FILOSOFIS SYARI’AH,
FIQH DAN HUKUM ISLAM
(Kajian Pendekatan Pemahaman Hukum)
Abstract :
Islam as religion and a law
system often error at the meaning of not merely by people of is not just Moslem
only, but also by people of itself Islam. As the law system Islam law studied
and developed by all thinkers Islam
so that he
becomes the self-supporting science discipline.
Result as one science discipline,
law of Islam develop its own terms
as other science
discipline. Therefore in study
law of Islam
is oftentimes met by the term fiqh, syari'at and law of Islam. As study
of early, to all law researcher_ what is many residing in environment of
faculty of syari'ah and science punish _ comprehending the term very
urgent, in expecting
of comprehending and taking congeniality
from each every literature
of related to
study law of
the Islam is not
happened by the mistake arrange the meaning which can cause wrong in
comprehending intention which in fact.
At this
handing out will
be elaborated to
by arrange the meaning becoming starting point most important
in study punish the Islam. Term to
be elaborated by
that is: Syari'ah, Fiqh and Punish the Islam
strive the philosophic
obstetrical reflection, as medium
of approach study of understanding of Law. Description in this handing out will be used by rule of
language and history growth, so that can be done / conducted by philosophic
approach the meaning from the term technical directional with interest and
comprehensive. For the study
of this is
Moslem scholar bear
various
methodologies and
study approach punish
the Islam becoming separate science branch, that
is ushul fiqh (theory punish the
Islam) that is a methodologies
which born to reach
the nash which not yet coherent
constituted by theorem
becoming reference mujtahid. Among/between solution
is solving of
problem expanding pasha
of prophecy and khulafa'urrasyidun, like
ijma', qiyas, method istihsan,
mashlahat al-mursalah, Urf,
Syar'un An qablana,
Istishhab, Saddudz Dzari'ah and Madzhab friend.
A. PENDAHULUAN
Islam sebagai
agama dan suatu
sistem hukum sering disalahfahami bukan hanya oleh
orang-orang non muslim saja, tetapi juga
oleh orang-orang Islam
itu sendiri. Sebagai
suatu suatu sistem hukum, hukum Islam dipelajari dan dikembangkan oleh para
pemikir (ilmuan) Islam sehingga ia menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
Konsekwensi sebagai suatu
satu disiplin ilmu,
hukum Islam mengembangkan istilah-istilahnya sendiri
sebagai disiplin ilmu
yang lain. Oleh karena
itu dalam studi
hukum Islam seringkali
dijumpai istilah-istilah fiqh, syari’at dan hukum Islam.
Sebagai kajian
awal, bagi para
peneliti hukum yang
banyak berada di lingkungan
Fakultas Syari'ah dan Ilmu Hukum
memahami istilah-istilah tersebut amatlah
urgen, agar dalam
memahami dan mengambil pengertian
dari setiap literatur
yang berhubungan dengan
kajian hukum Islam
tidak terjadi kerancuan
tata makna yang
bisa berakibat salah dalam memahami maksud yang sebenarnya. Pada tulisan
ini akan diuraikan tata makna
yang menjadi titik tolak paling penting
dalam kajian hukum Islam tersebut.
Istilah yang akan diuraikan itu
adalah: Syari’ah, Fiqh
dan Hukum Islam
upaya refleksi
kandungan-kandungan
filosofis, sebagai sarana
kajian pendekatan pemahaman hukum.
Uraian dalam tulisan
ini akan digunakan kaedah
kebahasaan dan perkembangan
kesejarahan, sehingga dapat dilakukan pendekatan pemaknaan filosofis
dari istilah-istilah tekhnis tersebut dengan lebih terarah dan komprehensif.
B. SYARI’AH
Istilah syari'ah
merupakan kata yang
lumrah beredar di kalangan
masyarakat Muslim dari
masa awal Islam,
namun yang mereka gunakan selalu
syara'i (bentuk jama') bukan
syari'at (bentuk mufrad).
Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa orang-orang yang baru masuk Islam
dan datang kepada
Rasulullah dari berbagai
pelosok Jazirah Arab, meminta
kepada Rasulullah agar
mengirim seseorang kepada mereka
untuk mengajarkan syara'i Islam.
Sedangkan istilah
syari'ah hampir-hampir tidak
pernah digunakan pada masa awal
Islam. Dari perkembangan makna,
istilah syari'at ini
diperkenalkan dengan perubahan makna
yang menyempit untuk membawakan
makna yang khusus, yakni ”Hukum Islam”
pada masa kemudian. Syari’ah
adalah kosa kata
bahasa Arab yang
secara harfiah berarti ”sumber
air” atau ”sumber
kehidupan” , dalam Mukhtar
al-Shihah diungkapkan sebagai berikut:
Syari’ah adalah sumber air dan ia adalah
tujuan bagi orang yang akan minum. Syari’ah juga sesuatu yang telah
ditetapkan Allah SWT kepada hamba-Nya
berupa agama yang
telah disyari’atkan kepada
mereka. Orang-orang Arab menerapkan
istilah ini khususnya pada jalan setapak
menuju palung air
yang tetap dan
diberi tanda yang jelas
terlihat mata. Jadi, kata demikian
ini berarti jalan yang jelas kelihatan atau ”jalan raya” untuk diikuti. Al-Qur'an menggunakan kata syir'ah dan syari'ah dalam arti agama, atau dalam
arti jalan yang
jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia.
Istilah
syara'i (bentuk jamak) digunakan pada masa Rasulullah dengan arti
masalah-masalah pokok Islam. Orang-orang
Arab Baduwi yang meminta kepada Nabi
agar mengutus seseorang untuk mengaji mereka
syara’i Islam atau
masalah-masalah pokok agama.
Mereka ingin mempelajari
dasar-dasar dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Asumsi ini diperkuat oleh Hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah ketika ditanya
mengenai syara'i Islam
beliau menyebutkan bahwa syara'i Islam
itu adalah Sholat, Zakat, Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Dari
sini terlihat bahwa
istilah syara'i berarti
faraidh (kewajiban-kewajiban).
Abu
Hanifah membedakan antara “din”
dan “syari’ah” atas dasar bahwa din
tidak pernah berubah,
sementara syari’ah terus
ada kemungkinan berubah dalam
perjalanan sejarah. Menurutnya
din adalah pokok-pokok iman, sedangkan yang dimaksud dengan syari’ah
adalah kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan. Ia
tidak menyatakan adanya
perbedaan dalam din
dari Rasul, tetapi
ia membedakan antara syara'i
mereka. Ia berkeyakinan
bahwa setiap Rasul
menyeru manusia kepada
syari’ahnya sendiri dan
melarang, mereka untuk mengikuti
syari’ah dari Rasul-rasul sebelumnya.
Istilah din akhirnya digunakan dalam pengertiannya yang
terbatas pada masa Abu
Hanifah, yaitu pokok-pokok
ajaran Islam. Dari sinilah muncul istilah ushul al-din yang dipergunakan untuk kalam pada masa-masa
berikutnya.
Al-Syafi'i menggunakan
istilah syari’ah dalam
pengertian lembaga . Beliau tidak sependapat dengan Imam Malik yang
melarang ibadah haji dengan wakil
(badal haji) ketika
orang yang digantikan masih hidup.
Imam Malik membandingkan
haji dengan sholat
dan puasa yang tidak
dapat dilaksanakan atas
nama orang lain, sebagaimana disepakati
oleh semua ahli
hukum. Ketika menolak pendapat Imam
Malik, Imam Syafi'i
mengatakan ”satu syari'ah (lembaga) tidak
dapat dibandingkan secara
analogis dengan syari'ah (lembaga) yang
lain”. Pengguanaan istilah
ini dalam pengertian lembaga hanya dipakai oleh Imam
Syafi'i saja, karena istilah ini tidak umum
dipakai dengan pengertian
demikian. Lebih jauh
lagi ia menggunakan istilah
syara'i dengan pengertian
kewaiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.
Sedangkan istilah syari'ah dalam konteks kajian hukum
Islam lebih menggambarkan norma-norma
hukum yang merupakan
hasil dari proses tasyri’, yaitu
proses menetapkan dan membuat syari'ah.
Lebih lanjut terminologi
syari'at dalam kalangan
ahli hukum Islam mempunyai pengertian umum dan
khusus. Syari’at dalam arti umum merupakan keseluruhan
jalan hidup setiap
muslim, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Syari'at dalam arti ini sering disebut dengan fiqh akbar. Sedangkan dalam pengertian khusus berkonotasi
fiqh atau sering
disebut dengan fiqh
asghar, yakni ketetapan
hukum yang dihasilkan dari
pemahaman seorang muslim
yang memenuhi syari’at tertentu
tentang Al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan menggunakan
metode ushul Fiqh.
Berdasarkan
pengertian syari’ah itulah terbentuk istilah
tasyri’ atau tasyri’ Islami yang berarti peraturan
perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang
terkadung di dalam Al-Qur’an dan
al-Sunnah. Peraturan perundang-undangan tersebut terumuskan ke
dalam dua bagian besar, yakni bidang
ibadah dan kedua bidang muamalah. Fiqh
ibadah meliputi aturan puasa, zakat, haji dan sebagainya yang ditujukan
untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhannya. Adapun
Fiqh Muamalah diantaranya
mengatur tentang perikatan, sangsi
hukum. Dan aturan
selain yang diatur
dalam fiqh ibadah
dan bertujuan untuk
mengatur subjek hukum
baik secara indiviual maupun
secara komunal.
C. FIQH
Fiqh secara
harfiah bearti memahami
atau mengerti tentang sesuatu, dan
dalam pengertian ini
fiqh dan fahm
adalah sinonim. Dalam kitab
Mukhtar as-Shihhah diungkapkan sebagai
berikut :
Kata fiqh pada mulanya oleh orang-orang arab bagi
seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan mana yang
betina dan mana yang jantan. Dengan sendirinya, ungkapan fiqh dikalangan mereka
sudah lumrah digunakan.
Dari ungkapan ini, dapat diberi pengertian ”pemahaman dan
pengertian yang mendalam tentang suatu
hal”.
Al-Qur'an menggunakan
kata fiqh dalam
pengertian ”memahami” secara umum
sebanyak 20 kali.
Ungkapan al-Qur'an (agar
mereka melakukan pemahaman
dalam agama), menujunkkan
bahwa di masa
Rasul istialh fiqh
tidak hanya digunakan
dalam pengertian hukum saja,
tetapi mempunyai arti
yang lebih luas mencakup
semua aspek kehidupan
dalam Islam, baik
theologis, ekonomis dan hukum. Pada periode
awal kita temukan
sejumlah istilah seperti
fiqh, ‘ilm, iman, tauhid,
tazkir dan hikmah,
yang digunakan dalam pengertian yang sangat luas,
tetapi dikemudian hari arti yang banyak itu menyatu
dalam pengertian yang
sangat sempit dan
khusus. Alasan terjadinya
perubahan ini adalah
karena masyarakat muslim semasa
hidup Rasul tidaklah
komplek dan beraneka
ragam sebagaimana tumbuh berkembangnya Islam kemudian.
Pada
masa awal Islam
istilah fiqh dan ilm fiqh sering digunakan bagi pemahaman secara umum. Rasul
pernah mendo'akan Ibnu Abbas dengan mengatakan
(ya Allah berikanlah
dia pemahaman dalam agama).
Dari statemen tersebut bisa kita tangkap bahwa maksud dari
pemahaman tersebut adalah
bukan hanya bidang
hukum semata, melainkan juga
pemahaman tentang Islam secara luas.
Yang perlu diketahui
juga bahwa kalam
dan fiqh tidak
dapat dipisahkan sampai masa
awal al-Makmun (w.
218). Berarti hingga abad
ke-2 Hijrah fiqh
mencakup masalah-masalah theologis
dan masalah-masalah hukum. Dalam
kitab Fiqh al-Akbar,
karya Imam Abu Hanifah menyanggah
kepercayaan pengikut Qadariyyah tentang
prinsip-prinsip dasar Islam,
seperti keimanan, keesaan
Allah, sifat-sifat-Nya, kehidupan
alam akhirat dan
lain-lain. Masalah-masalah
ini adalah masalah-masalah kalam
dan bukan masalah-masalah hukum, hal
demikian menunjukkan bahwa kalam
juga dicakup oleh istilah
fiqh pada masalah-masalah awal
Islam, dikarenakan artinya yang
umum dan komprehensif,
dan Abu Hanifah diriwayatkan telah mendefinisikan fiqh
sebagai pengetahuan ruh
akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Berdasarkan pengertian
etimologis inilah bahwa
terminologi fiqh berarti memahami
dan mengetahui wahyu
(baik al-Qur'an maupun al-Sunnah) dengan menggunakan penalaran
akal dan metode tertentu sehingga diketahui
bahwa ketentuan hukum
dari mukallaf (subjek hukum) dengan dalil-dalil yang rinci.
Metode yang digunakan untuk
mengetahui dan memahami
ketentuan hukum ini
kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ushul
fiqh, yang dapat diterjemahkan dengan
teori hukum Islam.
Usul fiqh memuat prinsip-prinsip penetapan
hukum berdasarkan qaidah-qaidah kebahasaan (pola
penalaran bayani), qaidah
yang berdasarkan rasio (penalaran ta'lili) dan qaidah
pengecualian (penalaran istihsani).
D. HUKUM ISLAM
Dilihat dari
segi kebahasaan, kata
hukum bermakna “menetapkan sesuatu
pada yang lain”
seperti menetapkan haram pada khamar
atau halal pada
air susu. Sedang
menurut istilah para ulama
usul fiqh, sebagaimana
yang diungkapkan oleh
Abu Zahrah adalah “Titah
(khitab) Syari' yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh'i”. Yang
dimaksud dengan khitab
syari’ adalah ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya terhadap berbagai perbuatan mukallaf. Seperti firman
Allah; Dan dirikanlah Sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta
orang-orang yang ruku’. (al-Baqarah : 43)
وَأَقِيمُواْ
الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
Ayat ini
menyatakan ketentuan hukum
bahwa melaksanakan sholat dan
membayar zakat adalah
kewajiban yang mesti dilaksanakan. Khitab
melalui ayat ini
membentuk ketentuan yang harus dilaksanakan. Kemudian ada pula
khitab dalam bentuk larangan, seperti
firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى
أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء
مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ
خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
Hai
orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum mengolo-olok kaum
yang lain, karena
boleh jadi kaum
yang diolok-olok itu lebih
baik dari mereka
yang mengolok-olok. (al-Hujarat :
11)
Dua
contoh diatas menunjukkan
bahwa khitab syari'
yang mengikat para mukallaf
untuk mengerjakan dan
meninggalkannya. Adapun
khitab yang dikemukakan
dalam bentuk pilihan
adalah ketentuan-ketentuan syari' yang
memberi peluang kepada
mukallaf untuk melaksanakan atau
meninggalkannya. Seperti bunyi
surat al-Baqarah ayat 229 yang
berbunyi :
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن
تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ
أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن
يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. Inilah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya,
dan barang siapa
yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka adalah orang-orang yang zalim.
Ayat ini
memberi kebolehan bagi
istri (melalui wali-waliya) untuk mengajukan
permohonan "iwadh" (uang
pengganti) kepada suaminya, kalau
rumah tangganya tidak
harmonis dan sukar diperbaiki, karena kesalahan dan
kelalaian suaminya. Dalam kasus ini si
istri boleh mengajukan
perceraian (khulu’) atau
mempertahankan pernikahannya.
Adapun
maksud khitab wadh'i adalah ketentuan syari’ tentang perbuatan mukallaf
yang mempengaruhi perbuatan (taklif),
seperti pembunuhan yang dilakukan
seseorang anak terhadap
orang tuanya sendiri dapat
mempengaruhi terhalangnya harta
warisan yang ditinggalkannya.
Rasulullah bersabda: orang
yang membunuh tidak memperoleh harta warisan dari orang
yang terbunuh. (H.R. Muslim, Abu Daud
dan Ibnu Majah)
Penjelasan dan
contoh tentang hukum
Islam di atas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum
yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadits.
Namun paparan rinci
tentang norma-norma hukum dari
kedua sumber tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut selain ibadah
belum terjangkau secara
tegas, sehingga diperlukan kajian mendalam dan
komprehensif guna
menganalisa tujuan makna yang tersirat
dari satu nash.
Untuk kajian ini ulama
melahirkan berbagai
metodologi dan pendekatan
kajian hukum Islam
yang menjadi cabang ilmu
pengetahuan tersendiri, yaitu
ushul fiqh (teori hukum Islam). Metodologi yang
lahir untuk menjangkau
nash yang belum tegas
didasari oleh dalil-dalil
yang menjadi acuan
mujtahid, hal demikian antara
lain:
1. Metode
ijma’, didasari oleh
firman Allah SWT dalam
surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai
orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.
Perkataan
amri yang terdapat
pada ayat di
atas berarti hal, keadaan
atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan
dunia dan agama. Ulil
amri dalam urusan
dunia adalah raja,
kepala negara, pemimpin atau
penguasa. Sedangkan ulil
amri dalam urusan agama adalah
para mujtahid. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa jika para ulil amri
itu telah sepakat tentang
sesuatu ketentuan atau
hukum dari suatu peristiwa, maka
kesepakatan mereka adalah
ketentuan hukum yang mengikat dan
harus diikuti oleh kaum muslimin.
2. Metode Qiyas, dalil yang mengharuskan para
mujtahid melakukan analogi (qiyas) adalah
dalil yang serupa
dengan diatas surat
an-Nisa' ayat 59. disana dinyatakan bahwa Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin agar menetapkan segala
sesuatu berdasarkan Al-Qur’an
dan al-Hadits. Namun jika
tidak ada di
dalamnya, maka hendaklah
mengikuti ulil amri,
dan jika tidak
ada pendapat ulil amri,
maka boleh menetapkan
hukum dengan mengembalikan masalah tersebut
kepada al-Qur'an dan
al-Hadits dengan menghubungkan
atau membandingkannya dengan hal serupa yang ada di
dalam Al-Qur’an dan
al-Hadits. Cara yang
demikian dinamakan qiyas.
Selain dari
dua metodologi di atas, masih
banyak cara yang dilakukan oleh
para mujtahid untuk
mencari solusi penyelesaian masalah yang
kian berkembang pasca
kenabian dan khulafa'urrasyidun, seperti
metode istihsan, mashlahat
al-mursalah, urf, syar'un an
qablana, istishhab, saddudz
dzari’ah dan madzhab sahabat yang
keseluruhan dari metodologi tersebut memiliki kaidah-kaidah
sendiri yang menjadi
acuan dalam pemecahan
masalah dan semua mengacu
kepada semangat nash (Al-Qur’an dan
al-Hadits).
Kaidah-kaidah tersebut
dibuat secara sistematis
dan terbagi pada kaidah
asasiyah dan ghairu
asasiyah. Kaidah asasiyah adalah
kaidah yang disepakati oleh
Imam Mazhab berjumlah
5 macam (panca kaidah) yaitu:
segala masalah tergantung
pada tujuannya, kemadharatan itu
harus dihilangkan, kebiasaan
itu dapat dijadikan hukum, yakin
itu tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan,
dan kesulitan itu dapat menarik
kemudahan. Selanjutnya sebagian fuqaha
menambahkan dengan satu
kaidah asasiayah lain
yaitu “tiada pahala kecuali dengan
niat”. Dari kelima
atau keenam kaidah
tersebut diringkas oleh Muhammad
Izzuddin bin Abdis
Salam dengan “menolak kerusakan
dan menarik kemaslahatan”. Diantara
kaidah asasiyah ini
dibantu oleh kaidah
ghairu asasiyah yang
jumlahnya diperdebatkan dikalangan fuqaha.
F. PENUTUP
Secara
filosofis, dengan menggunakan pendekatan kebahasaan (lughah) dan
kesejarahan (histories), istilah-istilah fiqh,
syari'at dan hukum Islam
ternyata telah mengalami pergeseran
dan penyempitan (amelioratif) makna
dari makna asalnya.
Hal demikian adalah konsekwensi yang
merupakan keharusan karena
hukum Islam telah menjadi suatu disiplin ilmu yang
mandiri. Yaitu ilmu hukum Islam. Memahami
istilah-istilah tersebut
merupakan keharusan pula, agar
dalam memahami dan
memaknai suatu pengertian
dari setiap literatur yang berhubungan dengan kajian Hukum Islam
tidak terjadi kerancuan tata
makna yang bisa
berakibat salah dalam
memahami maksud yang sebenarnya.
Istilah
syara'i (jama' dari syara') digunakan pada era kerasulan dengan arti
masalah-masalah pokok Islam,
yaitu dasar-dasar dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Seperti masalah keimanan, sholat,
puasa, zakat dan
haji. Hal demikian
memperlihatkan bahwa istilah syara'i berarti fara’idh
(kewajiban-kewajiban). Istilah fiqh digunakan
sebagai pemahaman secara
umum, bukanlah pemahaman bidang
hukum semata, melainkan pemahaman tentang agama
secara luas. Meliputi
prinsip-prinsip Islam maupun hukum-hukumnya seperti
yang dikehendaki oleh
orang-orang Arab Badwi untuk fiqh
dan agama Islam.
Sedangkan
Hukum Islam adalah
hukum yang bersumber
dari al-Qur'an dan Hadits.
Namun paparan rinci
tentang norma-norma hukum dari
kedua sumber tersebut,
persoalan-persoalan di luar aspek ibadah belum menjangkau secara
tegas dari berbagai fenomena
yang terjadi pasca periode
awal (Rasul dan
khulfa'urrasyidin), sehingga
diperlukan kajian-kajian lebih
lanjut untuk mengetahui
ketentuan-ketentuan
hukumnya, dengan tetap
merujuk kepada makna
dan semangat al-Qur'an dan Hadits. Untuk kajian seperti
ini, para ulama melahirkan berbagai metodologi dan pendekatan kajian
hukum Islam yang menjadi
cabang ilmu pengetahuan
tersendiri yaitu Ushul
Fiqh (teori hukum Islam).
Dari
semangat dan kerja keras para fuqaha melahirkan beragai metodologi yang
keseluruhannya mengacu pada
ruh al-Qur'an dan Hadits,
diantara metodologi yang
pernah ada adalah
metode Ijma, Qiyas, Istihsan, Sya'adu
zari'ah, Syarhu man qablana dan lainnya dan dari metodologi itu bermunculan
kaidah-kaidah fiqhiyah yang bersifat asasi dan ghairu asasi yang disusun secara
sistematis oleh fuqaha. Dan seluruh
kerja keras beliau menjadi kenangan
yang harus diikuti
dan bukan untuk diperdebatkan kembali dengan merujuk pada pandangan mereka
untuk mencari keputusan hukum yang ada pada masa kini.
Mahfudz Junaedi,
Dosen
Fakultas Syari’ah dan
Ilmu Hukum
UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo
Muhammad bin Sa?ad
bin Muni? Abu
Abdullah al-Bishriy al-Zuhri,
al-Thabaqat al-Kubra (Dar al-Shadr, Beirut), tt. hal. 307.
Muhammad bin Makram bin Manzur
al-Afriqiy atau Ibnu Manzur,
Lisan al-Arab, (Dar al- Shadr,
tth.,), jil. 10, hal. 40-44.
Muhammad bin Abi
Bakr bin Abd
al-Qadir a-Raziy, Mukhtar
al-Shihah, (Maktabah Lubnan Nasyrirun, Beirut, 1995), juz 1, hal. 141.
Abu Hanifah, al-Fiqh al-Absath,
dikutip oleh Kamaluddin Ahmad
al-Bayadhi dalam Isyarat al-Mara min Ibarat al-Imam, (Kairo, 1949), hal. 28-29.
Abu Hanifah, Kitab al-Alim wa al-Muta’alim, (Hyderabad, Deccam), hal. 5-6.
Diabad modern syari'ah dengan maksud
lembaga berkembang dimana-mana, seperti Lembaga Pendidikan
Fakultas Syari?ah, Lembaga Dewan Syari?ah dll.
8
Al-Syafi?i, al-Um, (Kairo, 1325 H), hal.
196-197.
9
Al-Syafi?i, Jami’ al-Ilm, (Kairo, 1940), hal. 104.
10
Ibnu Munzur, Op.Cit., jil. 8, hal. 157.
11
Dalam pengertian keagamaan, kata syari?ah berarti jalan kehidupan yang baik,
yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan
secara fungsional dan dalam makna
yang kongrit.
12
Fiqh Muamalah dewasa ini
dipilih sesuai dengan
tujuan masing-masing yang
meliputi: pertama, hukum
kekeluargaan (ahkam ahwal
al-syakhshiyyah).
Kedua, hukum civies (al-ahkam al-madaniyyah).
13
Ibnu Munzur, Op.Cit., jilid 8, hal. 253.
14
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Munzir, (Kairo: tth.), hal. 638.
15
CD-Room, al-Qur’an dan
al-Hadits, 6.50, versi
Indonesia, al-Sakhr,(Mesir:
1998).
16
al-Ghazali, Ihya ulumuddin, (Kairo, 1939), hal. 38.
17
Ibnu Sa?ad, al-Thabaqat al-Kubra, (Beirut; 1959), hal. 363.
18
Orang Arab Badwi pernah meminta
kepada Rasul agar mengutus kepala suku
mereka untuk mengajarkan mereka masalah agama. Dari sana dapat dipahami
bahwa orang Badwi
tidak hanya minta
diajari masalah hukum
saja, tetapi
seluruh aspek yang berhubungan
dengan masalah agama. Lihat Ibnu Hisyam,
al-Sirah, (Kairo: 1329), hal. 32.
19
Abu Hanifah an-Nu?man
bin Tsabit al-Kufiy,
al-Syarah al-Masyir ala al
Fiqhain al-Asbah wa
al-Akbar al-Mansubain li
Abi Hanifaf, (Maktabah
al-
Furqan, 1999), hal. 163.
20
Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hal.
7.
21
Abd al-Hamid Hakim, al-Bayan, (Sa?adah Putra, Jakarta, 1972), hal. 10.
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Dar al-Fikr, 1985), hal. 26.
23
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata,
yaitu:
kata ushul dan kata fiqh, dan dapat dilihat pula sebagai nama satu
bidang ilmu
dari ilmu-ilmu syari?ah. Di
lihat dari tata bahasa , maka rangkaian kata Ushul
dan kata Fiqh
tersebut dinamakan dengan
tarkib idhafah ,
sehingga dari
rangkaian dua buah
kata itu memberi pengertian
ushul dari fiqh. Kata Ushul
adalah bentuk jama?
dan kata Ashl yang menurut
bahasa berarti suatu
yang
dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan
pengertian Ushul menurut bahasa
0 comments:
Post a Comment