AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN
(Sebuah
Tawaran Solutif terhadap Global Warming)
Oleh
Prof. Dr.Qadir Gassing
PRINSIP PENGELOLAAN
LINGKUNGAN
Setelah
melakukan kajian terhadap beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW ditemukan
sembilan prinsip yang dapat dijadikan sebagai rujukan nilai dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
1. Prinsip Kepemilikan
Bahwa
seluruh isi alam semesta adalah milik Tuhan dan ciptaan-Nya. Prinsip ini
merupakan bagian dari keyakinan tauhid seorang Muslim sehingga mengingkarinya
berimplikasi kufur. Prinsip ini juga merupakan bagian yang inheren dengan
kalimah syahadat atau kalimah tauhid. Kalimat tauhid/syahadat (pengakuan
akan keesaan Allah) diibaratkan oleh al-Qur’an sebagai satu pohon yang akarnya
teguh, cabangnya menjulang ke langit dan menghasilkan setiap saat buah yang
banyak lagi lezat (Q.S. Ibrahim, 14 : 24-25). Pengakuan akan keesaan Allah,
seperti bunyi ayat di atas, melahirkan sekian banyak buah. Salah satunya adalah
keyakinan, bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Kepemilikan
Tuhan atas alam seluruhnya ini ditegaskan pada ayat (Q.S. al-Baqarah, 2 :
284)[1]:
Terjemahnya:
Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kata li-Allah (
لله
), yang memulai ayat ini biasa diterjemahkan dengan milik-Nya. Oleh
banyak pakar tafsir kata tersebut tidak hanya dipahami dalam arti milik-Nya,
tetapi juga hasil ciptaan-Nya serta Pengelola dan Pengatur-Nya. Memang seluruh
jagat raya adalah ciptaan Allah, milik-Nya dan disamping itu Dia Pengelola dan
Pengatur-Nya, sehingga semua tunduk kepada-Nya, suka atau tidak.
2. Prinsip
Peruntukan
Bahwa
segala isi alam diperuntukkan bagi manusia. Prinsip ini didasarkan pada firman
Tuhan, (artinya) : “Dia-lah Allah yang menciptakan untuk kamu segala apa yang
ada di bumi” (Q. S. al-Baqarah, 2 : 29).
Terjemahnya:
Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Bagaimana
kalian kafir, padahal Allah bukan hanya menghidupkan kamu di dunia, tetapi juga
menyiapkan sarana kehidupan di dunia,Dia menciptakan untuk kamu apa yang ada
di bumi semua, sehingga semua yang kamu butuhkan untuk kelangsungan dan kenyamanan
hidup kamu terhampar, dan itu adalah bukti kemahakuasaan-Nya.
3. Prinsip
Penundukan Alam
Bahwa
seluruh jagat raya ditundukkan, oleh Allah, untuk manusia. Prinsip ini
didasarkan pada ayat al-Qur’an surat Ibrahim (14: 32-33).
Terjemahnya:
Allah-lah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang.
Ayat
inilah yang mendasari kemestian manusia untuk hidup bersahabat dengan alam.
Dalam Islam tidak dikenal istilah penundukan alam, karena istilah ini dapat
mengantarkan manusia kepada sikap sewenang-wenang, penumpukan tanpa batas,
tanpa pertimbangan pada asas kebutuhan yang diperlukan. Istilah yang digunakan
oleh al-Qur’an adalah “Tuhan menundukkan alam untuk dikelola manusia”.
Pengelolaan ini disertai pesan untuk tidak merusaknya
Dalam
banyak ayat Tuhan menggunakan kata sakhkhara (menundukkan atau
memudahkan) alam raya dengan segala isinya untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Tuhan menundukkan matahari dan bulan, Tuhan menundukkan fauna dan flora, Tuhan
menundukkan bumi, air, angin, dan lain-lain unsur alam lingkungan. Berulang
kali Tuhan menyebut, bahwa unsur-unsur lingkungan atau sumberdaya alam lingkungan
tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia setelah ditundukkan (oleh Tuhan).
Dengan demikian, Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia tidak akan dapat
memanfaatkan sumber daya alam tersebut kecuali setelah ditundukkan oleh Tuhan.
Di sini jelas terlihat intervensi Tuhan dalam hal penundukan alam.
4. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf,
yaitu manusia dititipi amanah untuk mengurus bumi (lingkungan hidup) Hal
ini didasarkan pada firman Allah:
Terjemahnya:
Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar (Q.S. al-Hadid, 57 : 7).
Istikhlaf menyiratkan
makna bahwa pemilik mutlak dari segala sesuatu adalah Allah, manusia hanya
mendapat titipan amanah untuk mengurusnya atau mengelolanya. Itulah sebabnya
prinsip istikhlaf ini harus dibaca bersamaan dengan pemberian
amanah oleh Allah kepada manusia (Q.S. al-Ahzab, 33 : 72), dan karena itu pula
harus disertai dengan tanggung jawab (Q.S. al-Takatsur, 102 : 8).
5. Manusia
sebagai Khalifah
Sebagai khalifah,
tugas manusia adalah mengantarkan alam lingkungan untuk mencapai tujuan
penciptaannya. Kekhalifahan adalah tugas yang dibebankan Allah SWT kepada
manusia untuk membimbing, memelihara, dan mengantar semua ciptaan Tuhan menuju
tujuan penciptaannya (Q.S. Ali Imran, 3:
Terjemahnya:
(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dan
mereka memikirkan tentang penciptaan, yakni
kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata
sebagai kesimpulan : Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan alam
raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa
tujuan yang hak. Jadi alam raya dengan segala isnya diciptakan Tuhan tidak
tanpa tujuan, tetapi dengan tujuan yang jelas (teleologis). Sebagai khalifah,
manusia bertanggungjawab untuk mengantar alam raya dengan segala isinya ini
untuk mencapai tujuan penciptaannya.
6. Larangan
Boros
Prinsip keenam,
pemborosan harus dicegah walaupun berada dalam kebaikan. Prinsip ini didasarkan
pada ayat 26-27 surat al-Isra’ :
Terjemahnya:
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(Q.S. al-Isra’, 17 :
26-27).
Dan pada
hadis Nabi SAW, bahwa : “Paling banyak membasuh anggota wudhu’ masing-masing
adalah tiga kali, meskipun anda berwudhu’ di sungai yang mengalir.”
Hadis
tersebut berbunyi (artinya):
Dari Abu
Na’amah namanya Qayis bin Abayah, bahwa Abdullah bin Mughaffal (berkata) …,
saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya di antara umat ini akan
ada suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a (H. R. Abu
Daud).
7. Kerusakan
Lingkungan Tanggungjawab Manusia
Prinsip ketujuh,
bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah akibat perbuatan manusia, dan oleh
karena itu ia (manusia) harus bertanggungjawab di dunia dan di akhirat. Prinsip
ini didasarkan pada Q.S. al-Rum, 30 : 41.
Artinya:
Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. al-Rum, 30 : 41).
Dari ayat
ini dapat difahami, bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di muka bumi ini,
baik dalam bentuk kerugian karena perbuatan manusia, ataupun bencana yang
menimpa manusia adalah karena perbuatan manusia sendiri. Musibah yang menimpa
manusia pada hakekatnya adalah natijah dari perbuatannya sendiri. Ini sesuai
dengan hukum kausal. Karena manusia merusak lingkungannya sendiri, maka
timbullah berbagai kesulitan hidup dan malapetaka.
Jadi,
sebagai konsekuensi dari perbuatan melakukan kerusakan itu, manusia harus
bertanggungjawab. Tanggungjawab di dunia berupa : a) kembali sadar dan tidak
mengulangi perbuatannya yang merugikan lingkungan itu, seperti yang
diisyaratkan oleh ayat; b) memperbaiki lingkungan yang telah dirusaknya,
sehingga dapat berfungsi kembali sesuai tujuan penciptaannya; dan c) membayar
ganti rugi, sekiranya perbuatannya itu merugikan negara atau masyarakat.
Sedangkan tanggungjawab akhirat, berupa sanksi yaitu dosa dan neraka. Jadi,
seorang yang merusak lingkungan, harus diberi sanksi, baik sanksi negara maupun
sanksi agama.
8. Prinsip al-Adlu
wa al-Ihsan
Prinsip
kedelapan, al-‘adlu wa al-ihsan. Bahwa perintah berlaku adil dan
ihsan, juga berlaku terhadap alam lingkungan. Dalam al-Qur’an surat al-Nahl, 16
: 90 Tuhan berfirman:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Berlaku
adil dan ihsan yang diperintahkan dalam ayat ini, selama ini difahami, sebagai
berlaku adil dan ihsan hanya kepada manusia. Tetapi dari berbagai hadis dan
praktek amaliah Rasulullah SAW diketahui, bahwa berlaku adil dan ihsan itu
tidak hanya terbatas terhadap manusia tetapi juga kepada makhluk lain seperti
binatang dan tumbuhan, bahkan terhadap benda mati sekali pun.
Adil
dapat diartikan memberi sebanyak yang diambil dari lingkungan. Sedangkan ihsan
dapat diartikan memberi lebih banyak dari yang diambil dari lingkungan.
Ketika seorang pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menebang 100 pohon,
kemudian menanam 100 pohon, maka ia telah berlaku adil terhadap alam
lingkungan. Akan tetapi ia dituntut bukan hanya berlaku adil tetapi juga
berbuat ihsan. Dalam hal ini tidak cukup dengan menanam 100 pohon yaitu
sebanyak yang ia tebang, tetapi ia harus menanam 150 pohon, yaitu lebih banyak
dari yang ia tebang. Tentu saja tidak berhenti pada kegiatan tanam-menanam
semata, tetapi juga menyiapkan seluruh sarana perawatan dan perlindungan agar
pohon yang ditanam itu benar-benar dapat tumbuh sebesar yang ia tebang.
9. Prinsip
Perikemakhlukan
Pada
dasarnya peri-kemakhlukan bermakna menghargai seluruh makhluk (biotik dan
abiotik), menempatkannya pada posisi terhormat (muhtaram), dan
memperlakukannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Prinsip ini didasarkan pada
firman Tuhan:
Terjemahnya:
Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.
Dalam
ayat ini binatang dan burung disebut oleh Tuhan sebagai umat-umat sepeti
manusia (juga). Hal ini didukung oleh beberapa hadis di mana Rasulullah SAW
menyebut binatang, antara lain semut dan anjing, juga sebagai umat. Nabi
bersabda[2] :
Terjemahnya
:
“Dari Abu
Huraerah, dari Nabi SAW : Sesungguhnya pernah seekor semut menggigit salah
seorang Nabi. Nabi tersebut lalu menyuruh untuk mendatangi sarang semut dan
dibakarnya. Tetapi kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya : “Apakah hanya gara-gara
seekor semut menggigitmu lantas kamu akan membinasakan suatu umat yang selalu
bertasbih?” (H.R. Muslim).
Hadis ini
menunjukkan bahwa semut itu juga adalah salah satu umat yang selalu bertasbih
(kepada Tuhan), dan karenanya terlarang membinasakannya. Adapun tentang anjing,
Nabi SAW dalam salah satu hadisnya bersabda[3] :
Terjemahnya
:
“Dari
Abdullah ibn Mughaffal telah berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda :
Seandainya anjing-anjing bukan ummat dari ummat-ummat (Tuhan), niscaya saya
perintahkan untuk dibunuh” (H.R. Tirmidzi).
Dalam
bentuk aplikatif, prinsip perikemakhlukan ini tercermin dalam sunnah Nabi SAW.
Mengenai kasih sayang kepada binatang, Nabi SAW menjelaskan dalam hadisnya,
bahwa wanita yang mengikat kucingnya kemudian tidak memberi makanan kepada
binatang itu akan masuk neraka kelak di akhirat. Tetapi sebaliknya, orang yang
memberi minum kepada anjing yang akan mati karena kehausan, diampuni dosanya
oleh Tuhan. Nabi SAW bersabda[4] :
Terjemahnya
:
“Dari
Abdullah (Ibnu Umar r.a.), bahwa Nabi SAW telah bersabda, seorang perempuan
disiksa karena seekor kucing yang ditawannya sehingga kucing itu mati, maka
perempuan itu masuk neraka; karena perempuan itu tidak memberinya makan dan
minum, dan tidak pula membiarkannya memakan serangga di muka bumi” (H. R.
Muslim).
Adapun
mengenai tumbuh-tumbuhan, Nabi melarang menebang pohon yang akan berbuah.
Kepada tentara yang mau berperang Nabi mengeluarkan perintah : jangan rusak
pohon korma, jangan cabut pepohonan, dan jangan runtuhkan rumah.
Diriwayatkan
bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan ke Syam, dia
berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak
memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu.[5]
Dari
pesan tersebut dapat difahami, bahwa dalam keadaan perang pun sedapat mungkin
dihindari pembabatan pohon-pohon, terutama yang sedang berbuah, karena
pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Dalam
kerangka ini pulalah, buah yang belum mencapai kematangannya, dianjurkan untuk
tidak dipetik, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk
itu untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Dengan
demikian jelaslah bahwa memelihara dan membangun lingkungan di permukaan bumi
ini adalah ajaran dasar yang sangat penting dalam Islam. Ajaran ini berasal
dari konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan dan benda tidak bernyawa lainnya, semuanya adalah makhluk
Tuhan. Oleh karena itu semuanya memiliki posisi terhormat, dan karenanya harus
disayangi, dicintai, dan diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Tuhan. Inilah
makna dari prinsip perikemakhlukan itu.
II
KEWAJIBAN
MENANAM POHON
Kewajiban
Menanam Tanaman dan Larangan Memusnahkannya
Nabi
Muhammad SAW mengimbau kepada umat Islam agar senang menanan tanaman atau pohon
untuk berbagai kepentingan: baik untuk kepentingan konsumsi (pangan),
kepentingan penanggulangan lahan kritis ( إحيأ الموات ), maupun untuk kepentingan lainnya.
Mari kita
baca hadis-hadis Nabi SAW berikut ini.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ
غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ
بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ (رواه اليخاري و مسلم والترمذي)
Artinya :
Rasulullah
SAW bersabda, tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman
atau menanam (menabur) benih tanaman, kemudian burung ataupun binatang ternak
memakan (buah) tanaman itu, kecuali baginya memperoleh pahala sedekah (H.R.
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dari Anas).
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ
غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ
صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ
الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ
صَدَقَةٌ (رواه مسلم)
Artinya :
Rasulullah
SAW bersabda, tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam
tanaman, kecuali dia mendapat pahala sedekah atas hasil tanaman yang telah
dimakannya. Apa yang telah dicuri (oleh orang) dari tanaman itu, maka dia (si
penanam) mendapat pahala sedekah. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari
tanaman itu, maka dia (si penanam) juga mendapat pahala sedekah, dan apa yang
dimakan oleh burung dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala
sedekah. Dan tidaklah seseorang dapat mengambilnya, terkecuali bahwa si penanam
tetap mendapat pahala sedekah (H. R. Muslim, dari Jabir).
Berkenaan
dengan kewajiban menanam ini, kiranya perlu dikemukakan sebuah hadis yang
selama ini banyak disebut, yaitu bahwa kewajiban menanam itu bukan hanya
anjuran, tetapi tuntutan, yang memfaedahkan hukum wajib. Nabi SAW bersabda[8] :
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ
وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى
يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه احمد)
Artinya :
Rasulullah
SAW bersabda, sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak pohon kurma,
maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai
menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu) (H. R.
Ahmad, dari Anas bin Malik).
Hadis
tersebut memberi petunjuk, bahwa sekiranya akan terjadi kiamat, dan masih
sempat menanam tanaman, maka Nabi menyuruh agar tanaman itu segera ditanam. Ini
menunjukkan betapa pentingnya kegiatan tanam menanam pepohonan atau tetumbuhan.
Dalam hubungan ini menarik untuk dikemukakan komentar Muhammad Quthb terhadap
hadis ini, seperti yang dikutip Zainal Abidin Ahmad, bahwa sangatlah
mengesankan perintah menanam bibit kurma yang umurnya memakan waktu tahunan,
padahal kiamat sudah berada di ambang pintu. Dikatakannya : Ya Tuhan ! Harus
ditanamkannya? Dan apakah yang mesti ditanam itu? Bibit kurma yang baru
menghasilkan buah setelah bertahun lamanya, padahal kehancuran dunia (kiamat)
sudah pasti dengan yakin akan terjadi. Ya Allah ! Hanya Nabi Islam, penutup
dari segala Nabi, yang akan berhak mengatakan ini. Islam satu-satunya agama
yang mungkin menggerakkan hati manusia untuk berbuat ini, dan hanyalah Nabi
Islam satu-satunya yang mungkin membawa petunjuk demikian dan akan memimpin
manusia lainnya. Inilah sejarah dunia seluruhnya. Tiada contoh bandingan inti
ajaran sebagai ajaran Rasulullah SAW ini.[9]
Komentar
Muhammad Quthb ini dapat dibaca sebagai penegasan dan penekanan, betapa
pentingnya kegiatan menanam (bibit) pohon itu sekalipun kesempatannya sangat
terbatas, asal masih sempat, maka ia harus melakukannya. Dari segi kemanfaatan,
seolah-olah Quthb ingin ‘mengeritik’ Nabi SAW, apa gunanya menanam bibit pohon kurma,
yang rentang waktu berbuahnya tahunan, padahal kiamat sudah segera datang. Jadi
pasti ada maksud yang dikehendaki oleh Nabi SAW dengan penekanannya ini. Maksud
itu, dari perspektif hukum Islam, adalah penekanan terhadap kewajiban menanam
(bibit) pohon setiap kali ada kesempatan, tanpa perlu mempertimbangkan apakah
kelak manfaat dari pohon itu akan dapat dinikmati oleh yang menanam atau tidak.
Adapun
larangan menebang/menghanguskan tanaman atau pepohonan dapat terlihat dari
kisah di mana diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah,
mengirim pasukan ke Syam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan
(sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan
itu. Riwayat tentang pesan/wasiat Khalifah Abu Bakar tersebut telah
dikemukakan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwaththa’sebagai berikut[10] :
وَإِنِّي
مُوصِيكَ بِعَشْرٍ لَا تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلَا صَبِيًّا وَلَا كَبِيرًا
هَرِمًا وَلَا تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا وَلَا تُخَرِّبَنَّ عَامِرًا وَلَا
تَعْقِرَنَّ شَاةً وَلَا بَعِيرًا إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ وَلَا تَحْرِقَنَّ نَحْلًا
وَلَا تُغَرِّقَنَّهُ وَلَا تَغْلُلْ وَلَا تَجْبُنْ (رواه ماللك)
Artinya:
Saya
berwasiat kepada anda sepuluh macam : 1) Janganlah membunuh perempuan; 2)
Janganlah membunuh anak-anak; 3) Janganlah membunuh orang-orang yang sudah tua;
4) Janganlah memotong pohon yang sedang berbuah; 5) Janganlah meruntuhkan
bangunan; 6) Janganlah memotong domba; 7) Janganlah memotong unta, kecuali bila
domba dan unta itu untuk dimakan; 8) Janganlah membakar pohon kurma dan jangan
pula menenggelamkannya (memusnahkannya); 9) Janganlah berlaku khianat; dan 10)
Janganlah menakut-nakuti (rakyat) (H. R. Malik, dari Yahya bin Sa’id).
Dari
sepuluh wasiat Abu Bakar ini, dua diantaranya adalah: jangan memotong pohon
yang sedang berbuah, dan jangan membakar pohon kurma dan jangan pula
menenggelamkannya (memusnahkannya). Dari wasiat tersebut dapat difahami, bahwa
dalam keadaan perang pun sedapat mungkin dihindari pembabatan pohon-pohon,
terutama yang sedang berbuah, karena pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat
bagi manusia dan makhluk lainnya.[11] Dalam
kerangka ini pulalah, buah yang belum mencapai kematangannya, dianjurkan untuk
tidak dipetik,[12] karena
hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk itu untuk mencapai
tujuan penciptaannya.[13]
III
HIMBAUAN
MORAL
(1)
Sayangilah binatang. Biarkan ia hidup pada habitatnya. Jangan diganggu
ketenangannya, jangan dianiaya, dan jangan dibunuh, kecuali untuk kebutuhan
yang hak;
(2)
Cintailah tanaman. Gemarkan menanam dan memelihara, pantangkan menebang dan
memusnahkan, kecuali untuk kepentingan yang hak;
(3)
Hematlah air dan jangan mengotorinya; Sungai dan laut bukanlah saptik-tank atau
tong-sampah. Keduanya adalah makhluk Tuhan. Tempatkanlah mereka pada posisi
terhormat. Antarkan mereka mencapai tujuan penciptaannya;
(4)
Hematlah energi. Gunakan listrik, gas, batubara, minyak tanah, dan kayu bakar
sefisien mungkin. Menghemat energi berarti menghemat uang dan juga berpahala;
(5)
Jangan mengotori udara. Pakailah motor dan mobil laik-lingkungan. Kelola limbah
pabrik sebelum dibuang ke udara bebas;
(6)
Buanglah sampah pada tempatnya, atau daur-ulanglah sebisa mungkin;
(7)
Berlaku adil dan ihsanlah terhadap lingkungan. Adil bermakna memberi sebanyak
yang diambil; ihsan berarti memberi lebih banyak dari yang diambil. Menebang
sebatang, menanam sebatang berarti adil. Menebang sebatang, menanam dua batang
berarti ihsan;
(8) Pesan
Mahatma Gandhi: Sumberdaya alam tidak cukup untuk memenuhi ketamakan satu
orang, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sungguminasa,
Maret 2008
[1]Lihat
juga Q.S. al-Syura, 42 : 49
[5]Ahmad bin
al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakr al-Baehaqi (384 H – 458 H), Sunan
al-Baehaqi al-Kubra, Maktabah Dar al-Baz, Makkah al-Mukarramah, 1994/1414,
Juz IX, h. 89. (Selanjutnya disebut Sunan al-Baehaqi).
[6]Shah³h
al-Bukh±r³, Juz II, h. 817; Shah³h Muslim, Juz III,
h. 1189; Sunan al-Tirmidz³, Juz III, h. 666.
[8]ِAb ‘Abdull±h Muhammad bin al-W±hid bin
Ahmad al-Hanbal³ al-Maqdis³ (567 H – 643 H), Al-Ah±d³ts al-Mukht±rah,
Maktabah al-Nahdhah al-Had³tsah, Makkah al-Mukarramah, 1410, Juz VII, h. 262.
(Selanjutnya disebut al-Ah±d³ts al-Mukht±rah).
[9]Zainal
Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1974, h. 36-37.
[10]Ahmad bin
al-Husain bin ‘Al³ bin Msa Ab Bakr al-Baehaq³ (384 H – 458 H), Sunan
al-Baehaq³ al-Kubr±, Maktabah D±r al-B±z, Makkah al-Mukarramah, 1994/1414,
Juz IX, h. 89. (Selanjutnya disebut Sunan al-Baehaq³).
[11]M.Syuhudi
Ismail, “Berbagai Petunjuk Hadis Nabi Muhammad tentang Upaya Menghindari atau
Mengatasi Terjadinya Lahan Kritis” (Laporan Hasil Penelitian) dalam Perumusan
Model Dakwah dalam Pelaksanaan Penanggulangan Lahan Kritis di Sulawesi Selatan,Kerjasama
BAPPEDA Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Pusat Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1989/1990, h. 51-52.
[12]Alwi
Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1997, h. 158.
[13]M.Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Mizan, Bandung, 1992, h. 296.
0 comments:
Post a Comment