Loading...
21 Oct 2012

MENJALANI HIDUP DENGAN KEIKHLASAN HATI

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Nafs (jiwa) menurut konsep al-Qur'an

1. PENDAHULUAN

 A. Sumber kejiwaan Agama Menurut Jalaludin (2004:53-63) dan juga Ramayulius (2004:25-37), hamper seluruh ahli psikologi sependapat bahwa apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan baha pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan launnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan akan kekuasan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Berdasarkan kesimpulan diatas, manusia ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang memiliki kekuasaan tertinggi. Keinginan iti ada pada setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang paling primitive hingga yang paling modern Pernyataan yang timbul adalah: apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasarkan timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan? Atau dengan kata lain “apakah yang menjadi sumber keagamaan itu?” Pertanyaan tersebut menimbulkan beberapa teori untuk memberikan jawabannya, antara lain: B. Teori Monoistik (Mono = Satu) Teori Monoistik berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling dominan hanyalah satu. Akan tetapi, sumber tunggal manakah yang paling dominan tersebut telah terjadi perbedaan pendapat.
1. Thomas van Aquino Sesuai dengan massanya, Thomas Aquino mengemukakan bahwa sumber kejiwaan agama ialah berfikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapat tempat hingga sekarang ketika para ahli mendewakan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.

2. Fredrick Hegel Hampir sama dengan pendapat yang di kemukakan oleh Thomas van Aqiono, filosof Jerman ini berpendapat, agama merupakan suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan menjadi tempat kebenaran abadi. Berdasarkan hal itu, agama menjadi sesuatu atau persoalan yang sangat berhubungan dengan pikiran.

 3. Fedrick Schleimacher Berlainan dengan kedua pendpat diatas, F. Schleimacher berpendapat bahwa sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan itulah, timbul konsep tentang Tuhan. Manusia tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, sehingga mereka menggantungkan harapannya pada suatu kekuasaan yang dianggap mutlak. Konsep ini menimbulkan kegiatan upacara untuk meminta perlindungan pada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan yang mutlak ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada suatu kekuasaan yang mereka sebut Tuhan.

4. Rudolf Otto Menurut pendapat tokoh ini, sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, perasaan yang semacam itulah yang menurut pendapatnya dianggap sebagai sumber kejiwaan agama pada manusia.

5. Sigmund Freud S. Freud menyatakan bahwa unsure kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sextcil (naluri sexual). Libido ini menimbulkan ide ke-Tuhanan dan upacara kegamaan setalah melalui proses: a. Oedipoes Complex. b. Father Image S. Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan dilingkungannya yang beragama Nasrani, Freud menyksikan kata “Bapak” dalam untaian doa mereka. C. Teori Fakulti (Faculty Theory) Teori ini berpendapat bahwa tingakah laku manusia tak bersumber pada suatu factor yang tunggal, tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta (Reason), rasa (Emotion), karsa (will). Demikian pula, perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut. Diantara pemuka teori fakulti adalah sebagai berikut: 1. G.M. Straton 2. Dr. Zakiyah Darajat 3. W.H. Thomas D. Plotinus, Ajaran Tentang Jiwa Ajaran Plotinus tentang jiwa adalah dasar teorinya tentang hidup yang praktis dan ajaran moral. Menurut pendapatnya, benda itu karena tidak terpengaruh yang satu, yang baik, adalah pangkal dari yang jahat. Dalilnya ini menimbulkan ksulitan terhadap pokok ajaran Plotinus. Apabila benda dihasilkan jiwa, dengan sendirinya timbul pertanyaan : “apakah jiwa itu tidak bersalah dalam hal kejahatan benda itu?” Menurut Plotinus, jiwa itu tidak langsung bersalah. Jiwa itu mempunyai dua macam hubungan, keatas dan kebawah. Keatas, ia berhubungan dengan akal, dank arena itu ia “mahluk” yang berfikir dan menerima dari akal itu idea yang kekal. Ke bawah ia berhubungan dengan dunia benda yang dibentuknya menurut idea yang dating dari atas. Jiwa adalah hubungan dari semua, dari segala tingkatan hidup, dari yang paling atas sampai yang paling bawah, seperti, bintang-bintang, setan, manusia, binatang, tanaman. Semua mahluk itu serupa. Jiwa masing-masing itu ada semua dalam jiwa dunia. Plotinus mengajukan petanyaan pokok: “apa sebabnya jiwa-jiwa yang pada dasarnya dating dari Tuhan, jadinya mahluk yang ideal, melupakan Tuhan dan lupa pula akan dirinya sendiri? Plotinus menjawab: Mula kejahatan timbul pada mereka yang sombong dan ingin mencapai tanda kebesaran untuk diri sendiri. Karena jiwa-jiwa itu merasa bangga atas keadaannya berdiri sndiri dan suka mempergunakan kesempatan untuk keluar dari garis jalan hidupnya, menempuh jalan yang sebaliknya, mereka jauh sekali terpisah dari alam asalnya. Tabiat jiwa yang kesasar itu yang serupa dengan sikap kanak-kanak, yang dari kecilnya terpisah dari bapaknya dan hidup serta dibesarkan di negeri lain. Dia itu tidak kenal lagi dengan bapaknya dan dengan dirinya sendiri. Karena jiwa itu mengagumi dunia dan mengutamakan benda, mereka merendahkan harga diri sendiri dari barang-barang dunia ini. Bagian jiwa yang murni yang atas terdiri dari logos dan nus, pikiran dan akal, yang satu sama yang lain berhubungan sebagai benda dan bentuk. Logos kerjanya mencrai. Ia senantiasa berfikir, kalau ia menerima cahaya dari nus. Dari akal keluarlah idea-idea kekal. E. Apakah hakikat jiwa itu? Apakah hakikat jiwa itu? Apakah jiwa mrupakan bagian dari bagian badan? Apakah jiwa itu berarti roh ataukah ssuatu yang berbeda? Abu Hasan al-Asy’ari berkata, “ manusia saling berbeda pendapat tentang roh, jiwa dan kehidupan. An-Nazham mengatakan bahwa roh adalah fisik dan juga jiwa. Menurutnya, roh itu hidup sendiri dan dia mengingkari bahwa kehidupan dan kekuatan merupakan makna diluar orang yang hidup dan kuat. Sementara yang lain berpendapat bahwa roh itu adalah kefanaan. Adapula yang berpendapat diantaranya Ja’far bin Harb, “kami tidak melihat roh itu sebagai substansi atau kefanaan. Mereka beralasan dengan firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah,’roh itu termsuk ketetapan rabbku.” (Q.s Al-Isra: 85) Hadits Abu Hurairah “sesungguhnya orang mukmin itu ditemui para malaikat. Jika ia orang shalih, maka para malaikat berkata : keluarlah wahai jiwa yang baik yang sebelumnya berada dijasad yang baik. Keluarlah dalam keadaan terpuji, dan terimalah kabar gembira berupa ketengan dan kenikmatan serta rabb yang tidak murka.” Hal ini dikatakan sampai roh itu keluar, lalu dibawa naik hingga ke langit. Langit di minta untuk di bukakan baginya, lalu ada yang bertanya, “siapakah itu?” Dijawab: “Fulan bin Fulan” Dikatakan selamat dating kepada jiwa yang baik yang sebelumnya berada didalam badan yang baik pula. Masuklah dalam keadaan terpuji dan terimalah kabar gembira berupa ketengan dan kenikmatan serta Rabb yang tidak murka. 2. NAFS (JIWA) MENURUT KONSEP AL-QUR’AN A. AL-Qur’an dan Metode Tafsir Mawdlu’i Dalam bahasa arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah satunya adalah jiwa.1 Oleh karena itu, ilmu jiwa dalam bahasa Arab disebut dengan nama ilmu nafs ( النفسعل (.2 Nafs dalam arti jiwa, telah dibicarakan para ahli sejak jurun waktu yang sangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas dalam kajin filsafat, psikologi dan juga ilmu tasawuf. Dalam filsafat, pengertian jiwa diklasifikasikan dengan bermacam-macam teori, antara lain : 1. Teori yang memandang jiwa itu merupakan substansi yang berjenis khusus, yang dilawankan dengan substansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki jiwa dan raga. 2. Teori yang memandang bahwa jiwa itu merupakan suatu jenis kemampuan, yakni semacam pelaku atau pengaruh dalam kegiatan-kegiatan. 3. Teori yang memandang jiwa semata-mata sebagai jenis proses yang tampak pada organisme-organisme hidup. Teori yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.3 1 Bahasa Arab menggunakan term nafs untuk menyebut banyak hal, seperti: roh, diri manusia, hakikat sesuatu, darah, saudara,kepunyaan, kegaiban, ukuran samakan kulit, jasad, kedekatan, zar, mata, kebesaran dan perhatian (lisan Al-Arab, Dar al-Ma’arf jilid VI, tt h. 4500-4501. 2 Misalnya judul buku ‘ilm al-nafs al-Islami karangan Dr. Ramadlan Muhammad al-Qazzafi (Tripoli: Mansyuran Shahifah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990). 3 Louis O. Kattsof, Elements of Philosophy, alih bahasa Soeyono Soemargono dengan judul pengantar filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), cet ke-1, h. 301. Dalam psikologi, jiwa lebih dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh psikologi-psikologi adalah perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai gejala-gejala dari jiwa. Teori-teori psikologi, baik psikoanalisa, Behaviorisme maupun Humanisme memandang jiwa sebagai suatu yang berada dibelakang tingkah laku.4 Sedangkan dikalangan ahli tasawuf, nafs diartikan sesuatu yang melahirkan sifat sifat tercela. Al-Ghazali (w. 1111 M.) misalnya menyebut nafs sebagai pusat potensi marah dan syahwat pada manusia5 dan sebagai pangkal dari sifat tercela6 pengertian ini antara lain dipahami dari hadits yang berbunyi اعدى عدوك نفسك التى بينجنبيك 7 yang artinya musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik,8 padahal dalam al-Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negative. Kajian tentang nafs merupakan dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang bisa menempatkan dirinya menjadi subjek dan objek sekaligus. Kajian manusia selalu menarik, tercermin pada disiplin 4 Teori psikoanalisa menempatkan keinginan bahwa sadar sebagai penggerak tingkah laku. Behaviorisme menempatkan manusia sebagai mahluk yang tidak berdaya menghadapi lingkungan stimulus, sedangkan teori Psikologi Humanisme sudah memandang manusia sebagai mahluk yang memiliki kemauan baik dalam merespon lingkungan. Lihat Hassan langgulung. Teori-teori kesehatan mental, perbandingan psikologi modern dan pendekatan pakar-pakar pendidikan islam (Kuala Lumpur: Pustaka Huda, 1983), cett. Ke-1, h. 9-26 5 Imam al-Ghazli, Ihya Ulum al-Din (tt: kitab al-Syu’ab, tth), vol II h. 1345 6 Ibid 7 Ibid 8 Depdikbut, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet ke-3 h. 679. Muhammad al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dlala, wa Kimya al-sa’adah wa al-Qawa’id al-Asyrah wa al-Adab fi al-Din (Beirut: al-Maktabah al-Saqafiyah, tth), h.16 ilmu yang berkembang, baik ilmu murni maupun ilmu terapan.9 Tentang manusia, al-Qur’an menggunakan tiga nama, yaitu (1) اناس- - -ناس انس-انسان (2) بشر dan بين ادم atau درية ادم .10 menurut kebanyakan tapsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia sebagai satu keseluruhan sehingga Nabipun disebut sebagai basyar,11 sama seperti yang lain, hanya saja beliau diberi wahyu oleh Tuhan, satu hal yang membuatnya berbeda dengan basyar yang lain, seperti dijelaskan dalam surat al-Kahfi/18:110 انما انا بشر مثلكم يو حى الي Sedangkan nama insane berasal dari kata انس (uns)12 yang berarti jinak, harmoni dan tampak atau dari kata نسي (nasiya)13 yang artinya lupa, atau dari kata نس ينس (nasa yanusu)14 yang artinya berguncang, menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. 9 Dr. Muhammad Muhammad Jabir yang men-tashhih al-Munqizh min al-Dlalal-nya Imam al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat (sebagai ilmu dasar) sebenarnya merupakan symbol dari revolusi melawan manipulator yang mengarahkan manusia tanpa bendera kemanusiaan. Menurutnya, filsafat tidak bermaksud menghancurkan agama, tetapi keduanya berhubungan dalam hal mencari kebajikan bagi manusia (lihat Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dlala, wa Kimya al-sa’adah wa al-Qawa’id al-Asyrah wa al-Adab fi al-Din (Beirut: al-Maktabah al-Saqafiyah, tth), h.16 10 Al-Quran menyebut term insane sebanyak 65 kali, ins 12 kali, unas lima kali, nasiya satu kali, al-nas 250 kali, basyar 37 kali, bani Adam tujuh kali, dan dzuriyah Adam satu kali. 11 Ibn Kastsir menafsirkan basyar dari surat al-Kahfi 110 ini dengan menyebutkan bahwa Muhammad sebagai basyar tidak mengetahui hak-hal yang ghaib, tidak mengetahui sejarah masa lalu, dari bangsa-bangsa yang disebut dalam al-Qur’an. Apa yang disampaikan oleh Nabi bukan pengetahuannya karena beliau sebagai basyar pengetahuannya terbaas seperti pengetahuan basyar yang lain, hanya saja Allah member beliau informasi tentang hal tersebut melalui wahyu. (Muhammad ali al-shabuni, Mukhtashar Tapsir ibn Kastsir, Baerut: Dar al-Qur’an, 1981), jilid II, h. 440 12 Ibn Manzhur, lisan al-Arab (Kairo: Dar al-Ma’rif, tth), jilid I, h. 147-150 13 Ibid h. 147. Menurut Ibn Abbas, manusia disebut insane karena sifat lupanya terhadap janji, linisyanibi 14 Ibid, jilid I, h. 4575 Perbedaan manusia antara yang satu dengan yang lainnya, bias merupakan perbedaan fisik, bias juga perbedaan mental dan kecerdasan. Kata nafs sendiri al-Qur’an mempunyai aneka makna. Dalam surat al-Maidah/5: 32, berbunyi من قتل نفسا menunjuk pada arti totalitas pada manusia, sedang pada surat al-Rad/13: 11 yang berbunyi إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم menunjuk pada apa saja yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, dan pada surat al-An’am/6: 12 yang berbunyi كتب على نفسه الرحمة menunjuk kepada diri Tuhan. Nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik atau buruk. Penelitian tentang hakikat manusia atau sekurang-kurangnya tentang sifat-sifat manusia secara alami melekat pada manusia, atau hukum-hukum yang berlaku pada kejiwaan manusia dalam hal ini konsep nafs dalam al-Qur’an adalah sangatlah penting. Pentingnya penelitian tentang nafs bukan hanya terbatas pada kebutuhan pengetahuan saja, tetapi juga pada kepentingan mengurai, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, baik dalam kaitannya dengan bidang dakwah atau pendidikan maupun untuk kepentingan menggerakan masyarakat dalam pembangunan nasional. Al-Qur’an mengisaratkan bahwa nafs sebagai sisi dalam manusia yang berhubungan dengan dorongan-dorongan tingkah laku, sikap dan dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang nafs dalam al-Qur’an mencakup (1) makna yang dapat dipahami dari ungkspsn nafs, (2) nafs sebagai penggerak atau dorongan tingkah laku dan (3) hubungan nafs dengan tingkah laku manusia. B. Jiwa Menurut Term Nafs Al-Qur’an menyebut nafs dalam bentuk-bentuk kata kejadian تنفس يتنالس متنا فسون نفسه نفو انفس dalam bentuk mufrad , nafs disebut 77 kali tanpa idlofah dan 65 kali dalam bentuk idlafah. Dalam bentuk jamak nufus disebut 2 kali, sedangkan dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali. Sedangkan kata tanaffasaha dan al-mutanaffisun masing-masing hanya disebut satu kali. Dalam bahasa Arab, kata nafs mempunyai banyak arti,15 tetapi yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah nafs yang seperti dimaksud dalam al-Qur’an. Term nafs dalam al-Qur,an semuanya disebut dalam bentuk ism atau kata benda, yakni nafs, nufus dan anfus. Sedangkan kata تنفس dalam surat al-Takwir/81: 18( ( والصبح ادا تنفس dan يتنافس dalam surat al-Muthaffifin/83: 26 (فالينا المنافسون) meskipun kata-kata itu berasal juga dari kata nafasa/ nafisa, dalam kata jadian seperti itu mempunyai arti yang tidak berhubungan dengan nasf. Sastra Arab kuno menggunakan kata nafs untuk menyebut diri atau seseorang, sementara kata roh digunakan untuk menyebutkan nafas dan angin. Pada awal turunnya al-Qur’an kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau 15 Bahasa Arab menggunakan term nafs untuk menyebut banyak hal, seperti roh, diri manusia, hakikat sesuatu, darah, saudara, kepunyaan, kegaiban, ukuran samakan kulit, jasad, kedekatan, zat, mata, kebesaran dan perhatian (lihat ibn Manzhur, lisan al-Arab (ttp: dar al-Ma’arif tth), jilid h. 4500-4501) Sisi dalam manusi16, sementara roh digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugrah ketuhanan yang istimewa.17 Baru pada periode sesudah Al-Qur’an secara keseluruhan masyarakat di dunia Islam, kata nafs digunakan oleh literature Arab untuk menyebut jiwa dan roh secara silang, dan keduanya digunakan untuk menyebut rohani, malaikat dan jin. Bahasa Arab juga Menggunakan istilah nafsiyun (نفسي) dan nafsaniyun (نفسا ني) untuk menyebutkan hal-hal yang berhubungan dengan nafs.18 Dalam al-Qur’an, kata nafs mempunyai aneka makna: 1. Nafs, sebagai diri atau seseorang, seperti yang disebut dalam surat Ali Imron/3: 61 (وا نفسنا ونفسكم) , surat Yusuf/12: 54 وقال الملك اتو ني به اسخلصه نفسى dan surat al-Dzariyat/ 51:21 وفي انفسكم افلا تبصرون 2. Nafs, sebagai diri Tuhan, surat al-An’am /6:12,54 كتب ربكم على نفسه الرحمن - كتب على نفسه الرحمه 3. Nafs, sebagai person sesuatu dalam surat al-Furqon/25:3 واتخدوا من دونه الهاة لايخلقون شيئا وهم يخلقون ولايملكون لانفسهم ضرا ولانفغا 4. Nafs, sebagai roh, surat al-an’m/ 6:93 ولو ترى اظالمون في غمرات الموت والملئكة باسطوا ايد يهم أخرجو أنفسكم 16pada periode Mekkah, al-Qur’an sudah menyebut al-ruh al-amin, al-ruh al-qudus, dan al-malaikah wa al ar-ruh seperti yang tersebut didalam Q. s al-syuaraa/26:193 Q. s al-Nahl/16: 102, Q. s al-Ma’arij /70:4, Q. s al-Naba/78:38, Q. s al-Qadr/ 97:4 17 Misalnya surat al-Mujadalah/58:22تدهم يرح منه وأ mengandung arti pertolongan Allah, dan surat al-Syura/42:52 وكذلك اوحينا اليك روحا من امرنا mengandung arti wahyu al-Qur’an. Lihat pula surat al-Syuaraa /26:193, Q.s al-Nahl/16:102, Q.s al-Maarij/70:4, Q.s al-Naba/78:38, Q.s al-Qadr/97:4 18 tentang penggunaan kalimat roh dan nafs dengan makna silang dapat dilihat antara lain pada kitab al-Afhanni- kitab masa bani Umayyah, juga pada kitab-kitab hadits, al-Muaththa, Musnad ibn Hanbal, Shahih Bukhari pada kitab al-farq bayn dan al-Firaqnya al-Bagdadi, al-Milal wa al-Nihal-nya, al-Syahristani dan lain-lain. Dar Ma’arif dan H. A. R Gibb dan J. H Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (New York Cornell University, pres, 1953), h.433-436 dan Edward William Lanc, Arabic-Englis Lexion, (London: Islam Texts Society Trust, 1984), volume II, h. 2826-2829 5. Nafs sebagai jiwa, surat As-Syams/97:7 ونفس وما سواها dan surat al-Fajr/89:27 يأيّها النفس المتمئنه 6. Nafs sebagai totalitas manusia, surat al-Maidah/5:32 من قتل نفس بغير نفس او فساد في الارض فكا نما قتل الناس جيمعا 7. Nafs sebagai sisi dalam manusiayang melahirkan tingkah laku, surat ar-Rad/13:11 ان الله لا يغيرما يقوم حتى يغيرواما بانفسهم Dalam kontek manusia, disamping penggunaan nafs untuk menyebut totalitas manusia, banyak ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan gagasan nafs sebagai sesuatu didalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya, atau nafs sebagai sisi dalam manusia, sebagai lawan dari sisi luarnya. Ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya sisi luar dan sisi dalam manusia antara lain adalah sebagai berikut: Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (Q.s al-Rad/13: 8). Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakan diri) disiang hari.(Q.s al-Rad/13:10). Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Q.s al-Rad/13:11). 1. Nafs, Sebagai Totalitas Manusia Kata nafs digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia sebagai totalitas, baik manusia sebagai mahluk yang hidup di dunia maupun manusia yang hidup yang hidup di alam akhirat. Surat al-Maidah/5:32, misalnya menggunkan nafs untuk menyebut totalitas manusia di dunia, yakni manusia hidup yang bisa di bunuh, tetapi pada surat Yasin/36:54, kata nafs digunakan untuk menyebut manusia di alam akhirat. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.(Q.s al-Midah/5:32) Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.(Q.s Yasin/36:54) Penggunaan nafs untuk menyebut totalitas manusia juga dapat di jumpai pada surat al-Baqarah/2:61 dan123, Yusup/12:54, al-Dzariyat/51:21, dan al-Nahl/16:111. Dari penggunaan term nafs untuk menyebut manusia yang hidup di alam dunia maupun di alam akhirat melahirkan pertanyaan tentang pengertian totalitas manusia. Sebagai mana yang sudah menjadi pemahaman umum bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki dua dimensi, yaitu jiwa dan raga. Tanpa jiwa-dengan fungsi-fungsinya-manusia dipandang tidak sempurna, dan tanpa jasad/raga, jiwa tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya. Surat Yasin/36:54 mengisyaratkan adanya paham eskatologi dalam al-Qur’an, yakni di samping manusia hidup di alam dunia, ada dunia lain, yakni alam akhirat dimana manusia nanti harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama didunia. Jadi totalitas menurut al-Qur’an bukan hanya bermakna manusia bukan hanya mahluk dunia, tetapi juga mahluk akhirat, yakni manusia yang juga harus mempertanggungjawabkan prbuatannya nanti di akhirat. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana wujud kehidupan nafs di khirat dibanding dengan kehidupan di alam dunia. Alam dunia bersifat materi, dan keberadaan manusia di alam dunia juga bisa didekati dengan ukuran-ukuran materi dalam hal ini dengan panca indra-meski di sisi lain manusia juga memiliki kehidupan spiritual. Alam akhirat bukan alam materi, oleh karena itu tolak ukur alam akhirat berbeda dengan tolak ukur alam dunia. Bagaimana manusia hidup di dunia sudah diketahui oleh ilmu pengetahuan, sedang bagaimana manusia hidup di alam akhirat hanya bisa didekati dengan keyakinan atau keimanan. Menurut al-Qur’an, di alam akhirat nanti nafs akan dipertemukan dengan badannya. Surat al-Takwir/81:7 berbunyi (dan ketika nafs dipertemukan (dengan tubuhnya)). Kebanyakan tafsir, misalnya tafsir al-Maraghi menafsirkan kalimat zuwwijat dengan arti dipertemukan dengan badannya.19 penafsiran ini menunjukan pada ayat lain yang mengisyaratkan bahwa di alam akhirat manusia juga memiliki anggota badan. Surat Yasin/36:65, berbunyi: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.(Q.s Yasin/36:65) 19 Ahmad Musthafa al-Maraghi,Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Ihya al-Turas al-Arabiyah, 1985), jilid 10 juz 30, h. 55 Demikian pula ayat-ayat yang menggambarkan keadaan sorga maengisyratkan adanya bentuk-bentuk kehidupan yang menyerupai kehidupan manusia di alam dunia, seperti adany sumber air sebagai sumber minuman dan gelas yang diperuntukan bagi al-abrar seperti yang terdapat dalam surat al-Insan/ 76:5 Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.(5). Serta adanya dipan-dipan dan bidadari seperti dijelaskan surat al-Thur/52:20 mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli.(20). Jika nafs diakhirat nanti akan dipertemukan dengan badannya, pertanyaan yang timbul apakah badan yang lama, yang telah hancur menjadi tanah, atau badan baru yang telah diancang untuk hidup di alam rohani. Ditinjau dari kekuasaan Tuhan, maka mempertemukan nafs dengan badannya bukanlah masalah, karena dipaparkan surat Yasin/36:79 Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk,(79). Selanjutnya hal itu kembali pada keyakinan masing-masing. Berbeda dngan al-Maraghi, Abdullah Yusup Ali dalam The Meaning of The Glorius Quran mengartikan زو جن dengan dipilih. Jadi menurut Yusup Ali, pada hari akhirat nanti nafs akan dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu: nafs yangtermasuk dengan tuhan (المقربين) dan dua selebihnya adalah golongan kanan dan golongan kiri (اصحبا الشمال) .20 Pendapat Yusup Ali dalam hal ini sebenarnya merupakan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, yakni bahwa surat Al-Takwir/81:7 di tafsir dengan surat al-Waqiah/56:7-10, bahwa kelak pada hari kiamat manusia akan dikelompokan menjadi tiga golongan, كنتم ازوجا ثلاثة .21 Menurut Fakr al-Razi, yang juga diikuti oleh Mohammad Akroun,22 kalimat zuwwijat pada surat al-Takwir/81:7 dimungkinkan untuk banyak penafsiran. Pendapat-pendapat yang dikutip Imam al-Razi, menegaskan prinsip bahwa yang dipertemukan dalam term zuwwijat haruslah diantara dua pihak yang sepadan, maka makna zuwwijat bias berarti 20 Abdullah Yusup Ali, The Meaning of Glorius Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Lubhani, tth), h. 1694 21 أولئك المقربون والسابقون السابقون وأصحاب المشأمة ما أصحاب المشأمة فأصحاب الميمنة ما أصحاب الميمنة وكنتم أزواجا ثلاثة (Q. s Waqiah/56:7-11). 22 Mohammad Akroun, al-Fikr al-Islami, Naqa wa Ijtihad (London: dar al-saqi, 1990), h. 75-105. Buku ini merupakan kumpulan dari artikel dalam bahasa Prancis yang ditulis dalam rangka seminar Internasional yang bertema Intellectuels et Militans dans le monde Islamique yang diselenggarakan oleh Universitas Ness bulan Desember 1998, mengorek pemikiran Akroun dengan mengajukan dua puluh satu topic pertanyaan kepada Akroun. Hasyim juga secara khusus mewawancarai dan mengulas pemikiran Akroun pada tiga seminar yang lain dipertemukan (a) nafs dengan jasadnya, (b) nafs-nya orang mukmin dengan bidadari, (c) nafs-nya orang kafir dengan setan, (d) nafs-nya orang Yahudi dengan orang Yahudi dn Nasrani dengan Nasrani, (e) nafs-nya dengan amalnya.23 Pengertian totalitas manusia juga bermakna bahwa mnusia memiliki sisi luar dan sisi dalam. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa nafs juga merupakan sisi dalam bagi manusia. 2. Nafs Sebagai Sisi Dalam Manusia Surat al-Rad/13:10, mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sisi dalam dan sisi luar. Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.(Q.s al-Rad/13:10) Kesanggupan manusia untuk merahasiakan dan terus terang dengan ucapannya merupakan petunjuk adanya sisi dalam dan sisi luar dari manusia. Al-Qur’an juga menyebut hubungan antara sisi dalam dan sisi luarnya. Jika sisi 23 Imam al-Fakhr al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tth), juz XXXI, h. 69 luar manusia dapat dilihat pada perbuatan lahirnya, maka sisi dalam menurut al-Qur’an berfungsi sebagai penggeraknya. Surat al-Syam/91:7 ونفس وما سواها secara tegas menyebut nafs sebagai jiwa. Jadi sisi dalam manusia adalah dalamnya. Sekurang-kurangnya al-Qur’an dua kali menyebut nafs sebagai sisi dalam yang mengandung potensi sebagi pengerak tingkah laku, yaitu pada surat al-Rad/13:11 Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q. s al-Rad/13:11) Al-Anfal/8:53 Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,(Q. s al-Anfal/8:53) a. Nafs Sebagai Penggerak Tingkah Laku Surat al-Rad/13:11, disamping mengisyaratkan nafs sebagai wadah, ia juga mengisyaratkan sebagai penggeak tingkah laku. Tuhan tidak akan mengubah keadaan kaum sampai mereka mengubah isi nafs mereka. Jadi nafs dapat dioptimalkan fungsinya untuk menggerakan tingkah laku manusia untuk melakukan perubahan-perubahan. Sebagai wadah nafs dapat menampung hal-hal yang baik maupun yang buruk, seperti terdapat dalam surat al-Syams/91:8 فألهمها فجورها وتقويها (,maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya), dan selanjutnya dalam surat al-Naziat/79:40 Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,(Q. s al-Naziat/79:40), jika dijaga dari dorongn syahwat atau hawa nafsu, dan disucikan seperti yang terdapat dalam surat al-Syams/91:9 قدأفلح من زكاها (sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu), nafs meningkatkan kualitasnya. Akan tetapi jika ia dikotori dengan perbuatan maksiat dan menjauhi kebajikan seperti yang disebut dalam surat al-Syams/91:10 وقدخاب من دساها yang artinya: “dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." Maka nafs menjadi rendah Kualitasnya. Kualitas nafs itu berpengaruh terhadap perbuatan. Jika kualitas nafs itu baik, maka kecendrungannya pada menggerakan perbuatan baik, sebaliknya jika kualitasnya rendah, maka nafs cenderung mudah menggerakan perbuata buruk. b. Kualitas Nafs al-Qur’an menegaskan bahwa pada dasarnya nafs di ciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna sebagai perangkat dalam (rohani) manusia, nafs dicipta secara lengkap diilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukan agar ia dapat mengetahuinya. Nafs adalah al-jawhar atau substansi yang menyebabkan manusia berbeda kualitasnya dengan mahluk yang lain,yakni yang menyebabkan manusia mampu menggagas, berfikir dan merenung, kemudian dengan gagasan dan pikirannya itu manusia mengambil keputusan, dan dengan pikirannya itu manusia manusia juga dapat menangkap rambu-rambu dan symbol-symbol yang membuatnya harus memilih jalan mana yang harus ditempuh. Kualitas seseorang bisa meningkat dan bias menurun dan hal ini berkaitan dengan system yang melibatkan jaringan tabiat dan fitnah manusia. Kualitas nafs yang telah terbentuk pada seseorang membentuk system pengendalian oleh tiap-tiap individu, sehingga seseorang kuat dan yang lain ada yang lemah dalam menghadapi godaan yang datang dari luar. Fisik manusia, meski genetiknya sehat, tetapi proses kehamilan, kelahiran dan lingkungan hidup selanjutnya mempengaruhi tingkat kesehatannya. Demikian juga tingkatan nafs, meskipun di cipta Tuhan dalam keadaan sempurna seperti yang disebut dalam surat al-Syams/91:7-8, tetapi pemeliharaan dan pemupukannya melahirkan tingkatan nafs yang berbeda-beda pada setiap orang. Pada orang dewasa yang berakal, tingkatan nafs di sebut dalam al-Qur’an dalam beberapa tingkatan, seperti al-nafs al-ammarah, al-nafs al-Lawwamah, al-nafs al-Muthmainah. Sedangkan pada anak-anak yang belum mukallaf, al-Qur’an menyebut nafs untuk mereka dengan nama nafs zakiyah yang diterjemahkan bahasa Indonesia dengan jiwa yang suci. c. Kapasitas Nafs Dihadapan Tuhan Manusia bertanggung jawab perorangan sebagai khalifah Allah, setiap manusia telah dilengkapi perangkat untuk melaksanakan tugas-tugas ke khalifahannya. Perbuatan baik atau buruk sekecil apapun yang dilakukan manusia tidak ada yang tercecer dalam “administrasi” Tuhan Q.s al-Zilzalah/99:7-8. Dihadapan Tuhan, nafs adalah otonom. Setiap nafs diberi peluang untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT. Jika badan manusia bersifat musnah bersama dengan kematian manusia, maka nafs manusia yang immateri dipanggil untuk kembali kepada Tuhannya, seperti yang dijabarkan dalam surat al-Fajr/89:27-28 ارجعي إلى ربك راضية مرضية يا أيتها النفس المطمئنة Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Akan tetapi kapasitas nafs tiap orang berbeda-beda, maka di samping untuk kembali kepada Tuhan dengan ridho dan di ridhoi, ada yang di tegur Tuhan karena tidak bisa mempertahankan kesucian nafs-Nya. C. Tingkatan Kualitas Nafs Seperti dijelaskan dalam surat as-Syams/91:9-10 bahwa nafs itu diciptakan Tuhan secara sempurna, tetepi ia harus dijaga kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat. Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah. Al-Qur’an membagi tingkatan nafs pada dua kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang takwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sedang nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya, serta orang-orang yang sesat, yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran. Secara eksplisit al-Qur’an menyebut tiga jenis nafs, yaitu: 1. al-nafs al-mutma’innah 2. al-nafs al-lawwamah, dan 3. al-nafs al-ammarah Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Ayat-ayat secara eksplisit menyebut ketiga jenis nafs itu adalah sebagai berikut: Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklsh kedalam syurga-Ku (Q.s al-Fajr/89:27-30). Aku bersumpah demi hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri) (Q.s al-Qiyamah/75:1-2). Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku maha pengamun lagi maha penyayang. (Q.s Yusup/12:53) Disampin tiga golongan tersebut al-Qur’an juga menyebut nafs pada anak-anak yang belum dewasa (mukalaf), seperti tersebut dalam surat al-Kahf/18:74 Dari keempat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, yakni ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwa masih suci (Zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthma’innah, setelah terlebih dahulu berproses didalam tingkatan nafs lawwamah. Setiap nafs yang telah mencapai tingkatan muthma’innah pastilah ia menyandang predikat Zakiyah pula. Akan tetap jika nafs itu merespons lingkungan secara negative, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya. a. Nafs Zakiyah dan Tazkiyah al-Nafs Menurut Isfahani, kalimat زكى mengandung arti tumbuh karena berkat dari Tuhan, seperti yang terkandung dalam arti Zakat. Jika dihubungkan dengan makanan, mengandung arti halal tetapi jika dihubungkan dengan nafs maka didalamnya terkandung arti sifat-sifat terpuji. Terjemahan al-Qur’an terbitan Departemen agama RI menggunakan istilah “jiwa yang suci” ketika menterjemahkan kalimat نفاسا زكى dengan demikian maka pengertian menyucikan jiwa atau tazkiyah al-nafs adalah membersihkan jiwa dari sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang gagasan nafs zakiyah dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut: a. Ada nafs yang suci secara fitri, yakni suci sejak mulai kejadiannya, yaitu nafs dari anak-anak yang belum mukallaf dan belum pernah melakukan dosa. Lihat Q.s al-Kahfi/18:74 dan Q.s Maryam/19:19 b. Bahwa nafs yang suci tidak dipelihara kesuciannya bisa berubah menjadi kotor seperti terdapat dalam surat al-Syams/91:10 وقد خاب من دسّها dan sesungghnya merugilah orang-orang yang mengotorinya. c. Bahwa manusia bisa melakukan usaha penyucian jiwa تزكى النفس seperti yang disebut dalam surat al-Nazi’at/79:18, al-Fathir/35:18 dan surat Al-A’la/87:14 d. Proses penyucian jiwa itu bisa melalui usaha, yakni dengan mengeluarkan zakat seperti yang tertera dalam surat al-Taubah/9:103, dan menjalankan pergaulan hidup secara terhormat seperti yang diisyaratkan dalam surat al-Nur/24:28 dan 30 e. Penyucian nafs juga dapat dilakukan dengan proses pendidikan seperti yang dilakukan para Nabi kepada umatnya. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah/2:129,151, al-Imron 164 dan surat al-Jumu’ah/62:2 f. Disamping melalui usaha dan pendidikan, penyucian jiwa juga bisa terjadi karena manusia mendapat rahmat Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Nur/24:21 dan surat al-Nisa/4:49 g. Perbuatan mensucikan jiwa (tazkiyah al-nafs) merupakan perbuatan yang terpuji dan dihargai Tuhan seperti yang disebut dalam surat Thaha/20:75-76, Q.s al-Syams/91:9, Q.s al-A’la/87:14 dan Q.s al-Layl/92:18 h. Bahwa perbuatan mengaku jiwanya telah suci itu merupakan hal yang tercela, seperti terdapat dalam surat al-Najm/53:32, dan Q.s al-Nisa/4:49 1) Fitrah kesucian Nafs Pada dasarnya nafs itu diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna (Q.s al-Syams/91:7-8), tapi dapat tercemar dan menjadi kotor jika tidak di jaga (Q.s 91:9-10). Kesucian nafs bersifat maknawi, maka kotornyapun bersifat maknawi. Seseorang dapat memelihara kesucian nafs-nya manakala ia konsisten dalam jalan takwa, sebaliknya nafs menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa. Surat al-Syams/91:7-8 menyebutkan bahwa sungguh rugi orang yang telah mengotori jiwanya وقد حبا من دسا ها . kata dassa berasal dari kata يلس- دس yang arti lughawinya menyembunyikan sesuatu didalam sesuatu. Dalam kontek ayat ini, artinya orang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat Qur’an ini berkenaan dengan nafs-nya orang sholeh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir, karena orang sholeh, meski ia melakukan perbuatan dosa, tetapi ia malu dengan perbuatannya itu sehingga ia lakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, berbeda dengan orang kafir yang melakukan dengan terang-terangan. 2) Usaha penyucian Nafs (tazkiyah al- nafs) Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa jika yang tercemar masih dapat diusahakan untuk menjadi suci kembali, baik dengan usaha sendiri, melalui pendidikan atau karena Anugrah dan Rahmat Allah SWT, eperti yang diisyaratkan oleh Q.s al-Taubah/9:103, Q.s al-Imran/3:164. Ayat al-Qur’an tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang sesat masih dimungkinkan untuk dibersihkan jiwanya. Usaha atau proses penyucian jiwa itu disebut tazkiyah al-nafs. Tazkiyah bisa dilakukan karena dorongan sendiri, atau didorong oleh orang lain,melalui dakwah, pendidikan atau bahkan paksaan. Manusia dapat secara sadar melakukan suatu perbuatan yang dimaksud untuk mensyucikan jiwanya. Perbuatan yang dapat mensyucikan jiwa menurut al-Qur’an adalah: a). Pengeluaran infak harta benda, Q.s al-Layl/92:18. b). Takut terhadap azab Allah dan menjalankan ibadah sholat, Q.s Fathir/35:18. c). menjaga kesucian sexual, Q.s al-Nur/24:30 d). menjaga etika pergaulan, Q.s al-Nur/24:28 al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa proses tazkiyah itu bisa terjadi melalui ajakan orang lain. Apa yang dilakukan para Rasul kepada umatnya dengan mengajarkan al-kitab dan al-hikmah merupakan pekerjaan yang membuat umatnya tersucikan jiwanya. b. Al-Nafs Al-Lawwamah Lawwamah adalah kata bentukan dari لام يلوم لوم لائم لوام yang artinya mencela. Secar lughawi, al lawwamah mengandung arti amat mencela. . Jadi secara lughawi nafs lawwamah mengandung arti amat mencela. Nafs lawwamah termasuk kelompok nafs martabat tinggi, karena yang dicela oleh nafs ini adalah dirinya sendiri. c. Al-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang) pengungkapan peringkat nafs al-Muthma’innah dalam al-Qur’an mengisyaratkn tentang adanya hubungan langsung antara pencapaian martabat muthma’innah dengan tingkat keimanan kepada Allah dan karakteristik dari nafs tersebut. d. Nafs Ammarah dan karakteristiknya Ketinggian dan kerendahan nafs diukur dengan tingkat hubungannya dengan Tuhan. Nafs kualitas tinggi adalah nafs yang sudah sampai pada tingkat dipanggil oleh Tuhan untuk kembali kepada-Nya dengan senang dan diridhai, atau sekurang-kurangnya menyesali diri karena kurang menggunakan peluang. DAFTAR PUSTAKA 1. Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. filsafat umum. Pustaka Setia Bandun. 2008. H. 129 2. Ibnu Qayyim al Jauziah. Roh Pustaka Al Hautsar, Jakarta Timur Jl Cipnang Muara Raya, 63. 2010. Cet 24, h. 300 3. Dr. Abdullah Nasikh Ulwan. Pendidikan Anak Dalam Islam. Pustaka Amani Jakarta. Jilid 1, h.363 4. Drs. Bambang Syamsul Arifin, psikologi agama. Pustaka Setia Bandung. Cet 1, h. 37-40 5. Syamil Qur’an, terjemah perkata 6. www.google.com, Jamridafrizal, S.Ag., M.HUM kumpulan makalah carkasan FAI UNWIR Carkasan Indramayu, Jawa Barat, Indonesia Lihat profil lengkapku Pengikut Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

0 comments:

 
TOP