Perbandingan
Hukum Pidana Indonesia Dengan Saudi Arabia
Makalah Ini
Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Yang Diampu Oleh Ibu
Endang Yulianti, SH, MH
DISUSUN OLEH:
MISBAHUL
HUDA
FAKULTAS
SYARI’AH/HUKUM ISLAM (FSHI)
UNIVERSITAS
SAINS AL-QUR’AN(UNSIQ)
JAWA
TENGAH DI WONOSOBO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbandingan sistem hukum pidana di Indonesia
dengan Saudi Arabia sangat berbeda. Di Indonesia
terjadi Pluralisme hukum yang di sebabkan karena adanya berbagai jenis suku,
adat kebudayaaan, dan bahasa. Kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia
menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat
diterapkan dalam hal tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada
kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan
bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya. Kendala
besar dalam menghadapi pluralisme hukum adalah kepastian hukum
untuk menegakan keadilan. Dengan demikian sistem hukum di
Indonesia masih menganut pluralisme hukum dan yang lebih
dominan menganut mazhab legisme dalam penemuan
hukum pidana Indonesia.
Sedangkan sistem hukum pidana Saudi
Arabia adalah hukum pidana islam tradisional sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an,
hadits, dan kitab-kitab fiqh yang materinya mencakup hudud qisas/diyat, ta’zir dan
pidana rajam sudah diganti dengan eksekusi pidana mati.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
disajikan penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana perbandingan hukum pidana
antara Indonesia dan Saudi Arabia?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk
mengetahui perbandingan hukum pidana antara Indonesia dan Saudi Arabia.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan
penulis dalam penyusunan makalah ini adalah :
Bab I Pendahuluan, yang
terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan masalah
Bab II Pembahasan
, yang
akan dibahas mengenai :
A. Sistem peradilan pidana di Indonesia :
1.
dasar-dasar hukum pidana di Indonesia
2. acara persidangan
pidana di Indonesia
3.
macam-macam sanksi hukuman pidana di Indonesia
B. Sistem peradilan pidana di Saudi Arabia
1.
dasar-dasar hukum pidana di Saudi Arabia
2.
acara persidangan di Saudi Arabia
3.
macam-macam sanksi hukuman pidana di Saudi Arabia
Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan
menguraikan mengenai kesimpulan.
Daftar Pustaka
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHLUAN
A.
Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B. Tujuan......................................................................................................... 1
C. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
D. Sistematika
Penulisan................................................................................. 1
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem peradilan pidana di Indonesia........................................... 4
1.
Dasar-dasar hukum pidana di Indonesia...................................... 4
2. Acara persidangan
pidana di Indonesia....................................... 4
3.
Macam-macam sanksi hukuman pidana di Indonesia................. 7
B. Sistem peradilan pidana di Saudi Arabia.................................... 9
1.
Dasar-dasar hukum pidana di Saudi Arabia................................ 9
2.
Acara persidangan di Saudi Arabia.............................................. 12
3. Macam-macam sanksi hukuman pidana
di Saudi Arabia.......... 13
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 16
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SISTEM
PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
1. DASAR-DASAR HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Sistem peradilan Indonesia
berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari
negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga
setengah abad.
Walaupun bertumpu pada sistem
Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu
hukum pidana acara dan hukum pidana materil. Hukum
pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan
hukum pidana materil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat
kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
2. ACARA PERSIDANGAN PIDANA DI INDONESIA
1) Penyelidikan
Merupakan suatu rangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya penyidikan lebih lanjut.
2) Penyidikan
Suatu rangkaian tindakan penyidik
untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti, dengan bukti tersebut membuat
terang tentang kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
2) Penuntutan
Tindakan JPU untuk melimpahkan
perkara pidana ke PN yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa oleh hakim di
sidang pengadilan.
3) Sidang pengadilan :
a. Dakwaan
Surat dari Penuntut Umum yang
menunjuk atau membawa suatu perkara pidana ke pengadilan apabila cukup alasan
untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka yang memuat peristiwa-peristiwa
dan keterangan-keterangan mengenai Locus serta Tempus dimana perbuatan tersebut
dilakukan, dan keadaan-keadaan terdakwa melakukan perbuatan tersebut, terutama
keadaan yang meringankan dan memberatkan kesalahan terdakwa.
b. Ekspesi / tangkisan / keberatan
Alat pembelaan dengan tujuan utama
untuk menghindarkan diadakannya putusan tentang pokok perkara, karena apabila
eksepsi ini diterima oleh PN, maka pokok perkara tidak perlu diperiksa dan
diputus.
c. Keterangan saksi dan keterangan
ahli
1.
Keterangan saksi adalah keterangan
yang diberikan di muka persidangan mengenai apa yang saksi lihat dan dengar
sendiri
2.
Keterangan (saksi) ahli/Espertise
adalah keterangan pihak ketiga yang objektif untuk memperjelas dan member
kejernihan dari perkara yang disidangkan serta untuk menambah pengetahuan hakim
dalam penyeesaian perkara. Keterangan ahli diberikan sesuai dengan keahlian
dari ahli tersebut
·
Seluruh keterangan saksi dan
keterangan {saksi ahli di muka persidangan berada di bawah sumpah (alat bukti
yang sah)}
Keterangan terdakwa adalah apa yang
terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia alami dan ia ketahui sendiri
d. Requisitoir /tuntutan jaksa
Tuntutan JPU sebagai kesimpulan
pemeriksaan dimuka persidangan yang diajukan setelah smua saksi dan ahli-ahli
didengar serta surat-surat yang berguna sebagai alat bukti dibacakan dan
dijelaskan kepada terdakwa.
e. pledoi /pembelaan jaksa
Setelah JPU membacakan requisitoirnya
maka terdakwa / penasehat hukumnya mengajukan pledoinya.
f. replik jaksa dan duplik terdakwa
/ penasehat hukum
- Replik JPU
1.
Setelah pembelaan/pledoi penasehat
hukum dibacakan, maka JPU diberikan kesempatan oleh hakim untuk mengajukan
replik secara tertulis.
2.
Replik tersebut diserahkan kepada
Hakim Ketua sidang dan turunannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
- Duplik Terdakwa / Penasehat Hukum
1.
Duplik ini diajukan secara tertulis
dan dibacakan oleh pansehat hukum dipersidangan terhadap replik JPU.
2.
Duplik tersebut diserahkan kepada
Hakim Ketua sidang dan turunannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
g. putusan majelis hakim
Menurut KUHAP ada 3 (tiga) macam putusan pengadilan,
yaitu :
1.
Putusan yang mengandung pembebasan
terdakwa (vrijspraak).
2.
Putusan yang mengandung pelepasan
terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtvervolging).
3.
Putusan yang mengandung penghukuman
terdakwa.
4) Upaya Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
·
Upaya Hukum :
Hak terdakwa atau penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama.
·
Latar belakang daripada upaya hukum
:
Karena putusan itu tidak luput dari
kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil memihak, oleh karena itu demi
kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang
agar kekeliruan putusan tersebut dapat diperbaiki.
·
Upaya hukum biasa :
1) Naik Banding (revisi) ke
Pengadilan Tinggi (PT)
Upaya hukum terhadap
Pengadilan Tingkat ke 2 (dua)/Pengadilan Tinggi (PT) yang mengulangi
pemeriksaan baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan hukum atau
undang-undangnya.
2) Kasasi (Pembatalan) ke Mahkamah
Agung (MA)
Upaya hukum yang dilakukan ke
Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain.
·
Upaya Hukum Luar Biasa
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum,
yaitu
Terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain MA, dapat diajukan
Kasasi oleh Jaksa Agung.
2) Peninjauan Kembali (PK) Putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
terhadap putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK ke MA.
3. MACAM-MACAM SANKSI/HUKUMAN PIDANA DI INDONESIA
Mengenai hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam
hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :
Ø Hukuman-Hukuman Pokok
1.
Hukuman mati, tentang hukuman mati
ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini,
seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih diberlakukan
untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman
ini.
2.
Hukuman penjara, hukuman penjara
sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.
Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam
penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam
maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
3.
Hukuman kurungan, hukuman ini
kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena
kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih
antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan
hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan
diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman
penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada
terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus
dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol
(hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.
4.
Hukuman denda, Dalam hal ini
terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan
pengganti denda adalah 6 Bulan
5.
Hukuman tutupan, hukuman ini
dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Ø Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat
dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok,
hukuman tambahan tersebut antara lain :
1)
Pencabutan hak-hak tertentu.
Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:
Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan
hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam
undang-undang umum lainnya, ialah
1.
Menjabat segala jabatan atau jabatan
tertentu;
2.
Masuk balai tentara;
3.
Memilih dan boleh dipilih pada
pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum;
4.
Menjadi penasehat atau wali, atau
wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya
sendiri;
5.
Kekuasaan bapak, perwalian ,dan
pengampuan atas anaknya sendiri;
6.
Melakukan pekerjaan tertentu;
Hakim berkuasa memecat seorang
pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk
pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.
2) Penyitaan
barang-barang tertentu.
Karena suatu putusan perkara
mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil
kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil
kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan
kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang
kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja
telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.
(2) Dalam hal
menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena
melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal
yang telah ditentukan oleh undang-undang.
(3) Hukuman
perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang bersalah yang oleh hakim
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.
3) Pengumuman
keputusan hakim.
Hukuman tambahan ini dimaksudkan
untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat
umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim
dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si
terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam
putusan (Pasal 43 KUHP).
B. SISTEM PERADILAN SAUDI ARABIA
1. DASAR-DASAR HUKUM SAUDI ARABIA
Syariat Islam adalah hukum dan
aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim
mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi
penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Oleh sebagian penganut Islam,
Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan
hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Terkait dengan susunan tertib
Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan
RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat
dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum
menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri
ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah ayat
101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang
dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada
Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut
sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk
dalam kategori Furu' Syara'.
·
Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan
jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits, kedudukannya sebagai Pokok
Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu
Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan
Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama
Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak
mentaati Syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan
yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak
diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam
memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu
berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.
Hukum Syara’ adalah sesuatu
yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang
penetapannya dengan cara tuntutan (thalab),
bukan pilihan (takhyir), atau wadha’. Contoh hukum syara’, dari
beberapa firman Allah dalam Al-Quran.
1) Firman Allah
swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20].
Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang
menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.
2) Firman Allah
swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini
menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan
hukum haram berbuat zina.
3) Firman Allah swt.,
“Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS.
Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari
ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau
tidak.
Wadha’ adalah
sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi
pencegah terhadap yang lain. Misalnya,
a) Perintah Allah
swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah
(5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap
hukum potong tangan.
b) Bersabda
Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.”
Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.
c) Sabda Rasulullah
saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits ini menunjukkan bahwa
pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh.
Dari keterangan-keterangan di
atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu Hukum
Taklifi dan Hukum Wadh’i.
1) Hukum taklifi
Hukum
taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk
berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan
meninggalkan. Contoh:
a) Hukum
yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta
mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
[QS. Al-Imran (3): 97].
b) Hukum
yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok
kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai,
darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
c) Hukum
yang menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS.
An-Nisa' (4): 101].
Hukum
taklifi terbagi
menjadi dua, yaitu ;
1. Azimah adalah
suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur.
Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir.
2. Rukhshah adalah
suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti
shalatnya orang musafir.
Sumber-sumber Hukum islam :
a) Al-Qur'an
Al-Qur'an
sebagai kitab suci umat
Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS
34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas
Pertama Syara'. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari
serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya
memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun
tidak ada yang saling bertentangan.
b) Al Hadist
Al hadist
adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai
sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber
hukum di bawah Al-Qur'an.
c) Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk
menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan
setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada
beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak
bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain :
·
Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau
tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al
Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at
Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /perundangan yang berlaku dalam
wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk
dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
2. ACARA PERSIDANGAN DI SAUDI ARABIA
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya
ada satu hakim yang bertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia
memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau
membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada sistem dewan juri dalam
Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang
yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan
mungkin pelaku kriminal itu sendiri. Hukuman-hukuman dalam Islam hanya bisa
dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi
yang relevan dapat ditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan),
jika masih ada keraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus
akan
dibuang.
dibuang.
Ada 3 macam hakim dalam Islam,
yaitu:
1. Qodli ‘Aam:
bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah
masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-
kecelakaan, dsb.
masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-
kecelakaan, dsb.
2. Qodli Muhtasib:
bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara
ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3. Qodli Madzaalim:
yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat
memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al
Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang
membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan (Islam),
setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan
orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy).
Tidak ada perbedaan antara
pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di
negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hukum Islam dan
sebagian hukum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan
sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu
yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan
dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.
Tidak seorangpun akan dihukum
kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat) penyiksaan
tidak diperbolehkan. Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu
kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi
(misal qishas) untuk suatu tindak
kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah. Hukum potong tangan
dalam Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
1. Ada
saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya).
2. Nilai
barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3. Bukan
berupa makanan (jika pencuri itu lapar).
4. Barang
yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
5. Barangnya
halal secara alami (misal: bukan alkohol).
6. Dipastikan
dicuri dari tempat yang aman (terkunci).
7. Tidak
diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil
misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam
diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri,
kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi.
Setiap orang berhak menempatkan
pemimpinnya di pengadilan, berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah
melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika seorang wanita
pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan
Umar tentang nilai mahar.
Kehormatan seorang warga negara
dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang
belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat
pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.
3. MACAM-MACAM SANKSI HUKUMAN PIDANA DI SAUDI ARABIA
Ada 4 kategori hukuman dalam sistem
peradilan Islam, yaitu:
1) Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan
zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati).
2) Al Jinayat.
Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan,
kejahatan fisik.
kejahatan fisik.
3) At Ta’zir.
Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum
sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
4) Al Mukhalafat.
Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal
melanggar batas kecepatan.
BAB III
PENUTUP
Dari paparan di atas dapat disimpulkan diantaranya
:
1.
Bahwa sistem hukum pidana di Indonesia
berasal dari KUHP yang berasal dari Belanda, sedangkan negara Saudi
Arabia berasal dari ijtihad Hadits dan Al Qur’an.
2.
Sistem peradilan Indonesia mengenal
adanya upaya hukum dan Saudi Arabia tidak ada.
3.
Sanksi pelaku dalam tindak pidana di
Indonesia fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman,
karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah
sesuai dengan keperluan. Sedangkan sistem hukum pidana di Saudi
Arabia harus sesuai dengan sumbernya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta : 2008).
Prof.
Moeljatno, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit
Bumi Aksara.
Jurnal prof. Prof. Erman Radjaguguk,
SH,LLM,Ph.D. Pluralisme Hukum Harus di akui.
http://www.google.com
0 comments:
Post a Comment