Loading...
1 Jan 2013

Metode Qiyas Dalam Istimbat Hukum

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

METODE QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM
MENURUT IBNU HAZM  : (PENDEKATAN HISTORIS)

A.    Pendahuluan

Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam  tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjustifikasi pluralitas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “langage games   yang berbeda.
Islam di tengah – tengah kemajuan segala bidang sebagai hasil dari cipta, rasa serta karya dari manusia sekarang ini di tuntut akan eksistensinya di dalam memenuhi perkembangan pengetahuan dan teknologi. Sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi dan bahkan politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam. Hukum Islam bukanlah unifikasi yang baku yang sudah tidak bisa di interpretasikan, melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan, memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi dari posisi fleksibilitasnya (flexible – position), selama demikian ini tidak berorientasi mengorbankan keluhuran hukum Islam
Oleh karena itu interpretasi terhadap perkembangan iptek serta problema umat dalam realitas sosial kemasyarakatan dalam perspektif hukum islam merupakan keperluan yang tidak dapat ditwar – tawar lagi.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur'an , b). al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas  atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah).
Permasalahan qiyas  dalam eksistensinya sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam lapangan ilmu hukum menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan diantara para ulama. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Daud al-Dzahiri tidak mau mengakui qiyas  apalagi menerima atau menggunakannya. Sedang di kalangan ulama – ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum syari’at
Al’alamah Ibn Hazm Abu Muhammad Ali bin Said bin Hazm bin Gholid bin Khalaf bin said bin Sufyan bin Yazid (384 – 456 H / 994 – 1064) yang biasa dipanggil dengan Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, tidak mungkin ada masalah yang tidak ada jawabannya di dalam nash. Al-Qur'an menegaskan :”Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikitpun” (QS. Al-An’am (6) : 38), “Pada hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS. Al-Maidah (5) : 3), “kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjalankan segala sesuatu “ (QS. Al-Nahl (16) : 89).
Dari elaborasi diatas ternyata eksistensi qiyas  masih problematis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang qiyas  dalam perspektif historis metodollogis istinbath hukum Islam.

B.    Biografi Ibn Hazm

Nama lengkapnya adalah Ali ibn said Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shaleh Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn Sufyan Ibn Yazidhttp://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftn8. Kalangan penulis kontemporer memakai nama singkatnya yang populer Ibn Hazm, dan terkadang di hubungkan dengan panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi dengan menisbatkannya kepada tempat kelahirannya, Cordova dan andalus, sebagaimana sering dikaitkan dengan sebutan al-Dhahiri, sehubungan dengan aliran fiqih dan pola pikir dhahiri yang dianutnya. Sedangkan Ibn Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Abu Muhammad sebagaimana di temukan dalam karya – karya tulisnya.
Ibn Hazm lahir di Andalusia pada  hari yang terakhir dari bulan Ramadhan th. 384 H, di waktu dinihari sesudah terbit fajar, sebelum terbit mataharihttp://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftn9. Ia termasuk keturunan Arab suku Quraisy. Ayahnya Ahmad Ibn Da’id, berpendidikan cukup tinggi, sehingga dia diangkat menjadi pejabat di lingkungan kerajaan al-Manshur dan kemudian menjadi wazir al-manshur pada tahun 381 H / 991 M. dia menjabat wazir sampai di masa pemerintahan al-Muzaffar dan meninggal pada tahun 402 H.
Pendidikan kanak – kanak Ibn Hazm telah menanamkan kecintaannya yang kuat meminati ilmu dan belajar lebih banyak. Setelah usia remaja ia selalau diajak ayahnya menghadiri majelis – majelis temu ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh al-manshur yang dihadiri oleh para ahli sya’ir dan ilmuwan. Disamping itu Ibn Hazm juga berada di bawah bimbingan seorang alim dan wara', ’ernama Ali al-Husein Ibn Ali al-Fasyhttp://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftn10.
Semenjak usia 15 tahun ia mulai belajar diluar lingkungan istana, emngikuti klub – klub studi di samping berguna secara tersendiri dalam bidang tertentu. Gurunya yang pertama adalah Ahmad Ibn Jazur, mulai belajar padanya pada tahun terakhir abad

C.   Qiyas : Perspektif Ulama Fiqih

1.  Pengertian Qiyas
  Secara bahasa qiyas  berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya  yang  berarti “saya mengukur baju dengan hasta
Pengertian qiyas  secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas  adalah :

“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.

Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama mendefinisikan qiyas  dengan :
Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas  dengan:
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas  bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.


Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
·      Ashl (hukum asal sebagaimana dalam al-Qur'an)
·      Far’u (cabang yang belum ditetapkan didalam Al-Qur'an/nash)
·      Illat ( alasan hukum, sebab hukum)
·      Hukum ashl (ketentuan hukum dari ashl - )

2. Kehujjahan Qiyas

Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas  dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas  bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
a.   Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
b.    Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas  menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas  sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas  sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
·      Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
“Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an  dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas  merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas  dilarang untuk diamalkan.
Alasan – alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
 Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat al-Hasyr, 59 : 2
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas  yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas  adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
·      Surat al-Baqarah 2 : 222 :
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
·      Surat al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
·      Surat al-Maidah 5:6
.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas  termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H>R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.  

Daftar Pustaka :
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref1Syari’ah merupakan dimensi eksoterik Islam, sedangkan dimensi esoterisnya diisi oleh tasawuf. Sayyes Fussein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London : Unwin Paperbacks, 1979), hlm. 94.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref2M. Atha Mudzhar, Sosial History Approach to Islamic Law, Al-jami’ah (no. 61, th. 1998), hlm. 78. Lihat juga Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad : islamic research Institute, 1988), hlm. 24 – 25.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref3Istilah “langage games”  pertama kali digunakan Ludwig Wittggenstein (1889 M – 1951 M) dalam bukunya “Philosophical Investigation” untuk menunjukkan bahwa bahasa mempunyai beberapa macam fungsi sesuai konteks (meaning is context). Language games ini mempunyai aturan sendiri sesuai dengan konteksnya sehingga kata yang sama bila digunakan dalam language games yang berbeda pasti mempunyai arti yang berbeda. Budhi Munawar rachman, Ilmu Hudluri : “Mengelak” dari Mistik ? dalam Ulumul Qur’an (no. 1, vol. Vi th. 1995), hlm. 62. Lihat juga Rizal Muntasyir, Filsafat Analitik , Sejarah, Perkembangan dan Peranan para Tokohnya, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 83 – 86. Teori language games  ini juga berlaku bagi aneka bentuk kehidupan (form of life), termasuk kehidupan umat Islam dalam mempraktekkan Syari’ah.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref4Said Agil Husein al-Munawar, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serta Rekayasa Teknik Genetika Dalam Perspektif Hukum Islam, tarjikh, edisi ke I, Desember 1996, hlm. 54 – 56.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref5Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Kuwait : An-Nashie, 1977, cet. 2, hlm. 52)
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref6Subhi mahmasani, Filsafat Hukum Dalam Islam (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1981), hlm. 127
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref7Ibn Hazm, Al-Muhalla, (Beirut : Maktabah at-Tijadi, t.th.), hlm. 56
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref8Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’, (Cairo : Dar al-Ma’mun, t.th.), hlm. 235 – 236.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref9Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok – Pokok Pegangan Imam Madzhab (semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref10Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat wa al-Ullaf, (Cairo, Dar al-Ma’arif, 1977), hlm. 165 – 166.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref11Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, hlm. 173
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref12Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm al-Ushul, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hlm. 54
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm - _ftnref15Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974), hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1978), hlm. 234.






Metode Qiyas Syafi’i

Sekian banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah. Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini.
Al-Qur`an terus dikunjungi oleh umat manusia untuk dibaca dan ditafsirkan. Menafsirkan al-Qur`an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur`an. Proses pembacaan dan penafsiran yang lama berlangsung telah menghasilkan beratus-ratus kitab tafsir sejak masa lampau hingga sekarang. Banyak kitab tafsir dengan corak dan ragamnya yang berbeda itu, di samping sebagai bukti prihal ketidakberhinggaan kerja penafsiran, juga di dalam kerangka untuk membunyikan aksara al-Qur`an dalam tataran masyarakat yang terus berubah.
Sekian banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah. Bangunan ushul fikih Syafi’i kemudian mencapai fase kematangannya dari para pengikut Syafi’i, di antaranya adalah al-Subki dengan bukunya Jam’u al-Jawami’. Di situ al-Subki berbicara sangat detail tentang teori lafzd. Dari kalangan madzhab Maliki, al-Syathibi menyusun sebuah buku monumental yang bertitel al-Muwafaqat fiy ushul al-Syari’ah. Dalam buku tersebut, al-Syathibi banyak mengelaborasi konsep maqashid al-syari’ah. Kitab-kitab ushul fikih itu berdiri demikian kokoh dan mapan sehingga mayoritas para ahli ushul belakangan tidak bisa keluar dari jeratan metodologi al-salaf al-shalih. Ushul fikih purba begitu dimanja dan disakralkan oleh para pembacanya.
Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Pertama, ushul fikih Syafi’i beraroma Arab-sentris. Arabisme merupakan ideologi yang lekat dalam tembok ushul fikih lama. Kedua, kaidah yang banyak dilansir oleh kitab ushul fikih Syafi’iyah ”al-’ibrah bi ‘umum al-lafdz la bi khushush al-sabab” terkesan terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan konteks. Pembahasan tentang lafdz (kata) dengan porsi yang demikian luas merupakan indikasi kuat betapa ushul fikih lama sangat menekankan teks dan nyaris menafikan konteks. Pendeknya, ushul fikih konvensional lebih menitikberatkan pada lafdz (kata) dan bukan pada maqashid (ideal moral).
Ketiga, menyangkut konsep qiyas (analogi) yang terutama diusung oleh Syafi’ i.. Per definisi, qiyas dikatakan sebagai menganalogikan sesuatu yang belum jelas ketentuan hukumnya (furu’) dengan yang sudah jelas hukumnya dalam al-Qur`an dan al-Sunnah (ashal) karena ada kesamaan illat. Model qiyas seperti ini bermasalah setidaknya karena dua hal berikut. [a] bahwa tidak ada dua peristiwa yang persis sama, sehingga hukum keduanya bisa diparalelkan. Persamaan illat yang menjadi alasan pengoperasian qiyas sesungguhnya merupakan tindakan simplifikasi. menyangkut hal-hal yang bersifat sosial, qiyas Syafi’i tampak mengabaikan konteks yang melandasi kehadiran hukum ashal. Betapa, pengetahuan terhadap konteks hukum ashal tidak pernah menjadi rukun dari qiyas.
Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini. Apa yang dilakukan oleh pemikir-pemikir muslim kontemporer dengan kerangka dan metodologi barunya, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Adonis, Hasan Turabi, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain kiranya untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan tadi. Mengubah ushul fikih lama tentu saja teramat absah dari sudut akademis-intelektual, karena ia seutuhnya merupakan kreasi para ulama. Ushul fikih memiliki status epistemologis yang relatif, tidak mutlak.












PENERAPAN QIYAS DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM DAN PIDANA POSITIF
 Dalam sejarah pemikiran Hukum Islam, adanya perdebatan dalam merumuskan konsep qiyas sebagai metode untuk menghasilkan produk hukum tak henti-hentinya menjadi tema sentral dikalangan ahli Ushul. Hal ini terbukti dengan tidak dibolehkannya konsep ini diterapkan dalam konteks hukum pidana baik itu hukum pidana Islam maupun pidana positif. Unsur utama yang menjadi penyebab ketidakbolehan ini adalah karena adanya spekulasi yang amat besar dalam pola penerapan azasnya. Dalam hukum pidana Islam ketidakbolehan ini dilatarbelakangi oleh hadits nabi yang menyatakan dengan tegas untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan dalam menghukum seorang mukallaf. Sedangkan dalam hukum pidana positif, ketidakbolehan ini disebabkan oleh adanya azas legalitas (principil of legality) yang mengandung pengertian bahwa tidak dipidana seseorang tanpa ada ketentuan yang mengaturnya terlebih dahulu dalam Undang-Undang. Dari kedua produk hukum tersebut tersirat satu persamaan bahwa keduanya sama-sama menghormati dan menjunjung tinggi hak azasi manusia di depan hukum.

PENDAHULUAN

            Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh). Para ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dilihat dari konteks sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas ini berawal dari logika filsafat Ariestoteles yang berkembang di Yunani kemudian ditransformasi menjadii khazanah kebudayaan Islam pada masa al-Makmun. Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam Syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan ‘illat.
            Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
  A.    Terminologi dan Unsur-unsur Qiyas.
Secara harfiah, Qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang atau berat sesuatu, karena itulah mengapa skala disebut sebagai miqyas. Miqyas juga bermakna perbandingan dalam rangka memberi kesan kesamaan antara dua hal. Dengan demikian Qiyas memberi kesan kesamaan untuk mengukur yang lain.
 Dari segi operasional, qiyas merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus ashl terhadap kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai kausa hukum (‘illat) yang sama dengan yang disebut pertama. Kasus ashl ditentukan oleh nash yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan kausa hukum (‘illat) antara kasus ashl dan kasus baru inilah maka penerapan Qiyas mendapat justifikasi.
 Pemakaian Qiyas hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-qur’an, sunnah atau ijma yang tergolong qath’i dan akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas jika kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang ada. Hanya dalam soal-soal yang belum terjawab oleh nushus dan ijma sajalah, hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber ini melalui penerapan Qiyas.
Dalam kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i disana disebutkan bahwa Qiyas dalam pandangan beliau adalah sebuah metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada baik al-qur’an maupun sunnah.
 والقياس هو ما طلب الدلائل الموافقة على خبر المتقدم من الكتاب والسنة
 “Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-qur’an dan sunnah”.

Dalam konteks inilah, Imam syafi’i menilai bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) memiliki tumpuan dasar (background) yang valid dari al-qur’an dan sunnah. Hal inilah yang membuat setiap hukum yang dihasilkan dari metode Qiyas ini benar-benar akurat dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Oleh karena pada dasarnya, qiyas merupakan perluasan dari hukum yang ada, maka para ahli hukum tidak mengakui qiyas sebagai proses pembentukan hukum yang baru. Qiyas adalah upaya untuk menemukan dan barangkali juga mengembangkan hukum yang telah ada, sekalipun qiyas memberi memberi potensi kreatifitas dan pengayaan tetapi pada dasarnya dimaksudkan untuk menentukan kesamaan dengan bunyi semangat al-qur’an dan sunnah.
 Jumhur mendefinisikan Qiyas sebagai penerapan ketentuan hukum kasus ashl kepada kasus baru, dimana hukum tidak memberi komentar karena berlakunya kausa (‘illat) yang sama bagi keduanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa qualifikasi Qiyas menurut definisi diatas adalah :
1.      Adanya kasus ashl yang ketentuannya telah ada dalam nash.
2.      Lahirnya kasus baru (furu’) atau sasaran penerapan ketentuan ashl.
3.      Adanya kausa (‘illat) hukum yang merupakan sifat dari kasus ashl dan ditemukan 
sama dengan kasus baru.
4.      Adanya ketentuan hukum kasus ashl yang diperluas kepada kasus baru tersebut.
B. Qiyas Dalam Hukum Pidana Islam.
            Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya metode Qiyas. Imam Syafi’i sebagai representer dari kalangan ini menambahkan bahwa penerapan Qiyas tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah. Dalam aspek ibadah, ketidakbolehan ini disebabkan oleh kausa hukum (‘illat) yang ada pada aspek ibadah itu ghairu ma’qulatil ma’na (irasional), karena sebagian besar hikmah yang diturunkan Allah dalam aspek ibadah seperti shalat, puasa, haji dll yang termasuk kategori mahdhah tidak dapat diketahui ‘illatnya sacara pasti dan rasional. Hal ini disebabkan keterbatasan rasio manusia untuk mencari hikmahnya, sedangkan dalam azas penerapan qiyas diketahui dan dipastikan bahwa ‘illat (kausa) hukum itu harus ma’qulatil ma’na (rasional). Kerangka inilah yang membuat qiyas tidak bisa diterapkan dalam aspek ibadah. 

            Adapun dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh sepakat bahwa ketidakbolehan penerapan qiyas ini disebabkan oleh adanya unsur spekulasi (syubhat) yang amat besar dalam pola penerapan azasnya. Hal ini bisa diketahui bahwa metode qiyas ini merupakan bagian dari unsur logika yang notabene menggunakan rasio sebagai satandar logis yang sifatnya relatif dan subyektif. Sehingga kerangka inilah yang membuat kontradiktif dengan azas penerapan hukum pidana yang lebih mengedepankan hak azasi manusia daripada menghukum sesorang tanpa kesalahan, sebagaimana dalam hadits :
 ادرؤالحدود بالشبهات
               “Hindarilah hudud (Penerapan Sangsi) terhadap kasus-kasus yang meragukan”. 
            Para fuqaha berbeda berbeda pendapat mengenai digunakannya qiyas dalam aspek jinayat. Diantara mereka ada yang menganggap sah menggunakan qiyas dalam hal tersebut, sementara yang lain menentangnya. Mereka yang menganggap sah memberikan argumentasi sebagai berikut :
  1. Adanya hadits nabi tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman mengandung pengertian bahwa dalam menetapkan sebuah kasus harus merujuk kepada al-qur’an, sunnah serta ijtihad. Pencarian terakhir merupakan pernyataan umum, tidak mengenai detil sesuatu. Hal inilah yang menjadi dasar diperbolehkannya qiyas dalam aspek jinayat.
  2. Ketika para sahabat meminta fatwa dari Ali mengenai jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi seorang pemabuk, Ali menjawab : “ Ketika seorang menonggak minuman keras, secara alami dia akan berbicara tidak karuan dan bisa jadi memfitnah orang, para sahabat kemudian menetapkan hukuman mefitnah bagi peminum khamar. Dapat dilihat disini bahwa Ali menurunkan hukuman bagi pemabuk dengan mengqiyaskan pada hukuman yang dijatuhkan bagi pemitnah, sehingga dalam hal ini tidak ada yang komplain sampai terjadinya konsensus (kesepakatan).

Adapun sebagian mereka yang menentang Qiyas dalam aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi  sebagai berikut :
1.        Dalam kasus dimana penyebabnya tidak komprehensif sulit untuk menggunakan analogi.
2.        Qiyas mengandung resiko keraguan selanjutnya membawa kekeliruan sehinga menjadikan hudud tidak valid dan akurat.
            Mereka yang menyetujui digunakannya qiyas tidak bermaksud menciptakan aturan baru yang tidak ada dalam nash. Yang mereka maksudkan adalah memperluas cakupan dari pelaksanaan suatu ketentuan, itulah mengapa Qiyas tidak bisa menjadi sumber hukum dalam hal jinayat. Secara sederhana, Qiyas merupakan suatu sumber interpretasi yang mendukung penentuan suatu perbuatan yang jatuh dalam jangkauan suatu ketentuan, seperti kasus sadomi diqiyaskan dengan kasus perzinahan.
 Ulama Hanafi sepakat dengan jumhur yang mengatakan bahwa qiyas berlaku secara sah bagi ketentuan-ketentuan pidana ta’zir, tapi mereka tidak sepakat mengenai penerapan qiyas dalam ketentuan hudud dan  kaffarat. Sebagi contoh mereka tidak menarik analogi antara kata-kata hinaan (sabb) dan tuduhan fitnah (qazf) disamping tidak memperluas ketentuan tentang had zina dengan analogi kepada pidana seksual lainnya. Hal ini menurut mereka bisa dipidana dengan ta’zir tetapi tidak pada hudud. Alasan utama mereka adalah bahwa Qiyas ditentukan atas dasar ‘illat yang identifikasinya tentang hudud tergolong langkah spekulasi dan nonvaliditas. Ada sebuah hadits yang menyatakan “ Hindarilah hudud dalam kasus yang meragukan, apabila ada cara lain maka perjelaslah cara itu bagi soal-soal pidana, jika hakim membuat kesalahan karena memberikan pengampunan maka hal itu lebih baik daripada menghukum tanpa kesalahan”. *
 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya keraguan dalam menentukan ‘illat (kausa hukum) pidana had mencegah perluasan analogisnya kepada ketentuan serupa.
 C. Penerapan Qiyas Dalam hukum Pidana positif.

            Ada istilah latin yang dikenal dikalangan ahli hukum yaitu Nullum dellictum nulla poena sine praevia lege ( Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Menurut azas ini bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norm,a yang tertulis. Tidak dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. 
            Namun sebelum dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri (criminal act) juga ada dasar yang pokok yaitu azas legalitas (principil of legality), sebuah azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
             Biasanya azas legalitas ini mengandung tiga pengertian dasar yaitu ;
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyataknan dalam suatu aturan Undang-Undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan qiyas (analogi).
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.  
Azas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya unsur perbuatan pidana tidak boleh digunakannya Qiyas (analogi) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan Belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa orang ahli yang tidak menyetujuinya. 
Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi (qiyas) dan tafsiran ekstensif yang nyata-nyata dibolehkan. Menurut beliau baik dalam hal tafsiran ekstensif maupun dalam analogi (qiyas) dasarnya adalah sama yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/lebih abstrak) dari norma yang ada, kemudian dari hal itu lalu didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada), antara keduanya itu hanya perbedaan gradual saja.

Menurut Soejono Soekanto, antara tafsiran ekstensif dan analogi (qiyas) itu memiliki sifat yang sama dan perbedaannya hanyalah soal gradasi saja namun keduanya memiliki batas-batas yang jelas pula, sampai dimana yang masih dapat dinamakan interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke analogi (qiyas). Batas ini menurutnya dapat dibaca dalam ucapan HIR dalam arrestnya tahun 1934 yang menyatakan bahwa suatu perkataan atau pengertian dalam wet, sepanjang perjalanan masa dapat berubah makna dan isinya sehingga dengan tepat dapat berpegang pada tujuan umum (algement strekking), wet itu dapat dimasukkan pula dalam perkataan tadi hal-hal yang dulu terang tidak masuk disitu, hal mana tidak menyebabkan bahwa hakim dapat memberi putusan yang sepenuh-penuhnya mengikuti pandanngan yang hidup dalam masyarakat perihal patut atau tidaknya hal-hal tertentu”.
 Sebagai contoh mengenai pasal 286 KUHP mengenai hubungan badan dengan wanita yang sedang pingsan atau tak berdaya diancam dengan pidana hukuman maksimum 3 tahun penjara. Kemudian ada kasus , bahwa seseorang melakukan hubungan badan dengan perempuan yang miring otaknya (idi0t),  apakah perbuatannya itu dapat dikenakan dalam pasal tersebut ? Apakah idiot itu dapat disamakan dengan orang yang dalam keadaan tak berdaya? HIR menentukan bahwa pada waktu pasal itu dibuat teranglah bahwa keadaan tak berdaya itu merujuk kepada jasmani yang tak berdaya (physieke onmacth), namun demikian makna onmacth itu sepanjang perjalanan masa mungkin berubah, dan kalau demikian halnya hakim harus mengikuti perubahan makna ini agar bisa memberi putusan yang tepat dan up to date.
 Jadi batas antara tafsiran ekstensif dan analogi adalah bahwa dalam tafsiran ekstensif yang menjadi pegangan adalah aturan yang ada. Didalamnya ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya waktu Undang-Undang dibentuk. Adalah mungkin jika dibanding dengan maknanya ketika aturan itu dibuat bahwa yang pertama adalah lebih luas. Tetapi sungguhpun demikian, makna yang lebih luas itu secara obyektif bersandar atas pandangan masyarakat umum mengenai perkataan itu. Adapun dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa  dimasukkan dalam aturan yang ada, tapi perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula karena termasuk intinya aturan yang ada yang mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu, karena termasuk dalam inti suatu aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan yang tertentu bukanlah lagi aturan yang ada tetapi rasio maksud inti dari aturan yang ada.
 Jika dipandang demikian, maka meskipun dapat dikatakan bahwa tafsiran ekstensif dan analogi itu pada hakekatnya sama, hanya ada perbedaan graduil saja, tetapi dipandang dari sudut pandang psykologis, bagi orang yang menggunakannya ada perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu yang pertama masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya Undang-Undang, tetapi pada waktu penggunaannya, karena itu masih dinamakan interpretasi dan seperti halnya dengan cara interpretasi yang lain yang selalu diperlukan dalam menggunakan Undang-Undang. Yang kedua sudah tidak berpegang kepada aturan yang ada lagi, melainkan pada inti rasio dari padanya, karena ini bertentangan dengan azas legalitas sebab azas ini mengharuskan adanya aturan sebagai dasar.
 Dasar pemikiran tidak dibolehkannya penerapan analogi dalam menentukan unsur pidana itu dilatarbelakangi oleh adanya azas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Semua orang dianggap tidak bersalah dan tidak boleh diberi hukuman sebelum ada putusan pengadilan yang memutuskan bahwa ia bersalah dan harus dijatuhi hukuman.
 Namun kadang-kadang ketika muncul kasus baru yang tidak dinyatakan deliknya dalam aturan Undang-Undang dan hal itu dianggap sebagai kejahatan oleh masyarakat maka seorang hakim dituntut untuk mencari kekuatan atau delik hukumnya sesuai dengan kapasitasnya dalam mencermati hukum baik lewat interpretasi, tafsiran maupun metode-metode lain yang diharapkan mampu mengisi kekosongan hukum.



PENUTUP
             Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya kontradiksi dalam menerapkan konsep Qiyas (analogi) dalam kerangka hukum pidana Islam dan positif adalah dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpastian hukum. Dalam konteks pidana Islam, ketidakbolehan ini disebabkan oleh unsur spekulasi yang amat besar dalam pola penerapan azasnya sehingga hal ini mendapat justifikasi hukum. Sedangkan dalam konteks pidana positif, ketidakbolehan ini disebabkan oleh adanya azas legalitas (principil of legality) yang mengharuskan bahwa setiap orang tidak boleh dikenakan sangsi pidana tanpa ada satu ketentuan yang mengaturnya terlebih dahulu dalam Undang-Undang. Namun hal ini bukan berarti tanpa digunakannya qiyas (analogi) berarti tidak ada putusan pidana dan hukuman, akan tetapi hal ini menuntut adanya satu metode baru yang lebih akurat dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdullah Sulaiman (Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, kajian konsep Qiyas Imam Syafi’i).
  2. Abu Zahrah, Muhammad, (Ushul Fiqh).
  3. Al-Amidi, Muhammad Saifuddin, (al-Ihkam fi Ushul al-ahkam).
  4. Al- Syafi’i, Muhammad ibn Idris, (al-Risalah).
  5. Hashim Kamali, Muhammad, (Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam-Ushul Fiqh).
  6. Moeljatno, (Azas- azas Hukum Pidana).


0 comments:

 
TOP