REPOSISI
Madrasah
DALAM
KONTEKS Otonomi Daerah dan PENDIDIKAN
- Pendahuluan
Tulisan ini merupakan telaah awal berkaitan dengan
penerapan otonomi daerah terutama daerah tingkat dua. Dalam UU No 22 /1999,
khususnya bab IV pasal 7, ditegaskan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah.
Beberapa bidang, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fisakal, serta agama, seperti tercantum dalam pasal tersebut menjadi
wewenang pemerintah pusat. Sedangkan bidang-bidang lainnya diserahkan ke
Pemerintah Daerah Tingkat II. Persoalannya adalah apakah madrasah yang telah
lama berada dalam naungan (pembinaan) Departemen Agama RI akan segera dan
sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II sebagaimana
sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud? Atau apakah madrasah tetap
dalam skema yang telah berjalan selama ini? Pilihan apapun yang diambil
Departemen Agama akan menimbulkan tarik menarik (trade off) dan mengandung implikasi tersendiri bagi keberadaan
madrasah sebagai institusi pendidikan.
Dalam melihat masalah tersebut dibutuhkan perspektif
yang multidimensi dan objektif. Di sini, keberadaan madrasah, baik sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional
maupun kualitasnya yang rata-rata masih rendah harus dijadikan titik tolak
dalam pembahasan.
Ada beberapa hal yang perlu diketengahkan dalam perbincangan tentang
status madrasah ke depan – otonomi daerah dan pendidikan.
Pertama, perlu melihat setting
sejarah kehadiran madrasah di masyarakat. Hal ini sangat penting agar peran
serta masyarakat atau keswadayaan yang merupakan basis pendukung kelangsungan
hidup lembaga ini tidak terabaikan, bahkan akan terus dijadikan modal dasar
untuk melakukan peningkatan kualitas madrasah. Madrasah, sebagaimana diketahui,
telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat jauh sebelum Indonesia
merdeka. Kehadirannya merupakan sahutan terhadap tuntutan masyarakat akan
layanan pendidikan yang memenuhi dua
dimensi kebutuhan : penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan
keagamaan. Keduanya, jika dilihat dari setting
historis, tidak dapat dipenuhi oleh sekolah umum yang diset oleh pemerintah kolonial Belanda maupun pondok pesantren – yang
menitikberatkan pada pengetahuan agama saja. Keseimbangan antara dua dimensi
ini – penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pendidikan agama – masih
relevan dengan tuntutan masyarakat sekarang dan yang akan datang, terutama
dilihat dari kecenderugan-kecenderungan yang muncul belakangan. Mampukah
madrasah memanfaatkan peluang yang ada dalam masyarakat ? Hal ini juga telah
melahirkan tuntutan untuk melakukan upaya peningkatan dalam berbagai segi di
internal madrasah.
Kedua, secara de facto
keberadaan madrasah di tengah-tengah masyarakat telah mendapat pengakuan ;
makna kehadirannya tidak diragukan lagi.
Hanya saja secara de jure madrasah
diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional baru tampak tegas setelah
UUSPN No. 02 /1989 diratifikasi. Beberapa dekade yang lalu dan bahkan dimulai
sejak pemerintah Hindia Belanda, institusi pendidikan ini terkesan dibiarkan
tumbuh dengan sendirinya sebagai ‘indigenous
institutions’. Sentuhan-sentuhan pemerintah yang mendorong terjadinya eskalasi peningkatan mutu dirasa
masih belum seimbang dibanding dengan perlakuan yang diberikan ke
sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud. Dari politik anggaran,
misalnya terdapat ketimpangan dalam alokasi anggaran untuk lembaga pendidikan
ini. Hal ini mempunyai hubungan dengan status dan garapan utama Departemen
Agama. Perbedaan perlakuan anggaran untuk madrasah telah terjadi, bahkan masih dirasa meskipun
UUSPN No. 02 /1989 telah diratifikasi. Departemen Agama RI harus mengalokasikan
dana yang diterimanya (bidang agama) untuk ‘pembinaan’ dan pengembangan
madrasah agar lembaga ini dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu
sesuai tuntutan masyarakat. Ketimpangan yang mencolok 1 mengakibatkan madrasah-madrasah pada satu dimensi
‘tertinggal’ dari sekolah-sekolah yang kini berada dalam naungan Depdikbud.
Ketiga, pandangan tentang proporsionalitas dan politik penyelenggaraan
pendidikan perlu dipertimbangkan dalam melihat persoalan madrasah ke depan.
Pertanyaan yang acapkali muncul dalam diskusi adalah siapa yang paling
otorotatif dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, kita akan menjumpai
pandangan bahwa pendidikan semestinya
berada dalam satu atap dan Depdikbud dipandang sebagai lembaga paling
otoritatif. Pandangan ini tidak serta merta dapat diterima karena alasan : kaum
Muslim belum yakin betul apabila madrasah atau pendidikan agama diselenggarakan
dalam satu atap. Pertanyaan yang mungkin muncul apakah integrasi madrasah atau
pendidikan agama dalam satu wadah tidak
akan meresuksi penyelenggaraan pendidikan agama. Dengan kata lain, mempercepat
sekularisasi. Upaya-upaya untuk memberikan pengajaran agama-agama (panca agama)
kepada setiap murid merupakan salah satu tawaran yang pernah ditolak dan kasus
ini sulit dilupakan kaum Muslim. Upaya untuk menghidupkan kembali pendidikan
budi pekerti bisa saja dapat memicu ketegangan di kalangan umat manakala
dipahami sebagai pengganti pendidikan agama di sekolah-sekolah. Terlebih jika
dasar pemikiran yang digunakan untuk
menetapkan pentingnya budi pekerti adalah pendidikan agama yang selama ini
dipandang “gagal” dalam membentuk perilaku yang mulia di kalangan siswa.
Padahal hasil yang ingin dicapai melalui pemberian pendidikan agama adalah tertanamnya akhlakul karimah (budi pekerti mulia) di
kalangan murid-murid sekolah pada setiap jenjang. Lagi pula secara historis
madrasah telah lama “terabaikan” dari sistem pendidikan nasional.
B. Otonomi Pendidikan
Isu otonomi pendidikan bergulir bersamaan dengan isu-isu
otonomi daerah yang tercantum dalam UUD 1945 tentang pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat
dan daerah. Hal ini diperkuat oleh UU No. 5 1974. UU ini menetapkan pola hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tingkat II berdasarkan tiga
azas otonomi, dekonstruksi dan pemberian bantuan. Pengaturan semacam ini
dimaksudkan agar masing-masing daerah dapat mengelola diri sendiri dan
mengembangkannya sesuai dengan potensinya. Meskipun demikian pelaksanaan UU No.
05 Th. 1974 belum dapat dilaksanakan secara efektif karena tidak ada
kesungguhan untuk menerapkannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari fenomena
yang muncul dalam penyelenggaraan pembangunan. Misalnya, keseragaman dalam menset program pembangunan di
daerah-daerah. Daerah atau level bawah belum
menjadi pemrakarsa dalam merencanakan program pembangunan. Batasan tugas
antara pusat dan daerah cenderung ke arah dekonstruksi. 2 UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan
bidang kewenangan yang semestinya diemban oleh pusat dan daerah. Lima bidang
yang disebutkan di atas menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat
sedangkan selebihnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah.
Pengelolaan usaha bidang pendidikan akan diserahkan
kepada pemerintah daerah tingkat II
sejalan diberlakukannya UU tersebut. Otonomi pendidikan merupakan upaya
untuk menjadikan lembaga pendidikan (sekolah) sebagai wadah otonom yang
memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat yang bermutu dan sesuai
kebutuhan masyarakat. Otonomi pendidikan secara mikro lebih dikenal dengan otonomi sekolah, juga sering disebut
dengan desentralisasi pengelolaan
sekolah, pengelolaan pendidikan berdasarkan kebutuhan sekolah / masyarakat
atau disebut juga dengan local management
of school. Sekolah-sekolah diberikan
kewenangan yang penuh dalam merancang kebutuhan layanan pendidikan
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi
sebagai berikut :
a.
Kepala
sekolah bersama guru, orang tua, murid dan bahkan masyarakat berkewenangan
menetapkan keputusan untuk penyelengaraan program pendidikan yang dibutuhkan.
Murid, orang tua murid atau masyarakat
dapat menolak tawaran program pendidikan yang dipandang tidak tepat dan
tidak memenuhi kebutuhan.
b.
Pengendalian
keuangan sekolah oleh sekolah dan masyarakat melalui aturan-aturan atau
ketentuan yang dibuat bersama.3
Pemberian otonomi kepada
sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat menawarkan pendidikan lebih baik (bermutu) berdasarkan
pertimbangan akademik dan nilai-nilai yang diberikan untuk membentuk sikap
kepada murid dalam kerangka mewujudkan kematangan diri dan juga dapat menunjang pengembangan
kehidupan masyarakat Dengan otonomi, sekolah dapat mengembangkan
program-program inovatif, juga mengembangkan sumber daya insani yang ada di sekolah dan mendorong masyarakat
untuk berperan serta secara optimal dalam merencanakan, mengawasi pelaksanaan kegiatan
pendidikan. Sekolah dapat leluasa
mengelola sumber yang dimiliki dan peran serta masyarakat dapat
dimanfaatkan untuk melakukan upaya peningkatan mutu secara berkesinambungan.
Tugas sekolah adalah meningkatkan kemampuan anak dan watak yang mempunyai kepribadian diri dan kepekaan
terhadap persoalan-persoalan kehidupan masyarakat dalam pelbagai bidang dan
orang-orang yang mengalami kesulitan karena kehidupan ekonomi ataupun kondisi
struktural yang mengakibatkan dia menderita.
Mengapa otonomi
pendidikan perlu segera dilakukan ? Ada beberapa alasan penting dalam konteks ini. Merujuk konsep otonomi
pendidikan mikro, otonomi atau
desentralisasi sekolah dimaksudkan untuk mendorong upaya-upaya inovatif bagi
peningkatan mutu pendidikan sesuai kebutuhan masyarakat. Kita juga mencatat
beberapa hal yang penting dalam konteks otonomi pendidikan, yaitu :
a.
Sentralisasi
atau pendekatan sentralistik telah mengabaikan keanekaragaman yang terjadi di
masing-masing daerah atau sekolah. Seluruh program pendidikan dipatok dari
atas dan sekolah hanyalah pelaksana
teknis dari kebijakkan dan program pusat. Sementara itu juga, pusat
sesungguhnya mempunyai keterbatasan
dalam memahami keragaman kebutuhan, kemampuan mengorganisasi program dan
bahkan mengendalikan mutu dari program pendidikan yang diselenggarakan. Akibat
dari pendekatan unifikasi atau uniformiti adalah seluruh sekolah menyajikan
layanan pendidikan yang terlepas dari kondisi / potensi dan kebutuhan
masyarakat.
b.
Sentralisasi
telah menjadikan sekolah sebagai alat mekanis yang berfungsi sebagai pelaksana
program dan kebijakan. Kepala sekolah dan guru bekerja berdasarkan
patokan-patokan yang ditetapkan oleh pusat. Mereka merasa takut melakukan
inovasi terhadap program yang tidak tepat yang disodorkan oleh pusat. Hal ini
dapat kita saksikan, misalnya, dalam menyiasati kurikulum di madrasah. Hasil
pemantauan dari lokakarya Madrasah Model di Lampung, misalnya, guru-guru mata
pelajaran keterampilan merasa tidak berani mencari terobosan terhadap
penyelenggaraan pengajaran keterampilan – dengan memilih keterampilan yang
sesuai dengan potensi lokal. Keengganan untuk melakukan terobosan terjadi
karena kurikulum telah mematok beberapa topik yang dianggap harus diberikan
selama mengikuti pelajaran di madrasah.
c.
Posisi guru dan kepala sekolah sebagai tukang
yang loyal kuat terhadap suprastruktur. Pandangan obyektif berdasarkan landasan
keilmuan dapat saja dilanggar. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus penetapan
buku bacaan, pelulusan ujian dan penambahan NEM.
d.
Pertimbangan-pertimbangan
non akademik dan prestasi acapkali mempengaruhi promosi dan sanksi terhadap
guru atau kepala sekolah. Hal ini juga dapat saja digunakan untuk melakukan
mutasi guru atau kepala sekolah.
e.
Bimbingan yang diberikan oleh suprastruktur
lebih berorientasi kepada hal administratif. Bahkan tidak jarang kita temukan
personel yang ada di suprastruktur memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan
pendidikan tidak seimbang dengan guru atau kepala sekolah yang menjadi
bimbingan. Meski demikian para guru dan kepala sekolah cenderung tidak
melakukan kritik atau protes terhadap apa yang diberikan dalam kegiatan technical assitance.
f.
Droping personal untuk kepala sekolah atau
guru yang terkadang tidak memenuhi persyaratan akademik atau professional leader sering dilakukan.
Sementara itu, para guru, orangtua murid apalagi murid tidak dapat mengajukan
tawar menawar terhadap guru atau pimpinan yang dipandang tidak mampu mengayomi
dan melakukan pengembangan performansi sekolah.
Opsi dan Konsekuensi
Dalam meresponi UU No. 22 1999 Departemen
Agama dihadapkan pada dua pilihan, yaitu
(a) Bersikeras bahwa pembinaan madrasah secara sentralistik, dan (b)
menyerahkan pembinaan madrasah kepada pemerintah daerah tingkat II sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Pilihan salah satu dari keduanya
mengandung keuntungan dan kerugian.
a.
Sentralisasi
Dengan sentralisasi, Departemen Agama dapat secara langsung
menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah-madrasah di seluruh
Indonesia. Penerimaan opsi pertama mengandung makna bahwa Departemen Agama
memandang madrasah berada dalam kategori bidang agama sebagaimana tertuang
dalam UU No. 22 Th. 1999. Sumber dana yang kucurkan untuk melakukan pembinaan
dapat secara langsung dikelola oleh pusat. Sedangkan daerah menjadi pelaksana
kebijakan dari program pusat. Dengan pendekatan ini, madrasah akan menaggung
beban berupa program-program yang secara politis menjadi kepentingan pusat atau wilayah. Pusat
dapat menentukan jenis-jenis program dan target yang mesti dicapai oleh
masing-masing madrasah dalam berbagai tingkatan.
Hanya saja ada kelemahan dengan pilihan ini:
Pertama,
pasal 7 UU No. 22 Th. 1999 menegaskan lima bidang yang tetap sentralistik.
Seandanya pilihan pertama yang diambil, dapat dipastikan sumber dana untuk
melakukan pembinaan dan pengembangan madrasah berasal dari bidang agama
sebagaimana telah berlangsung. Besar kemungkinan sumber dana yang diterima
untuk upaya peningkatan mutu sangat
tidak memadai dibandingkan dengan jumlah madrasah dan wilayah yang harus
dijangkau.
Kedua,
madrasah dimungkinkan tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional
karena berdasarkan UU tersebut pendidikan diserahkan ke pemerintah daerah tingkat II.
Konsekuensinya, madrasah tidak akan mendapatkan perhatian atau perlakuan dari
pemerintah daerah.
Ketiga, dengan
sistem sentralistik, program direncanakan dan diputuskan oleh pusat. Budaya
akademik yang dikembangkan di sekolah dapat dipengaruhi oleh keputusan politik
dari pusat. Keadaan seperti ini kurang atau bahkan dapat menghambat kretaifitas
para guru dan kepala madrasah.
Keempat, masyrarakat
kurang peduli atau bahkan menggantungkan sumber pendanaan kepada pemerintah –
dan inilah yang terjadi selama ini. Bahkan penegerian seatu sekolah atau
madrasah dapat menimbulkan pemupusan terhadap semangat dan tindakan gotong
royong sebagai salah satu perwujudan
dari kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
Kelima, Informasi
dari bawah (sekolah) ke pusat harus
melalui jalur yang panjang karena
harus mengikuti struktur birokrasi. Karena itu persoalan – persoalan di
lapangan yang membutuhkan penanganan
segera akan memakan waktu yang cukup lama, dan bahkan persoalan dapat menumpuk.
b.
Otonomi
Pilihan
kedua madrasah sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II. Ini
tidak hanya menunjukkan pengakuan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan
yang memiliki keunikan. Lebih dari itu, juga memberikan peluang munculnya
keragaman dalam penyelenggraan pendidikan di Indinesia. Pilihan ini sejalan
dengan yang dimaksudkan dalam pasal 7 UU No. 22 Th. 1999 tentang kewenangan
dalam penanganan bidang pendidikan pemerintah daerah tingkat II.
Ada beberapa keuntungan dengan pelimpahan ini dengan syarat
kelembagaan yang mengelola pendidikan dan personel yang kini berada di Kandepag
mempunyai distinctive comptence dalam
keilmuan yang diperlukan bagi
pengembangan madrasah. Di samping itu, personel Kandepag juga memiliki professional leadership skill yang
memadai. Pada sisi lain, personel-personel di pemerintah daerah tingkat II juga
memiliki kemampuan, pemahaman dan skill
tentang pendidikan (madrasah) yang memadai dalam menyahuti tantangan masa depan
dan mampu memahami dan menyerap persolan
di bawah (kemampuan mendengar dan menyerap pikiran dari bawah).
Adapun keuntungan dari opsi kedua ini adalah sebagai
berikut :
a.
Madrasah
menjadi bagian dari sistem pendidikan, dan dengan pengakuan tersebut madrasah
akan mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah-sekolah lainnya di berbagai
tingkatan. Perlakuan diskriminatif yang dicirikan oleh alokasi dana pemerintah
untuk pembinaan dan pengembangan madrasah dapat dihindarkan ; madrasah telah
diakui sama dengan sekolah-sekolah yang kini berada dalam naungan Depdikbud.
b.
Kepala
madrasah dan guru dapat mengembangakan sumber daya yang ada dan mengembangkan program-program yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Apa yang menjadi kebutuhan dan persoalan masyarakat
terhadap madrasah dapat secara langsung
diserap oleh pihak madrasah melalui forum-forum yang ada dalam masyarakat. Revisi terhadap program
yang telah dirancang dapat dilakukan segera dan persoalan yang mengkait
masyarakat dengan sekolah atau masyarakat
sekolah dengan suprastruktur dapat ditangani karena struktur yang ada sangat
pendek (debirokratisasi).
c.
Iklim
akademik dapat tumbuh dan berkembang dengan adanya kebebasan sekolah dalam mengembangkan program dan sumber.
Masyarakat dapat secara langsung memberikan saran, kritik serta usulan kepada
sekolah dan supra struktur sekolah.
d.
Madrasah
dapat mengembangkan elemen-elemen yang ada dalam masyarakat untuk kepentingan
peningkatan mutu secara berkesinambungan.
e.
Fokus
pembinaan yang selama ini lebih menekankan pada persoalan administratif minimal
dapat ditekan. Performansi akademik dan watak dari suatu sekolah merupakan isu
yang disepakati dan harus mendapatkan perhatian dari seluruh pihak.
Kelima poin di atas
merupakan keunggulan dari pilihan kedua. Namun pilihan ini mengakibatkan resiko
pula yaitu :
a.
Departemen
Agama (Pusat) kehilangan sasaran binaan kelembagaan pendidikan. Dengan demikian
peran Departemen Agama hanya sebatas haji, ZIS, nikah, cerai dan rujuk dan
hubungan antar umat beragama. Hal ini untuk kepentingan ad hoc kurang menguntungkan.
b.
Beberapa
tenaga yang baik dan merupakan hasil kegiatan pusat akan dimanfaatkan oleh
pihak lain. Hal ini dapat dipahami sebagai kerugian apabila dilihat dari
konteks ad hoc. Namun apabiladilihat
dari konteks yang lebih jauh belum tentu demikian.
c.
Kekahawatiran
akan adanya reduksi pendidikan agama di sekolah-sekolah umum atau pengurangan
peran akan muncul di kalangan umat dan apabila hal ini ditanggapi secara
emosional konflik di masyarakat akan terjadi. Hal ini juga dapat menjadi
kenyataan manakala aturan-aturan yang disepakati tidak dipatuhi oleh semua
pihak yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan.
Penutup
Sebagai penutup dari pokok-pokok pikiran awal ini perlu disampaikan
bahwa kedua pilihan ini sama-sama mensyaratkan
beberapa hal berikut : adanya sumber daya insani yang memadai pada
tingkat sekolah / madrasah dan supra struktur
dari sekolah / madrasah. Kemampuan guru dan kepala sekolah / madrasah
untuk menyerap kebutuhan dan memahami persoalan yang berkembang serta
menetapkan pilihan program bersama masyarakat merupakan prasayart yang
mendorong sekolah dapat berkembang. Juga kemampuan serupa dari pihak supra
struktur (instansi-instansi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan)
merupakan kondisi yang harus diwujudkan untuk menjamin kesinambungan komitmen
terhadap peraturan/undang-undang. Kelenturan birokrasi dalam memberikan layanan
terhadap lembaga pendidikan dan sikap entrepreneurial
di kalangan kepala sekolah/madrasah dan guru serta personel yang ada dalam
supra struktur merupakan faktor yang sangat kontributif terhadap penciptaan
mutu pendidikan ke depan.
Daftar
Pustaka
Bray, Mark; Thomas, Murray R, Financing of Education in Indonesia, Philippine : Asian Development
Bank, 1998
Fiske, B, Edward, Arah
Pembangunan Desentralisasi Pengajaran Politik dan Konsensus, Jkarta : PT
Grasindo, 1999
Greenwood. Malcolm S ; Gaunt, Helen J, Total Quality Management For School, New
York, : Cassel, 1994
IESeR ( Institute for Education an Socio – economic
Research), Dialog Partai – Partai Politik
Agenda Pembaharuab Pendidikan di Indonesia, Jakarta : 1 Mei 1999
Lev’cic’, Rosalind, Local Management of School :
Analysis and Practice, Buckingham : Open University Press, 1995
Rasyid, Ryaas, Muhammad, Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan,
Jakarta : PT YARSIP WATAMPONE, 1997
Tim Teknis BAPPENAS dan Bank Dunia, Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kertas Kerja,
Jakarta : Februari 1999
Tim Teknis BAPPENAS dan Bank Dunia, School Based Management, Kertas Kerja, Jakarta : Februari 1999
Catatan :
* Fuad Fachruddin adalah
Direktur Institute for Educational Research (IER), Jakarta. Kini konsultan
untuk Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (BEP Depag).
1 Hasil studi tim ADB bekerja sama dengan Comparative Education
Center Universitas Hongkong menunjukkan perbedaan yang cukup jauh
pengeluaran per murid pada tingkat dasar
(SD/MI dan SLTP/MTs) dan perbedaan ini
mencolok sekali bila kita bandingkan antara bantuan pemerintah untuk
madrasah swasta dibanding dengan sekolah-sekolah negeri yang berada dalam
naungan Depdikbud. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran (dukungan pemerintah)
untuk sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Depdikbud dan Departemen Agama.
Pengeluaran murid SDN per tahun dengan rentangan sebagai berikut rata-rata
Rp.190.000.0 dan pengeluaran tertinggi Rp.304.000.0. Sedangkan pengeluaran per murid MIN dalam setahun berada dalam
rentangan Rp.139.000.0 (rata-rata) dan Rp.225.000.0 (tertinggi). Perbedaan ini
tampak lebih mencolok lagi apabila kita kontraskan dengan pengeluaran untuk MIS yaitu Rp.87.000.0/tahun per
murid untuk rata-rata dan Rp.163.000.0/
murid /tahun untuk pengeluaran tertinggi. Untuk SLTP, kita dapat melihat
gambaran sebagai berikut : Pengeluaran murid untuk SLTPN per tahun Rp.418.000.0
(rata-rata) dan Rp.615.000.0 (tertinggi). Sementara itu, pengeluaran murid MTsN
per tahun adalah Rp.324.000.0 (rata-rata) dan Rp.572.000.0 (tertinggi). Keadaan
ini sangat jauh mencolok apabila kita lihat pengeluaran per tahun
per murid untuk MTsS, yaitu Rp.185.000.0 (rata-rata) dan Rp.380.000.0
(tertinggi). Lebih rinci uraian ini dapat kita lihat Financing of Educaton in Indonesia, (ed) Bray, Mark dan Thomas,
Murray R, Philippine : Asian Development Bank, 1998.
2 Tim Tekni BAPPENAS dan Bank Dunia, Menuju DesentralisasiPengelolaan Pendidikan Dasar, Jakarta :
Februari 1999 (Kertas Kerja). Tiga azas otonomi daerah adalah (a) Dekonstruksi
iala pelimpahan urusan pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat, perncanaan dan
pembiayaan masih dilakukan pusat, (b) Pembantuan yaitu memberikan tugas kepada
daerah untuk melaksanakan urusan pusat ke pejabat daerah, (c) otonomi memberikan
wewenang dan tanggung jawab kepada daerah.
3 Secara rinci konsep dan pengalaman negara lain dalam
menyelenggarakan otonomi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dalam Leva’cic’,
Rosalind, Local Management of School : Analysis and Practice, Buckingham : Open
University Press, 1995, hal 1 – 15. Juga dalam Greenwood, Mallcolm S ; Gaunt,
Helen J, Total Quality Management for Schools, New York : Cassel, 1994.
0 comments:
Post a Comment