Loading...
1 Jan 2013

EPOSISI MADRASAH DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH DAN PENDIDIKAN

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

REPOSISI MADRASAH
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH DAN PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Tulisan ini merupakan telaah awal berkaitan dengan penerapan otonomi daerah terutama daerah tingkat dua. Dalam UU No 22 /1999, khususnya bab IV pasal 7, ditegaskan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa bidang, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fisakal, serta agama, seperti tercantum dalam pasal tersebut menjadi wewenang pemerintah pusat. Sedangkan bidang-bidang lainnya diserahkan ke Pemerintah Daerah Tingkat II. Persoalannya adalah apakah madrasah yang telah lama berada dalam naungan (pembinaan) Departemen Agama RI akan segera dan sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II sebagaimana sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud? Atau apakah madrasah tetap dalam skema yang telah berjalan selama ini? Pilihan apapun yang diambil Departemen Agama akan menimbulkan tarik menarik (trade off) dan mengandung implikasi tersendiri bagi keberadaan madrasah sebagai institusi pendidikan.

Dalam melihat masalah tersebut dibutuhkan perspektif yang multidimensi dan objektif. Di sini, keberadaan madrasah, baik sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional maupun kualitasnya yang rata-rata masih rendah harus dijadikan titik tolak dalam pembahasan.

Ada beberapa hal yang perlu diketengahkan dalam perbincangan tentang status madrasah ke depan – otonomi daerah dan pendidikan.

Pertama, perlu melihat setting sejarah kehadiran madrasah di masyarakat. Hal ini sangat penting agar peran serta masyarakat atau keswadayaan yang merupakan basis pendukung kelangsungan hidup lembaga ini tidak terabaikan, bahkan akan terus dijadikan modal dasar untuk melakukan peningkatan kualitas madrasah. Madrasah, sebagaimana diketahui, telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka. Kehadirannya merupakan sahutan terhadap tuntutan masyarakat akan layanan pendidikan yang memenuhi dua dimensi kebutuhan : penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan keagamaan. Keduanya, jika dilihat dari setting historis, tidak dapat dipenuhi oleh sekolah umum yang diset oleh pemerintah kolonial Belanda maupun pondok pesantren – yang menitikberatkan pada pengetahuan agama saja. Keseimbangan antara dua dimensi ini – penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan agama – masih relevan dengan tuntutan masyarakat sekarang dan yang akan datang, terutama dilihat dari kecenderugan-kecenderungan yang muncul belakangan. Mampukah madrasah memanfaatkan peluang yang ada dalam masyarakat ? Hal ini juga telah melahirkan tuntutan untuk melakukan upaya peningkatan dalam berbagai segi di internal madrasah.
Kedua, secara de facto keberadaan madrasah di tengah-tengah masyarakat telah mendapat pengakuan ; makna kehadirannya tidak diragukan lagi. Hanya saja secara de jure madrasah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional baru tampak tegas setelah UUSPN No. 02 /1989 diratifikasi. Beberapa dekade yang lalu dan bahkan dimulai sejak pemerintah Hindia Belanda, institusi pendidikan ini terkesan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya sebagai ‘indigenous institutions’. Sentuhan-sentuhan pemerintah yang mendorong terjadinya eskalasi peningkatan mutu dirasa masih belum seimbang dibanding dengan perlakuan yang diberikan ke sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud. Dari politik anggaran, misalnya terdapat ketimpangan dalam alokasi anggaran untuk lembaga pendidikan ini. Hal ini mempunyai hubungan dengan status dan garapan utama Departemen Agama. Perbedaan perlakuan anggaran untuk madrasah telah terjadi, bahkan masih dirasa meskipun UUSPN No. 02 /1989 telah diratifikasi. Departemen Agama RI harus mengalokasikan dana yang diterimanya (bidang agama) untuk ‘pembinaan’ dan pengembangan madrasah agar lembaga ini dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu sesuai tuntutan masyarakat. Ketimpangan yang mencolok 1 mengakibatkan madrasah-madrasah pada satu dimensi ‘tertinggal’ dari sekolah-sekolah yang kini berada dalam naungan Depdikbud.
Ketiga, pandangan tentang proporsionalitas dan politik penyelenggaraan pendidikan perlu dipertimbangkan dalam melihat persoalan madrasah ke depan. Pertanyaan yang acapkali muncul dalam diskusi adalah siapa yang paling otorotatif dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, kita akan menjumpai pandangan bahwa pendidikan semestinya berada dalam satu atap dan Depdikbud dipandang sebagai lembaga paling otoritatif. Pandangan ini tidak serta merta dapat diterima karena alasan : kaum Muslim belum yakin betul apabila madrasah atau pendidikan agama diselenggarakan dalam satu atap. Pertanyaan yang mungkin muncul apakah integrasi madrasah atau pendidikan agama dalam satu wadah tidak akan meresuksi penyelenggaraan pendidikan agama. Dengan kata lain, mempercepat sekularisasi. Upaya-upaya untuk memberikan pengajaran agama-agama (panca agama) kepada setiap murid merupakan salah satu tawaran yang pernah ditolak dan kasus ini sulit dilupakan kaum Muslim. Upaya untuk menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti bisa saja dapat memicu ketegangan di kalangan umat manakala dipahami sebagai pengganti pendidikan agama di sekolah-sekolah. Terlebih jika dasar pemikiran yang digunakan untuk menetapkan pentingnya budi pekerti adalah pendidikan agama yang selama ini dipandang “gagal” dalam membentuk perilaku yang mulia di kalangan siswa. Padahal hasil yang ingin dicapai melalui pemberian pendidikan agama adalah tertanamnya akhlakul karimah (budi pekerti mulia) di kalangan murid-murid sekolah pada setiap jenjang. Lagi pula secara historis madrasah telah lama “terabaikan” dari sistem pendidikan nasional.
B. Otonomi Pendidikan
Isu otonomi pendidikan bergulir bersamaan dengan isu-isu otonomi daerah yang tercantum dalam UUD 1945 tentang pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini diperkuat oleh UU No. 5 1974. UU ini menetapkan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tingkat II berdasarkan tiga azas otonomi, dekonstruksi dan pemberian bantuan. Pengaturan semacam ini dimaksudkan agar masing-masing daerah dapat mengelola diri sendiri dan mengembangkannya sesuai dengan potensinya. Meskipun demikian pelaksanaan UU No. 05 Th. 1974 belum dapat dilaksanakan secara efektif karena tidak ada kesungguhan untuk menerapkannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari fenomena yang muncul dalam penyelenggaraan pembangunan. Misalnya, keseragaman dalam menset program pembangunan di daerah-daerah. Daerah atau level bawah belum menjadi pemrakarsa dalam merencanakan program pembangunan. Batasan tugas antara pusat dan daerah cenderung ke arah dekonstruksi. 2 UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bidang kewenangan yang semestinya diemban oleh pusat dan daerah. Lima bidang yang disebutkan di atas menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat sedangkan selebihnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah.
Pengelolaan usaha bidang pendidikan akan diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II sejalan diberlakukannya UU tersebut. Otonomi pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan lembaga pendidikan (sekolah) sebagai wadah otonom yang memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat yang bermutu dan sesuai kebutuhan masyarakat. Otonomi pendidikan secara mikro lebih dikenal dengan otonomi sekolah, juga sering disebut dengan desentralisasi pengelolaan sekolah, pengelolaan pendidikan berdasarkan kebutuhan sekolah / masyarakat atau disebut juga dengan local management of school. Sekolah-sekolah diberikan kewenangan yang penuh dalam merancang kebutuhan layanan pendidikan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi sebagai berikut :
a. Kepala sekolah bersama guru, orang tua, murid dan bahkan masyarakat berkewenangan menetapkan keputusan untuk penyelengaraan program pendidikan yang dibutuhkan. Murid, orang tua murid atau masyarakat dapat menolak tawaran program pendidikan yang dipandang tidak tepat dan tidak memenuhi kebutuhan.
b. Pengendalian keuangan sekolah oleh sekolah dan masyarakat melalui aturan-aturan atau ketentuan yang dibuat bersama.3

Pemberian otonomi kepada sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat menawarkan pendidikan lebih baik (bermutu) berdasarkan pertimbangan akademik dan nilai-nilai yang diberikan untuk membentuk sikap kepada murid dalam kerangka mewujudkan kematangan diri dan juga dapat menunjang pengembangan kehidupan masyarakat Dengan otonomi, sekolah dapat mengembangkan program-program inovatif, juga mengembangkan sumber daya insani yang ada di sekolah dan mendorong masyarakat untuk berperan serta secara optimal dalam merencanakan, mengawasi pelaksanaan kegiatan pendidikan. Sekolah dapat leluasa mengelola sumber yang dimiliki dan peran serta masyarakat dapat dimanfaatkan untuk melakukan upaya peningkatan mutu secara berkesinambungan. Tugas sekolah adalah meningkatkan kemampuan anak dan watak yang mempunyai kepribadian diri dan kepekaan terhadap persoalan-persoalan kehidupan masyarakat dalam pelbagai bidang dan orang-orang yang mengalami kesulitan karena kehidupan ekonomi ataupun kondisi struktural yang mengakibatkan dia menderita.
Mengapa otonomi pendidikan perlu segera dilakukan ? Ada beberapa alasan penting dalam konteks ini. Merujuk konsep otonomi pendidikan mikro, otonomi atau desentralisasi sekolah dimaksudkan untuk mendorong upaya-upaya inovatif bagi peningkatan mutu pendidikan sesuai kebutuhan masyarakat. Kita juga mencatat beberapa hal yang penting dalam konteks otonomi pendidikan, yaitu :
a. Sentralisasi atau pendekatan sentralistik telah mengabaikan keanekaragaman yang terjadi di masing-masing daerah atau sekolah. Seluruh program pendidikan dipatok dari atas dan sekolah hanyalah pelaksana teknis dari kebijakkan dan program pusat. Sementara itu juga, pusat sesungguhnya mempunyai keterbatasan dalam memahami keragaman kebutuhan, kemampuan mengorganisasi program dan bahkan mengendalikan mutu dari program pendidikan yang diselenggarakan. Akibat dari pendekatan unifikasi atau uniformiti adalah seluruh sekolah menyajikan layanan pendidikan yang terlepas dari kondisi / potensi dan kebutuhan masyarakat.
b. Sentralisasi telah menjadikan sekolah sebagai alat mekanis yang berfungsi sebagai pelaksana program dan kebijakan. Kepala sekolah dan guru bekerja berdasarkan patokan-patokan yang ditetapkan oleh pusat. Mereka merasa takut melakukan inovasi terhadap program yang tidak tepat yang disodorkan oleh pusat. Hal ini dapat kita saksikan, misalnya, dalam menyiasati kurikulum di madrasah. Hasil pemantauan dari lokakarya Madrasah Model di Lampung, misalnya, guru-guru mata pelajaran keterampilan merasa tidak berani mencari terobosan terhadap penyelenggaraan pengajaran keterampilan – dengan memilih keterampilan yang sesuai dengan potensi lokal. Keengganan untuk melakukan terobosan terjadi karena kurikulum telah mematok beberapa topik yang dianggap harus diberikan selama mengikuti pelajaran di madrasah.
c. Posisi guru dan kepala sekolah sebagai tukang yang loyal kuat terhadap suprastruktur. Pandangan obyektif berdasarkan landasan keilmuan dapat saja dilanggar. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus penetapan buku bacaan, pelulusan ujian dan penambahan NEM.
d. Pertimbangan-pertimbangan non akademik dan prestasi acapkali mempengaruhi promosi dan sanksi terhadap guru atau kepala sekolah. Hal ini juga dapat saja digunakan untuk melakukan mutasi guru atau kepala sekolah.
e. Bimbingan yang diberikan oleh suprastruktur lebih berorientasi kepada hal administratif. Bahkan tidak jarang kita temukan personel yang ada di suprastruktur memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan pendidikan tidak seimbang dengan guru atau kepala sekolah yang menjadi bimbingan. Meski demikian para guru dan kepala sekolah cenderung tidak melakukan kritik atau protes terhadap apa yang diberikan dalam kegiatan technical assitance.
f. Droping personal untuk kepala sekolah atau guru yang terkadang tidak memenuhi persyaratan akademik atau professional leader sering dilakukan. Sementara itu, para guru, orangtua murid apalagi murid tidak dapat mengajukan tawar menawar terhadap guru atau pimpinan yang dipandang tidak mampu mengayomi dan melakukan pengembangan performansi sekolah.
Opsi dan Konsekuensi
Dalam meresponi UU No. 22 1999 Departemen Agama dihadapkan pada dua pilihan, yaitu (a) Bersikeras bahwa pembinaan madrasah secara sentralistik, dan (b) menyerahkan pembinaan madrasah kepada pemerintah daerah tingkat II sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Pilihan salah satu dari keduanya mengandung keuntungan dan kerugian.
a. Sentralisasi
Dengan sentralisasi, Departemen Agama dapat secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah-madrasah di seluruh Indonesia. Penerimaan opsi pertama mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang madrasah berada dalam kategori bidang agama sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 Th. 1999. Sumber dana yang kucurkan untuk melakukan pembinaan dapat secara langsung dikelola oleh pusat. Sedangkan daerah menjadi pelaksana kebijakan dari program pusat. Dengan pendekatan ini, madrasah akan menaggung beban berupa program-program yang secara politis menjadi kepentingan pusat atau wilayah. Pusat dapat menentukan jenis-jenis program dan target yang mesti dicapai oleh masing-masing madrasah dalam berbagai tingkatan.
Hanya saja ada kelemahan dengan pilihan ini:
Pertama, pasal 7 UU No. 22 Th. 1999 menegaskan lima bidang yang tetap sentralistik. Seandanya pilihan pertama yang diambil, dapat dipastikan sumber dana untuk melakukan pembinaan dan pengembangan madrasah berasal dari bidang agama sebagaimana telah berlangsung. Besar kemungkinan sumber dana yang diterima untuk upaya peningkatan mutu sangat tidak memadai dibandingkan dengan jumlah madrasah dan wilayah yang harus dijangkau.
Kedua, madrasah dimungkinkan tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional karena berdasarkan UU tersebut pendidikan diserahkan ke pemerintah daerah tingkat II. Konsekuensinya, madrasah tidak akan mendapatkan perhatian atau perlakuan dari pemerintah daerah.
Ketiga, dengan sistem sentralistik, program direncanakan dan diputuskan oleh pusat. Budaya akademik yang dikembangkan di sekolah dapat dipengaruhi oleh keputusan politik dari pusat. Keadaan seperti ini kurang atau bahkan dapat menghambat kretaifitas para guru dan kepala madrasah.
Keempat, masyrarakat kurang peduli atau bahkan menggantungkan sumber pendanaan kepada pemerintah – dan inilah yang terjadi selama ini. Bahkan penegerian seatu sekolah atau madrasah dapat menimbulkan pemupusan terhadap semangat dan tindakan gotong royong sebagai salah satu perwujudan dari kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
Kelima, Informasi dari bawah (sekolah) ke pusat harus melalui jalur yang panjang karena harus mengikuti struktur birokrasi. Karena itu persoalan – persoalan di lapangan yang membutuhkan penanganan segera akan memakan waktu yang cukup lama, dan bahkan persoalan dapat menumpuk.
b. Otonomi
Pilihan kedua madrasah sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II. Ini tidak hanya menunjukkan pengakuan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki keunikan. Lebih dari itu, juga memberikan peluang munculnya keragaman dalam penyelenggraan pendidikan di Indinesia. Pilihan ini sejalan dengan yang dimaksudkan dalam pasal 7 UU No. 22 Th. 1999 tentang kewenangan dalam penanganan bidang pendidikan pemerintah daerah tingkat II.
Ada beberapa keuntungan dengan pelimpahan ini dengan syarat kelembagaan yang mengelola pendidikan dan personel yang kini berada di Kandepag mempunyai distinctive comptence dalam keilmuan yang diperlukan bagi pengembangan madrasah. Di samping itu, personel Kandepag juga memiliki professional leadership skill yang memadai. Pada sisi lain, personel-personel di pemerintah daerah tingkat II juga memiliki kemampuan, pemahaman dan skill tentang pendidikan (madrasah) yang memadai dalam menyahuti tantangan masa depan dan mampu memahami dan menyerap persolan di bawah (kemampuan mendengar dan menyerap pikiran dari bawah).

Adapun keuntungan dari opsi kedua ini adalah sebagai berikut :
a. Madrasah menjadi bagian dari sistem pendidikan, dan dengan pengakuan tersebut madrasah akan mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah-sekolah lainnya di berbagai tingkatan. Perlakuan diskriminatif yang dicirikan oleh alokasi dana pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan madrasah dapat dihindarkan ; madrasah telah diakui sama dengan sekolah-sekolah yang kini berada dalam naungan Depdikbud.
b. Kepala madrasah dan guru dapat mengembangakan sumber daya yang ada dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Apa yang menjadi kebutuhan dan persoalan masyarakat terhadap madrasah dapat secara langsung diserap oleh pihak madrasah melalui forum-forum yang ada dalam masyarakat. Revisi terhadap program yang telah dirancang dapat dilakukan segera dan persoalan yang mengkait masyarakat dengan sekolah atau masyarakat sekolah dengan suprastruktur dapat ditangani karena struktur yang ada sangat pendek (debirokratisasi).
c. Iklim akademik dapat tumbuh dan berkembang dengan adanya kebebasan sekolah dalam mengembangkan program dan sumber. Masyarakat dapat secara langsung memberikan saran, kritik serta usulan kepada sekolah dan supra struktur sekolah.
d. Madrasah dapat mengembangkan elemen-elemen yang ada dalam masyarakat untuk kepentingan peningkatan mutu secara berkesinambungan.
e. Fokus pembinaan yang selama ini lebih menekankan pada persoalan administratif minimal dapat ditekan. Performansi akademik dan watak dari suatu sekolah merupakan isu yang disepakati dan harus mendapatkan perhatian dari seluruh pihak.
Kelima poin di atas merupakan keunggulan dari pilihan kedua. Namun pilihan ini mengakibatkan resiko pula yaitu :
a. Departemen Agama (Pusat) kehilangan sasaran binaan kelembagaan pendidikan. Dengan demikian peran Departemen Agama hanya sebatas haji, ZIS, nikah, cerai dan rujuk dan hubungan antar umat beragama. Hal ini untuk kepentingan ad hoc kurang menguntungkan.
b. Beberapa tenaga yang baik dan merupakan hasil kegiatan pusat akan dimanfaatkan oleh pihak lain. Hal ini dapat dipahami sebagai kerugian apabila dilihat dari konteks ad hoc. Namun apabiladilihat dari konteks yang lebih jauh belum tentu demikian.
c. Kekahawatiran akan adanya reduksi pendidikan agama di sekolah-sekolah umum atau pengurangan peran akan muncul di kalangan umat dan apabila hal ini ditanggapi secara emosional konflik di masyarakat akan terjadi. Hal ini juga dapat menjadi kenyataan manakala aturan-aturan yang disepakati tidak dipatuhi oleh semua pihak yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan.


Penutup
Sebagai penutup dari pokok-pokok pikiran awal ini perlu disampaikan bahwa kedua pilihan ini sama-sama mensyaratkan beberapa hal berikut : adanya sumber daya insani yang memadai pada tingkat sekolah / madrasah dan supra struktur dari sekolah / madrasah. Kemampuan guru dan kepala sekolah / madrasah untuk menyerap kebutuhan dan memahami persoalan yang berkembang serta menetapkan pilihan program bersama masyarakat merupakan prasayart yang mendorong sekolah dapat berkembang. Juga kemampuan serupa dari pihak supra struktur (instansi-instansi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan) merupakan kondisi yang harus diwujudkan untuk menjamin kesinambungan komitmen terhadap peraturan/undang-undang. Kelenturan birokrasi dalam memberikan layanan terhadap lembaga pendidikan dan sikap entrepreneurial di kalangan kepala sekolah/madrasah dan guru serta personel yang ada dalam supra struktur merupakan faktor yang sangat kontributif terhadap penciptaan mutu pendidikan ke depan.


DAFTAR PUSTAKA
Bray, Mark; Thomas, Murray R, Financing of Education in Indonesia, Philippine : Asian Development Bank, 1998
Fiske, B, Edward, Arah Pembangunan Desentralisasi Pengajaran Politik dan Konsensus, Jkarta : PT Grasindo, 1999
Greenwood. Malcolm S ; Gaunt, Helen J, Total Quality Management For School, New York, : Cassel, 1994
IESeR ( Institute for Education an Socio – economic Research), Dialog Partai – Partai Politik Agenda Pembaharuab Pendidikan di Indonesia, Jakarta : 1 Mei 1999
Lev’cic’, Rosalind, Local Management of School : Analysis and Practice, Buckingham : Open University Press, 1995
Rasyid, Ryaas, Muhammad, Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta : PT YARSIP WATAMPONE, 1997
Tim Teknis BAPPENAS dan Bank Dunia, Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kertas Kerja, Jakarta : Februari 1999
Tim Teknis BAPPENAS dan Bank Dunia, School Based Management, Kertas Kerja, Jakarta : Februari 1999
Catatan :
* Fuad Fachruddin adalah Direktur Institute for Educational Research (IER), Jakarta. Kini konsultan untuk Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (BEP Depag).
1 Hasil studi tim ADB bekerja sama dengan Comparative Education Center Universitas Hongkong menunjukkan perbedaan yang cukup jauh pengeluaran per murid pada tingkat dasar (SD/MI dan SLTP/MTs) dan perbedaan ini mencolok sekali bila kita bandingkan antara bantuan pemerintah untuk madrasah swasta dibanding dengan sekolah-sekolah negeri yang berada dalam naungan Depdikbud. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran (dukungan pemerintah) untuk sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud dan Departemen Agama. Pengeluaran murid SDN per tahun dengan rentangan sebagai berikut rata-rata Rp.190.000.0 dan pengeluaran tertinggi Rp.304.000.0. Sedangkan pengeluaran per murid MIN dalam setahun berada dalam rentangan Rp.139.000.0 (rata-rata) dan Rp.225.000.0 (tertinggi). Perbedaan ini tampak lebih mencolok lagi apabila kita kontraskan dengan pengeluaran untuk MIS yaitu Rp.87.000.0/tahun per murid untuk rata-rata dan Rp.163.000.0/ murid /tahun untuk pengeluaran tertinggi. Untuk SLTP, kita dapat melihat gambaran sebagai berikut : Pengeluaran murid untuk SLTPN per tahun Rp.418.000.0 (rata-rata) dan Rp.615.000.0 (tertinggi). Sementara itu, pengeluaran murid MTsN per tahun adalah Rp.324.000.0 (rata-rata) dan Rp.572.000.0 (tertinggi). Keadaan ini sangat jauh mencolok apabila kita lihat pengeluaran per tahun per murid untuk MTsS, yaitu Rp.185.000.0 (rata-rata) dan Rp.380.000.0 (tertinggi). Lebih rinci uraian ini dapat kita lihat Financing of Educaton in Indonesia, (ed) Bray, Mark dan Thomas, Murray R, Philippine : Asian Development Bank, 1998.
2 Tim Tekni BAPPENAS dan Bank Dunia, Menuju DesentralisasiPengelolaan Pendidikan Dasar, Jakarta : Februari 1999 (Kertas Kerja). Tiga azas otonomi daerah adalah (a) Dekonstruksi iala pelimpahan urusan pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat, perncanaan dan pembiayaan masih dilakukan pusat, (b) Pembantuan yaitu memberikan tugas kepada daerah untuk melaksanakan urusan pusat ke pejabat daerah, (c) otonomi memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada daerah.
3 Secara rinci konsep dan pengalaman negara lain dalam menyelenggarakan otonomi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dalam Leva’cic’, Rosalind, Local Management of School : Analysis and Practice, Buckingham : Open University Press, 1995, hal 1 – 15. Juga dalam Greenwood, Mallcolm S ; Gaunt, Helen J, Total Quality Management for Schools, New York : Cassel, 1994.

0 comments:

 
TOP