Loading...
1 Jan 2013

LAFADZ AL MUTHLAQ DAN AL MUQAYYAD

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
LAFADZ AL MUTHLAQ DAN AL MUQAYYAD

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam mengkaji Islam, salah unsur yang sangat penting digunakan sebagai pendekatan adalah Ilmu Ushulul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah, yang diperoleh melalui dalil-dalil secara rinci. Melalui kaidah-kaidah ushul fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Dengan ushul fiqh dapat dicarikan solusi untuk menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan kontradiksi satu sama lain.

Dengan adanya perangkat ushul fiqh maka syari'at Islam akan membuktikan dirinya sebagai syari'at yang akan berlaku sepanjang masa, dan tidak akan hilang ditelan zaman. Demikian pula syari'at Islam akan cocok diamalkan oleh segala etnis dan bangsa apa saja di dunia ini. Karena ruh dari ushul fiqh adalah fleksibilitas dan kemudahan.
Diantara kaidah-kaidah ushul fiqh yang penting diketahui adalah Lafadz Al Muthlaq dan Al Muqayyad.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa masalah yang perlu dibahas, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan al muthlaq dan al muqayyad ?
2. Bagaimana hukum al muthlaq dan al muqayyad ?
3. Membawa al muthlaq kepada al muqayyad, dan apa saja syarat-syaratnya?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafadz Al Muthlaq dan Al Muqayyad
1. Pengertian Lafadz Al Muthlaq
Apabila kita selidiki secara seksama tentang keadaan tiap-tiap lafadz yang dipandang dari segi dibatasinya atau tidak lafadz itu, maka ada yang keadaannya bebas dan tidak dibatasi penggunaannya oleh hal lain (muqayyad). Hal-hal yang membatasi lafadz itu disebut Al-Qayd. Oleh karena itu, berbicara tentang muthlaq terkait pula masalah muqayyad dan Al-Qayd.
Kata muthlaq secara bahasa, berarti lawan muqayyad (tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu). Secara istilah, lafadz muthlaq didefinisikan sebagai lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
Contoh lafadz muthlaq dalam nash ( Al Qur'an) dapat diamati dari lafadz raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58:3:

 وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat "maka merdekakanlah seorang budak" mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz muthlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah.
Contoh lafadz muthlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat al-Nisaa, 4: 43 :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ


Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah
 menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.

Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas dalam tayammum itu harus mengusap tangan dengan debu dan tidak dibatasi bagian mana saja asalkan bagian tangan.
Dilihat secara sepintas lafadz muthlaq mirip dengan lafadz 'aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafadz 'amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafadz muthlaq bersifat badali (menggantikan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafadz ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini :

1. Firman Allah dalam surat Hud, 11:6 :

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafadz 'amm yang bersifat syumuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafadz ini umum karena bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman dalam ayat itu (menafikan sesuatu). Apabila lafadz 'amm pada ayat ini ditakhsis, bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman lafadznya. Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafadz 'amm bersifat syumuli.
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:67:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".

Dari ayat ini diketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafadz muthlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafadz muthlaq ini meliputi bermacam afrad. Apabila lafadz muthlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya, sebagai cakupan dari lafadz muthlaq tersebut, tidak berlaku lagi.

2. Pengertian Lafadz Al Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, Syekh Al Utsaimin mendifinisikan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain". Sementara Firdaus mengutip pendapat Abdul Karim Zaidan bahwa "muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu". Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (Seorang laki-laki asal Irak), dan raqabah mu'minah (hamba sahaya yang beriman).
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Firdaus dalam Ushul Fiqh bahwa: "pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya." Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa', 4:92 :

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu mu'minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yag membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89 :

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dalam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru boleh dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187 :

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).

B. Hukum Al Muthlaq dan Al-Muqayyad

1. Hukum Al Muthlaq

Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash harus diamalkan sesuai dengan kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan sebagai muqayyad, karena mengamalkan nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah hukumnya wajib seperti apa yang dituntut oleh nash-nash tersebut sampai ada dalil yang berbeda dengan dengan hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, muthlaq adalah qath'i al-dalalah. Misalnya surat al-Mujadilah, 58:3:

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur……
Lafadz raqabah (budak) dalam ayat ini disebut secara muthlaq tanpa membedakan antara budak beriman atau kafir.
Adapun ayat yang mentaqyid ayat tersebut adalah pada surat Al-Nisa', 4:92, Allah menggunakan lafadz raqabah juga,

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Karena itu yang dimaksud budak ketika mendzihar isteri adalah budak yang beriman.
Apabila ada dalil sebagai taqyid (pembatas) dari dalil yang muthlaq, diamalkan sesuai dengan taqyid-nya, seperti firman Allah surat al-Nisa', 4:11:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya.

Kata washiyah yang terdapat pada ayat ini adalah muthlaq, tanpa ada taqyid dari ayat lain tentang jumlah wasiat itu, apakah seperempat, setengah atau sepertiga. Taqyid dari kemuthlaqan lafadz washiyah pada ayat ini ditemukan dalam hadits Nabi saw. Hadits seandainya seseorang mengurangi wasiat dari sepertiga menjadi seperempat? Nabi saw menjawab:

الثلث و الثلث كثير

Rasulullah saw. Bersabda : Sepertiga, dan sepertiga itu banyak (HR. Muttafaq Alaih).
2. Hukum Al Muqayyad

Dalam pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum wajib mengamalkan muqayyad. Misalnya, firman Allah pada surat al-Mujadilah, 58:4:

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.

Berdasarkan ayat ini kewajiban melakukan puasa selama dua bulan pada ayat tentang kaffarat zhihar diatas ditaqyidkan dengan cara berturut-turut dan harus dilakukan sebelum suami isteri bercampur. Sehubungan dengan itu, tidak boleh puasa dua bulan tersebut dilakukan dengan tidak berturut-turut dan tidak boleh dilakukan sesudah bercampur.
Ahli ushul fiqh menetapkan bahwa lafadz muqayyad tidak tetap sebagai muqayyad apabila ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Misalnya, pada firman Allah surat al-Nisa', 4:23 yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dikawini, seperti di bawah ini:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ 

Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri.

Pada ayat ini terdapat lafadz rabaaibukum (anak tirimu) yang merupakan lafadz muthlaq yang diberi batasan dengan dua hal, yaitu : allati fi hujuurikum (yang berada dalam pemeliharaanmu) dan 'allati dakhaltum bihinaa (yang ibunya telah dicampuri). Batasan lain, yaitu ibunya yang telah dicampuri, tetap diamalkan, selama ibunya belum dicampuri. Apabila sudah dicampuri, hukumnya haram.
Adanya batasan dalam ayat tersebut dengan "yang berada dalam pemeliharaanmu", bukanlah batasan yang dapat dipegang untuk mengharamkan kawin dengan anak tiri. Batasan itu hanya sekedar menunjukkan kebiasaan bahwa anak tiri ikut ibu kandungnya sendiri dan dipelihara ayah tirinya, sebagaimana juga anak tirinya ikut dan dipelihara ayah kandungnya sendiri. Dengan demikian, ayah tiri yang telah mencampuri ibunya, haram kawin dengan anak tirinya baik yang dipelihara oleh ayah tirinya ataupun tidak.

C. Membawa Al Muthlaq kepada Al Muqayyad
Apabila ada lafadz dalam suatu nash disebut secara muthlaq dan ada pula nash lain dalam bentuk muqayyad, maka untuk menyelesaikannya dapat dilihat dari empat bentuk, yaitu :
1. Hukum dan sebab yang terkandung dalam muthlaq dan muqayyad adalah sama. Tegasnya, ada kesamaan hukum dan sebab yang menimbulkan hukum pada dua nash berbeda. Dalam kaitan ini, ulama ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa nash muthlaq harus dibawa kepada nash muqayyad sehingga pemahaman terhadap nash itu sesuai dengan ungkapan muqayyad. Umpamanya, firman Allah surat al-Maidah, 5:3:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi

Lafadz al-damm (darah) pada ayat ini merupakan lafadz muthlaq karena tanpa membedakan antara darah mengalir dengan yang tidak mengalir. Dalam kesempatan lain, Allah berfirman pada surat al-An'am, 6:145:

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi

Kata al-damm dalam ayat ini dikatikan dengan sifat masfuuha (mengalir). Kedua ayat ini mengandung hukum yang sama, yaitu haram. Begitu pula dengan sebab yang terdapat pada kedua ayat tersrebut sama, yatu haramnya darah karena mendatangkan mudharat. Mengingat sama hukum dan sebabnya, maka untuk ayat muthlaq yang terdapat pada surat al-Maidah, 5:3 diberlakukan ketentuan muqayyad dalam surat al-An'am, 6:145. Atas dasar ini, darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir, bukan darah yang masih tersisa dalam daging dan hati.
2. Hukum dan sebab yang terkandung dalam muthlaq dan muqayyad berbeda. Dalam hal ini, ada dua nash yang masing-masing terdiri dari nash muthlaq dan nash muqayyad. Antara kedua nash ini berbeda hukum dan sebabnya. Ulama ushul fiqih sepakat menetapkan bahwa masing-masing nash dipahami secara tersendiri. Misalnya, firman Allah pada surat al-Maidah, 5:38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.

Dalam surat al-Maidah, 5:6, Allah berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,

Kata aidiya (tangan) yang terdapat pada surat al-Maidah, 5:38 merupakan muthlaq. Sementara kata aidya pada ayat ke dua adalah muqayyad yang dikaitkan dengan kata ila al-marafi' (sampai ke siku). Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini pun berbeda. Ayat pertama terkait dengan hukum potong tangan, sedangkan ayat kedua terkait dengan keharusan membasuh tangan. Sebab berlakunya hukum pada kedua ayat tersebut juga berbeda. Pada ayat pertama karena pencurian, sedangkan sebab pada ayat kedua adalah berwudhu' untuk pelaksanaan shalat.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak boleh memberlakukan nash muqayyad (sampai siku) terhadap nash muthlaq. Tegasnya, tidak boleh memotong tangan sampai siku terhadap pelaku pidana pencurian berdasarkan taqyid ayat yang kedua di atas, karena hukum dan sebab pada kedua ayat berbeda.
3. Antara nash muthlaq dan muqayyad mempunyai hukum yang berbeda, sedangkan sebabnya sama. Misalnya firman Allah yang terdapat pada surat al-Maidah 5:6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,

Ayat ini menjelaskan tentang membasuh tangan sampai siku dalam bentuk muqayyad. Pada lanjutan ayat ini Allah berfirman :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

Ayat ini memerintahkan menyapu tangan ketika melakukan tayammum. Kata tangan di sini merupakan bentuk muthlaq. Hukum yang terdapat pada kedua ayat ini berbeda, yaitu muthlaq untuk kewajiban menyapu tangan dalam tayammum, sedangkan pada muqayyad adalah kewajiban membasuh tangan dalam berwudhu'. Sebab dalam kedua ayat adalah sama, yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat.
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam membawakan lafadz muthlaq kepada muqayyad. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz muthlaq harus dibatasi dengan muqayyad. Dalam contoh di atas, ketika tayammum yang disapu tangan sampai siku. Sementara Abu Hanifah berpendapat lafadz muthlaq dan muqayyad, masing-masing diterapkan secara independen. Atas dasar ini, cukuplah menyapu tangan dalam tayammum sampai kedua pergelangan tangan.
4. Ada dua nash muthlaq dan muqayyad yang hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Mujadilah, 58:3:

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.

Dalam ayat kaffarat zhihar di atas, lafadz raqabah dikemukakan dalam bentuk muthlaq. Sementara pada surat al-nisa', 4:92, Allah menggunakan lafadz raqabah juga :

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Dalam ayat ini, lafadz raqabah dikaitkan dengan sifat mu'minah. Sementara sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat di atas berbeda, pada lafadz muthlaq yang pertama berkaitan dengan kasus kaffarat zhihar, sedangkan pada muqayyad ayad kedua dalam kasus pembunuhan yang tidak sengaja. Hukum dalam kedua ayat ini sama yaitu kewajiban memerdekakan budak.
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam menanggungkan muthlaq atas muqayyad bentuk ini,. Jumhur ulama berpendirian bahwa muthlaq ditanggungkan (dipahami menurut arti) kepada muqayyad. Jadi, budak yang dimerdekakan dalam kaffarat zhihar adalah budak beriman. Kalangan Hanafiyyah berpendapat lafadz muthlaq tidak dapat dipahami menurut muqayyad. Lafadz muthlaq mesti diamalkan menurut kemuthlaqannya, yaitu untuk sanksi zhihar yang dimerdekakan adalah budak, baik mukmin atau tidak. Sedangkan lafadz muqayyad diamalkan sesuai dengan qayyid-nya, yaitu untuk kaffarat pembunuhan yang tidak sengaja, sanksinya memerdekakan budak yang mukmin.

Syarat-syarat Membawa Al Muthlaq kepada Al Muqayyad
1. Bahwa yang taqyid merupakan sifat dari suatu zat. Syarat ini ditetapkan Syekh abu Hamid al-Asfaraniy (344-405 H, ahli ushul mazhab Syafi'), al-Mawardi (364 H-450 H, ahli fiqih dan ushul fiqiih mazhab Syafi'i), al-Rubaniy, al-Abhari (ulama mazhab Malikiyyah), ibn Khairan al-Syafi'i.
2. Muthlaq tersebut hanya satu, seperti syarat adil bagi para saksi. Syarat ini dikemukakan Abu Mansur al-harisi, Abu Ishaq al-Syairazi (393-476 H, ahli ushul mazhab Syafi'i), al-Mawardi dan al-Qadhi Abd al-Wahhab (ahli ushul mazhab Malki).
3. Muthlaq itu dalam konteks amar, bukan nafi dan nahi. Syarat ini dirumuskan oleh al-Amidi (Amid-Turki, 551 H-Damaskus, 631 H; ahli ushul mazhab Syafi'i), dan ibn al-Hajib (570-646 H, ahli ushul mazhab Maliki). Menurut al-Razi dan al-Asfahani membawa muthlaq kepada muqayyad tidaklah mesti sebatas amr saja, tetapi juga meliputi nahi dan bentuk-bentuk lainnya.
4. Muthlaq tersebut tidak dalam persoalan-persoalan mubah.
5. Antara muthlaq dan muqayyad tidak dapat dipertemukan kecuali dengan membawa muthlaq kepada muqayyad.
6. Sesudah penyebutan lafadz muthlaq tersebut tidak diiringi dengan penyebutan lafadz muqayyad.
7. Tidak ada dalil yang menghalangi pen-taqyid-an muthlaq tersebut.

III. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Lafadz Al Muthlaq ialah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya tanpa qayd (dibatasi) oleh suatu hal yang lain.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan lafadz al-muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan (adanya) qayd (pembatasan) oleh suatu hal yang lain.
3. Adapun perbedaan antara muthlaq dengan muqayyad, bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafadz raqabah yang terdapat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 adalah bentuk muthlaq karena itu tidak diikuti sifat apapun. Jadi, apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.
4. Mengamalkan nash-nash yang lafadznya muthlaq dan muqayyad hukumnya wajib
5. Muthlaq dapat saja dibawa kepada muqayyad dengan beberapa syarat

Wallahu Ta'ala A'lam


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al- Karim dan Terjemahannya Ke Dalam Bahasa Indonesia (Di bawah Pengawasan Perwakilan Bagian Percetakan dan Penerbitan Pada Kementrian Agama, Wakaf, Da'wah, Dan Bimbingan Islam Riyadh Kerajaan Saudi Arabia)

Al Utsaimin, Muhammad Bin Shalih, AlUshul Min Ilmi al-Ushul,Cet. III ; Beyrut: Muassasah Ar Risalah dan Riyadh: Maktabah Ar Rasyad, 1406H-1986M

Umam, Khaerul dan Amiruddin, Achyar, Ushul Fiqih II ,Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, Juni 2001

Firdaus, Ushul Fiqh ,Cet.I; Jakarta: Zikrul Hakim, Dzulqaidah 1425-Desember 2004

Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-KaidahHukum Islam, Cet. VII; Jakarta: Rajawali Press, Juli 2000.

Najmuddin Abir Rabi' Sulaiman ibn Abdil Qawy ibn Abdil Karim ibn Sa'id Ath Thawwuffii, Syarh Mukhrshar al-Rawdhah Juz II, Cet. Thn 1419H-1998M.


0 comments:

 
TOP