak menjadikan bayaran sebagai persyaratan untuk berbuat baik. Santri dilatih untuk berbuat baik karena kesadaran dan cintanya pada kebaikan.
Pendidikan keikhlasan ini tak hanya diterapkan pada santri/siswa. Para ustadz, bahkan Kiai sekali pun terkena disiplin untuk berlatih keikhlasan setiap saat. Kenapa? Pengalaman pendidikan di pesantren membuktikan bahwa peranan metode pengajaran itu memang lebih penting dari materinya. Tapi, jiwa si pengajar lebih penting ketimbang metode dan materinya. Dan pengajar yang mukhlis akan beda hasilnya dengan yang tidak mukhlis.
Lalu, kenapa keikhlasan dijadikan ruh pesantren—diletakkan dalam urutan pertama Panca Jiwa Pondok? Jawabannya, karena terkait dengan cita-cita pesantren yang tak lain adalah untuk mendidik pejuang di masyarakat, terlepas apa pun profesi, spesialisasi, atau pekerjaannya.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana cita-cita itu akan terwujud apabila para santri tidak dilatih keikhlasan. Tak terbayangkan, bagaimana seandainya para santri itu tidak dilatih menghilangkan persyaratan pribadi ketika hendak berbuat baik. Pejuang yang tidak memiliki landasan spiritual dalam perjuangannya pasti akan mudah patah di tengah jalan.
Itulah kenapa keikhlasan itu disebut sebagai ruhnya tindakan. Dengan ikhlas, orang tak larut ke dalam kekecewaan yang panjang saat menghadapi kegagalan. Dengan ikhlas, orang selalu punya motivasi untuk berbuat baik, untuk apa pun dan kepada siapa pun. Wallahualam.
Kutipan:
Bagi pesantren, keikhlasan adalah cara mendidik agar santri tidak menjadikan bayaran sebagai persyaratan untuk berbuat baik...
Ditulis pada
hari Rabu, 22 Februari 2012 | 18:38 WIB
Pendidikan sebagai sebuah proses belajar memang tidak
cukup dengan sekedar mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak
didik atau subyek belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang
proporsional agar berkembang secara optimal. Karena itulah aspek atau factor
rasa atau emosi maupun ketrampilan fisik juga perlu mendapatkan kesempatan yang
sama untuk berkembang.
Sejalan dengan pengertian kognitif afektif
psikomotorik tersebut, kita juga mengenal istilah cipta, rasa, dan karsa yang
dicetuskan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Konsep ini juga mengakomodasi
berbagai potensi anak didik. Baik menyangkut aspek cipta yang berhubungan
dengan otak dan kecerdasan, aspek rasa yang berkaitan dengan emosi dan
perasaan, serta karsa atau keinginan maupun ketrampilan yang lebih bersifat
fisik.
Konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik dicetuskan
oleh Benyamin Bloom pada tahun 1956. Karena itulah konsep tersebut juga dikenal
dengan istilah Taksonomi Bloom.
Pengertian kognitif afektif psikomotorik dalam Taksonomi
Bloom ini membagi adanya 3 domain, ranah atau kawasan potensi manusia belajar.
Dalam setiap ranah ini juga terbagi lagi ke dalam beberapa tingkatan yang lebih
detail. Ketiga ranah itu meliputi :
1. Kognitif (proses berfikir )
Kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam
berpikir, menegtahui dan memecahkan masalah.
Menurut Bloom (1956) tujuan domain kognitif terdiri
atas enam bagian :
a. Pengetahuan (knowledge)
mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah
dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting
adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
b. Pemahaman (comprehension)
Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek
ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berfikir yang
rendah.
c. Penerapan (application)
Mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan
materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan
aturan dan prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih
tinggi daripada pemahaman.
d. Analisis (analysis)
Mengacu kepada kemampun menguraikan materi ke dalam
komponen-komponen atau faktor-faktor penyebabnya dan mampu memahami hubungan di
antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya
dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berfikir yang
lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
e. Sintesa (evaluation)
Mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau
komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru.
Aspek ini memerluakn tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan
tingkat berfikir yang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
f. Evaluasi (evaluation)
Mengacu kemampuan memberikan pertimbangan terhadap
nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan
berfikir yang tinggi.
Urutan-urutan seperti yang dikemukakan di atas,
seperti ini sebenarnya masih mempunyai bagian-bagian lebih spesifik lagi. Di
mana di antara bagian tersebut akan lebih memahami akan ranah-ranah psikologi
sampai di mana kemampuan pengajaran mencapai Introduktion Instruksional.
Seperti evaluasi terdiri dari dua kategori yaitu “Penilaian dengan menggunakan
kriteria internal” dan “Penilaian dengan menggunakan kriteria eksternal”. Keterangan
yang sederhana dari aspek kognitif seperti dari urutan-urutan di atas, bahwa
sistematika tersebut adalah berurutan yakni satu bagian harus lebih dikuasai
baru melangkah pada bagian lain.
Aspek kognitif lebih didominasi oleh alur-alur
teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan menjadi standar umum untuk melihat
kemampuan kognitif seseorang dalam proses pengajaran.
2. Afektif (nilai atau sikap)
Afektif atau intelektual adalah mengenai sikap, minat,
emosi, nilai hidup dan operasiasi siswa.
Menurut Krathwol (1964) klasifikasi tujuan domain
afektif terbagi lima kategori :
a. Penerimaan (recerving)
Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan
respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil
belajar terendah dalam domain afektif.
b. Pemberian respon atau partisipasi (responding)
Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa
menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik.
c. Penilaian atau penentuan sikap (valung)
Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan
diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima,
menolak atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi “sikap dan opresiasi”.
d. Organisasi (organization)
Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang
berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal
dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin
dalam suatu filsafat hidup.
e. Karakterisasi / pembentukan pola hidup (characterization
by a value or value complex)
Mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang.
Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih
konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada
hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.
Variable-variabel di atas juga telah memberikan
kejelasan bagi proses pemahaman taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses
afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti pernah
diungkapkan bahwa:
“Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada
informasi dan pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek,
kelompok atau orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada
informasi yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.”
Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran
tersendiri untuk dapat menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang
diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi
eksistensi afektif dalam dunia psikologi pengajaran adalah sangat urgen untuk
dijadikan pola pengajaran yang lebih baik tentunya.
3. Psikomotorik (keterampilan)
Psikomotorik adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan
otot dan fisik.
Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain
psikomotor terbagi lima kategori yaitu :
a. Peniruan
terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai
memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol
otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak
sempurna.
b. Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti
pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu
penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut
petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
c. Ketetapan
memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang
lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan
kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
d. Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan
membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi
internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.
e. Pengalamiahan
Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling
sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara
rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain
psikomotorik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain
psikomotorik dalam taksonomi instruksional pengajaran adalah lebih
mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, di mana sebagai
fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat kognitif dan
diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan
dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik ini.
Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga
domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan
evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:
- Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?
- Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?
- Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil
belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak
dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa
dalam menguasai isi bahan pengajaran.
0 comments:
Post a Comment