Loading...
15 Oct 2012

AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم





AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN
POSTED BY NURDINMAPPA  APRIL 30, 2010  TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR

(Sebuah Tawaran Solutif terhadap Global Warming)
Oleh Prof. Dr.Qadir Gassing
PRINSIP PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Setelah melakukan kajian terhadap beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW ditemukan sembilan prinsip yang dapat dijadikan sebagai rujukan nilai dalam pengelolaan lingkungan hidup.
1.      Prinsip Kepemilikan
Bahwa seluruh isi alam semesta adalah milik Tuhan dan ciptaan-Nya. Prinsip ini merupakan bagian dari keyakinan tauhid seorang Muslim sehingga mengingkarinya berimplikasi kufur. Prinsip ini juga merupakan bagian yang inheren dengan kalimah syahadat atau kalimah tauhid.  Kalimat tauhid/syahadat (pengakuan akan keesaan Allah) diibaratkan oleh al-Qur’an sebagai satu pohon yang akarnya teguh, cabangnya menjulang ke langit dan menghasilkan setiap saat buah yang banyak lagi lezat (Q.S. Ibrahim, 14 : 24-25). Pengakuan akan keesaan Allah, seperti bunyi ayat di atas, melahirkan sekian banyak buah. Salah satunya adalah keyakinan, bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Kepemilikan Tuhan atas alam  seluruhnya ini ditegaskan pada ayat (Q.S. al-Baqarah, 2 : 284)[1]:
Terjemahnya:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kata li-Allah ( لله ), yang memulai ayat ini biasa diterjemahkan dengan milik-Nya. Oleh banyak pakar tafsir kata tersebut tidak hanya dipahami dalam arti milik-Nya, tetapi juga hasil ciptaan-Nya serta Pengelola dan Pengatur-Nya. Memang seluruh jagat raya adalah ciptaan Allah, milik-Nya dan disamping itu Dia Pengelola dan Pengatur-Nya, sehingga semua tunduk kepada-Nya, suka atau tidak.
2. Prinsip Peruntukan
Bahwa segala isi alam diperuntukkan bagi manusia. Prinsip ini didasarkan pada firman Tuhan, (artinya) : “Dia-lah Allah yang menciptakan untuk kamu segala apa yang ada di bumi” (Q. S. al-Baqarah, 2 : 29).
Terjemahnya:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Bagaimana kalian kafir, padahal Allah bukan hanya menghidupkan kamu di dunia, tetapi juga menyiapkan sarana kehidupan di dunia,Dia menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi semua, sehingga semua yang kamu butuhkan untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup kamu terhampar, dan itu adalah bukti kemahakuasaan-Nya.
3. Prinsip Penundukan Alam
Bahwa seluruh jagat raya ditundukkan, oleh Allah, untuk manusia. Prinsip ini didasarkan pada ayat al-Qur’an surat Ibrahim (14: 32-33).
Terjemahnya:
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
Ayat inilah yang mendasari kemestian manusia untuk hidup bersahabat dengan alam. Dalam Islam tidak dikenal istilah penundukan alam, karena istilah ini dapat mengantarkan manusia kepada sikap sewenang-wenang, penumpukan tanpa batas, tanpa pertimbangan pada asas kebutuhan yang diperlukan. Istilah yang digunakan oleh al-Qur’an adalah “Tuhan menundukkan alam untuk dikelola manusia”. Pengelolaan ini disertai pesan untuk tidak merusaknya
Dalam banyak ayat Tuhan menggunakan kata sakhkhara (menundukkan atau memudahkan) alam raya dengan segala isinya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Tuhan menundukkan matahari dan bulan, Tuhan menundukkan fauna dan flora, Tuhan menundukkan bumi, air, angin, dan lain-lain unsur alam lingkungan. Berulang kali Tuhan menyebut, bahwa unsur-unsur lingkungan atau sumberdaya alam lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia setelah ditundukkan (oleh Tuhan). Dengan demikian, Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia tidak akan dapat memanfaatkan sumber daya alam tersebut kecuali setelah ditundukkan oleh Tuhan. Di sini jelas terlihat intervensi Tuhan dalam hal penundukan alam.
4. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf, yaitu manusia dititipi amanah untuk mengurus bumi (lingkungan hidup)  Hal ini didasarkan pada firman Allah:
Terjemahnya:
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar (Q.S. al-Hadid, 57 : 7).
Istikhlaf menyiratkan makna bahwa pemilik mutlak dari segala sesuatu adalah Allah, manusia hanya mendapat titipan amanah untuk mengurusnya atau mengelolanya. Itulah sebabnya prinsip istikhlaf ini harus dibaca bersamaan dengan pemberian amanah oleh Allah kepada manusia (Q.S. al-Ahzab, 33 : 72), dan karena itu pula harus disertai dengan tanggung jawab (Q.S. al-Takatsur, 102 : 8).
5. Manusia sebagai Khalifah
Sebagai khalifah, tugas manusia adalah mengantarkan alam lingkungan untuk mencapai tujuan penciptaannya. Kekhalifahan adalah tugas yang dibebankan Allah SWT kepada manusia untuk membimbing, memelihara, dan mengantar semua ciptaan Tuhan menuju tujuan penciptaannya (Q.S. Ali Imran, 3:
Terjemahnya:
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dan mereka memikirkan tentang penciptaan, yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata sebagai kesimpulan : Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak. Jadi alam raya dengan segala isnya diciptakan Tuhan tidak tanpa tujuan, tetapi dengan tujuan yang jelas (teleologis). Sebagai khalifah, manusia bertanggungjawab untuk mengantar alam raya dengan segala isinya ini untuk mencapai tujuan penciptaannya.
6. Larangan Boros
Prinsip keenam, pemborosan harus dicegah walaupun berada dalam kebaikan. Prinsip ini didasarkan pada ayat 26-27 surat al-Isra’ :
Terjemahnya:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(Q.S. al-Isra’, 17 : 26-27).
Dan pada hadis Nabi SAW, bahwa : “Paling banyak membasuh anggota wudhu’ masing-masing adalah tiga kali, meskipun anda berwudhu’ di sungai yang mengalir.”
Hadis tersebut berbunyi (artinya):
Dari Abu Na’amah namanya Qayis bin Abayah, bahwa Abdullah bin Mughaffal (berkata) …, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya di antara umat ini akan ada suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a (H. R. Abu Daud).
7. Kerusakan Lingkungan Tanggungjawab Manusia
Prinsip ketujuh, bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah akibat perbuatan manusia, dan oleh karena itu ia (manusia) harus bertanggungjawab di dunia dan di akhirat. Prinsip ini didasarkan pada Q.S. al-Rum, 30 : 41.
Artinya:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. al-Rum, 30 : 41).
Dari ayat ini dapat difahami, bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, baik dalam bentuk kerugian karena perbuatan manusia, ataupun bencana yang menimpa manusia adalah karena perbuatan manusia sendiri. Musibah yang menimpa manusia pada hakekatnya adalah natijah dari perbuatannya sendiri. Ini sesuai dengan hukum kausal. Karena manusia merusak lingkungannya sendiri, maka timbullah berbagai kesulitan hidup dan malapetaka.
Jadi, sebagai konsekuensi dari perbuatan melakukan kerusakan itu, manusia harus bertanggungjawab. Tanggungjawab di dunia berupa : a) kembali sadar dan tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan lingkungan itu, seperti yang diisyaratkan oleh ayat; b) memperbaiki lingkungan yang telah dirusaknya, sehingga dapat berfungsi kembali sesuai tujuan penciptaannya; dan c) membayar ganti rugi, sekiranya perbuatannya itu merugikan negara atau masyarakat. Sedangkan tanggungjawab akhirat, berupa sanksi yaitu dosa dan neraka. Jadi, seorang yang merusak lingkungan, harus diberi sanksi, baik sanksi negara maupun sanksi agama.
8. Prinsip al-Adlu wa al-Ihsan
Prinsip kedelapan, al-‘adlu wa al-ihsan. Bahwa perintah berlaku adil dan ihsan, juga berlaku terhadap alam lingkungan. Dalam al-Qur’an surat al-Nahl, 16 : 90 Tuhan berfirman:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Berlaku adil dan ihsan yang diperintahkan dalam ayat ini, selama ini difahami, sebagai berlaku adil dan ihsan hanya kepada manusia. Tetapi dari berbagai hadis dan praktek amaliah Rasulullah SAW diketahui, bahwa berlaku adil dan ihsan itu tidak hanya terbatas terhadap manusia tetapi juga kepada makhluk lain seperti binatang dan tumbuhan, bahkan terhadap benda mati sekali pun.
Adil dapat diartikan memberi sebanyak yang diambil dari lingkungan. Sedangkan ihsan dapat diartikan memberi lebih banyak dari yang diambil dari lingkungan.  Ketika seorang pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menebang 100 pohon, kemudian menanam 100 pohon, maka ia telah berlaku adil terhadap alam lingkungan. Akan tetapi ia dituntut bukan hanya berlaku adil tetapi juga berbuat ihsan. Dalam hal ini tidak cukup dengan menanam 100 pohon yaitu sebanyak yang ia tebang, tetapi ia harus menanam 150 pohon, yaitu lebih banyak dari yang ia tebang. Tentu saja tidak berhenti pada kegiatan tanam-menanam semata, tetapi juga menyiapkan seluruh sarana perawatan dan perlindungan agar pohon yang ditanam itu benar-benar dapat tumbuh sebesar yang ia tebang.
9. Prinsip Perikemakhlukan
Pada dasarnya peri-kemakhlukan bermakna menghargai seluruh makhluk (biotik dan abiotik), menempatkannya pada posisi terhormat (muhtaram), dan memperlakukannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Prinsip ini didasarkan pada firman Tuhan:
Terjemahnya:
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Dalam ayat ini binatang dan burung disebut oleh Tuhan sebagai umat-umat sepeti manusia (juga). Hal ini didukung oleh beberapa hadis di mana Rasulullah SAW menyebut binatang, antara lain semut dan anjing, juga sebagai umat. Nabi bersabda[2] :
Terjemahnya :
“Dari Abu Huraerah, dari Nabi SAW : Sesungguhnya pernah seekor semut menggigit salah seorang Nabi. Nabi tersebut lalu menyuruh untuk mendatangi sarang semut dan dibakarnya. Tetapi kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya : “Apakah hanya gara-gara seekor semut menggigitmu lantas kamu akan membinasakan suatu umat yang selalu bertasbih?” (H.R. Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa semut itu juga adalah salah satu umat yang selalu bertasbih (kepada Tuhan), dan karenanya terlarang membinasakannya. Adapun tentang anjing, Nabi SAW dalam salah satu hadisnya bersabda[3] :
Terjemahnya :
“Dari Abdullah ibn Mughaffal telah berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda : Seandainya anjing-anjing bukan ummat dari ummat-ummat (Tuhan), niscaya saya perintahkan untuk dibunuh” (H.R. Tirmidzi).
Dalam bentuk aplikatif, prinsip perikemakhlukan ini tercermin dalam sunnah Nabi SAW. Mengenai kasih sayang kepada binatang, Nabi SAW menjelaskan dalam hadisnya, bahwa wanita yang mengikat kucingnya kemudian tidak memberi makanan kepada binatang itu akan masuk neraka kelak di akhirat. Tetapi sebaliknya, orang yang memberi minum kepada anjing yang akan mati karena kehausan, diampuni dosanya oleh Tuhan. Nabi SAW bersabda[4] :
Terjemahnya :
“Dari Abdullah (Ibnu Umar r.a.), bahwa Nabi SAW telah bersabda, seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang ditawannya sehingga kucing itu mati, maka perempuan itu masuk neraka; karena perempuan itu tidak memberinya makan dan minum, dan tidak pula membiarkannya memakan serangga di muka bumi” (H. R. Muslim).
Adapun mengenai tumbuh-tumbuhan, Nabi melarang menebang pohon yang akan berbuah. Kepada tentara yang mau berperang Nabi mengeluarkan perintah : jangan rusak pohon korma, jangan cabut pepohonan, dan jangan runtuhkan rumah.
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan ke Syam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu.[5]
Dari pesan tersebut dapat difahami, bahwa dalam keadaan perang pun sedapat mungkin dihindari pembabatan pohon-pohon, terutama yang sedang berbuah, karena pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Dalam kerangka ini pulalah, buah yang belum mencapai kematangannya, dianjurkan untuk tidak dipetik, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk itu untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa memelihara dan membangun lingkungan di permukaan bumi ini adalah ajaran dasar yang sangat penting dalam Islam. Ajaran ini berasal dari konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda tidak bernyawa lainnya, semuanya adalah makhluk Tuhan. Oleh karena itu semuanya memiliki posisi terhormat, dan karenanya harus disayangi, dicintai, dan diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Tuhan. Inilah makna dari prinsip perikemakhlukan itu.
II
KEWAJIBAN MENANAM POHON
Kewajiban Menanam Tanaman dan Larangan Memusnahkannya
Nabi Muhammad SAW mengimbau kepada umat Islam agar senang menanan tanaman atau pohon untuk berbagai kepentingan: baik untuk kepentingan konsumsi (pangan), kepentingan penanggulangan lahan kritis ( إحيأ الموات ), maupun untuk kepentingan lainnya.
Mari kita baca hadis-hadis Nabi SAW berikut ini.
Hadis Nabi SAW[6] :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ (رواه اليخاري و مسلم والترمذي)
Artinya :
Rasulullah SAW bersabda, tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman atau menanam (menabur) benih tanaman, kemudian burung ataupun binatang ternak memakan (buah) tanaman itu, kecuali baginya memperoleh pahala sedekah (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dari Anas).
Pada hadis lain disebutkan[7] :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ (رواه مسلم)
Artinya :
Rasulullah SAW bersabda, tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman, kecuali dia mendapat pahala sedekah atas hasil tanaman yang telah dimakannya. Apa yang telah dicuri (oleh orang) dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman itu, maka dia (si penanam) juga mendapat pahala sedekah, dan apa yang dimakan oleh burung dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Dan tidaklah seseorang dapat mengambilnya, terkecuali bahwa si penanam tetap mendapat pahala sedekah (H. R. Muslim, dari Jabir).
Berkenaan dengan kewajiban menanam ini, kiranya perlu dikemukakan sebuah hadis yang selama ini banyak disebut, yaitu bahwa kewajiban menanam itu bukan hanya anjuran, tetapi tuntutan, yang memfaedahkan hukum wajib. Nabi SAW bersabda[8] :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه احمد)
Artinya :
Rasulullah SAW bersabda, sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak pohon kurma, maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu) (H. R. Ahmad, dari Anas bin Malik).
Hadis tersebut memberi petunjuk, bahwa sekiranya akan terjadi kiamat, dan masih sempat menanam tanaman, maka Nabi menyuruh agar tanaman itu segera ditanam. Ini menunjukkan betapa pentingnya kegiatan tanam menanam pepohonan atau tetumbuhan. Dalam hubungan ini menarik untuk dikemukakan komentar Muhammad Quthb terhadap hadis ini, seperti yang dikutip Zainal Abidin Ahmad, bahwa sangatlah mengesankan perintah menanam bibit kurma yang umurnya memakan waktu tahunan, padahal kiamat sudah berada di ambang pintu. Dikatakannya : Ya Tuhan ! Harus ditanamkannya? Dan apakah yang mesti ditanam itu? Bibit kurma yang baru menghasilkan buah setelah bertahun lamanya, padahal kehancuran dunia (kiamat) sudah pasti dengan yakin akan terjadi. Ya Allah ! Hanya Nabi Islam, penutup dari segala Nabi, yang akan berhak mengatakan ini. Islam satu-satunya agama yang mungkin menggerakkan hati manusia untuk berbuat ini, dan hanyalah Nabi Islam satu-satunya yang mungkin membawa petunjuk demikian dan akan memimpin manusia lainnya. Inilah sejarah dunia seluruhnya. Tiada contoh bandingan inti ajaran sebagai ajaran Rasulullah SAW ini.[9]
Komentar Muhammad Quthb ini dapat dibaca sebagai penegasan dan penekanan, betapa pentingnya kegiatan menanam (bibit) pohon itu sekalipun kesempatannya sangat terbatas, asal masih sempat, maka ia harus melakukannya. Dari segi kemanfaatan, seolah-olah Quthb ingin ‘mengeritik’ Nabi SAW, apa gunanya menanam bibit pohon kurma, yang rentang waktu berbuahnya tahunan, padahal kiamat sudah segera datang. Jadi pasti ada maksud yang dikehendaki oleh Nabi SAW dengan penekanannya ini. Maksud itu, dari perspektif hukum Islam, adalah penekanan terhadap kewajiban menanam (bibit) pohon setiap kali ada kesempatan, tanpa perlu mempertimbangkan apakah kelak manfaat dari pohon itu akan dapat dinikmati oleh yang menanam atau tidak.
Adapun larangan menebang/menghanguskan tanaman atau pepohonan dapat terlihat dari kisah di mana diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan ke Syam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu.  Riwayat tentang pesan/wasiat Khalifah Abu Bakar tersebut telah dikemukakan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwaththa’sebagai berikut[10] :
وَإِنِّي مُوصِيكَ بِعَشْرٍ لَا تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلَا صَبِيًّا وَلَا كَبِيرًا هَرِمًا وَلَا تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا وَلَا تُخَرِّبَنَّ عَامِرًا وَلَا تَعْقِرَنَّ شَاةً وَلَا بَعِيرًا إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ وَلَا تَحْرِقَنَّ نَحْلًا وَلَا تُغَرِّقَنَّهُ وَلَا تَغْلُلْ وَلَا تَجْبُنْ (رواه ماللك)
Artinya:
Saya berwasiat kepada anda sepuluh macam : 1) Janganlah membunuh perempuan; 2) Janganlah membunuh anak-anak; 3) Janganlah membunuh orang-orang yang sudah tua; 4) Janganlah memotong pohon yang sedang berbuah; 5) Janganlah meruntuhkan bangunan; 6) Janganlah memotong domba; 7) Janganlah memotong unta, kecuali bila domba dan unta itu untuk dimakan; 8) Janganlah membakar pohon kurma dan jangan pula menenggelamkannya (memusnahkannya); 9) Janganlah berlaku khianat; dan 10) Janganlah menakut-nakuti (rakyat) (H. R. Malik, dari Yahya bin Sa’id).
Dari sepuluh wasiat Abu Bakar ini, dua diantaranya adalah: jangan memotong pohon yang sedang berbuah, dan jangan membakar pohon kurma dan jangan pula menenggelamkannya (memusnahkannya). Dari wasiat tersebut dapat difahami, bahwa dalam keadaan perang pun sedapat mungkin dihindari pembabatan pohon-pohon, terutama yang sedang berbuah, karena pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.[11] Dalam kerangka ini pulalah, buah yang belum mencapai kematangannya, dianjurkan untuk tidak dipetik,[12] karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk itu untuk mencapai tujuan penciptaannya.[13]
III
HIMBAUAN MORAL
(1) Sayangilah binatang. Biarkan ia hidup pada habitatnya. Jangan diganggu ketenangannya, jangan dianiaya, dan jangan dibunuh, kecuali untuk kebutuhan yang hak;
(2) Cintailah tanaman. Gemarkan menanam dan memelihara, pantangkan menebang dan memusnahkan, kecuali untuk kepentingan yang hak;
(3) Hematlah air dan jangan mengotorinya; Sungai dan laut bukanlah saptik-tank atau tong-sampah. Keduanya adalah makhluk Tuhan. Tempatkanlah mereka pada posisi terhormat. Antarkan mereka mencapai tujuan penciptaannya;
(4) Hematlah energi. Gunakan listrik, gas, batubara, minyak tanah, dan kayu bakar sefisien mungkin. Menghemat energi berarti menghemat uang dan juga berpahala;
(5) Jangan mengotori udara. Pakailah motor dan mobil laik-lingkungan. Kelola limbah pabrik sebelum dibuang ke udara bebas;
(6) Buanglah sampah pada tempatnya, atau daur-ulanglah sebisa mungkin;
(7) Berlaku adil dan ihsanlah terhadap lingkungan. Adil bermakna memberi sebanyak yang diambil; ihsan berarti memberi lebih banyak dari yang diambil. Menebang sebatang, menanam sebatang berarti adil. Menebang sebatang, menanam dua batang berarti ihsan;
(8) Pesan Mahatma Gandhi: Sumberdaya alam tidak cukup untuk memenuhi ketamakan satu orang, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sungguminasa, Maret 2008


[1]Lihat juga Q.S. al-Syura, 42 : 49
[2]Shahih Muslim, Juz IV, h., 1759.
[3]Sunan al-Tirmidzi, Juz IV, h. 78.
[4]Shahih Muslim, Juz IV, h. 1760.
[5]Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakr al-Baehaqi (384 H – 458 H), Sunan al-Baehaqi al-Kubra, Maktabah Dar al-Baz, Makkah al-Mukarramah, 1994/1414, Juz IX, h. 89. (Selanjutnya disebut Sunan al-Baehaqi).
[6]Shah³h al-Bukh±r³, Juz II, h. 817; Shah³h Muslim, Juz III, h. 1189; Sunan al-Tirmidz³, Juz III, h. 666.
[7]Shah³h Muslim, Juz III, h. 1188.
[8]ِAb­ ‘Abdull±h Muhammad bin al-W±hid bin Ahmad al-Hanbal³ al-Maqdis³ (567 H – 643 H), Al-Ah±d³ts al-Mukht±rah, Maktabah al-Nahdhah al-Had³tsah, Makkah al-Mukarramah, 1410, Juz VII, h. 262. (Selanjutnya disebut al-Ah±d³ts al-Mukht±rah).
[9]Zainal Abidin Ahmad, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h. 36-37.
[10]Ahmad bin al-Husain bin ‘Al³ bin M­sa Ab­ Bakr al-Baehaq³ (384 H – 458 H), Sunan al-Baehaq³ al-Kubr±, Maktabah D±r al-B±z, Makkah al-Mukarramah, 1994/1414, Juz IX, h. 89. (Selanjutnya disebut Sunan al-Baehaq³).
[11]M.Syuhudi Ismail, “Berbagai Petunjuk Hadis Nabi Muhammad tentang Upaya Menghindari atau Mengatasi Terjadinya Lahan Kritis” (Laporan Hasil Penelitian) dalam Perumusan Model Dakwah dalam Pelaksanaan Penanggulangan Lahan Kritis di Sulawesi Selatan,Kerjasama BAPPEDA Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1989/1990,  h. 51-52.
[12]Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1997, h. 158.
[13]M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1992, h. 296.

0 comments:

 
TOP