JIWA DAN
KEDUDUKANNYA DALAM PANDANGAN ISLAM
Pendahuluan
Setiap ciptaan Allah memiliki ciri
masing-masing dari yang bersifat sederhana hingga yang bertingkat tinggi.
Dalam kitab Tafsir al-Maraghi Allah menciptakan
makhlukNya terbagai bertingkat-tingkat. Ada yang bersifat Jamadi, Nabati,
Hayawani dan yang terkahir bersifat Inasni.
Ciptaan yang berbentuk Jamadi adalah
bebatuan. Sifat-sifat batu diam, ia tidak dapat bergerak dengan sendirinya
tanpa kejadian yang lain. Bebatuan akan bergerak apabila ada faktor lain yang
dominan seperti bencana alam atau ulah manusia yang menginginkan adanya
perubahan. Nabati adalah tetumbuhan, ia dapat bergerak, dari biji-bijian
berubah menjadi tunas, berubah menjadi berdaun, memiliki batang tangkai,
ranting dan lain sebagainya. Hayawani ia dapat bergerak dari tempat yang satu
ke tempat yang lain, bahkan ia mampu berpindah-pindah dari pulau ke pulau
yang lain. Insani tidak hanya dapat berubah, berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain. Insani memiliki persaan rasa kasih sayang dengan sesama,
lebih dari ia mempunyai perhatian terhadap makhluk yang lain. Dalam firman
Allah manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan
ciptaan-ciptaan yang lainnya. Karena ia memiliki akal pikiran yang mampu
merubah keadaan alam raya ini.
Manusia diciptakan oleh Allah
memiliki daya sebagai berikut:
Semua itu karena manusia memiliki
nafsu, yang sering diartikan jiwa. Nafsu laksana api, tidak boleh dipadamkan,
dengan kata lain ditiadakan, akan tetapi ia harus diatur untuk menodorong
dalam mengadakan kegiatan demi terwujudnya cita-cita..
Namun demikian nafsu tidak selalu berada dalam jalan
positif. Nafsu bisa jadi berada dalam jalan yang positif seperti yang telah
digambarkan di atas, ia juga bisa berada pada pada posisi yang mengenaskan
dan bahkan lebih hina dari yang tidak mempunyai akal pikiran. Dalam firman
Allah disebutkan yang artinya: Maka pernakah kamu lihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya
(al-Jasiyah 22)
Dari uraian terebut dapat diambil kesimpulan begitu
peliknya nafsu, suatu waktu berada di jalan yang diridhai, dan tidak menutup
kemungkinan dimurkai oleh Allah. Dengan demikian penulis tertarik ingin
mengetahui bagaimana nafsu dan kedudukannya dalam ajaran Islam?
Pengertian Nafsu
Nafsu ditinjau dari segi bahasa
berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata mufrad) jama’nya,
anfus atau Nufusun dapat diartikkan ruh, nyawa, tubuh
dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak[2]. Dalam bahasa Inggris Psycho
diartikan jiwa atau mental[3] jiwa menurut bahasa Indonesia
adalah: roh manusia yang ada di tubuh dan menyebabkan hidup, atau seluruh
kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran angan-angan dan
sebagainya[4]
Dalam tinjauan kebahasaan jiwa dalam
bahasa Arab mengandung arti lebih luas dibandingkan dalam bahasa Inggris.
Dalam bahasa Arab ruh sebagai tanda adanya kehidupan, atau nyawa. Atau
diartikan tubuh/jasad manusia, atau keinginan-keinginan manusia. Dalam bahasa
Inggris hanya mengandung arti jiwa dan mental, dalam arti lain sikap atau
keadaan seseorang.
Istilah nafsu sering diartikan pada
hal yang serba negatif yang sesungguhnya tidak selamanya nafsu berarti buruk.
Nafsu, dapat juga diartikan jiwa seperti dalam tinjauan kedua bahasa tersebut
di atas. Jiwa dalam pandangan filsafat dapat digambarkan ”tidak dapat
menentang dorongan naluri, sehingga ia tetap pada suasana naluri, sehingga
orang terhindarlah dari rasa kurang harga diri yang sangat menyedihkan. Ia
tahu bagaimana seharusnya, tetapi tidak bisa melaksanakannya.”[5] jiwa sering diidentikan
dengan ide, karena ide itu kekal maka jiwapun kekal. Setelah jasad seseorang
meninggal, nafsulah yang akan diadili untuk sampai kepada pulau-pulau bahagia[6]. Klasifikasi yang tepat dalam
tinjauan filsafat adalah sebagai berikut:
a. teori yang memandang jiwa sebagai
subtansi yang berjenis khusus, yang dilawankan misalnya dengan subtansi
material
b. teori-teori yang memandang jiwa
sebagai jenis kemampuan artinya semacam pelaku atau pengaruh dalam
kegiatan-kegiatan
c. teori-teori yang memandang jiwa
semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada organisme-organisme hidup
Pada tinjauan filsafat jiwa bukan
sekedar materi atau sesuatu yang ada walaupun dalam bentuk konsepsi, dalam
filsafat sesuatu yang ada tidak hanya yang dapat disaksikan oleh panca
indera, tetapi segala sesuatu yang ada baik yang dijangkau oleh panca indera
maupun ada dalam angan-angan. Nafs dapat dilihat gejala-gejalanya seperti
tanda-tanda kehidupan dan lain-lain Pandangan ini menunjukan bahwa jiwa akan
dimintai pertanggung jawaban nanti pada pulau-pulau bahagia. Jiwa eksis di
materi. Apabila ia pada manusia berarti ia berada di balik kehidupan manusia
itu sendiri. Hal ini dapat ditinjau pada fenomena diri manusia itu sendiri,
seperti kemampuan
Jiwa pada manusia sebagai tanda
adanya kehidupan, oleh karena itu jiwa dapat diartikan roh. Roh itu juga
dapat diartikan semangat, maka muncul istilah roh lemah atau kuat. Dengan
demikian roh atau jiwa diartikan:
a. Kekuatan yang menyebabkan hidupnya
manusia
b. Serta menyebabkan manusia dapat
berfikir, berperasaan dan berkehendak
Pada tinjauan umum jiwa dapat
disejajarkan dengan roh. Roh diartikan sebagai semanagat atau ciri khas
sesuatu yang hidup. Dapat diartikan sebagai faktor adanya kehidupan dan dapat
diartikan sebagai kesadaran segala apa yang telah, sedang dan akan diperbuat
Pada sisi lain dalam pembagian jiwa,
jiwa dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: bagian rasional terdapat pada
kepala, bagian keberanian dalam dada dan bagian terakhir bagian keinginan
yang berada di bawah sekat rongga badan[9]
Pada pembagian posisi ini, sesuai
dengan asal kejadian manusia. Apabila ia mengikuti bagian rasio berarti
mencoba memposisikan dirinya pada tempat yang tertinggi. Apabila ia
memposisikan dada berarti ia berada dalam pertengahan, keberanian berada
diantara pengecut dan nekat, arti pertengahan di sini adalah penuh dengan
pertanggung jawaban dan seterusnya
Nafsu
dan Ruh dalam Ajaran Islam
Seperti apa telah dipaparkan di atas,
nafsu sering berkonotasi buruk, seperti yang diungkapkan oleh kalangan
sufi ”nafs adalah sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan
perbuatannya”.[10] Sedangkan Ruh adalah
kehidupan, kenyataan yang ada dalam hati bernuansa lembut. Ia dapat naik
ketika ia dalam keadaan tidur dan akan kembali ketika manusia itu terbangun[11]
Sebelum membahas tentang asal-mula
nafs dan ruh, penulis menyikapi pendapat kalangan sufi yang mengartikan nafs
serba negatif, hal ini kurang tepat sebab dalam ayat-ayat al-Qur’an kata nafs
tidak hanya yang berhubungan dengan sesuatu yang serba ma’shiyat kepada Allah
seperti ketika Allah memanggil nafsu yang tenang dengan panggilan: Ya
ayyatuhannafsul muthma’innah irji’i ila Rabbiki radhiyatan mardiyyah fadkhuli
fi’ibadi, wadkhuli jannaty (hai jiwa yang tenang kembalilah engkau kepada
Tuhanmu ...) Untuk kembali kepada Allah adalah mereka yang telah suci, mereka
yang telah diridhai berarti telah diampuni segala dosa-dosanya, dan iapun
telah dikelompokan dalam hamba Allah berarti pengankuan, yang mengandung arti
diangkat kekudukannya, begitu juga mamsuk dalam sorga berarti tidak berdosa
lagi.
Setiap ciptaan Allah memiliki asalnya
masing-masing. Manusia berasal dari tanah. Malaikat diciptakan oleh Allah
berasal dari cahaya dan syaithan diciptakan berasal dari api Nafs digambarkan
sebagi ciptaan Allah yang paling egois, egois memiliki kesamaan dengan
perilaku syaithan. Maka kejadian nafsu dapat disimpulkan berasal dari api.
Berbeda dengan keberadaan ruh.
Digambarkan oleh Allah ketika meniupkan ruhNya kepada manusia dengan
pernyataan yang artinya: ”dan saya tiupkan ruh bagi manusia dariKu”. Ruh
tidak mungkin dapat diketahui oleh manusia secara detail. Hal ini telah Allah
nyatakan dalam firmanNya yang artinya: mereka bertanya kepadamu tentang ruh
dijawab oleh Allah, katakanlah bahwa ruh itu urusan Allah. Dan tidak Aku beri
ilmu kecuali kecuali hanya sedikit artinya serba terbatas
Pembagian nafsu
Nafsu yang terdapat dalam diri manusia terdiri dari:
Secara garis besarnya bahwa nafsu
dibagi menjadi dua yaitu: Nafsu yang taat melaksanakan perintah-perintah
Allah meninggalkan semua larangan-laranganNya. Kedua adalah nafsu yang
cenderung melawan ketentuan-ketentuan Allah, keinginan-kkeinginannya selalu
yang berlawanan
Nafsu Ammarah adalah bius akal,
apabila tentara akal lemah maka tentara syaitan menyerang dan apabila manusia
sedang marah syetan mempermainkannya laksana anak kecil mempermainkan bola[13]
Untuk mewujudkan jiwa yang baqa, dan
berada pada tempat yang mulia harus mampu menjaga kebersihannya seperti dalam
firman Allah dinyatakan Qad aflaha man tazakka sungguh
memperoleh kemenangan orang-orang yang selalu menjaga kebersihannya. Untuk
menjaga agar jiwa tetap bersih perlu adanya latihan. Setidaknya
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah pada semua umat manusia
seperti shalat lima waktu, zakat bagi yang mampu, puasa pada bulan ramadhan
dan pergi menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dalam menjaga nafs agar tetap pada
fitrahnya secara terperinci sebagai berikut:
1. Mengendalikan lidah, lebih baik diam
dari pada berkata-kata yang tidak baik. Pada mulut terdapat keutamaan dan
bahaya. Keutamaan misal dengan berbicara memperololeh keuntungan, seperti:
memberi nasihat kepada yang lebih muda, memberi peringatan kepada sesama dan
lain-lain. Bahaya dengan mulut ia akan menuai kemarahan orang disekitar
seperti berbicara berlebihan, melibatkan diri dalam perkara yang batil,
menggunjing dan lain-lain. Ada perumpamaan terpelesetnya kaki tidak akan
lebih berbahaya dibandingkan dengan terpelesetnya mulut akan menjadikan
kematian
2. Adab berbagai hubungan. Hubungan
dengan keluarga, hubungan dengan tetangga dan hubungan dengan sasama muslim.
Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa untuk menjaga keselamatan diutamakan
dalam pada diri sendiri, keluarganya dari api neraka, kedua siapa yang ingin
masuk sorga maka hormatilah tetangganya dan mewujudkan adanya persaudaraan
3. Hubungan dengan beragam manusia.
Islam tidak hanya mengatur intern ummat bahkan antar umat beragama. Dalam
urusan mu’amalah tidak ada batas selagi tidak ada larangan kecuali dalam
masalah ritual, Islam tegas-tegas tidak ada kerja sama. Sebagai muslim tidak
dipekenankan mengikuti tata peribadatan non Islam dan tidak diperbolehkan
mengganggu mereka
Kesimpulan
Dari uraian dai atas dapat
disimpulkan bahwa antara Nafsu dan Ruh seolah sama seperti nafsu dan ruh
sebagai tanda kehidupan, ia juga yang akan mempertanggungjawabkan segala apa
yang telah diperbuat nanti di akhirat. Nafs dan ruh pun memiliki kekekalan
dengan kata lain baqa.
Namun apabila diteliti secara cermat
antara ruh dan nafs mempunyai perbedaan asal-mula kedua. Nafs adalah ciptaan
Allah sedangkan ruh merupakan bagian dari Allah. Pada ruh Allah menyatakan ia
adalah bagian dariKu sedangkan nafs dipanggil oleh Allah kembalilah engkau
dan masuklah dalam sorgaKu.
Allah memnciptakan segala sesuatu
mengandung manfaat bagi manusia sekecil apapun apabila manusia mampu
memahaminya. Lebih dari itu nafs melekat pada diri manusia. Tidak
diperbolehkan dihilang dari diri manusia, ia harus tetap eksis
keberadaannya. Nafs laksana api bagi kehidupan alam raya ini, bagi manusia
sebagai motor penggerak dalam memenuhi kebutuhan manusia
DAFTAR PUSTAKA
An-Naisabury, Abul Qasim al-Qusyairy,
Risalah Qusyairiyah, Risalah Gusti, Surabaya, 1996
Bertens K., Sejarah Fiksafat Yunani,
Kanisius, 1999.,
Chaplin, J.P.., Kamus Lengkap
Psikologi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990
Hawwa, Sa’id., Mensucikan Jiwa,
Robban Press, Jakarta, 2001
Kattsoff. Louis, O, Pengantar
Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
Langeveld.MJ, Menuju ke Pemikirian
Filsafat, Pembangunan cet. ke I
Umary, Barmei , Materi Akhlak,
Ramadhani, Solo, 1991
Walgito. Bimo, Pengantar Psikologi
Umum, cet ke III., Andi Offset Yogyakarta, 1993
Yunus Mahmud, Kamus Bahasa Arab
Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1989.
[4] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, 1990 hal. 364
|
17 Oct 2012
Loading...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment