Loading...
1 Jan 2013

Hukum dan Perubahan Sosial

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada dewasa ini merupakan suatu gejala yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat kebagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain kejadian yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain yang bertempat tinggal jauh dari pusta terjadinya peristiwa tersebut di atas. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Oleh karena luasnya bidang di mana mungkin terjadi perubahan-perubahan tersebut, maka peruabahan-perubahan tadi sebagai proses hanya akan dapat diketemukan oleh seseorang yang sempat meneliti dari kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu dan kemudian membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat untuk menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia, misalnya, akan berpendapat bahwa masyarakat desa tersebut tidak maju dan bahkan tidak berubah sama sekali. Pernyataan tersebut di atas biasanya didasarkan atas suatu pandangan sepintas lalu yang kurang teliti serta kurang mendalam, oleh karena tidak ada suatu masyarakatpun yang berhenti pada suatu titik tertentu di dalam perkembangannya sepanjang masa. Sulit untuk menyatakan bahwa masih banyak masyarakat-masyarakat desa di Indonesia yang masih terpencil.
Para sarjana sosiologi pernah mengadakan suatu klasifikasi antara masyarakat yang statis dengan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dimana terjadinya perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali, sedangkan perubahan-perubahan tadi berjalan dengan lambat. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat yang mengalami pelbagai perubahan-perubahan yang cepat. Memang, setiap masyarakat pada suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lainnya dianggap sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan belaka, akan tetapi dapat pula berarti suatu kemunduran dari masyarakat yang berangkutan yang menyangkut bidang-bidang tertentu.
Sebagai suatu pedoman menurut Selo Soemarjan (1962:379), bahwa kiranya dapatlah dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari perumusan tersebut kiranya menjadi jelas bahwa tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga sosial sebagai himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial

Apabila ditelaah dengan lebih mendalam perihal yang menjadi sebab terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat, maka pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa faktor yang dirubah mungkin secara sadar, mungkin pula tidak ~ merupakan faktor yang dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Adapun sebabnya masyarakat merasa tidak puas lagi terhadap suatu faktor tertentu adalah mungkin karena ada faktor baru yang lebih memuaskan, sebagai pengganti faktor yang lama. Mungkin juga bahwa perubahan diadakan oleh karena terpaksa diadakan penyesuaian diri terhadap faktor-faktor lain yang telah mengalami perubahan-perubahan terlebih dahulu.
Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan-perubahan sosial dapat bersumber pada masyarakat-masyarakat itu sendiri, dan ada yang letaknya di luar masyarakat tersebut, yaitu yang datangnya sebagai pengaruh dari masyarakat lain, atau dari alam sekelilingnya. Sebab-sebab yang bersumber dari pada masyarakat itu sendiri adalah antara lain, bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan dan terjadi revolusi. Suatu perubahan sosial dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat tersebut misalnya sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam, peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, dan sebagainya.
Di samping faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya perubahan-perubahan sosial tersebut di atas, kiranya perlu juga disinggung faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial, yaitu faktor-faktor yang mendorong serta yang menghambat. Diantara faktor-faktor yang mendorong dapatlah disebutkan kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap pola-pola perikelakuan yang menyimpang, sistem stratifikasi sosial yang terbuka, penduduk yang heterogin, dan ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Daya pendorong tersebut dapat berkurang karena adanya faktor-faktor yang mengahambat, seperti kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat sekali, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan mungkin juga adat istiadat.
Proses Perubahan Sosial dan Hukum

1. Proses perubahan-perubahan sosial

Keseimbangan dalam masyarakat dapat merupakan suatu keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dengan keseimbangan di dalam masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok berfungsi dalam masyarakat dan saling mengisi. Di dalam keadaan demikian para warga masyarakat merasa akan adanya suatu ketentraman, oleh karena tak adanya pertentangan pada kaedah-kaedah serta nilai-nilai yang berlaku. Setiap kali terjadi gangguan terhadap keadaan keseimbangan tersebut, maka masyarakat dapat menolaknya atau merubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dengan maksud untuk menerima suatu unsur yang baru. Akan tetapi kadang-kadang suatu masyarakat tidak dapat menolaknya, oleh karena unsur yang baru tersebut dipaksakan masuknya oleh suatu kekuatan. Apabila masuknya unsur baru tersebut tidak menimbulkan kegoncangan, maka pengaruhnya tetap ada, akan tetapi sifatnya dangkal dan hanya terbatas pada bentuk luarnya, kaedah-kaedah dan nilai-nilai dalam masyarakat tidak akan terpengaruhi olehnya.
Adakalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan, secara bersamaan mempengaruhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai, yang kemudian berpengaruh pula terhadap para warga masyarakat. Hal ini dapat merupakan gangguan yang kontinu terhadap keseimbangan dalam masyarakat. Keadaan tersebut berarti bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan-kekecewaan di antara para warga masyarakat tidak mempunyai saluran yang menuju kearah suatu pemecahan. Apabila ketidak seimbangan tadi dapat dipulihkan kembali melalui suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment); apabila terjadi keadaan yang sebaliknya, maka terjadi suatu ketidak sesuaian (maladjustment).
Suatu perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian diri lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan penyesuaian diri para warga masyarakat secara individual. Yang pertama menunjuk pada suatu keadaan dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan pada kondisi yang tengah mengalami perubahan-perubahan, sedangkan yang kedua menunjuk pada orang-orang secara individual yang berusaha untuk menyesuaikan dirinya pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti, agar supaya yang bersangkutan terhindar disorganisasi kejiwaan.
Di dalam proses perubahan-perubahan sosial dikenal pula saluran-salurannya yang merupakan jalan yang dilalui oleh suatu perubahan, yang pada umumnya merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dalam masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan lembaga terpokok, tergantung pada fokus sosial masyarakat dan pemuka-pemukanya pada suatu masa tertentu. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, cenderung untuk menjadi sumber atau saluran utama dari perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, oleh karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang merupakan suatu konstruksi dengan pola-pola tertentu serta keseimbangan yang tertentu pula. Apabila hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi ditinjau dari sudut aktivitasnya, maka kita akan berurusan dengan fungsinya. Sebenarnya fungsi tersebut lebih penting oleh karena hubungan antara unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu hubungan fugsional.
2. Proses perubahan-perubahan hukum
Suatu pertentangan antara mereka yang menganggap bahwa hukum harus mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya dan mereka yang berpendapat bahwa hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat, telah berlangsung sejak lama dan merupakan masalah yang penting dalam sejarah perkembangan hukum. Kedua faham tersebut bolehlah dikatakan masing-masing diwakili oleh Von Savigny dan Bentham. Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah dibentuk akan tetapi harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap, maka barulah pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum.
Sebaliknya, Bentham adalah seorang penganut dari faham yang menyatakan bahwa mempergunakan hukum yang telah dikonstruksikan secara rasionil, akan dapat diadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Suatu teori yang sejalan dengan pendapat Von Savigny, penah dikembangkanoleh seorang yuris Austria yang bernama Eugen Ehrlich. Ehrlich membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada perikelakuan sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang lingkupnya terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang lingkup yang hampir mengatur semua aspek kehidupan bersama dari masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya.
Di dalam suatu proses perubahan hukum, maka pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukm, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta adanya badan-badan yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terutama terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana mungkin hanya ada satu badan yang melaksanakan ketiga fungsi tersebut. Akan tetapi baik pada masyarakat modern ataupun sederhana, ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan.
Hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial
Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, dan susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi didasarkan pada suatu pola tertentu. Suatu perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
S.F. Kechekyan (1956) menguraikan suatu gambaran yang cukup lengkap tentang fungsi hukum di Soviet Rusia, di satu fihak ia mengakui bahwa hukum dibentuk oleh negara dimana hukum tersebut merupakan ekspressi keinginan-keinginan elit politik dan ekonomi. Oleh karena itu hukum terikat oleh kondisi-kondisi sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perubahan-perubahan dalam hukum banyak tergantung pada perkembangan-perkembangan dalam produksi dan hubungan antar kelas dalam masyarakat, akan tetapi di lain pihak dia pun mengakui beberapa peranan hukum yang kreatif, namun sudah barang tentu tidak semua usaha-usaha penggunaan hukum untuk sosial engineering berakhir dengan hasil-hasil yang diingini. Berkenaan dengan di atas Arnold M. Rose berasumsi bahwa efektivitas penggunaan hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat masih terbatas.
Perilaku Hukum
Terdapat berbagai makna tentang hukum. Soerjono Soekanto, misalnya (lihat: Soerjono Soekanto, 1982:44), memilah hukum itu menjadi 9 (sembilan), yaitu (1) hukum dalam arti ilmu (pengetahuan), (2) hukum dalam arti disiplin atau sistem ajaran tentang kenyataan, (3) hukum dalam arti kaidah atau norma, (4) hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis, (5) hukum dalam arti keputusan pejabat, (6) hukum dalam arti petugas, (7) hukum dalam arti proses pemerintahan, (8.) hukum dalam arti perilaku yang teratur dan ajeg, dan (9) hukum dalam arti jalinan nilai-nilai.
Pemilahan arti hukum itu, hemat penulis, memberikan kemungkinan untuk menggambarkan dan menjelaskan hukum secara komprehensif. Di samping itu, masing-masing pilahan dapat dilihat berdasarkan sudut pandang tertentu. Dengan cara demikian, pemilahan hukum merupakan suatu kekayaan dalam dunia pemikiran dan kajian hukum, walaupun terkadang antara pilahan yang satu dengan pilahan yang lainnya dipertentangkan, atau, sekurang-kurangnya, dibedakan secara kontras. Pemilahan terhadap arti hukum tersebut dilakukan untuk mempermudah pembatasan dan penjelasan dalam pembahasannya.
Seperti diketahui, hukum sebagai pengendalian sosial dimungkinkan untuk merumuskan proposisi-proposisi yang menjelaskan tentang kuantitas hukum dan gaya hukum pada setiap tempat. Masing-masing dari proposisi ini menunjukkan hubungan antara hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan sosial, yaitu: statifikasi, morfologi, kultur, organisasi dan sosial control.
Secara lebih umum, kuantitas hukum diketahui dan mencakup sejumlah larangan, kewajiban dan standar-standar lain dimana orang merupakan subjeknya. Kuantitas hukum beraneka ragam dari waktu ke waktu, antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Keanekaragaman kuantitas hukum juga terjadi dengan adanya perbedaan person yang mengajukan tuntutan atau gugatan, adanya perbedaan sosok penegak hukum yang menangani suatu kasus hukum.
Perilaku hukum dapat dimaknai dengan “gaya hukum” (the style of law) yang juga merupakan suatu variabel kuantitatif yang dapat menjadi alat pengendalian sosial. Beberapa “style of law” yang mungkin diamati yang masing-masing berkaitan dengan suatu gaya pengendalian sosial yang banyak ditemukan di dalam kehidupan sosial adalah: (1) gaya penghukuman (the penal style), (2) gaya kompensasi (the compensatory style), (3) gaya terapi (the therapeutic style), dan (4) gaya konsiliasi (the conciliatory style). Perilaku hukum ini sangat terkait dengan stratifikasi.


Hukum Responsif
Resensi Buku Hukum Responsif (Philippe Nonet dan Philip Selznick)
Judul asli Law & Society in Transition: Toward Responsive Law
Lahirnya buku ini dilatarbelakangi dengan munculnya masalah- masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu.
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.
Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Lewat buku ini, pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.

Hukum dan Etika Profesi
Peranan Tanggung Jawab Hukum dan Kesadaran Hukum Dokter Terhadap Terjadinya Kesalahan Profesional
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya lagi pada perkembangan praktek pelayanan medis serta industri peralatan medis menjadikan peranan hukum dan etika semakin penting sebagai penuntun bagi keteraturan sikap dan tindakan para dokter dalam menjalankan profesinya.
Sebagaimana halnya pada semua negara berkembang, dalam menghadapi masalah hukum yang timbul dari kegiatan, prilaku, sikap serta kebiasaan masyarakat tradisional, dan yang tumbuh dan berkembang karena modernisasi, maka diperlukan suatu sistem hukum nasional yang mantap sesuai dengan kebutuhan perkembangan hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
Dengan perkembangan tersebut, dan oleh karena makin meningkatnya tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan medis dengan mutu yang memadai, bukan semata-mata merupakan hasil pembangunan di bidang hukum saja, tetapi juga merupakan hasil samping dari pembangunan di bidang kesehatan.
Sedang untuk memahami kebutuhan perkembangan hukum di bidang pelayanan medis, maka pemahaman yang elementer tentang hukum dan etika di bidang pelayanan medis sangatlah dibutuhkan. Memahami etika kedokteran, yang di dalamnya secara tersirat sekaligus pula memuat tentang tanggung jawab serta kesadaran hukum dokter, yang merupakan kajian dari makalah ini merupakan tuntutan yang dipandang semakin perlu. Bahkan penanganan secara serius atas masalah etika kedokteran cukuplah mendesak, dan dewasa ini semakin disadari bahwa etika kedokteran tak bisa begitu saja dikesampingkan atau bahkan dianggap sebagai embel-embel belaka.
Etika kedokteran yang membahas tentang tata susila dokter dalam menjalankan profesinya, khususnya yang berkaitan dengan pasien, semakin menjadi tantangan yang harus digeluti, sebab tugas profesi kedokteran adalah tugas kemanusiaan yang luhur. Apalagi kesediaan untuk terlibat dan melayani pasien adalah pilihan hidupnya, olehnya setiap pelayanan sudah harus dipupuk sejak masih sebagai calon dokter, bahkan kalau perlu semangat tersebut sudah tumbuh sebelum masuk Fakultas Kedoteran, sebab semangat pelayanan ini sangatlah berguna bagi pembentukan sikap etis yang mendasar, yang toh walaupun demikian tidak jarang pula dokter tersebut dianggap melanggar etika ataupun tanggung jawabnya terhadap hasil kerjanya.
Seorang dokter misalnya, yang menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan pada bidangnya, mungkin saja ia menggunakan ilmu dan keterampilan secara sungguh-sungguh, penuh ikhlas maupun tanpa pamrih dalam mengobati sang pasien, namun walau demikian hal ini tidak menghapus hak seorang pasien untuk tetap menuntut ke Pengadilan manakala ia merasa tidak puas atau dirugikan oleh dokter tersebut akibat kelalaiannya dalam melaksanakan pengobatan.
Dalam hal hubungan tersebut, seorang dokter sangatlah perlu memperlengkapi diri dengan pengetahuan ilmu hukum meski hanya secara umum. Hal ini dimaksudkan agar dokter lebih berhati-hati, cermat dan teliti dalam melaksanakan fungsinya, serta memiliki kesadaran hukum yang tinggi, yakni kesadaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum maupun hak-hak orang lain dalam menjalankan profesinya.
Pembahasan
Untuk mengetahui peranan tanggung jawab hukum dan kesadaran hukum dokter terhadap terjadinya kesalahan profesional (malpractice), maka tak berlebihan kiranya apabila beberapa istilah pokok dalam tulisan ini perlu penjelasan secara proporsional dan baik agar pemahaman komprehensif, utuh dan bermakna dapat diperoleh untuk kejelasan pemahaman terhadap hal-hal yang akan dibahas.
Pengertian Tanggung Jawab Hukum Dokter
Tanggung jawab hukum dokter dimaksudkan sebagai “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab hukum ini meliputi :
a. Bidang hukum administrasi, dimuat dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tetang Pokok-pokok Kesehatan, Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1964 tentang Pendaftaran Ijazah dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Dokter/Dokter Gigi/Apoteker dan sebagainya.
b. Bidang hukum pidana, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Th. 1946), antara lain: Pasal 48-51, 224, 267, 268, 322, 344-361, 531 KUHP.
c. Bidang hukum perdata, khususnya mengenai ketentuan-ketentuan pada buku III BW tentang Hukum Perikatan.
Dalam pembahasan berikut ini, yang disebut dalam tanggung jawab hukum dokter adalah tanggung jawab hukum dokter di bidang hukum perdata. Sehubungan dengan tanggung jawab hukum dokter di bidang hukum perdata ini, maka terdapat 2 bentuk pertanggungjawaban dokter yang pokok yaitu: pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi, dan pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum.
Pada dasarnya, pertanggungjawaban perdata bertujuan untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya, baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum merupakan dasar untuk menuntut tanggung jawab dokter.
Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah mencakup pengertian: berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri atau kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain. Ini berarti, kesalahan diartikan secara luas, yang meliputi: kesengajaan, kelalaian dan kurang berhati-hati. Kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya atau kesalahan profesional, pada dasarnya berkaitan dengan kewajiban yang timbul karena profesinya.
Sedang pengertian wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian/kontrak. Wanprestasi dapat berarti: tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara tidak baik.
Kesadaran Hukum Dokter
Seseorang akan memiliki kesadaran hukum apabila terlebih dahulu ia mengetahui dan memahami apa hukum itu. Tetapi karena masing-masing orang memberi arti yang berbeda terhadap hukum sehingga, isi kesadaran hukum itupun berbeda-beda. Namun pada intinya hukum itu menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, atau apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan.
Dengan demikian, kesadaran hukum di sini dimaksudkan sebagai kesadaran terhadap kewajiban hukum kita masing-masing, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dalam kaitan itu, berarti kesadaran hukum dokter adalah kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya. Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang timbul karena profesinya dan kewajiban hukum yang dari kontrak terapeutik (penyembuhan), dengan demikian kesadaran hukum dokter tersebut mencakup keduanya. Kewajiban hukum itu mengikat setiap dokter dalam menjalankan profesinya, yang selanjutnya menimbulkan tanggungjawab hukumnya.
Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya, bukan semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap peraturan hukum tertulis, tetapi juga terhadap ketentuan hukum tidak tertulis. Adanya kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya atau terhadap tanggung jawab hukumnya tidaklah menutup kemungkinan dokter melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya. Sebab hal ini akan mempengaruhi kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya, ketaatan dan kesungguhannya melaksanakan setiap kewajibannya dalam menjalankan profesinya.
Kesalahan yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya, pada umumnya merupakan kelalaian atau kurang berhati-hati. Dapat juga berarti bahwa kesalahan dokter itu dilakukan dengan sengaja untuk mencari keuntungan pribadi, atau dengan penyalahgunaan keadaan, sehingga yang kita jumpai sekarang adalah peranan kesadaran hukum yang diperlukan oleh dokter agar dapat mengendalikan dirinya sehingga tidak melakukan kesalahan profesional, telah digantikan oleh sanksi-sanksi yang diberikan oleh hukum. Tanpa adanya sanksi dikhawatirkan akan terjadi lebih banyak kesalahan profesional yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya.
Pengertian Kesalahan Profesional (Malpraktik)
Malpraktik berasal dari kata “mal” yang berarti buruk dan kata praktik yang berarti tindakan. Secara harfiah malpraktik adalah suatu tindakan atau praktik yang buruk. Dengan kata lain malpraktik adalah kelalaian kaum profesi yang tejadi sewaktu melaksanakan profesinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa antara kelalaian dokter dengan malpraktik sangat dekat kaitannya. Seseorang dianggap lalai, apabila ia telah bertindak kurang hati-hati, sembrono, acuh terhadap kepentingan orang lain, walaupun tidak dilakukan dengan sengaja dan akibat itu tidak dikehendakinya. Kalau unsur kelalaian itu dijadikan alasan untuk mengadukan dokter ke pengadilan, maka terjadi apa yang disebut “tuduhan malpraktik”. Tetapi bila kelalaian itu tidak diajukan ke pengadilan, maka tidak terjadi kasus (tuduhan) malpraktik dalam pengertian bahwa peristiwa itu tidak diproses secara hukum.
Sedangkan malpraktik dalam pandangan Hyat (D. Veronika Komalasari, 1989: 19-20) adalah: 1. Kegagalan dokter/ahli bedah mengerahkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani pasien; 2. Atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian (kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan keterampilannya serta penerapan pengetahuannya; 3.Atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam menangani kasus yang dipercayakan kepadanya; 4. Atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta perhatian yang wajar dan lazim, seperti biasanya dilakukan oleh para dokter/ahli bedah didaerahnya dalam menangani kasus yang sama.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa malpraktik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis berdasarkan “standar profesi medis”. Atau dengan kata lain jika sekiranya seorang dokter telah melakukan tindakan tidak sesuai dengan standar profesinya, maka dokter tersebut dianggap telah melakukan kesalahan (malpraktik) yang membuka kemungkinan bagi pasien atau keluarga pasien untuk mengadukan dokter tersebut ke pengadilan, tetapi sebaliknya, kalau dokter telah melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesinya, maka tidak ada lagi kekhawatiran bagi seorang dokter meskipun si pasien mengadukannya ke pangadilan sebab hakim pasti akan menganggap bahwa dokter tersebut tidak terbukti bersalah oleh karena telah bertindak sesuai dengan standar profesinya.
Pada umumnya setiap orang harus betanggung jawab terhadap tindakan atau perbuatannya. Oleh karena itu betanggung jawab diartikan sebagai terikat, sehingga tanggung jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan.
Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subyek hukum dalam pergaulan masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan profesinya, dan tindakannya yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya. Demikian juga tanggung jawab hukum dokter dapat dibedakan antara tanggung jawab hukum yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan profesinya, dan tanggung jawab yang berkaiatan dengan profesinya. Tanggung jawab yang berkaitan dengan profesinya masih dapat dibedakan antara tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan profesional, yaitu kodeki dan tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang meliputi bidang hukum administratif, hukum pidana, dan hukum perdata.
Seorang dokter selalu diharapkan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Karena tanggung jawab dokter sedemikian luasnya, maka dokter juga harus mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan profesi dokter. Demikian juga dokter harus mengetahui dan memahami hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan profesinya.
Seorang dokter disebut melakukan kesalahan profesional apabila ia tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak mengabaikan hal-hal yang oleh para dokter pada umumnya dianggap baik dalam situasi yang sama diperiksa, dinilai, diperbuat atau diabaikan.
Sebagai pendidik dan pengabdi masyarakat, seorang dokter juga harus berusaha memberikan informasi kepada pasien (masyarakat) mengenai penyakit, alternatif tindakan medis yang akan dilakukannya, serta segala akibat yang mungkin timbul dari tindakan medis yang dilakukan dengan cara dan bahasa yang mudah dan dapat dimengerti oleh pasiennya.
Oleh karena terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan), memerlukan adanya kesadaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh dokter agar ia dapat selalu mempertimbangkan setiap tindakan medis yang akan dilakukannya dengan mengingat dan mengutamakan kepentingan pasien. Namun tidak hanya itu, kesadaran etis dari pasien juga diperlukan agar ia menghargai setiap upaya medis yang dilakukan dokter dalam usaha meringankan/membebaskan dirinya dari penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi dalam tindakan kongkret seseorang ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu dengan mempertimbangkan baik buruknya serta bertanggung jawab.
Sebab apabila interaksi antara dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik (penyembuhan) dilihat sebagai perjanjian melakukan jasa semata-mata, maka sebagai akibat sampingan akan banyak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh pasien terhadap dokter yang merawatnya, karena merasa tidak puas atas pelayanan medis yang diterimanya.
Yang dengan sendirinya kalangan dokter umumnya berpendapat bahwa meningkatnya tuntutan pasien terhadap dokter dengan tuduhan melakukan kesalahan profesional di bidang pelayanan medis, di samping disebabkan oleh sikap masyarakat yang semakin kritis, juga disebabkan oleh turunnya kesadaran dokter akan kewajiban-kewajibannya yang harus dilakukan menurut ukuran yang tertinggi.
Seorang dokter yang menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas setiap tindakannya atau akibat tindakan medis yang dilakukan dalam menjalankan profesinya, berarti ia mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Sedangkan seorang dokter yang tidak menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas suatu tindakan atau akibat tindakan medis yang dilakukan dalam menjalankan profesinya, berarti ia mempunyai kesadaran hukum yang terbatas, sehingga kesadaran hukumnya perlu ditingkatkan. Lain halnya dengan seorang dokter yang mempunyai kesadaran hukum yang rendah, yaitu sekalipun seorang dokter menyadari bahwa bertanggung jawab adalah suatu hal yang wajib atas tindakan atau akibat tindakan medis yang dilakukannya dalam menjalankan profesinya, namun ia tidak mau mempertanggung jawabkannya.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas serta dari permasalahan yang ada, penulis dapat menyimpulkan bahwa antara tanggung jawab hukum dan kesadaran hukum dokter terdapat suatu hubungan yang sangat erat satu dengan lainnya, yang peranannya sangat besar dalam mempengaruhi terjadinya kesalahan profesional (malpraktik), oleh karena kesadaran hukum dokter adalah kesadaran terhadap kewajiban hukumnya, dimana kewajiban hukum itu merupakan tanggung jawab hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Artinya, kesadaran hukum dan tanggung jawab hukum dokter mempengaruhi terjadinya kesalahan profesional, sebab kesadaran hukum maupun tanggung jawab hukum, menyangkut kewajiban hukumnya. Sedangkan kesalahan profesional terjadi justru karena dokter tidak mengetahui, mamahami dan melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai dengan standar profesi medis dan tujuan ilmu kedokteran itu sendiri.

Perbandingan Metode Penemuan Hukum
Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.
Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Namun perlu diingat bahwa dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan guna mewujudkan hakikat dari fungsi dan tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).
Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya jug akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidak adilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran.
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.
Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran serta metode-metode penemuan hukum, namun dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-aliran (mazhab) dalam penemuan hukum, melainkan hanya ingin mencoba menyajikan suatu kajian secara sederhana yang bersifat deskriptif komparatif terhadap metode-metode penemuan hukum menurut hukum barat dan hukum Islam.
Makna Penemuan Hukum
1. Istilah Penemuan Hukum
Istilah “penemuan hukum” oleh beberapa pakar sering dipermasalahkan, bahwa apakah tidak lebih tepat istilah “pelaksanaan hukum”, “penerapan hukum”, “pembentukan hukum” atau “penciptaan hukum”. Istilah “pelaksanaan hukum” dapat berarti menjalankan hukum tanpa sengketa atau pelanggaran. Namun disamping itu pelaksanaan hukum dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus pula merupakan penegakan hukum. Adapun istilah “penerapan hukum” tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Dan istilah “pembentukan hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum, bagi setiap orang.
Sedangkan istilah “penciptaan hukum” terasa kurang tepat karena memberikan kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan (dari tidak ada menjadi ada). Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa, dan di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya istilah “penemuan hukum”lah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya setiap orang melakukan penemuan hukum. Oleh karena setiap orang selalu berhubungan dengan orang lain (melakukan interaksi), hubungan mana diatur oleh hukum dan setiap orang akan berusaha menemukan hukumnya untuk dirinya sendiri, yaitu kewajiban dan wewenang apakah yang dibebaskan oleh hukum padanya.
Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuan hukumpun dapat mengadakan penemuan hukum, namun hasil dari penemuan hukum oleh ilmuan tersebut bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Walau demikian, sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum, akan tetapi dalam hal ini tetap digunakan istilah penemuan hukum juga, oleh karena doktrin tersebut apabila diikuti atau diambil alih oleh hakim dalam putusannya, maka secara otomatis hal itu (ilmu or doktrin) menjadi hukum.
2. Batasan Penemuan Hukum
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang diberi tugas untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah suatu proses kongkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.
3. Sumber Penemuan Hukum
Sumber penemuan hukum tidak lain yang dimaksud adalah sumber atau tempat, terutama bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Sumber utama penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo (1996:48), adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan (‘urf), yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Jadi menurutnya terdapat tingkatan-tingkatan, hierarki atau kewedaan dalam sumber hukum.
Dalam ajaran penemuan hukum “undang-undang” diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari hukumnya, arti dari sebuah kata maka terlebih dahulu dicari dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, namun senantiasa perlu pula diingat bahwa undang-undang dan hukum tidaklah identik.
Apabila dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuannya atau jawabannya, maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan (yang tidak tertulis). Hukum kebiasaan pada umumnya melengkapi (pelengkap) undang-undang dan tidak dapat mengesampingkan undang-undang. Akan tetapi dalam keadaan tertentu hukum kebiasaan dapat saja mengalahkan undang-undang: hukum kebiasaan mengalahkan undang-undang yang bersifat pelengkap. Dan kalau hukum kebiasaan ternyata tidak memberi jawaban, maka dicarilah dalam “yurisprudensi”, yang berarti setiap putusan hakim, dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi. Dan kadang pula yurisprudensi diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.
Seperti halnya sumber hukum dalam hal penemuan hukum menurut hukum konvensional, maka dalam hukum Islam juga terdapat urutan atau hierarki tersendiri dalam hal penemuan hukum yaitu Al-Qur’an, Sunnah (hadits nabi) dan Ijma.
Metode Penemuan Hukum Konvensional
Penemuan hukum adalah merupakan kegiatan terutama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit, dimana dalam kegiatan tersebut (penemuan hukum) dibutuhkan adanya suatu metode (langkah) yang nantinya dapat dipergunakan oleh penegak hukum (hakim) dalam memberikan keputusan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi, yang dipahami bahwa aturan hukum (UU) dalam peristiwa tersebut tidak jelas atau bahkan belum diatur sama sekali.
Salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu adalah melalui interpretasi atau penafsiran. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.
1. Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untukmengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar membaca undang-undang. Di sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Metode interpretasi ini biasa juga disebut dengan metode obyektif.
2. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Metode interpretasi ini biasa digunakan apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Interpretasi teleologis ini biasa juga disebut dengan interpretasi sosiologis, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.
3. Interpretasi Sistematis
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Metode interpretasi sistematis ini adalah merupakan metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain, metode ini biasa pula disebut dengan interpretasi logis.
4. Interpretasi Historis
Salah satu cara untuk mengetahui makna undang-undang dapat pula dijelaskan atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis, dengan kata lain penafsiran ini merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.
Terdapat dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
Metode Penemuan Hukum Islam
Metode penemuan hukum (ijtihad) yang dimaksudkan dalam sub ini adalah “thariqah”, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Penemuan hukum dalam hukum Islam (ijtihad), pada dasarnya adalah usaha memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’. Bagi hukum yang jelas terdapat nash, usaha yang dilakukan oleh penemu hukum (mujtahid) adalah memahami nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat dibalik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Sedang bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi mujtahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hukum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional.
Dalam hal menemukan hukum dan menetapkan hukum di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Quran dan Hadits, para ahli mengerahkan segala kemampuan nalarnya, mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam menemukan hukum. Ada beberapa metode yang lahir dari hasil rumusan, diantaranya ada metode yang merupakan ciri khas (hasil temuan) seorang mujtahid yang berbeda (dan tidak digunakan oleh) mujtahid lainnya. Adanya perbedaan metode ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antara hasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunanannya. Dalam bahasan ini akan dikemukakan beberapa cara atau metode :
1. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedang pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa defenisi, yang walaupun redaksi berbeda tapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya, yang dikemukakan Sadr al-Syari’ah, bahwa qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
2. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode penemuan hukum (ijtihad) yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis.
Secara etimologi istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqhi dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi. Sedang secara terminologi Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syathibi mendefenisikan istihsan dengan: memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan dengan kaidah umum, yang hakikatnya bahwa mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas.
3. Mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi, Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kehendak hawa nafsu.
4. Istishhab
Secara etimologi, istishhab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Secara terminologi terdapat beberapa metode istishhab, Imam al-Ghazali mendefenisikan istishhab dengan : berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm mendefenisikan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua defenisi ini, pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.
5. ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti “yang baik”. Sedang ‘urf menurut ulama ushul fiqhi adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Berdasarkan defenisi tersebut, Mushthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu.
6. Mazhab Shahabi
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat rasulullah saw, yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqhi adalah apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan dan dijadikan dalil ?.
Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam
Pada dasarnya metode penemuan hukum, apabila dilihat dari segi metode yang digunakan, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum Islam terdapat beberapa persamaan, diantara metode yang terdapat dalam hukum konvensional juga terdapat dalam hukum Islam, namun juga ada yang berbeda, dan begitupun sebaliknya, bahkan penulis melihat adanya kemungkinan untuk dikombinasikan (saling melengkapi). Namun apabila dilihat dari sudut sumber hukum dalam metode penemuan hukum tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsipil, dimana sumber hukum dalam metode penemuan hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, sedang sumber hukum metode penemuan hukum konvensional adalah UU, kebiasaan, dll, yang nota bene adalah hasil karya (produk) manusia.

Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang terkait dengan hak dan kewajiban.
Dalam kehidupan rumah tangga sering kita jumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).
Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah swt., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.
Pembahasan
Untuk mengetahui pentingnya peranan hakam (mediator) dalam ikut menyelesaikan sengketa perceraian, maka tak berlebihan kiranya apabila beberapa istilah-istilah pokok dalam makalah ini perlu penjelasan secara proporsional dan baik agar pemahaman komprehensif, utuh dan bermakna dapat diperoleh untuk kejelasan pemahaman terhadap hal-hal yang akan dibahas. Pemahaman demikian sangat signifikan adanya sebab tiap istilah dalam suatu kajian terkait erat dengan teksnya untuk kemudahan pemahaman terhadap konsep dari istilah yang digunakan, sehingga kontribusinya dapat dimanfaatkan secara jelas bagi ilmu pengetahuan dengan baik.
Mediasi (Mediation): The process by which the participants, together with the assistance of the neutral persons, systematically isolate dispute issues in other to develop options, consider alternatives, and reach a consensual settlement that mil accommodate their needs. Mediation : is decision-making process in which the parties are assisted by a third party, the mediator; the mediator attempts to improve the process of decision-making and to assist the parties reach an outcome to which of them can assent.
Perkawinan: menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Syiqaq, berasal dari bahasa Arab “syaqqa” ~ “yasyuqqu” ~ “syiqaaq”, yang bermakna “al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedang “syiqaq” menurut istilah oleh ulama fiqhi diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami isteri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Sejalan dengan pengertian tersebut “syiqaq” menurut penjelasan pasal 76 (1) UU No. 7/1989 adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri.
Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Menurut Noel J. Coulson dan Morteza Mutahhari (1985 : 243), hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing.
Kalaulah dibandingkan pengertian yang dikemukakan oleh Morteza Mutahhari dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), tampaknya pengertian yang dikemukakan yang dikemukakan beliau sangat dekat dengan maksud yang tertulis dalam QS. An-Nisaa : 35. Sedang apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) sudah agak menyimpang.
Hakam yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri. Sedang hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) boleh dari pihak keluarga suami saja, atau dari pihak keluarga isteri saja, bahkan diperbolehkan hakam yang terdiri dari pihak lain. Namun demikian, maksud dan tujuan pembuat undang-undang bukanlah untuk menyingkirkan ketentuan surah An-Nisaa : 35, tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya.
Pengangkatan Hakam
Pengangkatan hakam dalam perkara peceraian atas dasar syiqaq, ialah dilakukan pada sesudah proses pemeriksaan perkara melewati tahap pemeriksaan saksi, yaitu setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan, dengan kata lain Pengadilan barulah dapat mengangkat hakam setelah pemeriksaan pembuktian selesai diperiksa. Saksi-saksi dan alat-alat bukti lain yang diajukan para pihak telah selesai diperiksa.
Prosedur demikian didasarkan, bahwa Pengadilan atau hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri, dan faktor yang melatar belakangi perselisihan sudah dapat diraba, barulah hakim memberi bekal kepada hakam (mediator) tentang segala sesuatu yang ditemukan di persidangan untuk dijadikan bahan menjajaki usaha penyelesaian perselisihan. Dan agar hakam dapat bekerja sebaik mungkin, segala sesuatu yang terjadi di persidangan haruslah disampaikan kepadanya.
Berdasarkan ketentuan pasal 76 ayat (2), bahwa yang berwenang mengangkat hakam adalah pengadilan, yang pengangkatannya dilakukan oleh Ketua Majelis yang memeriksa perkara. Namun demikian dari segi pendekatan hukum Islam maupun dari segi pendekatan hukum acara perdata, pengusalan hakam datang dari pihak-pihak yang berperkara. Para pihak bebas memutuskan siapa yang mereka ingini menjadi hakam dari pihaknya. Akan tetapi apa yang mereka usulkan, tidak mengikat hakim. Oleh karena demikian, sebaiknya hakim menganjurkan kepada para pihak untuk mengusulkan beberapa orang, serta dalam pengusulan itu dilengkapi dengan biodata masing-masing calon.
Pendapat Hakam (Mediator) Tidak Mengikat
Pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989 tidak menyinggung sampai dimana kekuatan mengikat usul hakam (mediator) kepada hakim dalam menjatuhkan putusan. Barangkali hal itu sesuai dengan fungsi hakam yang tidak dibarengi dengan kewenangan apa pun. Sebagaimana yang sudah disinggung, undang-undang tidak memberikan kewenangan bagi hakam (mediator) untuk menjatuhkan putusan.
Hakam (mediator) yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih menitikberatkan kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan Achmad Ali bahwa mediator (hakam) yang netral tidak bertindak sebagai seorang hakim; dia tidak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan suatu putusan. Malahan, mediator memimpin suatu pemeriksaan tatap muka dengan pihak yang bersengketa dan menggunakan keterampilan khusus tentang bagaimana mendengarkan problem para pihak, keterampilan bertanya, bernegosiasi dan membuat pilihan, membantu para pihak menentukan solusi mereka sendiri terhadap persengketaan mereka. Lanjut menurutnya, bahwa sebenarnya mediator bertindak sebagai katalisator (pembuat perubahan), keterampilan khususnya diterapkannnya pada pihak yang bersengketa dengan membantu mereka dalam menyelesaiakan perselisihan.
Namun mengenai hal ini terdapat dua pendapat, pertama, ada yang berpendapat bahwa hakam tidak mutlak mempunyai wewenang mengambil putusan. Namun pendapat yang paling umum berpendirian, bahwa hakam berwenang mengambil putusan, dan putusan yang dijatuhkan hakam, mengikat kepada suami isteri.
Peran Hakam Sebagai Mediator Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian Dengan Alasan Syiqaq
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa terdapat dua cara penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian sengketa dengan cara litigasi (lewat Pengadilan), dan penyelesaian dengan cara non litigasi, salah satu diantaranya adalah cara “Mediasi”, dimana orang yang menjalankannya biasa disebut dengan “mediator”, yang sekaligus merupakan substansi dari kajian ini.
Perbedaan mendasar dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, seperti yang banyak dikenal orang ialah, bahwa cara “litigasi” yaitu cara penyelesaian sengketa secara “formal” (lewat Pengadilan) serta mempunyai prosedur serta aturan-aturan yang mesti dipenuhi. Sedangkan cara penyelesaian “non litigasi” adalah sebaliknya (tidak melalui jalur pengadilan).
Namun sebelum lebih jauh melangkah, penulis dalam tulisan ini, tidak akan melihat hanya sebatas perbedaan tersebut, dan tidak akan mengkaji atau memilah-milih, apalagi membandingkan baik sisi-sisi kelebihan ataupun kekurangan dari kedua cara penyelesaian sengketa tersebut, melainkan akan mencoba melihat peranan mediator dalam menyelesaiakan sengketa perceraian dengan alasan syiqaq. Dimana mediasi dalam kajian ini tidak lagi berdiri sendiri sebagai wadah atau cara penyelesaian sengketa yang non litigasi, melainkan ia ikut membantu menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi, khususnya pada sengketa perceraian dengan alasan terjadinya syiqaq.
Peranan hakam selaku mediator dalam sengketa yang dimaksud, sangatlah jelas, dan dapat dilihat dari firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat (35), bahwa apabila dikhawatirkan ada persengketaan/perselisihan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan untuk membantu menyelesaikannya. Dimana kata hakam dalam ayat tersebut, menurut hemat penulis tidak lain adalah sebagai “mediator”.
Dari makna ayat tersebut, memberikan pemahaman akan pentingnya peran hakam (mediator) dalam ikut membantu menyelesaikan sengketa/perselisihan yang terjadi antara suami isteri. Sebab bukan tidak mungkin, dengan bantuan hakam sebagai mediator dalam masalah tersebut para pihak akan lebih terbuka untuk membicarakan persoalan yang sebenarnya dengan tanpa adanya tekanan, baik secara fisik maupun psikologis, karena hanya berhadapan dengan mediator yang ia yakin dapat membantunya. Dan situasi seperti ini sangatlah berbeda jika dilakukan di depan orang banyak, dimana tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak merasa tidak ingin dikalahkan, dengan saling mengedepankan dan mempertahankan egoisme.
Dan apabila ditelusuri lebih dalam, ada kalanya para pihak yang berselisih tersebut (suami isteri), salah satu diantara keduanya atau mungkin pula dua-duanya, dalam hati kecilnya masih menginginkan untuk kembali seperti biasa, namun kadang kendalanya, disamping faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, mereka tidak mengetahui serta tidak mampu untuk memulainya.
Inilah mungkin salah satu hikmah diperintahkannya oleh Allah swt., untuk mengutus hakam selaku mediator dalam ikut menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, yang sekaligus memperlihatkan kepada kita begitu penting dan mulianya peranan serta tugas dari hakam (mediator) tersebut dalam berusaha mendamaikan keduanya.
Peranan hakam selaku mediator yang cukup besar, dapat juga dilihat dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) UU No. 7/1989, dimana pengangkatan hakam dalam perkara perceraian atas dasar syiqaq, dilakukan sesudah proses pemeriksaan saksi serta alat-alat bukti yang diajukan para pihak. Setelah Pengadilan atau hakim mendapat gambaran secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri dan faktor yang mempengaruhinya, dan berpendapat bahwa ada kemungkinan bisa didamaikan melalui hakam yang dekat dan berpengaruh kepada suami isteri. Hemat penulis peranan hakam selaku mediator sangat berguna dalam ikut membantu, memberikan masukan serta pertimbangan pada pengadilan atau hakim guna memutus dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi.
Kewenangan Hakam Selaku Mediator Dalam Menyelesaikan Perselisihan Perkawinan
Yang dimaksud dengan kewenangan hakam selaku mediator dalam menyelesaikan sengketa perceraian atas dasar syiqaq, tidak lain adalah kewenangan hakam untuk menjatuhkan putusan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kerangka teori sebelumnya, bahwa pendapat hakam tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan. Undang-undang dalam hal ini juga tidak memberikan kewenangan bagi hakam untuk menjatuhkan putusan.
Hakam yang diatur dalam pasal 76 ayat (2) lebih dititikberatkan pada kewajiban dari pada kewenangan. Hakam wajib berusaha untuk mencari upaya penyelesaian, tapi tidak berwenang memutus dan menyelesaikan sendiri perselisihan perselisihan suami isteri. Sesuai fungsinya dan peranannya, hukum memberikan kepada hakam hak mengusulkan atau mengajukan pendapat kepada hakim yang mengangkatnya, dan tidak mengikat bagi hakim. Dalam hal ini tampaknya undang-undang memberikan kebebasan yang sepenuhnya kepada hakim untuk menilai usulan dari hakam.
Memang mengenai hal ini terdapat dua pendapat, dimana ada yang berpendapat bahwa hakam tidak mutlak mempunyai wewenang mengambil putusan. Namun ada juga pendapat berpendirian, bahwa hakam berwenang mengambil putusan, dan putusan yang dijatuhkan hakam, mengikat kepada suami isteri.
Namun di luar dari itu semua, dan dengan tidak bermaksud untuk menafikan pendapat yang ada, penulis memandang bahwa meskipun pada prinsipnya (sesuai aturan) usul hakam tidak mengikat, tetapi kalau usul yang diajukan tersebut didukung oleh alasan-alasan yang logis dan masuk akal, kurang bijaksana rasanya apabila hakim mengabaikannya, sekurang-kurangnya usulan pendapat hakam harus diperhatikan hakim dalam mengambil putusan.
Dan penulis yakin, bahwa dengan acuan-acuan penerapan yang ada, hakim tidak akan membabi buta dan menelan begitu saja pendapat dan usul hakam. Apalagi bertitik tolak dari asumsi tentang adanya kemungkinan hakam yang ceroboh dalam mengambil kesimpulan mengusulkan perdamaian sekalipun tidak didukung oleh dasar alasan yang benar, dengan sendirinya kurang dapat dipertanggung jawabkan rasanya apabila hakim tutup mata dalam menerima usul tersebut begitu saja.
Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa peranan hakam sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian atas dasar syiqaq, sangatlah bermanfaat dan berarti dalam memberi masukan pada hakim guna ikut menyelesaiakan perselisihan yang terjadi. Kewenangan hakam selaku mediator dalam penyelesaian sengketa perceraian hanya sebatas memberikan usulan pendapat dan pertimbangan dari hasil yang telah dilakukan, kepada hakim. Dan Undang-undang tidak memberikan kewenangan kepadanya untuk menjatuhkan putusan.


Kepastian Hukum
Apa itu Kepastian Hukum..? Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.
Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.
Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (Note: law dalam pengertian peraturan/legal).
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.


Sumber-Sumber Hukum
Terdapat beberapa pengertian tentang sumber hukum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu (KBBI, h. 973). Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan , dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.
Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.
MACAM (PEMBEDAAN) SUMBER-SUMBER HUKUM
Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :
Menurut Edward Jenk, bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu : 1. Statutory; 2. Judiciary; dan 3. Literaty.
Menurut G.W. Keeton, sumber hukum terbagi atas:
1. Binding Sources (formal), yang terdiri dari: a) Custom; b) Legislation; c) Judicial precedents. dan
2. Persuasive Sources (materiil), yang terdiri: a) Principles of morality or equity; b) Professional opinion.
SUMBER HUKUM MATERIIL & SUMBER HUKUM FORMAL
Pada umumnya para pakar (termasuk di Indonesia) membedakan sumber hukum ke dalam kriteria Sumber hukum materiil; dan Sumber hukum formal.
Menurut Sudikno Mertokusumo, Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.
Sedang Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
SUMBER HUKUM FORMAL
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah:
a. Undang-undang;
b. Kebiasaan;
c. Traktat atau Perjanjian Internasional;
d. Yurisprudensi;
e. Doktrin.
1. Undang-Undang
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertutlis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis.. dengan perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
Undang-undang dapat dibedakan atas : a. Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya; dan b. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.
2. Kebiasaan
Dasarnya: Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Traktat atau Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.
Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi: (1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain; (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
4. Yurisprudensi
Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam:
1. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari: 1) Putusan perdamaian; 2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding; 3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi; 4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
2. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
5. Doktrin
Doktrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut. Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya.


Hukum Sebagai Sistem
Biasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang-undang saja. Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut:
1. asas-asas hukum (filsafah hukum)
2. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari:
• Undang-undang
• peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
• yurisprudensi tetap (case law)
• hukum kebiasaan
• konvensi-konvensi internasional
• asas-asas hukum internasional
3. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum
4. pranata-pranata hukum
5. lembaga-lembaga hukum termasuk:
• struktur organisasinya
• kewenangannya
• proses dan prosedur
• mekanisme kerja
6. sarana dan prasarana hukum
7. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.
Maka sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu unsurnya berubah, maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus berubah.
Dengan kata lain: perubahan undang-undang saja tidak akan membawa perbaikan, apabila tidak disertai oleh perubahan yang searah di dalam bidang peradilan, rekruitmen dan pendidikan umum, reorganisasi birokrasi, penyelarasan proses dan mekanisme kerja, modernisasi segala sarana dan prasarana serta pengembangan budaya dan perilaku hukum masyarakat yang mengakui hukum sebagai sesuatu yang sangat diperlukan bagi pergaulan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang damai, tertib dan sejahtera.

Equality Before the Law
Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.
Adalah Napoleon Bonaparte, orang Perancis yang terkenal sebagai pemimpin militer dan penguasa Perancis pasca Revolusi (1789), yang berkontribusi “mengabadikan” asas persamaan dihadapan hukum sampai detik ini. Tridharma semangat Revolusi Perancis (liberte, egalite dan fraternite) diagregasi oleh pakar hukum di masa Bonaparte pada tahun (1804-1807) ke dalam kodifikasi hukum yang kemudian dikenal dengan nama Code Napoleon. Landasan penting dari kodifikasi ini adalah tidak adanya hak-hak istimewa berdasarkan kelahiran dan asal usul seseorang, semua orang sama derajat dihadapan hukum.
Revolusi Perancis (1789) adalah titik tolak terpenting dalam studi hukum modern karena disanalah Negara Modern, Hukum Modern, Rule of Law, Konstitusionalisme dan Demokrasi beranjak. Satjito Rahardjo menyebut kemunculan sekalian aksi modernisme dengan kelahiran hukum modern itu sebagai The Big Bang yang menggantikan cara-cara lama dalam berhukum. Di sanalah letak signifikansi Revolusi Perancis.
Namun sejak semula, sudah ada kritik yang ditujukan kepada pola Revolusi Perancis itu, salah satunya adalah yang melihat Revolusi Perancis sebagai Revolusinya kaum borjuis. Tocqueville menggambarkan masyarakat Perancis pada tahun 1770-an dan tahun 1780-an sebagai masyarakat yang ekonominya sedang berkembang pesat. Semua lapisan rakyatnya telah sama-sama mengecap faedah dari pertumbuhan itu. Hal ini mengindikasikan bawah Revolusi Perancis bukanlah persoalan perjuangan ekonomi rakyat, melainkan perjuangan politik untuk mengganti tirani. Tirani yang sudah dikenal secara simbolik dengan ucapan Raja Louis XIV (1638 –1715), L’état c’ést moi (Negara adalah Saya). Revolusi Perancis sebenarnya menyimpan motivasi dari kalangan borjuis untuk mendapatkan kesamaan hak dengan raja secara sosial, politik dan ekonomi.
Dalam ikhtiar mengganti feodalisme, negara demoktaris konstitusional dijadikan sebagai wadah baru dari organisasi sosial. Bagi kaum moderat, Negara adalah produk dan manifestasi untuk mendamaikan pertentangan kelas. Negara adalah hasil kompromi yang dipayungi kodifikasi hukum tertulis yang dibuat oleh badan publik dan berlaku umum. Disanalah esensi egalitarianisme. Hukum tertulis itu ditinggikan kedudukannya karena dianggap sebagai monumen kontrak sosial warganegara. Pengutamaan hukum tertulis buatan manusia itu adalah untuk mengganti semangat hukum alam yang mulai kedodoran. Bila sebelumnya yang memberikan kepastian adalah hukum kodrat dari Tuhan, termasuk yang termanifestasi lewat kekuasaan raja. Maka semenjak itu, hukum buatan manusialah yang harus memberikan kepastian dalam menuntun masyarakat. Fiksi tentang kepastian hukum pun dilahirkan. Itulah supremasi undang-undang (legisme).
Pandangan yang pada sisi lain tentang bangunan negara disampaikan oleh Karl Marx, seorang Jerman yang pengaruhnya cukup luas pada abad 20. Lenin adalah Pemimpin Revolusi Bolsevik di Rusia yang mengamalkan ajaran Marx. Revolusi Rusia adalah cara lain melihat negara dan sekaligus merupakan kritik atas Revolusi Perancis yang tidak menyentuh perbaikan kelas ekonomi.
Rusia juga mengalami absolutisme feodal sebagaimana dialami Perancis dalam ungkapan L’état c’ést moi dari Raja Louis XIV. Di Rusia juga terkenal ungkapan, apa yang dimimpikan oleh Maharani Catherine II, Maharani Rusia (1729—96) pada waktu malam akan menjadi undang-undang pada keesokan harinya. Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia adalah antitesa terhadap feodalisme. Berbeda dari Revolusi Perancis, bagi Marx, negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan “tata tertib” yang melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan memoderasikan bentrokan antar kelas. Sehingga, tata tertib hukum yang diproduksi dalam asas Persamaan dihadapan hukum dari semangat Revolusi Perancis menjadi salah upaya untuk mendamaikan bentrokan antar kelas yang disembunyikan.
Namun, praktik negara komunis Uni Soviet pada masa Stalin meruntuhkan esensi dari emansipasi sosial dan ekonomi dari cita-cita Marx. Ini terjadi karena kediktatoran mendistorsi sekalian bangunan ekonomi dan sosial menjadi utuh sebagai urusan negara melalui pemerintahan diktator. Totalitas negara mereduksi aspek ekonomi, sosial dan politik individu warganegara serta komunitas yang beragam.
Meskipun demikian, partai komunis di beberapa negara berkembang menjadikan tesis Marx tentang perjuangan kelas memasuki dimensi asas Persamaan dihadapan hukum dengan mendorong hukum sebagai alat emansipasi sosial dan ekonomi. Hal ini dilakukan atas dasar kesenjangan antara semangat persamaan (egalite) dengan distribusi sumberdaya. Gerald Allan Cohen cukup tepat mengambil judul bukunya untuk menggambarkan kesenjangan itu. Cohen menulis buku berjudul: If You’re an Egalitarian, how Come You’re Rich. Negara-negara maju yang mengampanyekan dan mengaku sebagai egalitarian, malah masih sangat kaya dan menghegemoni sumberdaya. Cohen masih kuat dipengaruhi oleh ajaran Marx.
Lalu pertanyaannya, apakah dalam ketimpangan itu asas persamaan dihadapan hukum mesti dihilangkan sebagai suatu asas hukum? Jawabannya adalah Tidak. Dalam hal tertentu, asas persamaan dihadapan hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas. Namun disisi lain, karena ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal dan informasi) asas tersebut sering didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk melindungi aset dan kekuasaannya. Misalkan dalam hal asas persamaan dihadapan hukum yang dikawinkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).
Dalam praktiknya, asas praduga tidak bersalah itu menjadi asas yang paling umum untuk melindungi keburukan penguasa dan pemodal dihadapan hukum. Setiap penguasa atau pengusaha yang tersangkut masalah hukum akan menggunakan asas praduga tidak bersalah untuk menyembunyikan dosanya. Sedangkan bagi masyarakat awam dan marjinal, asas tersebut tidak diutamakan. Setiap hari kita masih melihat bagaimana acara-acara informasi kriminal di televisi yang mempertontonkan penembakan atau pemukulan orang yang disangka melakukan kejahatan. Hal yang tidak pernah kita lihat pada tersangka penjahat kelas kakap.
Dalam era informasi, asas persamaan dihadapan hukum juga mesti terkait dengan asas publisitas di dalam hukum. Setiap orang dianggap tahu dengan hukum, meskipun dia tidak pernah diajak merumuskan hukum yang dibuat. Dalam hal ini, asas persamaan dihadapan hukum mesti terkait dengan asas partisipasi pembentukan hukum dan persamaan atas informasi suatu perundang-undangan yang dibuat legislatif. Sehingga, persamaan dihadapan hukum juga harus didahului dengan persamaan memperoleh informasi terhadap suatu peraturan yang diundangkan. Asas publisitas ini menuntut pemerintah melakukan sosialisasi peraturan yang sudah dibuatnya.
Yang lebih esensial lagi adalah, asas persamaan dihadapan hukum tidak dipandangan sebagai suatu barang (berbentuk konstruksi fiktif) yang final. Asas ini harus dilihat sebagai suatu cara dalam berhukum. Sehingga dalam pembuatan, pelaksanaan dan penegakan hukum juga mesti melihat kembali struktur sosial dan ekonomi yang meliputi masyarakat. Pemahaman terhadap ketidaksamaan harus mendahului asas persamaan. Salah satu cara untuk mengetahui ketidaksamaan realitas sosial itu misalkan bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui data-data yang terpercaya (data kemiskinan, potensi sumberdaya alam, ketimpangan kepemilikan, diskriminasi, dan seterusnya). Data kuantitatif hanya pintu masuk saja untuk melihat persoalan sosial dan ekonomi. Cara lain adalah melihat analisa kualitatif dari aspek sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo mengajak bersimpati, empati dan menggunakan perasaan dalam melihat persoalan sosial. Sehingga penegakan dan pelaksanaan hukum menjadi pengimbang dari ketimpangan yang sedang berlangsung.
Bila asas persamaan hukum diterapkan dalam pandangan yang melampaui antroposentrisme dalam berhukum. Maka asas persamaan hukum mesti melihat persamaan perlakuan yang adil terhadap ketimpangan struktural dalam masyarakat, sekaligus perlakuan yang adil bagi lingkungan. Asas persamaan hukum ditantang menjadi media aplikasi keadilan sosial dan keadilan lingkungan.
Referensi
Gerald Allan Cohen, If You’re an Egalitarian, how Come You’re Rich
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, terj. Karisma Publishing Group, Batam Center, 2005.
Qasim Ahmad, Eropah Modern: Arus Sosiopolitik dan Pemerintahan, edisi Kedua
V.I. Lenin, Negara dan Revolusi: Ajaran Marxis tentang Negara dan tugas-tugas Ploretariat di dalam Revolusi, diunduh dari www.marxist.com. (From YA: Indoblawgger Forum).

Asas Legalitas
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan.
Pandangan inilah yang akhirnya dibawa ke Perancis oleh seorang sahabat dekat George Washington, Marquis de Lafayette. Ketentuan mengenai “tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya” tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.
Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.
Oleh karena itu, E Utrecht (1966) mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
Kontroversi asas retroaktif
Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif setidak-tidaknya untuk (1) menegakkan prinsip-prinsip keadilan; (2) mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama; (3) mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan; dan (4) mencegah terjadinya kekosongan hukum. Dengan empat alasan tersebut, asas legalitas yang sering mengalami kebuntuan ketika berhadapan dengan realitas dapat disimpangi secara selektif. Menurut mantan jaksa penuntut dalam International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY), Marie Tuma (2001), asas retroaktif dapat diterapkan terhadap situasi kekacauan yang menghancurkan manusia.
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika (1) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan (2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana. Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun).
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1973) mengatakan, “Retroactive laws are considered to be objectionable and undesirable because it hurts our feeling of justice to inflict a sanction, especially a punishment, upon an individual because of an action or omission of which this individual could not know that it would entail this sanction.” Kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang tidak diperhitungkan dan tidak diketahui oleh pelakunya akan membawa pada pertanggungjawaban hukum inilah yang menjadi keberatan ahli lain terhadap keberadaan asas retroaktif.
Keberatan terhadap asas retroaktif semakin nyata setelah larangan penerapan hukum yang berlaku surut dicantumkan dalam konstitusi suatu negara sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak hanya itu, sebagaimana terbaca dalam putusan MK, asas retroaktif dengan segala bentuk dan alasan apa pun tidak dikehendaki karena dianggap dapat menimbulkan suatu bias hukum, mengabaikan kepastian hukum, menimbulkan kesewenang-wenangan, dan akhirnya akan menimbulkan political revenge (balas dendam politik). Inilah yang disebut bahwa asas retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam).
Penulis berpendapat, asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional; (3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan (4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Kontroversi penerapan asas retroaktif sulit diakhiri dalam waktu dekat dengan penjelasan akademis sebaik apa pun. Dugaan saya, ini bukan merupakan kasus permohonan pengujian undang-undang bermuatan asas retroaktif yang terakhir. Selalu saja ada ruang cukup untuk berdebat ketika asas retroaktif didiskusikan. (A Ahsin Thohari Pemerhati Hukum).
Asas Praduga Tak Bersalah
Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.
Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).
Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.
Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis
Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).
HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).
Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan: “Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.
Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]
Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]
Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”. Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia. Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.
Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.
Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah
Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding. Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.
Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ENDNOTE:
[1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
[2] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].
[3] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81
[4] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30
[5] ibid
[6] Caherine Elliot, “French Criminal Law”; Wilan Publishing Coy; 2003; page………..
[7] Catherine Elliot, op cit.; p.11-12
[8] Braithwaite,di dalam karyanya, ” Shame and Integration Process”
[9] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan
[10] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.
[11] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003; Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.
[12] Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributive, distributive, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan kepad a kewajiban seseorang untuk mereparasi (memperbaiki) kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir terutama setelah munculnya pendekaran perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada ”pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu kesatuan kehidupan kemasuyarakatan”. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.
[13] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgevers; 2003;p.21
[14] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87


Asas Pembuktian Terbalik
Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.
ICCPR tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif.
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).
Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.
Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri atau impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.
Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.
Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001) dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut tehnis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.
Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).
Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.
Kesimpulan
1. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.
2. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.


Asas Non-Retroaktif
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas, yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.
Penjelasan mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum (penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk menangkap, menahan atau menuntut. Penegasan atas dua hal tersebut hendak memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia (gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut. Bagaimana pandangan para Ahli Hukum Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak (lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan, secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ? Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka - sekalipun dengan pro dan kontra - tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa, sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan - dengan seberapa jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi preventif).
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Atas dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.

Teori Hukum Murni
Ide mengenai Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar Doktornya pada bidang hukum. Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodologikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodologi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.
1. Norma Dasar
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norma moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklaim bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif. Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
2. Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “peraturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.

Beberapa Definisi Hukum
Membaca beberapa literatur utamanya yang terkait dengan Ilmu Hukum, maka akan kita temukan beberapa definisi/pengertian tentang “hukum”, dan definisi tentang “hukum” itu dapat pula kita temui dari kamus, ensiklopedi ataupun dari suatu aturan perundang-undangan.
Untuk melihat apa yang dimaksud dengan hukum, berikut akan diurai definisi “hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu hukum yang ada, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya.
Aliran Sosiologis
Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).
2. Hukum dalam arti selaku kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka).
Hukum bagi Rescoe Pound adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya.
Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).
Bellefroid: Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu).
Aliran Realis
Holmes: The prophecies of what the court will do… are what I mean by the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya artikan sebagai hukum).
Llewellyn: What officials do about disputes is the law it self (apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri).
Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.
Aliran Antropologi
Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).
Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).
Bohannan: Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum).
Aliran Historis
Karl von Savigny: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
Aliran Hukum Alam
Aristoteles: Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
Thomas Aquinas: Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.
Jhon Locke: Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.
Emmanuel Kant: Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.
Aliran Positivis
Jhon Austin: Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.
Blackstone: Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.
Hans Kelsen: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia… Hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.


0 comments:

 
TOP