METODE QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM
MENURUT IBNU
HAZM : (PENDEKATAN HISTORIS)
A. Pendahuluan
Syari’ah merupakan penjelmaan
kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun
demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta
aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan
epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante
dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah
tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjustifikasi pluralitas
formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “langage games” yang berbeda.
Islam di tengah – tengah
kemajuan segala bidang sebagai hasil dari cipta, rasa serta karya dari manusia
sekarang ini di tuntut akan eksistensinya di dalam memenuhi perkembangan
pengetahuan dan teknologi. Sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan
kepada kita bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi dan bahkan
politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam. Hukum Islam
bukanlah unifikasi yang baku yang sudah tidak bisa di interpretasikan,
melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan,
memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi
dari posisi fleksibilitasnya (flexible – position), selama demikian ini
tidak berorientasi mengorbankan keluhuran hukum Islam
Oleh karena itu
interpretasi terhadap perkembangan iptek serta problema umat dalam realitas
sosial kemasyarakatan dalam perspektif hukum islam merupakan keperluan yang
tidak dapat ditwar – tawar lagi.
Mengingat adanya
problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual
bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat
dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang
dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari
dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur'an , b).
al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan
ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas
(94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya
mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau
lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis
terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain
yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat
hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam
usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan
dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah
(mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha
al-amah, al-maslahah al-mursalah).
Permasalahan qiyas
dalam eksistensinya sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam
lapangan ilmu hukum menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya
yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan diantara para ulama. Madzhab
Syi’ah Imamiyah dan madzhab Daud al-Dzahiri tidak mau mengakui qiyas apalagi
menerima atau menggunakannya. Sedang di kalangan ulama – ulama lainnya seperti
ulama jumhur dan madzhab Syi’ah zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum
syari’at
Al’alamah Ibn Hazm
Abu Muhammad Ali bin Said bin Hazm bin Gholid bin Khalaf bin said bin Sufyan
bin Yazid (384 – 456 H / 994 – 1064) yang biasa dipanggil dengan Ibn Hazm
mengatakan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, tidak
mungkin ada masalah yang tidak ada jawabannya di dalam nash. Al-Qur'an
menegaskan :”Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikitpun” (QS.
Al-An’am (6) : 38), “Pada hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS.
Al-Maidah (5) : 3), “kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjalankan
segala sesuatu “ (QS. Al-Nahl (16) : 89).
Dari elaborasi diatas
ternyata eksistensi qiyas masih problematis sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang qiyas dalam perspektif historis metodollogis istinbath
hukum Islam.
B. Biografi Ibn Hazm
Nama lengkapnya
adalah Ali ibn said Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shaleh Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn
Sufyan Ibn Yazidhttp://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm
- _ftn8. Kalangan penulis kontemporer memakai
nama singkatnya yang populer Ibn Hazm, dan terkadang di hubungkan dengan
panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi dengan menisbatkannya
kepada tempat kelahirannya, Cordova dan andalus, sebagaimana sering dikaitkan
dengan sebutan al-Dhahiri, sehubungan dengan aliran fiqih dan pola pikir
dhahiri yang dianutnya. Sedangkan Ibn Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Abu
Muhammad sebagaimana di temukan dalam karya – karya tulisnya.
Ibn Hazm lahir di
Andalusia pada hari yang terakhir dari bulan Ramadhan th. 384 H, di waktu
dinihari sesudah terbit fajar, sebelum terbit mataharihttp://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm
- _ftn9. Ia termasuk keturunan Arab suku Quraisy.
Ayahnya Ahmad Ibn Da’id, berpendidikan cukup tinggi, sehingga dia diangkat
menjadi pejabat di lingkungan kerajaan al-Manshur dan kemudian menjadi wazir
al-manshur pada tahun 381 H / 991 M. dia menjabat wazir sampai di masa
pemerintahan al-Muzaffar dan meninggal pada tahun 402 H.
Pendidikan kanak –
kanak Ibn Hazm telah menanamkan kecintaannya yang kuat meminati ilmu dan
belajar lebih banyak. Setelah usia remaja ia selalau diajak ayahnya menghadiri
majelis – majelis temu ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh al-manshur
yang dihadiri oleh para ahli sya’ir dan ilmuwan. Disamping itu Ibn Hazm juga
berada di bawah bimbingan seorang alim dan wara', ’ernama Ali al-Husein Ibn Ali
al-Fasyhttp://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm
- _ftn10.
Semenjak usia 15
tahun ia mulai belajar diluar lingkungan istana, emngikuti klub – klub studi di
samping berguna secara tersendiri dalam bidang tertentu. Gurunya yang pertama
adalah Ahmad Ibn Jazur, mulai belajar padanya pada tahun terakhir abad
C. Qiyas : Perspektif Ulama Fiqih
1.
Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas
berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya yang berarti “saya
mengukur baju dengan hasta”
Pengertian qiyas secara
terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama. Sadr
al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah
:
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’
disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa
saja”.
Maksudnya, illat
yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang
sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum
kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash
tersebut.
Mayoritas ulama mendefinisikan qiyas dengan
:
“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui
kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau
meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”
DR. Wahbah al-Zuhaili
mendefinisikan qiyas dengan:
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan
hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash,
disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapata
perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul
fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat
menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah
menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan
hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm)
yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan
penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat
dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat
hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu
adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang
mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan
dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang
memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah
yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut
telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr,
karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus
yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya
menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
·
Ashl (hukum asal sebagaimana dalam al-Qur'an)
·
Far’u (cabang yang belum ditetapkan didalam Al-Qur'an/nash)
·
Illat ( alasan hukum, sebab hukum)
·
Hukum ashl (ketentuan hukum dari ashl - )
2. Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih
berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum
syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa
dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum
syara’.
Berbeda dengan jumhur
para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua
hal saja, yaitu :
a.
Illatnya manshush
(disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
b.
Hukum far’u harus lebih utama daripada
hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili
mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil
hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas
sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan
ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas
sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang
menolaknya adalah :
·
Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
“Hai orang – orang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut
mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam
al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap
beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya
dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
“Dan janganlah kam
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.
Ayat tersebut menurut
mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui
secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas dilarang
untuk diamalkan.
Alasan – alasan
mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan
Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan,
menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka
jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai
rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut
menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya
haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan
dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’
kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada
sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan jumhur
ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum
syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat al-Hasyr, 59 :
2
“maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai
pandangan”.
Ayat tersebut menurut
jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari
Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat,
Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar
(pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama,
termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang
disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an
memerintahkannya
Ayat lain yang
dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat
sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
·
Surat al-Baqarah 2 : 222 :
“Mereka bertanya
kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
·
Surat al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu,
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
·
Surat al-Maidah 5:6
.”Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu … “
Alasan jumhur ulama
dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer.
Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah
melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :
Dalam hadits tersebut
menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan
pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu
juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab
mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada
hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya,
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur –
kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”,
lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H>R Ahmad Ibn
Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah
mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama
tidak membatalkan puasa.
Daftar Pustaka :
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref1Syari’ah merupakan dimensi eksoterik Islam,
sedangkan dimensi esoterisnya diisi oleh tasawuf. Sayyes Fussein Nasr, Ideals
and Realities of Islam, (London : Unwin Paperbacks, 1979), hlm. 94.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref2M. Atha Mudzhar, Sosial History Approach to
Islamic Law, Al-jami’ah (no. 61, th. 1998), hlm. 78. Lihat juga Ahmad
Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad :
islamic research Institute, 1988), hlm. 24 – 25.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref3Istilah “langage games” pertama
kali digunakan Ludwig Wittggenstein (1889 M – 1951 M) dalam bukunya “Philosophical
Investigation” untuk menunjukkan bahwa bahasa mempunyai beberapa macam
fungsi sesuai konteks (meaning is context). Language games ini
mempunyai aturan sendiri sesuai dengan konteksnya sehingga kata yang sama bila
digunakan dalam language games yang berbeda pasti mempunyai arti yang
berbeda. Budhi Munawar rachman, Ilmu Hudluri : “Mengelak” dari Mistik ?
dalam Ulumul Qur’an (no. 1, vol. Vi th. 1995), hlm. 62. Lihat juga Rizal
Muntasyir, Filsafat Analitik , Sejarah, Perkembangan dan Peranan para
Tokohnya, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 83 – 86. Teori language games
ini juga berlaku bagi aneka bentuk kehidupan (form of life),
termasuk kehidupan umat Islam dalam mempraktekkan Syari’ah.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref4Said Agil Husein al-Munawar, Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serta Rekayasa Teknik Genetika Dalam Perspektif
Hukum Islam, tarjikh, edisi ke I, Desember 1996, hlm. 54 – 56.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref5Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqih, (Kuwait : An-Nashie, 1977, cet. 2, hlm. 52)
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref6Subhi mahmasani, Filsafat Hukum Dalam
Islam (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1981), hlm. 127
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref7Ibn Hazm, Al-Muhalla, (Beirut :
Maktabah at-Tijadi, t.th.), hlm. 56
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref8Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubada’,
(Cairo : Dar al-Ma’mun, t.th.), hlm. 235 – 236.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref9Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok – Pokok Pegangan
Imam Madzhab (semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref10Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat
wa al-Ullaf, (Cairo, Dar al-Ma’arif, 1977), hlm. 165 – 166.
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref11Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani,
hlm. 173
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref12Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm
al-Ushul, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hlm. 54
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref13Wahbah al-Zuhaili, http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref14hlm. 601
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm -
_ftnref15Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u
al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974), hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Raudlah
al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1978),
hlm. 234.
Metode Qiyas
Syafi’i
Sekian
banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam
lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan
fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah.
Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu
diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Kelemahan
epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus
oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini.
Al-Qur`an
terus dikunjungi oleh umat manusia untuk dibaca dan ditafsirkan. Menafsirkan
al-Qur`an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan
kandungan al-Qur`an. Proses pembacaan dan penafsiran yang lama berlangsung
telah menghasilkan beratus-ratus kitab tafsir sejak masa lampau hingga
sekarang. Banyak kitab tafsir dengan corak dan ragamnya yang berbeda itu, di samping
sebagai bukti prihal ketidakberhinggaan kerja penafsiran, juga di dalam
kerangka untuk membunyikan aksara al-Qur`an dalam tataran masyarakat yang terus
berubah.
Sekian
banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam
lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan
fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah.
Bangunan ushul fikih Syafi’i kemudian mencapai fase kematangannya dari para
pengikut Syafi’i, di antaranya adalah al-Subki dengan bukunya Jam’u
al-Jawami’. Di situ al-Subki berbicara sangat detail tentang teori lafzd.
Dari kalangan madzhab Maliki, al-Syathibi menyusun sebuah buku monumental yang
bertitel al-Muwafaqat fiy ushul al-Syari’ah. Dalam buku tersebut,
al-Syathibi banyak mengelaborasi konsep maqashid al-syari’ah.
Kitab-kitab ushul fikih itu berdiri demikian kokoh dan mapan sehingga mayoritas
para ahli ushul belakangan tidak bisa keluar dari jeratan metodologi al-salaf
al-shalih. Ushul fikih purba begitu dimanja dan disakralkan oleh para
pembacanya.
Akan
tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga
keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Pertama, ushul
fikih Syafi’i beraroma Arab-sentris. Arabisme merupakan ideologi yang lekat
dalam tembok ushul fikih lama. Kedua, kaidah yang banyak dilansir oleh
kitab ushul fikih Syafi’iyah ”al-’ibrah bi ‘umum al-lafdz la bi khushush
al-sabab” terkesan terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan konteks.
Pembahasan tentang lafdz (kata) dengan porsi yang demikian luas
merupakan indikasi kuat betapa ushul fikih lama sangat menekankan teks dan
nyaris menafikan konteks. Pendeknya, ushul fikih konvensional lebih
menitikberatkan pada lafdz (kata) dan bukan pada maqashid (ideal
moral).
Ketiga, menyangkut konsep qiyas (analogi)
yang terutama diusung oleh Syafi’ i.. Per definisi, qiyas dikatakan sebagai
menganalogikan sesuatu yang belum jelas ketentuan hukumnya (furu’) dengan yang
sudah jelas hukumnya dalam al-Qur`an dan al-Sunnah (ashal) karena ada kesamaan illat.
Model qiyas seperti ini bermasalah setidaknya karena dua hal berikut. [a] bahwa
tidak ada dua peristiwa yang persis sama, sehingga hukum keduanya bisa
diparalelkan. Persamaan illat yang menjadi alasan pengoperasian qiyas
sesungguhnya merupakan tindakan simplifikasi. menyangkut hal-hal yang
bersifat sosial, qiyas Syafi’i tampak mengabaikan konteks yang melandasi
kehadiran hukum ashal. Betapa, pengetahuan terhadap konteks hukum ashal
tidak pernah menjadi rukun dari qiyas.
Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang
intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini. Apa
yang dilakukan oleh pemikir-pemikir muslim kontemporer dengan kerangka dan
metodologi barunya, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Adonis, Hasan Turabi,
Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain kiranya untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan tadi. Mengubah ushul fikih lama
tentu saja teramat absah dari sudut akademis-intelektual, karena ia seutuhnya
merupakan kreasi para ulama. Ushul fikih memiliki status epistemologis yang
relatif, tidak mutlak.
PENERAPAN QIYAS DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM
DAN PIDANA POSITIF
Dalam
sejarah pemikiran Hukum Islam, adanya perdebatan dalam merumuskan konsep qiyas
sebagai metode untuk menghasilkan produk hukum tak henti-hentinya menjadi tema
sentral dikalangan ahli Ushul. Hal ini terbukti dengan tidak dibolehkannya
konsep ini diterapkan dalam konteks hukum pidana baik itu hukum pidana Islam
maupun pidana positif. Unsur utama yang menjadi penyebab ketidakbolehan ini
adalah karena adanya spekulasi yang amat besar dalam pola penerapan azasnya.
Dalam hukum pidana Islam ketidakbolehan ini dilatarbelakangi oleh hadits nabi
yang menyatakan dengan tegas untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan dalam menghukum
seorang mukallaf. Sedangkan dalam hukum pidana positif, ketidakbolehan ini
disebabkan oleh adanya azas legalitas (principil of legality) yang mengandung
pengertian bahwa tidak dipidana seseorang tanpa ada ketentuan yang mengaturnya
terlebih dahulu dalam Undang-Undang. Dari kedua produk hukum tersebut tersirat
satu persamaan bahwa keduanya sama-sama menghormati dan menjunjung tinggi hak
azasi manusia di depan hukum.
PENDAHULUAN
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical Reasoning)
merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi keempat dalam
kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh). Para ulama dan praktisi hukum menilai
bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar
valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dilihat dari konteks sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas ini
berawal dari logika filsafat Ariestoteles yang berkembang di Yunani kemudian
ditransformasi menjadii khazanah kebudayaan Islam pada masa al-Makmun. Secara
metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa
dengan peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya
persamaan kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka
kasus yang pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam
Syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat
terhadap unsur-unsur yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan
memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl,
hukm ashl, furu’ dan ‘illat.
Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat
hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas
intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum
fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi,
dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah
sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
A. Terminologi
dan Unsur-unsur Qiyas.
Secara harfiah, Qiyas bermakna mengukur atau memastikan
panjang atau berat sesuatu, karena itulah mengapa skala disebut sebagai miqyas.
Miqyas juga bermakna perbandingan dalam rangka memberi kesan kesamaan antara
dua hal. Dengan demikian Qiyas memberi kesan kesamaan untuk mengukur yang lain.
Dari segi operasional, qiyas merupakan perluasan nilai
syari’ah yang terdapat dalam kasus ashl terhadap kasus baru karena yang disebut
terakhir mempunyai kausa hukum (‘illat) yang sama dengan yang disebut pertama.
Kasus ashl ditentukan oleh nash yang ada dan qiyas berusaha memperluas
ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan
kausa hukum (‘illat) antara kasus ashl dan kasus baru inilah maka penerapan
Qiyas mendapat justifikasi.
Pemakaian Qiyas hanya dibenarkan apabila jalan keluar
dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-qur’an, sunnah atau ijma yang tergolong
qath’i dan akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas jika kasus yang baru
dapat terjawab oleh ketentuan yang ada. Hanya dalam soal-soal yang belum
terjawab oleh nushus dan ijma sajalah, hukum dapat dideduksi dari salah satu
sumber ini melalui penerapan Qiyas.
Dalam kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i disana disebutkan
bahwa Qiyas dalam pandangan beliau adalah sebuah metode berfikir yang
dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar
yang sudah ada baik al-qur’an maupun sunnah.
والقياس هو ما طلب
الدلائل الموافقة على خبر المتقدم من الكتاب والسنة
“Qiyas
adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar
yang sudah ada dalam al-qur’an dan sunnah”.
Dalam konteks inilah, Imam syafi’i menilai bahwa Qiyas
(Analogical Reasoning) memiliki tumpuan dasar (background) yang valid dari
al-qur’an dan sunnah. Hal inilah yang membuat setiap hukum yang dihasilkan dari
metode Qiyas ini benar-benar akurat dan memiliki nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional.
Oleh karena pada dasarnya, qiyas merupakan perluasan dari
hukum yang ada, maka para ahli hukum tidak mengakui qiyas sebagai proses
pembentukan hukum yang baru. Qiyas adalah upaya untuk menemukan dan barangkali
juga mengembangkan hukum yang telah ada, sekalipun qiyas memberi memberi
potensi kreatifitas dan pengayaan tetapi pada dasarnya dimaksudkan untuk
menentukan kesamaan dengan bunyi semangat al-qur’an dan sunnah.
Jumhur mendefinisikan Qiyas sebagai penerapan
ketentuan hukum kasus ashl kepada kasus baru, dimana hukum tidak memberi
komentar karena berlakunya kausa (‘illat) yang sama bagi keduanya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa qualifikasi Qiyas menurut definisi diatas adalah :
1.
Adanya kasus ashl yang
ketentuannya telah ada dalam nash.
2.
Lahirnya kasus baru (furu’)
atau sasaran penerapan ketentuan ashl.
3.
Adanya kausa (‘illat) hukum
yang merupakan sifat dari kasus ashl dan ditemukan
sama dengan kasus baru.
4.
Adanya ketentuan hukum kasus
ashl yang diperluas kepada kasus baru tersebut.
B.
Qiyas Dalam Hukum Pidana Islam.
Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya metode
Qiyas. Imam Syafi’i sebagai representer dari kalangan ini menambahkan bahwa
penerapan Qiyas tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal
ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah. Dalam aspek ibadah,
ketidakbolehan ini disebabkan oleh kausa hukum (‘illat) yang ada pada aspek
ibadah itu ghairu ma’qulatil ma’na (irasional), karena sebagian besar hikmah
yang diturunkan Allah dalam aspek ibadah seperti shalat, puasa, haji dll yang
termasuk kategori mahdhah tidak dapat diketahui ‘illatnya sacara pasti dan
rasional. Hal ini disebabkan keterbatasan rasio manusia untuk mencari
hikmahnya, sedangkan dalam azas penerapan qiyas diketahui dan dipastikan bahwa
‘illat (kausa) hukum itu harus ma’qulatil ma’na (rasional). Kerangka inilah
yang membuat qiyas tidak bisa diterapkan dalam aspek ibadah.
Adapun dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh sepakat bahwa ketidakbolehan
penerapan qiyas ini disebabkan oleh adanya unsur spekulasi (syubhat) yang amat
besar dalam pola penerapan azasnya. Hal ini bisa diketahui bahwa metode qiyas
ini merupakan bagian dari unsur logika yang notabene menggunakan rasio sebagai
satandar logis yang sifatnya relatif dan subyektif. Sehingga kerangka inilah
yang membuat kontradiktif dengan azas penerapan hukum pidana yang lebih
mengedepankan hak azasi manusia daripada menghukum sesorang tanpa kesalahan,
sebagaimana dalam hadits :
ادرؤالحدود
بالشبهات
“Hindarilah hudud (Penerapan Sangsi) terhadap kasus-kasus yang
meragukan”.
Para fuqaha berbeda berbeda pendapat mengenai digunakannya qiyas dalam aspek
jinayat. Diantara mereka ada yang menganggap sah menggunakan qiyas dalam hal
tersebut, sementara yang lain menentangnya. Mereka yang menganggap sah
memberikan argumentasi sebagai berikut :
- Adanya hadits nabi tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman mengandung pengertian bahwa dalam menetapkan sebuah kasus harus merujuk kepada al-qur’an, sunnah serta ijtihad. Pencarian terakhir merupakan pernyataan umum, tidak mengenai detil sesuatu. Hal inilah yang menjadi dasar diperbolehkannya qiyas dalam aspek jinayat.
- Ketika para sahabat meminta fatwa dari Ali mengenai jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi seorang pemabuk, Ali menjawab : “ Ketika seorang menonggak minuman keras, secara alami dia akan berbicara tidak karuan dan bisa jadi memfitnah orang, para sahabat kemudian menetapkan hukuman mefitnah bagi peminum khamar. Dapat dilihat disini bahwa Ali menurunkan hukuman bagi pemabuk dengan mengqiyaskan pada hukuman yang dijatuhkan bagi pemitnah, sehingga dalam hal ini tidak ada yang komplain sampai terjadinya konsensus (kesepakatan).
Adapun sebagian mereka yang menentang Qiyas dalam aspek
jinayat, memberi alasan dan argumentasi sebagai berikut :
1.
Dalam kasus dimana
penyebabnya tidak komprehensif sulit untuk menggunakan analogi.
2.
Qiyas mengandung resiko
keraguan selanjutnya membawa kekeliruan sehinga menjadikan hudud tidak valid
dan akurat.
Mereka yang menyetujui digunakannya
qiyas tidak bermaksud menciptakan aturan baru yang tidak ada dalam nash. Yang
mereka maksudkan adalah memperluas cakupan dari pelaksanaan suatu ketentuan,
itulah mengapa Qiyas tidak bisa menjadi sumber hukum dalam hal jinayat. Secara
sederhana, Qiyas merupakan suatu sumber interpretasi yang mendukung penentuan
suatu perbuatan yang jatuh dalam jangkauan suatu ketentuan, seperti kasus
sadomi diqiyaskan dengan kasus perzinahan.
Ulama Hanafi sepakat dengan jumhur yang mengatakan
bahwa qiyas berlaku secara sah bagi ketentuan-ketentuan pidana ta’zir, tapi
mereka tidak sepakat mengenai penerapan qiyas dalam ketentuan hudud dan
kaffarat. Sebagi contoh mereka tidak menarik analogi antara kata-kata hinaan
(sabb) dan tuduhan fitnah (qazf) disamping tidak memperluas ketentuan tentang
had zina dengan analogi kepada pidana seksual lainnya. Hal ini menurut mereka
bisa dipidana dengan ta’zir tetapi tidak pada hudud. Alasan utama mereka adalah
bahwa Qiyas ditentukan atas dasar ‘illat yang identifikasinya tentang hudud
tergolong langkah spekulasi dan nonvaliditas. Ada sebuah hadits yang menyatakan
“ Hindarilah hudud dalam kasus yang meragukan, apabila ada cara lain maka
perjelaslah cara itu bagi soal-soal pidana, jika hakim membuat kesalahan karena
memberikan pengampunan maka hal itu lebih baik daripada menghukum tanpa
kesalahan”. *
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya
keraguan dalam menentukan ‘illat (kausa hukum) pidana had mencegah perluasan
analogisnya kepada ketentuan serupa.
C.
Penerapan Qiyas Dalam hukum Pidana positif.
Ada istilah latin yang dikenal dikalangan ahli hukum yaitu Nullum
dellictum nulla poena sine praevia lege ( Tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Menurut azas ini bahwa dasar yang
pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana
adalah norm,a yang tertulis. Tidak dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan.
Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan
yang telah dilakukannya.
Namun sebelum dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri (criminal act) juga ada dasar yang pokok yaitu azas
legalitas (principil of legality), sebuah azas yang menentukan bahwa
tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Biasanya azas legalitas ini mengandung tiga pengertian dasar yaitu ;
1.
Tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyataknan
dalam suatu aturan Undang-Undang.
2.
Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana tidak boleh digunakan qiyas (analogi).
3.
Aturan-aturan hukum pidana
tidak berlaku surut.
Azas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya unsur
perbuatan pidana tidak boleh digunakannya Qiyas (analogi) pada umumnya masih
dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan Belanda pada umunya
masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa orang ahli yang tidak
menyetujuinya.
Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi
(qiyas) dan tafsiran ekstensif yang nyata-nyata dibolehkan. Menurut beliau baik
dalam hal tafsiran ekstensif maupun dalam analogi (qiyas) dasarnya adalah sama
yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum/lebih
abstrak) dari norma yang ada, kemudian dari hal itu lalu didedusir menjadi aturan
yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada), antara keduanya itu
hanya perbedaan gradual saja.
Menurut Soejono Soekanto, antara tafsiran ekstensif dan
analogi (qiyas) itu memiliki sifat yang sama dan perbedaannya hanyalah soal
gradasi saja namun keduanya memiliki batas-batas yang jelas pula, sampai dimana
yang masih dapat dinamakan interpretasi dan manakah yang sudah meningkat ke
analogi (qiyas). Batas ini menurutnya dapat dibaca dalam ucapan HIR dalam
arrestnya tahun 1934 yang menyatakan “ bahwa suatu perkataan atau
pengertian dalam wet, sepanjang perjalanan masa dapat berubah makna dan isinya
sehingga dengan tepat dapat berpegang pada tujuan umum (algement strekking),
wet itu dapat dimasukkan pula dalam perkataan tadi hal-hal yang dulu terang
tidak masuk disitu, hal mana tidak menyebabkan bahwa hakim dapat memberi
putusan yang sepenuh-penuhnya mengikuti pandanngan yang hidup dalam masyarakat
perihal patut atau tidaknya hal-hal tertentu”.
Sebagai contoh mengenai pasal 286 KUHP mengenai hubungan
badan dengan wanita yang sedang pingsan atau tak berdaya diancam dengan pidana
hukuman maksimum 3 tahun penjara. Kemudian ada kasus , bahwa seseorang
melakukan hubungan badan dengan perempuan yang miring otaknya (idi0t),
apakah perbuatannya itu dapat dikenakan dalam pasal tersebut ? Apakah idiot itu
dapat disamakan dengan orang yang dalam keadaan tak berdaya? HIR menentukan
bahwa pada waktu pasal itu dibuat teranglah bahwa keadaan tak berdaya itu
merujuk kepada jasmani yang tak berdaya (physieke onmacth), namun
demikian makna onmacth itu sepanjang perjalanan masa mungkin berubah, dan kalau
demikian halnya hakim harus mengikuti perubahan makna ini agar bisa memberi
putusan yang tepat dan up to date.
Jadi batas antara tafsiran ekstensif dan analogi
adalah bahwa dalam tafsiran ekstensif yang menjadi pegangan adalah aturan yang
ada. Didalamnya ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup
dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya waktu Undang-Undang dibentuk.
Adalah mungkin jika dibanding dengan maknanya ketika aturan itu dibuat bahwa
yang pertama adalah lebih luas. Tetapi sungguhpun demikian, makna yang lebih
luas itu secara obyektif bersandar atas pandangan masyarakat umum mengenai
perkataan itu. Adapun dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita adalah
bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan
yang ada, tapi perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan
perbuatan pidana pula karena termasuk intinya aturan yang ada yang mengenai
perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu, karena termasuk dalam inti suatu
aturan yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan
menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi yang dibuat untuk
menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan yang tertentu bukanlah lagi
aturan yang ada tetapi rasio maksud inti dari aturan yang ada.
Jika dipandang demikian, maka meskipun dapat dikatakan
bahwa tafsiran ekstensif dan analogi itu pada hakekatnya sama, hanya ada perbedaan
graduil saja, tetapi dipandang dari sudut pandang psykologis, bagi orang yang
menggunakannya ada perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu yang pertama
masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut,
hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya
Undang-Undang, tetapi pada waktu penggunaannya, karena itu masih dinamakan
interpretasi dan seperti halnya dengan cara interpretasi yang lain yang selalu
diperlukan dalam menggunakan Undang-Undang. Yang kedua sudah tidak berpegang
kepada aturan yang ada lagi, melainkan pada inti rasio dari padanya, karena ini
bertentangan dengan azas legalitas sebab azas ini mengharuskan adanya aturan
sebagai dasar.
Dasar pemikiran tidak dibolehkannya penerapan analogi
dalam menentukan unsur pidana itu dilatarbelakangi oleh adanya azas legalitas
yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Semua
orang dianggap tidak bersalah dan tidak boleh diberi hukuman sebelum ada
putusan pengadilan yang memutuskan bahwa ia bersalah dan harus dijatuhi
hukuman.
Namun kadang-kadang ketika muncul kasus baru yang
tidak dinyatakan deliknya dalam aturan Undang-Undang dan hal itu dianggap
sebagai kejahatan oleh masyarakat maka seorang hakim dituntut untuk mencari
kekuatan atau delik hukumnya sesuai dengan kapasitasnya dalam mencermati hukum
baik lewat interpretasi, tafsiran maupun metode-metode lain yang diharapkan
mampu mengisi kekosongan hukum.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya kontradiksi dalam
menerapkan konsep Qiyas (analogi) dalam kerangka hukum pidana Islam dan positif
adalah dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpastian hukum. Dalam konteks pidana
Islam, ketidakbolehan ini disebabkan oleh unsur spekulasi yang amat besar dalam
pola penerapan azasnya sehingga hal ini mendapat justifikasi hukum. Sedangkan
dalam konteks pidana positif, ketidakbolehan ini disebabkan oleh adanya azas
legalitas (principil of legality) yang mengharuskan bahwa setiap orang tidak
boleh dikenakan sangsi pidana tanpa ada satu ketentuan yang mengaturnya
terlebih dahulu dalam Undang-Undang. Namun hal ini bukan berarti tanpa
digunakannya qiyas (analogi) berarti tidak ada putusan pidana dan hukuman, akan
tetapi hal ini menuntut adanya satu metode baru yang lebih akurat dan memiliki
nilai validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
DAFTAR
PUSTAKA
- Abdullah Sulaiman (Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, kajian konsep Qiyas Imam Syafi’i).
- Abu Zahrah, Muhammad, (Ushul Fiqh).
- Al-Amidi, Muhammad Saifuddin, (al-Ihkam fi Ushul al-ahkam).
- Al- Syafi’i, Muhammad ibn Idris, (al-Risalah).
- Hashim Kamali, Muhammad, (Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam-Ushul Fiqh).
- Moeljatno, (Azas- azas Hukum Pidana).
0 comments:
Post a Comment