Barang
siapa yang berkhianat (mengambil harta secara diam-diam) maka pada hari kiamat
itu akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. (QS. Al-'Imran:161)
Belum lama
ini dua organisasi terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah)
meluncurkan buku fenomenal karya bersama bertajuk "Koruptor itu
Kafir". Dikatakan fenomenal karena selama ini buku-buku yang menyangkut
kebijakan pemerintah yang ditulis oleh sebuah organisasi masyarakat seperti NU
dan Muhammadiyah masih terbilang minim – untuk tidak mengatakan tidak ada sama
sekali-.
Sudah
bukan menjadi rahasia umum bila setiap ada buku-buku yang berkaitan dengan
hal-hal sensitif akan mengundang sikap pro dan kontra atas diterbitkannya buku
tersebut.Tak terkecuali buku "koruptor itu kafir". Karena kedua ormas
Islam tersebut berbicara tentang koruptor dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan keagamaan.
Dalam sebuah akun jejaring sosial Facebook, akun yang oleh adminnya diberi
nama Nadhlatul Ulama menyitir sebuah 'fatwa'dari ketua umum PBNU, Dr.KH. Said
Aqil Siradj MA, terkait haramnya melakukan shalat jenazah bagi pelaku korupsi.
Meskipun komentar-komentar yang bermunculan di status tersebut mayoritas
menyetujui fatwa tersebut, namun ada sejumlah orang yang tidak menyepakatinya
karena beberapa alasan.
Tulisan ringan di bawah ini hendak mengetengahkan seputar kajian fikih
kontekstual terkait kasus di atas. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
sebuah gambaran bahwa wacana hukum haram menshalatkan jenazah para pelaku dosa
besar adalah bukan wacana baru, melainkan wacana klasik yang telah mengundang
perdebatan yang cukup menarik di kalangan para sarjana Islam masa lalu.
Beragam alasan dilontarkan oleh sejumlah tokoh Nasional yang menyetujui
diharamkannya melakukan shalat jenazah. Di antaranya adalah Prof. Dr. Din
Syamsudin, sebagaimana yang dirilis oleh republika online bahwa alasan Din
syamsuddin mengharamkan shalat jenazah bagi koruptor adalah karena mereka telah
melakukan syirik modern'. Bagi Din, pelaku koruptor sudah tidak lagi menuhankan
Tuhan,melainkan telah menjadikan uang sebagai sumber kekuatan.
Sementara dari pihak PBNU yang diwakili oleh Malik Madani menganggap bahwa
pelaku korupsi adalah sama dengan pencurian. Sebuah hadis menyatakan,
"Pencuri tidak mungkinmelakukan mencuri dalam keadaan beriman".
Pendek kata, salah satu bentuk mencuri adalah tindakan korupsi itu sendiri.
Jika demikian, maka koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi dalam
keadaan beriman.
Sedangkan pihak yang kontra terhadap fatwa tersebut berpijak pada hukum dasar
menshalati jenazah bagi seorang mukmin. Di mana hukumnya adalah fardhu kifayah
(sebuah hukum yang menyatakan bahwa jika tidak ada yang melakukannya maka
semuanya berdosa, dan jika salah satu orang telah melakukannya maka
kewajibannya telah gugur). Baginya, hukum dasar ini adalah hukum paten yang
tidak bisa diutak-atik. Dalam keadaan apapun, selagi masih berstatus Islam,
maka hukum menshalatinya adalah fardhu kifayah.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di awal bahwa perdebatan mengenai
hukum menshalati jenazah pelaku dosa besar (dalam hal ini pelaku korupsi)
adalah wacana klasik.Hemat penulis, pelaku koruptor adalah pelaku dosa besar
yang kadar dosanya bisa dikatakan setara atau mungkin lebih besar dibandingkan
dengan pelaku pembunuhan terhadap orang tuanya sendiri.
Para sarjana Islam klasik sudah berbeda pendapat mengenai hukum menshalati
jenazah seorang anak yang mati diqishash karena kasus membunuh ayah kandungnya
sendiri.Apaka haram, makruh, atau bahkan tetap wajib dishalati jenazahnya?
Sejumlah lama madzhab
Hanafi memfatwakan haramnya menshalati jenazah seorang anak yang elah membunuh
ayahnya. Mereka berargumen bahwa hal itu merupakan ta'zir(hukuman) untuk melecehkan
perbuatan pembunuhan tersebut serta sebagai tindakan preventif agar tidak ada
lagi yang melakukannya. Berbeda dengan sejumlah ulama madzhab Maliki yang tidak
mengharamkan menshalati jenazah pelaku pembunuhan,mereka hanya memakruhkan bagi
para pemimpin Negara dan para ulama melakukan shalat terhadapnya. Sementara
sarjana-sarjana lainnya yang berafiliasi terhadap madzhab Syafi'I tidak secara
tegas menyatakan haramnya melakukan shalat jenazah bagi pelaku pembunuhan
terhadap orang tua kandungnya.
Semua hasil ijtihad para ulama dengan berbagai perbedaannya di atas tentunya
harus diapresiasi dan dihormati. Dan sudah selayaknya untuk
mengkontekskannya dalam kondisi kekinian dan keindonesiaan kita harus memilih
dan memilah pendapat yang lebih tepat untuk dilekukkan di bumi Nusantara
terkait menjamur dan mengakarnya kasus-kasus korupsi.
Hematpenulis -dengan segala keterbatasannya-, dari berbagai pendapat di
atas,pendapat kalangan Hanafi-lah yang menemukan relevansinya untuk diwacanakan
dan disosialisasikan dalam konteks melawan maraknya korupsi di Nusantara. Hal
ini berdasarkan beberapa hal; pertama, tindakan korupsi merupakan tindak
kejahatan berat, karena telah 'melahap' uang rakyat-rakyat tak berdosa dan
melakukannya adalah sebuah dosa besar. Hal ini sebagaimana imam Bukhari dalam
shahihnya mendefinisikan kata khianat pada ayat di atas tindakan
mengambil harta rampasan sebelum dibagikan kepada yang berhak. Kedua,menjamur
dan mengakarnya tradisi korupsi yang kian sulit dibendung dapat diminimalisasi
dengan adanya sanksi berat berupa sanksi pidana ditambah dengansanksi 'agama'
(dalam hal ini tidak dishalati jenazahnya bila meninggal kelak)dari para ulama
kita melalui fatwa Koruptor itu Kafir ataupun haramnya menshalati jenazah
koruptor.
Wallahu A'lam
0 comments:
Post a Comment