Loading...
1 Jan 2013

FILOSOFIS SYARI’AH, FIQH DAN HUKUM ISLAM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
FILOSOFIS SYARI’AH, FIQH DAN HUKUM ISLAM
(Kajian Pendekatan Pemahaman Hukum)



Abstract :

Islam as religion and a law system often error at the meaning of not merely by people of is not just Moslem only, but also by people of itself Islam. As the law system Islam law studied and developed by all  thinkers  Islam  so  that  he  becomes  the  self-supporting  science discipline.

Result as one science discipline, law of Islam develop its own terms  as  other  science  discipline. Therefore  in  study  law  of  Islam  is oftentimes met by the term fiqh, syari'at and law of Islam. As study of early, to all law researcher_ what is many residing in environment of faculty of syari'ah and science punish _ comprehending the term very urgent,  in  expecting  of  comprehending  and  taking  congeniality  from each  every  literature  of  related  to  study  law  of  the  Islam  is  not happened by the mistake arrange the meaning which can cause wrong in comprehending intention which in fact.
At  this  handing  out  will  be  elaborated  to  by  arrange  the meaning becoming  starting point most  important  in  study punish  the Islam. Term  to  be  elaborated  by  that  is:  Syari'ah, Fiqh  and Punish the  Islam  strive  the  philosophic  obstetrical  reflection,  as medium  of approach study of understanding of Law. Description in  this handing out will be used by rule of language and history growth, so that can be done / conducted by philosophic approach the meaning from the term technical directional with interest and comprehensive. For  the  study  of  this  is  Moslem  scholar  bear  various

methodologies  and  study  approach  punish  the  Islam  becoming separate science branch,  that  is ushul  fiqh  (theory punish  the  Islam) that  is a methodologies which born  to  reach  the  nash which not  yet coherent  constituted  by  theorem  becoming  reference  mujtahid. Among/between  solution  is  solving  of  problem  expanding  pasha  of prophecy and khulafa'urrasyidun, like  ijma', qiyas, method  istihsan, mashlahat  al-mursalah,  Urf,  Syar'un  An  qablana,  Istishhab, Saddudz Dzari'ah and Madzhab friend.



A.  PENDAHULUAN

            Islam  sebagai  agama  dan  suatu  sistem  hukum  sering disalahfahami bukan hanya oleh orang-orang non muslim  saja,  tetapi juga  oleh  orang-orang  Islam  itu  sendiri.  Sebagai  suatu  suatu  sistem hukum, hukum  Islam dipelajari dan dikembangkan oleh para pemikir (ilmuan) Islam sehingga ia menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Konsekwensi  sebagai  suatu  satu  disiplin  ilmu,  hukum  Islam mengembangkan  istilah-istilahnya  sendiri  sebagai  disiplin  ilmu  yang lain.  Oleh  karena  itu  dalam  studi  hukum  Islam  seringkali  dijumpai istilah-istilah fiqh, syari’at dan hukum Islam.

            Sebagai  kajian  awal,  bagi  para  peneliti  hukum  yang  banyak berada di  lingkungan Fakultas Syari'ah dan  Ilmu Hukum memahami istilah-istilah  tersebut  amatlah  urgen,  agar  dalam  memahami  dan mengambil pengertian dari  setiap  literatur  yang  berhubungan dengan kajian  hukum  Islam  tidak  terjadi  kerancuan  tata  makna  yang  bisa berakibat salah dalam memahami maksud yang sebenarnya. Pada  tulisan  ini akan diuraikan  tata makna yang menjadi  titik tolak paling penting dalam kajian hukum  Islam  tersebut.  Istilah yang akan  diuraikan  itu  adalah:  Syari’ah,  Fiqh  dan  Hukum  Islam  upaya refleksi  kandungan-kandungan  filosofis,  sebagai  sarana  kajian pendekatan  pemahaman  hukum.  Uraian  dalam  tulisan  ini  akan digunakan  kaedah  kebahasaan  dan  perkembangan  kesejarahan, sehingga dapat dilakukan pendekatan pemaknaan filosofis dari istilah-istilah tekhnis tersebut dengan lebih terarah dan komprehensif.

B.  SYARI’AH

            Istilah  syari'ah  merupakan  kata  yang  lumrah  beredar  di kalangan  masyarakat  Muslim  dari  masa  awal  Islam,  namun  yang mereka gunakan  selalu  syara'i  (bentuk  jama') bukan  syari'at  (bentuk mufrad). Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa orang-orang yang baru masuk  Islam  dan  datang  kepada  Rasulullah  dari  berbagai  pelosok Jazirah  Arab,  meminta  kepada  Rasulullah  agar  mengirim  seseorang kepada mereka untuk mengajarkan syara'i  Islam. 

            Sedangkan  istilah  syari'ah  hampir-hampir  tidak  pernah digunakan pada masa awal  Islam. Dari perkembangan makna,  istilah syari'at  ini diperkenalkan dengan perubahan makna  yang menyempit  untuk membawakan makna yang khusus, yakni ”Hukum  Islam” pada  masa kemudian.  Syari’ah  adalah  kosa  kata  bahasa  Arab  yang  secara  harfiah berarti  ”sumber  air”  atau  ”sumber  kehidupan” ,  dalam  Mukhtar  al-Shihah diungkapkan sebagai berikut: 

            Syari’ah adalah  sumber air dan  ia adalah  tujuan bagi orang yang akan minum. Syari’ah juga sesuatu yang telah ditetapkan Allah SWT  kepada  hamba-Nya  berupa  agama  yang  telah  disyari’atkan kepada mereka.  Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak  menuju  palung  air  yang  tetap  dan  diberi  tanda  yang  jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan atau ”jalan  raya” untuk diikuti.  Al-Qur'an menggunakan kata syir'ah dan  syari'ah dalam arti agama, atau dalam arti  jalan  yang  jelas  yang  ditunjukkan Allah bagi manusia.

            Istilah syara'i (bentuk jamak) digunakan pada masa Rasulullah dengan arti masalah-masalah pokok  Islam. Orang-orang Arab Baduwi  yang meminta  kepada Nabi  agar mengutus  seseorang  untuk mengaji  mereka  syara’i  Islam  atau  masalah-masalah  pokok  agama.  Mereka  ingin mempelajari dasar-dasar dan kewajiban-kewajiban dalam Islam.  Asumsi ini diperkuat oleh Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah  ketika  ditanya  mengenai  syara'i  Islam  beliau  menyebutkan  bahwa  syara'i  Islam  itu adalah Sholat, Zakat, Puasa di bulan Ramadhan dan Haji.   Dari  sini  terlihat  bahwa  istilah  syara'i  berarti  faraidh  (kewajiban-kewajiban).

            Abu Hanifah membedakan antara  “din” dan  “syari’ah” atas dasar bahwa  din  tidak  pernah  berubah,  sementara  syari’ah  terus  ada kemungkinan  berubah  dalam  perjalanan  sejarah.  Menurutnya  din adalah pokok-pokok iman, sedangkan yang dimaksud dengan syari’ah adalah  kewajiban-kewajiban  yang  harus  dilakukan.  Ia  tidak  menyatakan  adanya  perbedaan  dalam  din  dari  Rasul,  tetapi  ia membedakan  antara  syara'i  mereka.  Ia  berkeyakinan  bahwa  setiap  Rasul  menyeru  manusia  kepada  syari’ahnya  sendiri  dan  melarang,  mereka untuk mengikuti syari’ah dari Rasul-rasul sebelumnya.  Istilah din akhirnya digunakan dalam pengertiannya  yang  terbatas pada masa Abu  Hanifah,  yaitu  pokok-pokok  ajaran  Islam.  Dari  sinilah  muncul istilah ushul al-din  yang dipergunakan untuk kalam pada masa-masa berikutnya.

            Al-Syafi'i  menggunakan  istilah  syari’ah  dalam  pengertian lembaga . Beliau tidak sependapat dengan Imam Malik yang melarang ibadah  haji  dengan wakil  (badal  haji)  ketika  orang  yang  digantikan masih  hidup.  Imam  Malik  membandingkan  haji  dengan  sholat  dan puasa  yang  tidak  dapat  dilaksanakan  atas  nama  orang  lain, sebagaimana  disepakati  oleh  semua  ahli  hukum.  Ketika  menolak pendapat  Imam  Malik,  Imam  Syafi'i  mengatakan  ”satu  syari'ah (lembaga)  tidak  dapat  dibandingkan  secara  analogis  dengan  syari'ah (lembaga)  yang  lain”.   Pengguanaan  istilah  ini  dalam  pengertian lembaga hanya dipakai oleh Imam Syafi'i saja, karena istilah ini tidak umum  dipakai  dengan  pengertian  demikian.  Lebih  jauh  lagi  ia menggunakan  istilah  syara'i  dengan  pengertian  kewaiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. 

            Sedangkan  istilah syari'ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih  menggambarkan  norma-norma  hukum  yang  merupakan  hasil dari proses  tasyri’, yaitu proses menetapkan dan membuat syari'ah.  Lebih  lanjut  terminologi  syari'at  dalam  kalangan  ahli  hukum  Islam mempunyai pengertian umum dan khusus.  Syari’at dalam  arti umum merupakan  keseluruhan  jalan  hidup  setiap  muslim,  termasuk pengetahuan  tentang ketuhanan. Syari'at dalam arti  ini sering disebut dengan fiqh akbar.  Sedangkan dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh  atau  sering  disebut  dengan  fiqh  asghar,  yakni  ketetapan  hukum yang  dihasilkan  dari  pemahaman  seorang  muslim  yang  memenuhi syari’at  tertentu  tentang  Al-Qur’an  dan  al-Sunnah  dengan menggunakan metode ushul Fiqh.

            Berdasarkan pengertian syari’ah itulah terbentuk istilah  tasyri’ atau  tasyri’  Islami yang berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang terkadung di dalam  Al-Qur’an  dan  al-Sunnah.  Peraturan  perundang-undangan tersebut terumuskan ke dalam dua bagian besar, yakni bidang  ibadah dan kedua bidang muamalah. Fiqh  ibadah meliputi aturan puasa, zakat, haji dan  sebagainya yang  ditujukan  untuk  mengatur  hubungan  antara  manusia  dengan Tuhannya.  Adapun  Fiqh  Muamalah  diantaranya  mengatur  tentang perikatan,  sangsi  hukum.  Dan  aturan  selain  yang  diatur  dalam  fiqh  ibadah  dan  bertujuan  untuk  mengatur  subjek  hukum  baik  secara indiviual maupun secara komunal. 


C.  FIQH

            Fiqh  secara  harfiah  bearti  memahami  atau  mengerti  tentang sesuatu,  dan  dalam  pengertian  ini  fiqh  dan  fahm  adalah  sinonim. Dalam kitab Mukhtar as-Shihhah diungkapkan  sebagai berikut :

            Kata  fiqh pada mulanya oleh orang-orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan mana yang betina dan mana yang jantan. Dengan sendirinya, ungkapan fiqh dikalangan  mereka  sudah  lumrah  digunakan.   Dari  ungkapan  ini, dapat diberi pengertian ”pemahaman dan pengertian  yang mendalam tentang suatu hal”. 

            Al-Qur'an  menggunakan  kata  fiqh  dalam  pengertian ”memahami”  secara  umum  sebanyak  20  kali.  Ungkapan  al-Qur'an (agar mereka  melakukan  pemahaman  dalam  agama),  menujunkkan  bahwa  di  masa  Rasul  istialh  fiqh  tidak  hanya  digunakan  dalam pengertian  hukum  saja,  tetapi  mempunyai  arti  yang  lebih  luas mencakup  semua  aspek  kehidupan  dalam  Islam,  baik  theologis, ekonomis dan hukum.  Pada  periode  awal  kita  temukan  sejumlah  istilah  seperti  fiqh, ‘ilm,  iman,  tauhid,  tazkir  dan  hikmah,  yang  digunakan  dalam pengertian yang sangat  luas,  tetapi dikemudian hari arti yang banyak itu  menyatu  dalam  pengertian  yang  sangat  sempit  dan  khusus.  Alasan  terjadinya  perubahan  ini  adalah  karena  masyarakat  muslim semasa  hidup  Rasul  tidaklah  komplek  dan  beraneka  ragam sebagaimana tumbuh berkembangnya Islam kemudian.

            Pada masa  awal  Islam  istilah  fiqh  dan   ilm fiqh sering  digunakan bagi pemahaman secara umum. Rasul pernah mendo'akan Ibnu Abbas  dengan  mengatakan  (ya  Allah  berikanlah  dia  pemahaman  dalam agama).  Dari statemen tersebut bisa kita tangkap bahwa maksud dari pemahaman  tersebut  adalah  bukan  hanya  bidang  hukum  semata, melainkan juga pemahaman tentang Islam secara luas.  Yang  perlu  diketahui  juga  bahwa  kalam  dan  fiqh  tidak  dapat dipisahkan  sampai  masa  awal  al-Makmun  (w.  218).  Berarti  hingga abad  ke-2  Hijrah  fiqh  mencakup  masalah-masalah  theologis  dan masalah-masalah  hukum.  Dalam  kitab  Fiqh  al-Akbar,  karya  Imam Abu Hanifah menyanggah kepercayaan pengikut Qadariyyah  tentang prinsip-prinsip  dasar  Islam,  seperti  keimanan,  keesaan  Allah,  sifat-sifat-Nya,  kehidupan  alam  akhirat  dan  lain-lain.  Masalah-masalah ini  adalah  masalah-masalah  kalam  dan  bukan  masalah-masalah hukum,  hal  demikian menunjukkan  bahwa  kalam  juga  dicakup  oleh istilah  fiqh  pada  masalah-masalah  awal  Islam,  dikarenakan  artinya yang  umum  dan  komprehensif,  dan Abu Hanifah  diriwayatkan  telah mendefinisikan  fiqh  sebagai  pengetahuan  ruh  akan  hak-hak  dan kewajiban-kewajibannya.

            Berdasarkan  pengertian  etimologis  inilah  bahwa  terminologi fiqh  berarti  memahami  dan  mengetahui  wahyu  (baik  al-Qur'an  maupun al-Sunnah) dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu  sehingga  diketahui  bahwa  ketentuan  hukum  dari  mukallaf  (subjek hukum) dengan dalil-dalil yang rinci. Metode yang digunakan untuk  mengetahui  dan  memahami  ketentuan  hukum  ini  kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ushul fiqh, yang dapat  diterjemahkan  dengan  teori  hukum  Islam.  Usul  fiqh  memuat prinsip-prinsip  penetapan  hukum  berdasarkan  qaidah-qaidah kebahasaan  (pola  penalaran  bayani),  qaidah  yang  berdasarkan  rasio (penalaran ta'lili) dan qaidah pengecualian (penalaran istihsani). 


D.  HUKUM ISLAM  


            Dilihat  dari  segi  kebahasaan,  kata  hukum  bermakna “menetapkan  sesuatu  pada  yang  lain”   seperti  menetapkan  haram pada  khamar  atau  halal  pada  air  susu.  Sedang  menurut  istilah  para ulama  usul  fiqh,  sebagaimana  yang  diungkapkan  oleh  Abu  Zahrah adalah  “Titah  (khitab)  Syari'  yang  berkaitan  dengan  perbuatan  mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh'i”.  Yang  dimaksud  dengan  khitab  syari’  adalah  ketentuan-ketentuan  yang  ditetapkan  Allah  dan  Rasul-Nya  terhadap  berbagai perbuatan mukallaf. Seperti firman Allah; Dan dirikanlah Sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (al-Baqarah : 43)

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ

            Ayat  ini  menyatakan  ketentuan  hukum  bahwa  melaksanakan sholat  dan  membayar  zakat  adalah  kewajiban  yang  mesti dilaksanakan.  Khitab  melalui  ayat  ini  membentuk  ketentuan  yang harus dilaksanakan. Kemudian ada pula khitab dalam bentuk larangan,  seperti firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا

Hai  orang-orang  yang  beriman  janganlah  suatu  kaum  mengolo-olok  kaum  yang  lain,  karena  boleh  jadi  kaum  yang diolok-olok  itu  lebih  baik  dari  mereka  yang  mengolok-olok. (al-Hujarat : 11)

Dua  contoh  diatas  menunjukkan  bahwa  khitab  syari'  yang mengikat  para  mukallaf  untuk  mengerjakan  dan  meninggalkannya. Adapun  khitab  yang  dikemukakan  dalam  bentuk  pilihan  adalah ketentuan-ketentuan  syari'  yang  memberi  peluang  kepada  mukallaf untuk  melaksanakan  atau  meninggalkannya.  Seperti  bunyi  surat  al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi :

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Jika kamu khawatir bahwa keduanya  (suami istri) tidak dapat menjalankan  hukum-hukum  Allah, maka  tidak  ada  dosa  atas keduanya  tentang  bayaran  yang  diberikan  oleh  istri  untuk menebus dirinya.  Inilah hukum-hukum Allah, maka  janganlah kamu  melanggarnya,  dan  barang  siapa  yang  melanggar hukum-hukum Allah mereka adalah orang-orang yang zalim.

            Ayat  ini  memberi  kebolehan  bagi  istri  (melalui  wali-waliya) untuk  mengajukan  permohonan  "iwadh"  (uang  pengganti)  kepada suaminya,  kalau  rumah  tangganya  tidak  harmonis  dan  sukar diperbaiki, karena kesalahan dan kelalaian suaminya. Dalam kasus ini si  istri  boleh  mengajukan  perceraian  (khulu’)  atau  mempertahankan pernikahannya.

            Adapun maksud khitab wadh'i adalah ketentuan syari’  tentang perbuatan  mukallaf  yang  mempengaruhi  perbuatan  (taklif),  seperti pembunuhan  yang  dilakukan  seseorang  anak  terhadap  orang  tuanya sendiri  dapat  mempengaruhi  terhalangnya  harta  warisan  yang ditinggalkannya. Rasulullah  bersabda:  orang  yang  membunuh  tidak memperoleh harta warisan dari orang yang terbunuh.  (H.R. Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah)

            Penjelasan  dan  contoh  tentang  hukum  Islam  di atas  menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Qur'an  dan  Hadits.  Namun  paparan  rinci  tentang  norma-norma hukum dari kedua sumber tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut selain  ibadah  belum  terjangkau  secara  tegas,  sehingga  diperlukan kajian mendalam  dan  komprehensif  guna menganalisa  tujuan makna yang  tersirat  dari  satu  nash.  Untuk  kajian  ini  ulama  melahirkan berbagai  metodologi  dan  pendekatan  kajian  hukum  Islam  yang menjadi cabang  ilmu pengetahuan  tersendiri,  yaitu  ushul  fiqh   (teori hukum Islam). Metodologi  yang  lahir  untuk  menjangkau  nash  yang  belum tegas  didasari  oleh  dalil-dalil  yang  menjadi  acuan  mujtahid,  hal demikian antara lain:

1.  Metode  ijma’,  didasari  oleh  firman Allah  SWT  dalam  surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
     
      Hai  orang-orang  yang  beriman,  ta’atilah  Allah  dan  ta’atilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.

      Perkataan  amri  yang  terdapat  pada  ayat  di  atas  berarti  hal, keadaan  atau  urusan  yang  bersifat  umum meliputi  urusan  dunia dan  agama.  Ulil  amri  dalam  urusan  dunia  adalah  raja,  kepala negara,  pemimpin  atau  penguasa.  Sedangkan  ulil  amri  dalam urusan agama adalah para mujtahid. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa  jika para ulil  amri  itu telah  sepakat  tentang  sesuatu  ketentuan  atau  hukum  dari  suatu peristiwa,  maka  kesepakatan  mereka  adalah  ketentuan  hukum yang mengikat dan harus diikuti oleh kaum muslimin. 

2.   Metode Qiyas, dalil yang mengharuskan para mujtahid melakukan analogi  (qiyas)  adalah  dalil  yang  serupa  dengan  diatas  surat  an-Nisa' ayat 59. disana dinyatakan bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin  agar menetapkan  segala  sesuatu  berdasarkan  Al-Qur’an  dan  al-Hadits. Namun  jika  tidak  ada  di  dalamnya, maka hendaklah  mengikuti  ulil  amri,  dan  jika  tidak  ada  pendapat  ulil amri,  maka  boleh  menetapkan  hukum  dengan  mengembalikan masalah  tersebut  kepada  al-Qur'an  dan  al-Hadits  dengan menghubungkan atau membandingkannya dengan hal serupa yang ada  di  dalam  Al-Qur’an  dan  al-Hadits.  Cara  yang  demikian dinamakan qiyas. 

            Selain  dari  dua metodologi  di  atas, masih  banyak  cara  yang dilakukan  oleh  para  mujtahid  untuk  mencari  solusi  penyelesaian masalah  yang  kian  berkembang  pasca  kenabian  dan khulafa'urrasyidun,  seperti  metode  istihsan,  mashlahat  al-mursalah, urf,  syar'un  an  qablana,  istishhab,  saddudz  dzari’ah  dan  madzhab sahabat  yang  keseluruhan  dari metodologi  tersebut memiliki  kaidah-kaidah  sendiri  yang  menjadi  acuan  dalam  pemecahan  masalah  dan semua  mengacu  kepada  semangat  nash  (Al-Qur’an  dan  al-Hadits).

            Kaidah-kaidah  tersebut  dibuat  secara  sistematis  dan  terbagi  pada kaidah  asasiyah  dan  ghairu  asasiyah. Kaidah  asasiyah  adalah  kaidah yang  disepakati  oleh  Imam  Mazhab  berjumlah  5  macam  (panca kaidah)  yaitu:  segala  masalah  tergantung  pada  tujuannya, kemadharatan  itu  harus  dihilangkan,  kebiasaan  itu  dapat  dijadikan hukum,  yakin  itu  tidak  bisa  dihilangkan  dengan  keraguan,  dan kesulitan  itu dapat menarik kemudahan. Selanjutnya sebagian  fuqaha menambahkan  dengan  satu  kaidah  asasiayah  lain  yaitu  “tiada  pahala kecuali  dengan  niat”.  Dari  kelima  atau  keenam  kaidah  tersebut diringkas  oleh  Muhammad  Izzuddin  bin  Abdis  Salam  dengan “menolak  kerusakan  dan  menarik  kemaslahatan”.   Diantara  kaidah  asasiyah  ini  dibantu  oleh  kaidah  ghairu  asasiyah  yang  jumlahnya diperdebatkan dikalangan fuqaha. 


F.  PENUTUP

            Secara filosofis, dengan menggunakan pendekatan kebahasaan (lughah)  dan  kesejarahan  (histories),  istilah-istilah  fiqh,  syari'at  dan hukum  Islam  ternyata  telah mengalami  pergeseran  dan  penyempitan (amelioratif)  makna  dari  makna  asalnya.  Hal  demikian  adalah konsekwensi  yang  merupakan  keharusan  karena  hukum  Islam  telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri. Yaitu ilmu hukum Islam. Memahami  istilah-istilah  tersebut merupakan  keharusan  pula, agar  dalam  memahami  dan  memaknai  suatu  pengertian  dari  setiap literatur yang  berhubungan dengan kajian Hukum  Islam  tidak  terjadi kerancuan  tata  makna  yang  bisa  berakibat  salah  dalam  memahami maksud yang sebenarnya.

            Istilah syara'i (jama' dari syara') digunakan pada era kerasulan dengan  arti  masalah-masalah  pokok  Islam,  yaitu  dasar-dasar  dan kewajiban-kewajiban dalam  Islam. Seperti masalah keimanan, sholat, puasa,  zakat  dan  haji.  Hal  demikian  memperlihatkan  bahwa  istilah syara'i berarti fara’idh (kewajiban-kewajiban). Istilah  fiqh  digunakan  sebagai  pemahaman  secara  umum, bukanlah  pemahaman  bidang  hukum  semata, melainkan  pemahaman tentang  agama  secara  luas.  Meliputi  prinsip-prinsip  Islam  maupun hukum-hukumnya  seperti  yang  dikehendaki  oleh  orang-orang  Arab Badwi untuk fiqh dan agama Islam.

            Sedangkan Hukum  Islam  adalah  hukum  yang  bersumber  dari al-Qur'an  dan  Hadits.  Namun  paparan  rinci  tentang  norma-norma hukum dari kedua sumber  tersebut, persoalan-persoalan di  luar aspek ibadah  belum menjangkau  secara  tegas dari  berbagai  fenomena  yang terjadi  pasca  periode  awal  (Rasul  dan  khulfa'urrasyidin),  sehingga diperlukan  kajian-kajian  lebih  lanjut  untuk  mengetahui  ketentuan-ketentuan  hukumnya,  dengan  tetap  merujuk  kepada  makna  dan semangat al-Qur'an dan Hadits. Untuk kajian  seperti  ini, para ulama melahirkan berbagai metodologi dan pendekatan kajian hukum  Islam yang  menjadi  cabang  ilmu  pengetahuan  tersendiri  yaitu  Ushul  Fiqh (teori hukum Islam).

            Dari semangat dan kerja keras para fuqaha melahirkan beragai metodologi  yang  keseluruhannya  mengacu  pada  ruh  al-Qur'an  dan Hadits,  diantara  metodologi  yang  pernah  ada  adalah  metode  Ijma, Qiyas, Istihsan, Sya'adu zari'ah, Syarhu man qablana dan lainnya dan dari metodologi itu bermunculan kaidah-kaidah fiqhiyah yang bersifat asasi dan ghairu asasi yang disusun secara sistematis oleh fuqaha. Dan seluruh  kerja  keras  beliau menjadi  kenangan  yang  harus  diikuti  dan bukan untuk diperdebatkan kembali dengan merujuk pada pandangan mereka untuk mencari keputusan hukum yang ada pada masa kini.


Mahfudz Junaedi, 
Dosen  Fakultas  Syari’ah  dan  Ilmu  Hukum 
UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo







Muhammad  bin  Sa?ad  bin  Muni?  Abu  Abdullah  al-Bishriy  al-Zuhri,  al-Thabaqat al-Kubra (Dar al-Shadr, Beirut), tt. hal. 307.

Muhammad  bin Makram  bin Manzur  al-Afriqiy  atau  Ibnu Manzur,  Lisan  al-Arab, (Dar al- Shadr, tth.,), jil. 10, hal. 40-44.

Muhammad  bin  Abi  Bakr  bin  Abd  al-Qadir  a-Raziy,  Mukhtar  al-Shihah, (Maktabah Lubnan Nasyrirun, Beirut, 1995), juz 1, hal. 141.

Abu Hanifah,  al-Fiqh  al-Absath,  dikutip  oleh Kamaluddin Ahmad al-Bayadhi dalam Isyarat al-Mara min Ibarat al-Imam, (Kairo, 1949), hal. 28-29.

Abu Hanifah, Kitab al-Alim wa al-Muta’alim, (Hyderabad, Deccam), hal. 5-6.  

Diabad modern  syari'ah  dengan maksud  lembaga  berkembang  dimana-mana, seperti Lembaga Pendidikan Fakultas Syari?ah, Lembaga Dewan Syari?ah dll.
8
Al-Syafi?i, al-Um, (Kairo, 1325 H), hal. 196-197.
9
Al-Syafi?i, Jami’ al-Ilm, (Kairo, 1940), hal. 104.
10
Ibnu Munzur, Op.Cit., jil. 8, hal. 157.
11
Dalam pengertian keagamaan, kata syari?ah berarti  jalan kehidupan yang baik,
yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan  secara  fungsional dan dalam makna
yang kongrit.
12
Fiqh Muamalah  dewasa  ini  dipilih  sesuai  dengan  tujuan masing-masing  yang
meliputi:  pertama,  hukum  kekeluargaan  (ahkam  ahwal  al-syakhshiyyah).
Kedua, hukum civies (al-ahkam al-madaniyyah).
13
Ibnu Munzur, Op.Cit., jilid 8, hal. 253.
14
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Munzir, (Kairo: tth.), hal. 638.
15
CD-Room,  al-Qur’an  dan  al-Hadits,  6.50,  versi  Indonesia,  al-Sakhr,(Mesir:
1998).
16
al-Ghazali, Ihya ulumuddin, (Kairo, 1939), hal. 38.
17
Ibnu Sa?ad, al-Thabaqat al-Kubra, (Beirut; 1959), hal. 363.
18
Orang Arab Badwi pernah meminta   kepada Rasul agar mengutus kepala suku
mereka untuk mengajarkan mereka masalah agama. Dari  sana dapat dipahami
bahwa  orang  Badwi  tidak  hanya  minta  diajari  masalah  hukum  saja,  tetapi
seluruh aspek  yang  berhubungan  dengan masalah  agama. Lihat  Ibnu Hisyam,
al-Sirah, (Kairo: 1329), hal. 32.
19
Abu  Hanifah  an-Nu?man  bin  Tsabit  al-Kufiy,  al-Syarah  al-Masyir  ala  al
Fiqhain  al-Asbah  wa  al-Akbar  al-Mansubain  li  Abi  Hanifaf,  (Maktabah  al-
Furqan, 1999), hal. 163.
20
Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hal. 7.
21
Abd al-Hamid Hakim, al-Bayan, (Sa?adah Putra, Jakarta, 1972), hal. 10.
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Dar al-Fikr, 1985), hal. 26.
23
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu:
kata ushul dan kata fiqh, dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang  ilmu
dari  ilmu-ilmu  syari?ah. Di  lihat dari  tata bahasa  , maka rangkaian kata Ushul
dan  kata  Fiqh  tersebut  dinamakan  dengan  tarkib  idhafah  ,  sehingga  dari
rangkaian  dua  buah  kata  itu memberi  pengertian  ushul  dari  fiqh. Kata Ushul
adalah  bentuk  jama?      dan  kata Ashl  yang menurut  bahasa  berarti  suatu  yang
dijadikan dasar bagi yang  lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa

0 comments:

 
TOP