Status
Anak Zina
Ada sebuah kasus yang menimpa salah
seorang teman, yaitu istrinya melakukan perzinaan dengan seorang laki-laki.
Ketika dia hamil dan melahirkan seorang anak, perempuan tersebut minta cerai,
karena ingin menikah dengan pacar gelapnya yang telah berzina dengannya. Dia
mengatakan bahwa anaknya yang baru saja lahir adalah anak hasil perzinaan
dengan pacarnya, maka anak tersebut harus ia bawa. Bagaimana sebenarnya status
anak tersebut ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa perempuan
yang melakukan perbuatan zina dan hamil dibagi menjadi dua :
Pertama
: Dia
berstatus sebagai istri dari seorang suami yang sah, sebagaimana yang terjadi
pada kasus di atas. Jika perempuan tersebut hamil dan melahirkan, maka status
anaknya diikutkan kepada suaminya yang sah, dan bukan kepada laki-laki yang
berzina dengannya, walaupun anak tersebut wajahnya mirip dengan laki-laki yang
berzina. Kenapa ? karena air mani orang yang berzina tersebut tidak dihargai
dalam Islam, sehingga tidak diakui nasabnya.
Selain
itu, Islam ingin menutupi aib orang muslim jika hal itu memungkinkan, dan
sekaligus ingin menghargai anak manusia yang lahir, karena pada hakekatnya bayi
dari hasil perzinaan tersebut adalah makhluk yang tidak bersalah, yang
bersalah adalah orang yang berzina. Nah, untuk menutupi hal itu, maka bayi
tersebut diikutkan kepada pasangan suami istri yang telah terikat dalam
perkawinan yang sah. Dalilnya adalah hadist yang menyebutkan kisah anak yang lahir dari budak perempuan
milik Zam’ah bin Aswad yang ternyata pernah melakukan hubungan badan dengan
Utbah bin Abi Waqash. Utbah mewasiatkan kepada saudaranya Sa’ad bin Abi Waqash
untuk mengambil anak tersebut, karena anak tersebut sebenarnya adalah anaknya.
Tetapi Abdun bin Zam’ah merasa anak tersebut adalah saudaranya. Terjadilah
pertengkaran antara Sa’ad bin Abi Waqash ( saudaranya ‘Utbah ) dengan
Abdun bin Zam’ah. Berkata Sa’ad : “ Saudaraku bilang bahwa anak dari budak
milik Zam’ah ini adalah anaknya. Berkata ‘Abdun : “ Dia adalah saudaraku,
karena dia adalah anak bapakku karena lahir di atas kasur bapakku. Maka nabi
Muhammad saw bersabda kepada ‘Abdun : “ Itu adalah saudaramu wahai Abdun,
karena anak yang lahir tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang mempunyai
istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak
mendapatkan apa-apa, wahai Saudah ( binti Zam’ah ), kamu harus berhijab ketika
bertemu dengannya nanti.( karena wajah anak tersebut mirip dengan Utbah )
“ ( HR Bukhari 2533 )
Kedua :
Perempuan yang berzina tadi belum mempunyai suami dan belum berada dalam ikatan
perkawinan yang sah. Hal ini biasanya terjadi di kalangan para
mahasiswa-mahasiswiI dan para pelajar putra – putri yang hidup di daerah
perkotaan. Bagaimana status anak yang dikandungnya ? Apakah boleh diakui
sebagai anak keduanya setelah mereka berdua menikah atau anak tersebut tidak
boleh dinisbatkan kepada laki- laki yang menghamili ibunya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat
Pertama:
mengatakan bahwa status anak tersebut tetap sebagai anak zina tidak boleh
dinisbatkan sama sekali kepada laki-laki yang menghamili ibunya, antara
keduanya tidak boleh saling mewarisi, dan jika anak yang lahir tadi perempuan,
maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali nikahnya. Tetapi anak tersebut
dinisbatkan kepada ibunya yang melahirkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dalilnya adalah hadist Zam’ah di atas bahwa : “ anak itu dinisbatkan kepada suami yang mempunyai
istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak
mendapatkan apa-apa. “
Oleh
karenanya, jika laki-laki yang berzina dengan ibunya tadi ingin agar anak hasil
perzinaan tersebut diselamatkan dan tidak terlantar begitu saja, maka
dibolehkan baginya untuk merawat anak tersebut sebagaimana dia merawat anaknya
sendiri. Hanyasaja ketika pembagian warisan, anak tersebut tidak berhak
mendapatkan warisan. Tetapi, jika laki-laki tersebut ingin menghibahkan atau
mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak tersebut sebelum dia meninggal
dunia, maka hal tersebut dibolehkan.
Pendapat
Kedua
mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada laki-laki yang
menghamili ibunya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah ( Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa :
32/ 112, 113, 139 ). Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ishaq bin
Rahawih, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Sirrin, Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakh’I dan
lain-lainnya.( Al Baji, Al
Muntaqa : 6/ 11 , Ibnu Qudamah, Al Mughni : 6/ 266 )
Mereka
beralasan bahwa hadist Zam’ah di atas hanya berlaku bagi perempuan yang
mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, sehingga perempuan tersebut
disebut firasy ( tempat tidur ) bagi suaminya. Tetapi lain halnya, jika
perempuan tadi tidak mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, maka dia
tidak disebut firasy.
Dengan demikian hadist di atas tidak berlaku pada perempuan semacam ini.
Selain
itu, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tujuan dinisbatkan anak zina
tadi kepada suami yang sah, adalah untuk menutupi aib dan mengangkat derajat
anak yang mungkin dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut. Nah, ternyata
perempuan tersebut pada waktu dia berzina tidak mempunyai suami yang sah,
sehingga anak hasil perzinaan tersebut mau dinisbatkan kepada siapa ? kalau
kepada ibunya tentunya nasib anak itu akan menggantung di masa mendatang karena
tidak mempunyai bapak, dan orang lainpun lambat laun akan mengetahui bahwa anak
tersebut adalah anak zina, dengan demikian aib tersebut akan terbongkar dan
mencorengnya serta mencoreng ibu yang melahirkannya, padahal barangkali ibu
tersebut sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Jika dikemudian hari ternyata
laki-laki dan perempuan yang berzina tersebut telah bertaubat dan menikah, maka
pernikahan mereka berdua adalah sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I,
sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian timbul
pertanyaan, apakah salahnya anak tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang
sekarang sudah menjadi suami ibunya, sedangkan tidak ada satupun dari pihak
lain yang mengklaim bahwa anak tersebut adalah anaknya.
Pendapat
ini dikuatkan dengan Atsar Umar bin Khattab, bahwa beliau menisbatkan anak-anak yang dilahirkan pada waktu
jahiliyah kepada siapa yang mengakuinya ketika mereka sudah masuk Islam (
Atsar Riwayat Imam Malik di dalam al- Muwatho’, no : 1426, Baihaqi, no
:21799, Berkata Syekh Al Bani di dalam Irwa’ Ghalil : 6/ 25 : orang-orang yang
meriwayatkan atsar ini bisa dipercaya, karena telah mereka telah meriwatkan
hadist-hadist di dalam shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja sanadnya terputus,
karena Sulaiman bin Yasar tidak bertemu dengan Umar, akan tetapi tersambung
dari jalan lain )
Kesimpulan: dari pembahasan di atas,
bahwa anak yang lahir dari perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang masih berada dalam ikatan perkawinan resmi, maka statusnya
dinisbatkan kepada suami yang sah dari perempuan yang berzina tersebut. Sedang
jika perempuan yang berzina tersebut tidak sedang dalam ikatan perkawinan sah
dengan seorang laki-laki, maka status anak dari hasil perzinaan tersebut masih
diperselisihkan para ulama : mayoritas ulama mengatakan bahwa anak tersebut
dinisbatkan kepada ibunya, sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa
anak tersebut boleh dinisbatkan kepada lelaki yang berzina dengan ibu yang
melahirkannya. Wallahu A’lam.
0 comments:
Post a Comment