Loading...
8 Apr 2014

Penafsiran Emansipatoris

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

PENAFSIRAN EMANSIPATORIS
Pendekatan Sosio-kultural sebagai Alat Analisis Teks Kitab Suci[1]

Oleh : Anis Rifaatun / NIM : 093 070  [2]


Abstrak

Dalam studi keilmuan Islam klasik, tafsir Al-Qur’an, selama ini bersifat single tradition, belum dihubungkan langsung dengan realitas sosial serta problem-problem kemanusiaan. Teks kitab suci dihadirkan menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Dengan demikian, yang berkuasa menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan, selalu dikembalikan pada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya bersifat deduktif yang berpangkal pada teks. Akhirnya, tafsir cenderung bersifat teosentris dan bahkan ideologis. Tafsir pun tercerabut dari persoalan-persoalan kemanusiaan riil yang dihadapi umat manusia. Tuhan menjadi lebih penting untuk dibela, sementara manusia tetap dibiarkan sengsara.
Kerja metodologis tafsir sekarang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir akan mampu mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian dogmatik kerohanian, tetapi secara kultural dan sosiologis. Ikhtiar inilah yang dikenal dengan tafsir emansipatoris, yakni secara konseptual Al-Qur’an ditempatkan dalam ruang sosial dan segala problematika kehidupan yang terjadi, sehingga sifatnya tidak lagi abstrak, tetapi spesifik dan praksis, karena dikaitkan langsung dengan problem sosial.
Dengan metodologi tafsir yang demikian, masalah kemiskinan, kebodohan, ketimpangan jender, politik yang menindas rakyat kecil, korupsi, rasisme, dan masalah-masalah sosial lain, merupakan masalah yang penting untuk dipecahkan dalam konteks tafsir kitab suci.


Pendahuluan

Tuhan mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad Saw. bukan sekadar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Muhammad Saw. merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi. Sebab, tujuan dasar Islam adalah persaudaraan universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Kontemplasi yang dilakukan Muhammad Saw. di gua Hira, yang kemudian mengantarkan dirinya memeroleh pengalaman agung—menerima wahyu dari Tuhan untuk kali pertama—hakikatnya merupakan refleksi dan transendensi atas kenyataan-kenyataan sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu: sistem ekonomi yang memihak kepada golongan kaya, dominasi laki-laki, dan otoritas sosial serta politik memusat di tangan klan-klan yang dominan.
Dengan demikian, Al-Qur’an saat itu terinternalisasi pada diri Muhammad Saw. yang selalu aktif mempersiapkan diri membuka kaca mata analisis sosial dalam merespons realitas sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi masyarakat saat itu. Wahyu yang turun masa awal kerasulannya, misalnya, sangat lekat dengan kritik etik sosial—kritik atas orang yang mengakumulasi kekayaan dengan tanpa batas (Qs. Al-Takâtsur: 1-8), larangan menghardik anak yatim dan menelantarkan orang miskin (Qs. Al-Dhuhâ: 6-10)—ketimbang corak kritik teologis. Hal ini menunjukkan betapa transformasi sosial yang dilakukan Muhammad Saw., tidak lepas dari kemampuannya dalam membaca problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat saat itu. Dan dengan demikian, artinya bahwa Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya tidak lahir dari ruang hampa yang kedap dari problem sosial, ekonomi dan politik yang melilit masyarakat saat itu.
Kini, lima belas abad telah berlalu. Al-Qur’an telah terkodifikasi ke dalam satu mushhaf dan satu teks standar. Lalu, bagaimana kita mesti memahaminya dalam konteks problem sosial yang kompleks yang kita hadapi sekarang?
Pertanyaan ini jelas berkaitan dengan problem metodologi penafsiran. Perlu disadari, bahwa sebagai wahyu yang telah mengalami tekstualisasi, Al-Qur’an telah menjadi teks tertutup. Mohamed Arkoun menyebutnya sebagai corpus resmi. Artinya, jumlah ayat dan surahnya tidak lagi bisa bertambah, pun apalagi dikurangi. Namun, pembacaan terhadapnya, sebagai proses penggalian makna-makna konseptual yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, tentu selaiknya tidaklah pernah tertutup dan atau hanya dimonopoli oleh suatu komunitas tertentu secara hegemonik. Sebab, sebagai teks, Al-Qur’an secara inhern tidaklah akan pernah bisa ‘berbicara’ sendiri, ia mesti disuarakan dengan ‘pembacaan-pembacaan’ secara produktif. “Al-Qur’ân bayna daftayi al-mushhaf lâ yanthiqu, wa innamâ yatakallamu bihi al-rijâl,” kata Imam Ali. Pembacaan yang produktif ini tentu mengandaikan adanya metodologi tafsir.

Tafsir dalam Nalar Teosentris-Ideologis

Sejauh ini dalam studi keilmuan Islam klasik, sebagai suatu metode dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, ilmu tafsir termasuk dalam lingkup ilmu keislaman yang bersifat single tradition; tidak dihubungkan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial. Kitab-kitab `Ulûm al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar dalam ilmu tafsir, secara umum bicara dalam konteks problem teks. Belum memasuki ranah problem konteks sosial di mana penafsir berada.[3] Lalu, pada era sekarang muncul pemikir-pemikir baru yang merumuskan metodologi baru dalam pembacaan teks kitab suci. Sekadar menyebut contoh, Riffat Hassan membangun hermeneutik Al-Qur’an feminis dengan menyusun tiga prinsip interpretasi: (1) linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan merujuk pada semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan, (2) criterion of philosophical consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam Al-Qur’an itu secara filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan, dan (3) ethical criterion, yakni bahwa praktik etis sesungguhnya harus terefleksikan dalam Al-Qur’an.[4]
Amin al-Khuli (w. 1966 M.) ketika berhadapan dengan teks Al-Qur’an, membangun wilayah hermeneutik teks dari unthinkable menjadi thinkable. Ia memperlakukan teks Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (Kitâb al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga analisis linguistik-filologis teks merupakan upaya niscaya untuk menangkap pesan moral Al-Qur’an. Dalam usahanya ini, al-Khuli sama sekali tidak bermaksud menyejajarkan status Al-Qur’an dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia bermaksud menemukan angan-angan sosial kebudayaan Al-Qur’an dan hidayah yang terkandung dalam komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh Nabi Muhammad SAW.[5] Pandangan al-Khuli ini yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd. Dia berpandangan bahwa studi Al-Qur’an haruslah dikaitkan dengan studi sastra dan studi kritis. Studi tentang Al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Untuk melakukan proyek ini dia mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik dan hermeneutika dalam kajiannya tentang Al-Qur’an.[6]
Hassan Hanafî (lahir 1935 M.) mengintrodusir sebuah hermeneutik Al-Qur’an yang spesifik, temporal, dan realistik. Menurutnya, hermeneutik Al-Qur’an haruslah dibangun atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan kajian atas problem manusia. Interpretasi haruslah dimulai dari realitas dan problem-problem manusia, lalu kembali kepada Al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah jawaban teoretis. Dan jawaban teoretis ini haruslah diaplikasikan dalam praksis. Teori Hanafî ini didasarkan pada konsep asbâb al-nuzûl yang memberikan makna bahwa realitas selalu mendahului wahyu.[7] Dalam hermeneutik Al-Qur’an semacam ini, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta unsur triadik (teks, penafsir dan audiens sasaran teks) menjadi demikian signifikan. Suatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada teks, tetapi juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Dalam konteks problem sosial kemanusiaan, model pembacaan kitab suci yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi di atas sungguh menarik. Sebab sejauh ini, pembacaan kitab suci dalam sejarahnya yang amat panjang, tampak masih terasing dari realitas dan problem-problem sosial kemanusiaan. Pada sisi lain, teks kitab suci menjadi pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Yang berkuasa di dalam menentukan suatu paradigma adalah teks, ukuran untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan, selalu dikembalikan (sebagai bentuk penyelesaian) kepada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya tentu bersifat deduktif yang berpangkal pada teks dan realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. Maka, tafsir sebagai metode pembacaan kitab suci dengan demikian masuk di dalam lingkaran “peradaban teks”. Ia sangat lekat, meminjam pemetakan Mohamed Abied Al-Jabiri, dengan al-`aql al-bayânî atau yang oleh Mohamed Arkoun dimasukkan ke dalam al-`aql al-lâhûtî—sama halnya dengan Kalam, Fikih, Falsafah dan tasawuf, dalam mainstream tradisi keilmuan Islam tradisional.[8]
Dalam lingkaran peradaban teks tersebut, sejarah perkembangan tafsir dalam konteks nalar formatifnya, secara umum setidaknya berkisar pada dua pendulum besar.[9] Pertama, nalar teosentris. Yaitu penafsiran kitab suci yang dominan memusatkan diri pada tema-tema ketuhanan. Tuhan harus disucikan, diagungkan dan tentu dibela. Maka, ketika bicara mengenai masalah keadilan, maka keadilan yang dimaksud adalah keadilan Tuhan. Ketika bicara soal kasih sayang, maka konteksnya selalu ditarik dalam pengertian kasih sayang Tuhan. Ketika bicara soal kekuasaan dan kebebasan, maka yang muncul adalah kekuasaan dan kebebasan Tuhan. Begitulah seterusnya. Dalam konteks nalar tafsir yang demikian, Tuhan telah diletakkan sebagai subyek yang tampak dirundung banyak masalah, sehingga harus dibela dan diperjuangkan dalam kehidupan umat manusia. Para mufasir dengan segala kemampuannya tampil untuk membela-Nya. Itulah akhirnya, tafsir menjadi bersifat sangat teosentris.
Membesarkan, mensucikan dan mengagungkan Tuhan memang suatu kesadaran yang logis di dalam syariat agama. Namun, bila kemudian sikap ini menyingkirkan kajian atas problem-problem kemanusiaan, maka wacana tafsir hanya dikembangkan dalam mainstream pembelaan dan pengagungan Tuhan. Al-Qur’an dan penafsirannya, akhirnya hanya dipersembahkan untuk Tuhan. Padahal, seperti kita tahu, Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi kehidupan umat manusia di dunia ini, bukan untuk Tuhan. Al-Qur’an merupakan inspirasi gerakan pembebasan dalam struktur masyarakat yang menindas, rasis dan ahumanis, bukan sebatas praktik-praktik ritual sebagai bentuk pengagungan Tuhan.   
Tafsir era klasik sangat didominasi dengan model tafsir teosentris ini. Polemik di kalangan para teolog Muslim—seputar masalah sifat dan perbuatan Tuhan: apakah manusia bisa melihat-Nya secara langsung kelak di surga, apakah Tuhan mempunyai tangan seperti manusia, Kalam Allah makhluk atau tidak, dan seterusnya—telah mewarnai dengan kental wacana tafsir pada masa itu. Para teolog memperdepatkan masalah-masalah di seputar eksistensi Tuhan. Muktazilah yang sering dianggap sebagai aliran rasionalisme di dalam Islam, pada kenyataannya rasionalisme mereka itu hanya untuk membela keagungan dan kesucian Tuhan, bukan membela problem-problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Secara praksis, tafsir saat itu telah mengabaikan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan serta menjadi kehilangan spirit pembebasan dalam mengurai problem sosial kemanusiaan tersebut.
Yang kedua, nalar tafsir ideologis. Yakni pembacaan atas kitab suci yang telah berorientasi pada problem-problem manusia, tetapi masih bersifat abstrak dan intelektualis, tidak substansial dan tidak mengacu secara langsung pada problem kemanusiaan yang dihadapi umat. Tafsir ideologis ini berkutat pada pengukuhan atas paham, aliran dan madzhab tertentu, baik itu dalam konteks fikih, teologi maupun tasawuf. Tafsir ideologis ini tidak hanya bersifat teosentris, tetapi yang tampak dominan adalah membela aliran dan madzhab tertentu yang berkembang di dalam sejarah umat Islam. Nalar tafsir ini secara tendensius membela aliran dan keyakinan tertentu yang hidup di dalam masyarakat Islam. Maka, muncullah aliran tafsir Sunni, tafsir Syi`ah, tafsir Muktazilah, begitu juga dalam konteks hukum, muncul tafsir yang membela madzhab-madzhab fikih.[10]
Misalnya, kalangan Syi’ah memaknai surah Al-Rahmân: 19-22, marajalbahraini yaltaqiyân, bainahumâ barzakhullâyabghiyân, fabiayyiâlâirabbikumâ tukadzdzibân, yakhruju minhumal lu`lulu wal marjân—Dia memberikan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”, dua lautan dimaknai dengan Ali dan Fatimah; barzakh (batas) adalah Muhammad; mutiara dan marjan adalah Hasan dan Husain.[11] Al-Qusyairi menakwilkan ayat yang sama sebagai berikut: Allah menjadikan dua lautan hati, yaitu lautan khauf dan lautan rajâ’. Mutiara dan marjan adalah kondisi psikologis dan rahasia-rahasia spiritual kaum sufi.[12]
Nalar tafsir ideologis maupun teosentris telah terjadi sangat lama dalam sejarah umat Islam, dan melapuk di dalam sistem kesadaran mereka. Dalam rentang waktu yang lama tersebut, tafsir ideologis telah memunculkan pertarungan ideologi dan pertarungan madzhab, baik di dalam bidang teologi, fikih, filsafat maupun tasawuf. Mereka saling rebut ayat kitab suci lalu ditafsirkannya secara ideologis, untuk mengukuhkan paham-paham mereka. Akhirnya, yang muncul adalah apa yang disebut Nashr Hâmid Abû Zayd sebagai qirâ’ah al-mughridhah atau tafsir ideologis (talwîn).[13] Orang membaca Al-Qur’an secara tendensius, diletakkan dalam kerangka ideologi yang telah dibangunnya terlebih dahulu, tanpa mempunyai pijakan epistemologis yang kuat terhadap gagasan pokok kitab suci. Sehingga, yang tampak seakan-akan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang pro aliran Qadariah dan pada sisi lain ada ayat-ayat yang pro aliran Jabariah.[14] Fakta ini di dalam sejarah bukan hanya akan menampilkan Al-Qur’an dalam kerangka yang ambigu, tetapi bahkan yang lebih telak, menjadikan Al-Qur’an kehilangan elan vital-nya di dalam mengurai dan mencari penyelesaian atas problem-problem kehidupan dan sosial umat manusia.
Meski kedua nalar tafsir tersebut telah berlangsung lama dalam sejarah umat Islam, tetapi tidak memberikan sumbangan penting terhadap proses humanisasi di tengah problem riil masyarakat Muslim, karena keduanya tidak mempunyai konsern dan tidak terkait langsung dengan proses formasi sosial. Peran yang diambilnya, bila kita merujuk pada tradisi fikih yang selama ini telah terbentuk, sebatas pada masalah kontrak sosial antarindividu, belum masuk ke ranah bangunan sistem sosial, politik dan kekuasaan yang membentuk formasi sosial.

Problem Kemanusiaan sebagai Lokus Tafsir

Kitab suci Al-Qur’an memang bersifat interpretatif. Sebagian umat Islam sering berdebat pada perbedaan interpretasi, seperti yang terlihat di dalam dua nalar tafsir di atas. Tapi, kita sadar bahwa problem umat Islam sekarang bukan sekadar problem interpretasi, tetapi lebih riil, kita sekarang sedang menghadapi suatu realitas sosial yang menindas, timpang, dan tidak manusiawi: terjadi ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, kemiskinan, kebodohan, terpuruknya kaum petani, nelayan, dan buruh, serta masalah-masalah sosial yang lain.
Untuk menghadapi problem-problem sosial yang akut tersebut, pertanyaan mendasar sekarang adalah bagaimana secara konseptual tafsir mesti dibangun? Melampaui dua nalar tafsir di atas—yang tidak punya fungsi di dalam menghadapi problem-problem sosial yang sedang dihadapi umat Islam—maka kita mesti mengarahkan lokus penafsiran teks kitab suci Al-Qur’an, pertama-tama ke arah problem-problem sosial kemanusiaan. Namun, pilihan langkah ini bukan tanpa masalah. Sebab, bergumul dengan kitab suci, kita selalu dihadapkan dengan suatu kepercayaan umat Islam yang sangat kuat bahwa Al-Qur’an seabadi Tuhan sendiri, ia ada selama Tuhan ada. Kita pun bertanya, mana yang lebih dahulu, firman atau umat manusia? Bukankah firman diwahyukan Tuhan kepada umat manusia? Lalu, dari mana kita mesti memulai usaha penafsiran Al-Qur’an: dari teks atau konteksnya, di tengah problem sosial kemanusiaan sekarang ini? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Farid Esack. Dia menghadapi dan mengalami langsung suatu problem kemanusiaan, berupa rezim Apartheid di Afrika Selatan dan eksklusivisme beragama yang terjadi di tanah kelahirannya. Dia pun kemudian bersikap tegas: memilih hermeneutika pembebasan dan pluralisme untuk menghidupan firman Tuhan di bumi kelahirannya.[15]
Nah, bila lokus pembahasan kita adalah problem sosial kemanusiaan, maka tafsir  menjadi penting untuk digerakkan ke arah praksis kehidupan sosial umat.  Jadi, orientasi nalar tafsir tidak lagi bersifat teosentris atau pun ideologis, tetapi bersifat antroposentris.  Tafsir yang memilih lokusnya pada problem kemanusiaan dan praktik pembebasan inilah yang oleh Masdar F. Mas’udi diistilahkan dengan nalar tafsir emansipatoris.[16] Pilihan istilah emansipatoris, menurutnya tidak lepas dari sejarah teori kritis. Dalam kritisisme ada dua elemen. Pertama, perhatian realitas material, yaitu sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideologi hegemonik yang bertolak pada kehidupan riil dan material atau mempertanyakan hegemoni yang bertolak pada realitas empirik. Kedua, visi struktur (relasi-relasi), baik relasi kekuasaan dalam dunia produktif (majikan-buruh), maupun relasi hegemonik, dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat), maupun relasi politik (penguasa-rakyat).[17] 
Karena mengacu dan bertitik tolak pada realitas problem kemanusiaan kontemporer, maka tafsir emansipatoris ini paradigmanya bukan lagi terpaku pada pembelaan terhadap Tuhan—karena memang Tuhan tak butuh pembelaan kita—tetapi yang lebih utama adalah secara praksis membangun komitmen terhadap berbagai problem sosial kemanusiaan. Komitmen ini diwujudkan dalam bentuk aksi sosial dalam rangka membangun dan menegakkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Sehingga, gerakannya ke arah praksis pembebasan manusia; bukan dari kungkungan dogmatisme maupun ideologi, tetapi dari struktur sosial politik yang menindas, yang dengan transparan telah memunculkan kemiskinan, kebodohan, marjinalisasi perempuan, dan problem-problem sosial lain. Tafsir emansipatoris dengan demikian, berikrar menghidupkan elan vital gerakan sosial yang bergerak pada problem-problem sosial kemanusiaan. Secara integral, tafsir emansipatoris tidak berhenti pada pembongkaran teks, tetapi teks dijadikan sebagai sarana pembebasan. Sebab, realitas dominasi tidak hanya pada wilayah wacana, tetapi juga dominasi bersifat riil dan materiil.[18] Dan kita sepenuhnya sadar bahwa peran Al-Qur’an adalah sinar bagi sistem kehidupan yang adil, beradab dan berperikemanusiaan.
Kita patut bangga, orang menuntut agar Al-Qur’an dijadikan sebagai referensi moral dan daya gugah. Namun, di tengah riuhnya tuntutan tersebut, muncul ambivalensi: yaitu intensitas ritual keagamaan menjadi sangat romantik dan marak, namun dalam kehidupan sehari-hari belum mampu melahirkan kesalehan diri, apalagi kesalehan sosial. Kehidupan beragama tampak meriah dalam rutinitasnya, namun tanpa disertai dengan keprihatinan dan tanggung jawab sosial. Maka yang terlihat, agama hanya sebatas sebagai medan penyelamatan personal, tidak sebagai keberkahan sosial. Tuhan, dengan sifat kasih dan sayangnya, tidak (di)hadir(kan) dalam ruang problem sosial. Padahal, agama tanpa tanggung jawab sosial, kata Muslim Abdurrahman, sama artinya dengan pemujaan belaka. Sebab, hanya dengan tanggung jawab sosial, agama dengan semangat profetisnya akan terintegrasikan dengan problematika sosial yang nyata. Di dalam problem sosial itulah seseorang justru akan menemukan basis ketakwaannya dalam bentuk praksis solidaritas sosial kemanusiaan.[19] Inilah makna juga yang dimunculkan oleh Ali Asghar Engineer dalam rumusan teologi pembebasannya.[20]

Merajut Wahyu dengan Ilmu-ilmu Sosial

Dalam konteks terjadinya ambivalensi tersebut, tafsir yang secara metodologis selama ini hanya berada dalam lingkaran islamic studies yang kental dengan nalar teosentris (al-`aql al-lâhûtî), maka meniscayakan adanya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu sosial. Maka, tafsir tidak lagi dikungkung dalam peradaban teks, tetapi mesti dirajut dengan peradaban ilmu (science) yang oleh Arkoun disebut sebagai al-`aql al-târihî wa `ilmiy. Sebab, memahami fenomena dan problem sosial yang dihadapi manusia kontemporer sangat terkait dengan ilmu budaya, yang mengungkap masalah yang terkait dengan ide dan nilai yang dianut di dalam kelompok masyarakat; dan ilmu sosial yang terkait dengan sistem dan interaksi kelompok di dalam masyarakat. Untuk mengetahui dan mengurai problem sosial kemanusiaan di tengah masyarakat, kita bukan menggunakan analisis kerohanian yang abstrak, seperti yang selama ini lebih sering terjadi, tetapi haruslah dengan menggunakan kacamata analisis sosial. Hal ini penting untuk merumuskan pemahaman keagamaan mengenai problem kemanusiaan, merefleksikannya secara kritis, menteoritisasikan dalam bentuk perubahan, dan aksi perubahan itu sendiri.[21]
Salah satu contoh adalah ketika orang menguraikan masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan suatu hal yang dibenci di dalam agama Islam. Tindakan  menelantarkan kaum miskin, oleh agama Islam juga dipandang sebagai tindakan yang tidak etis. Namun, sebagian orang seringkali menggunakan analisis kerohanian di dalam mengurai dan menjelaskan problem kemiskinan, yakni dikaitkan dengan soal kualitas ketakwaan umat yang lemah. Lemahnya ketakwaan inilah yang diklaim sebagai penyebabnya. Diagnosa seperti ini jelas membingungkan. Kita tahu bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah sosial dan kongkret, namun penyebabnya tiba-tiba dengan mudah dituduhkan pada soal ketakwaan yang abstrak. Kita tahu bahwa sekarang ini mesjid didirikan di mana-mana—Pak Harto bahkan pernah membuat proyek mesjid Pancasila di seluruh Indonesia—, acara pengajian diselenggarakan di berbagai tempat, acara santapan rohani bahkan telah menjadi trend dalam dunia entertaint, tapi toh kenyataannya kemiskinan justru semakin kuat melilit umat Islam.
Nah, kita pun akan bertanya kembali agak lebih keras: apa sesungguhnya penyebab kemiskinan dan bagaimana cara penyelesaiannya? Diagnosa dengan jalan kerohanian di atas, tampaknya memang tidak relevan, atau bahkan memang keliru. Sebab, kemiskinan lebih merupakan problem sosial. Sebagai problem sosial, maka masalah kemiskinan akan terlihat jelas faktor-faktor penyebabnya, bila dilihat dengan analisis sosial. Pada kenyataannya, penyebab kemiskinan bukan hanya soal ketakwaan—yang abstrak tersebut, tetapi menyangkut struktur relasi sosial di masyarakat yang timpang. Maka, di sini akan terlihat bahwa kemiskinan terjadi bisa disebabkan karena adanya monopoli ekonomi yang dilakukan oleh kalangan konglomerat, kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat umum, dan atau bisa juga tidak adanya sikap dinamis dan progresif di kalangan umat itu sendiri.
Dalam konteks ini, maka penyelesaian masalah kemiskinan, tentu tidak cukup dengan pendekatan kerohanian yang abstrak—lewat adagium-adagium yang tampak religius, seperti sabar, tawakal, lapangdada menerima takdir Tuhan, dan seterusnya. Penyelesaian semacam ini jelas hanya akan menyesatkan dan mengasingkan agama serta kitab sucinya dari problem riil yang dihadapi umat manusia. Agama hanya jadi opium bagi pemeluknya. Nah, ilmu-ilmu sosial dalam tafsir emansipatoris dapat membantu kita di dalam mendiagnosa dan memahami problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat manusia tersebut.
Dalam contoh kasus kemiskinan di atas, kita bisa mengurainya dari kasus perkasus. Bila kemiskinan disebabkan oleh adanya monopoli di kalangan kongklomerat dengan menguasai sentra-sentra ekonomi, maka penyelesaiannya adalah perlu adanya sistem distribusi ekonomi yang adil, baik dalam bentuk pembayaran pajak maupun membangun jaringan kerja antara industri kecil dan kalangan konglomerat, sehingga kekayaan tidak akan hanya berputar di kalangan konglomerat saja. Yang kedua, bila kemiskinan disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak adil, yang justru berpihak pada pengusaha besar, maka dalam faktor ini harus ada kritik struktural terhadap pemerintah di dalam pembuatan kebijakan-kebijakannya terkait dengan masalah-masalah ekonomi. Dan yang ketiga, bila masalah kemiskinan terjadi disebabkan oleh tidak produktifnya masyarakat di dalam menjalani hidup, maka perlu adanya penyadaran tentang perlunya semangat hidup yang dinamis dan progresif dengan berbagai pelatihan dan pengembangan skill.
Analisis semacam ini bisa terjadi tidak lepas dari bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir kitab suci Al-Qur’an akan mampu menemukan dan mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian kerohanian, tetapi dengan analisis sosial dan kultural. Merefleksikan problem-problem tersebut secara sosial, moral, dan teologis, lalu menteoritisasikan perubahan sebagai landasan aksi pembebasan.


Tafsir Bersifat Spesifik dan Praksis

Maka, tafsir emansipatoris, secara konseptual menempatkan Al-Qur’an dalam ruang sosial di mana penafsir berada, dengan segala problematika kehidupannya, sehingga sifatnya tidak lagi terkait dengan sosio-kultural kearaban dan abstrak—yang sebagiannya secara tradisional terekam di dalam asbâb al-nuzûl—tetapi bersifat spesifik dan praksis yang dikaitkan langsung dengan problem-problem sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat, pada saat di mana proses tafsir tersebut dilakukan.[22] Kasus yang dialami oleh Farid Esack yang kemudian dia membangun hermeneutika pembebasan dan pluralisme, dan Amina Wadud Muhsin yang membangun hermeneutika kesetaraan jender, adalah dua contoh yang baik dalam masalah tersebut.
Dalam kerangka ini, kita harus mampu mengubah pandangan “normatif” atas teks kitab suci Al-Qur’an menjadi rumusan “teoretis” (teori ilmu).[23] Misalnya, dalam memahami ayat-ayat tentang orang fakir miskin, secara tekstual seringkali kita hanya melihatnya sebagai kelompok yang harus dikasihani dan berhak menerima zakat-sedekah (Qs. Al-Taubah [9]: 60) dan sebagai peminta-minta yang tidak boleh dihardik (Qs. Al-Dhuha [93]: 10). Dengan pendekatan teoretis (meminjam teori-teori sosial), sebagaimana dicontohkan di atas, kita akan mengetahui kalangan fakir miskin secara lebih real, lebih faktual, sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan kultural.
Penafsiran Al-Qur’an, di sini lalu pertama-tama bersifat exegesis, yaitu mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an (reading out) dan kemudian eisegesis, yaitu memasukkan wacana ‘asing’ ke dalam Al-Qur’an (reading into).[24] Mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an maksudnya adalah merumuskan masalah-masalah moral sosial di dalam Al-Qur’an. Misalnya, soal kemiskinan, kebodohan, jender, rasialisme, diungkap dari dalam teks kitab suci Al-Qur’an. Kemudian, secara teoretik konseptual, problem-problem tersebut direfleksikan secara kritis dengan menggunakan analisis ilmu-ilmu sosial. Dengan cara inilah, problem-problem sosial kemanusiaan tersebut bisa diurai secara komprehensif, praksis dan riil. Dan di sinilah kita akan menemukan elan pembebasan Al-Qur’an.
Ketika kita mendengarkan suara adzan yang dikumandangkan, sebagai norma religius, kita bukan sekadar perlu mendengarkannya. Tetapi, juga harus merefleksikannya ke dalam norma sosial. Panggilan suci yang mengagungkan Tuhan tersebut, secara implisit dalam konteks norma sosial dan historis, menurut Raof Khoury, berarti: berilah sanksi kepada para lintah darat yang tamak! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita….berikan kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar. [25]

Dari Praksis ke Refleksi

Proses tersebut menjadikan gerakan tafsir tidak lagi bersifat top-down, yang berangkat dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), tetapi sebaliknya bersifat bottom up, yaitu dari bawah ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Dengan pandangan yang demikian, pengertian “konteks” teks kitab suci tidak hanya dilihat dalam konteks struktur teks (siyâq al-kalâm), juga tidak hanya dalam pengertian konteks di mana teks tersebut diturunkan (siyâq al-tanzîl). Namun, pengertian konteks juga dipahami dalam ruang sosial budaya di mana penafsir hidup dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Sebab, pada saat itu, penafsir tidak hanya berhadapan dengan teks kitab suci, tetapi dia juga—dan ini yang lebih penting—berhadapan dengan realitas sosial, sebagai teks sosial yang selalu hidup dan berkembang.[26]
Dalam kerangka ini, pemahaman atas konsep asbâb al-nuzûl bukan hanya dalam pengertian tradisional yang selama ini dipahami—yaitu sebab turunnya ayat Al-Qur’an yang diriwayatkan para sahabat dari Nabi Saw—tetapi secara konseptual juga dalam pengertian problem dan realitas kultural, sosial, ekonomi dan politik pada saat ayat diturunkan. Dengan cara yang demikian ini, kita bisa mengurai problem kultural, sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan dengan analisis ilmu-ilmu sosial. Lalu, dikaitkan dengan problem-problem sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di tengah kehidupan penafsir saat ini. Di sinilah, secara komprehensif kita akan merumuskan mengenai problem kemanusiaan dan cara menyelesaikannya.
Dengan demikian, hal yang mendasar dalam tafsir emansipatoris adalah mengenai tujuan dari penafsiran. Di sini, sebagaimana dalam hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi, Al-Qur’an dipahami secara spesifik, tematik, dan temporal. Penafsiran Al-Qur’an haruslah berdasarkan atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dari kajian atas problem-problem manusia yang muncul pada saat itu. Sebab, pada dasarnya, realitas mendahului wahyu, sebagaimana yang kita lihat dalam konsep asbâb al-nuzûl. Maka, interpretasi haruslah bertolak dari realitas, lalu kembali kepada wahyu yang secara teoretis sebagai sinar pembebasan, dan kemudian harus berujung pada tindakan praksis.[27]
Maka, dalam kasus ini kita harus mengubah pemahaman atas tema-tema pokok dalam Al-Qur’an yang “a-historis” menjadi “historis”. Misalnya, selama ini, kisah-kisah dalam Al-Qur’an dipahami secara a-historis. Padahal, maksud Al-Qur’an mengisahkan cerita tersebut agar kita berpikir historis. Misalnya, kisah tentang penindasan Fir’aun terhadap bangsa Israel, hanya dipahami pada konteks zaman itu. Padahal, kaum yang tertindas ada di sepanjang zaman, termasuk saat ini, saat kita hidup. Penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim, bukan hanya terjadi pada saat itu, tetapi juga terjadi di sepanjang zaman. Bahkan, berhala-berhala pada era sekarang semakin berkembang; misalnya berhala itu dalam bentuk kekuasaan, kapital, pemikiran dan yang lain. 
Setelah itu, dalam konteks memahami dasar-dasar tindakan moral juga mesti diubah: dari cara berpikir “subjektif” ke arah cara berpikir “objektif”. Misalnya, konsep moral tentang tujuan menunaikan zakat, Al-Qur’an menegaskan sebagai “pembersihan” harta dan jiwa kita (Qs. Al-Taubah [9]: 103), atau dalam konteks ancaman. Misalnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Mâ min shahibi kanzin la yuaddî zakâtahu illâ uhmia `alaihi fî nâri jahannama, fayuj`alu shafâ’iha fatukwâ bihâ janbahu wa jabhatuhuseseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam. Baginya akan dibuatkan setrika dari api, lalu dipakai menyetrika lambung dan dahinya.”[28] Jelas, perintah itu arahnya adalah sisi subjektif. Tetapi, sisi objektif tujuan penunaian zakat adalah demi kesejahteraan sosial. Dari arah objektif inilah lalu bisa kita kembangkan pada kasus-kasus yang lain, seperti larangan menumpuk kekayaan, menghardik orang miskin dan menyia-nyiakan anak yatim.   
Terkait dengan ini, formulasi wahyu yang bersifat “umum” mesti dipahami dalam konteks “spesifik” dan “empiris”. Misalnya, Al-Qur’an mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan secara pribadi sehingga kekayaan berputar hanya di kalangan kaum kaya. Kita perlu mengartikan pernyataan wahyu tersebut pada pengertiannya yang spesifik dan empiris. Ini berarti kita mesti menerjemahkan pernyataan itu ke dalam realitas sekarang, yaitu adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi dan politik; adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elite yang berkuasa. Dan juga memahami wahyu yang bersifat “individual” ini ke arah yang “struktural”. Dalam contoh kasus di atas, kekayaan yang hanya memusat pada satu orang atau kelompok, sesungguhnya bukanlah semata-mata masalah individual tetapi juga menyangkut masalah struktural, yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak membela kepentingan rakyat kecil.

Penutup

Dari uraian di atas, terlihat bahwa tafsir emansipatoris memperlakukan teks kitab suci dalam ruang refleksi kritis sekaligus diaplikasikan dalam ranah praksis, bukan hanya secara moral tetapi juga struktural. Di sini, teks kitab suci digunakan sebagai alat untuk mempertajam kesadaran nurani dalam melihat, mempersepsikan dan sekaligus memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan. Prinsip interpretasi atas teks kitab suci, di sini secara linguistik haruslah bersifat komprehensif dan filosofis. Dan dalam konteks praksis, teks kitab suci secara etik pembebasan harus terrefleksikan dalam kehidupan umat manusia.
Cara memahami wahyu sebagaimana diuraikan di atas akan mampu mengungkap signifikansi yang implisit di dalam teks Al-Qur’an, yang tak terkatakan di dalam struktur wacana teks. Kita akan mampu memunculkan tema-tema sosial yang selama ini menjadi problem sosial masyarakat dan belum diangkat dengan tegas di dalam wacana tafsir secara komprehensif dengan basis ilmu sosial. Maka, tafsir emansipatoris bukan hanya mengurai masalah ketidakadilan, deskriminasi jender, pembebasan umat yang tertindas, baik secara ekonomi, politik, maupun ras. Tetapi, tafsir emansipatoris juga akan membuka pintu dalam pembahasan masalah korupsi, suap, money politics, hibah kepada pejabat, kolusi, nepotisme, perburuhan, petani, nelayan dan masalah-masalah sosial lainnya, sekaligus bagaimana gerakan penyelesaiannya.
Semuanya ini tentu membutuhkan kesadaran kita, bahwa teks kitab suci bukanlah satu-satunya alat dalam mencerahkan kemanusiaan, tetapi ia juga membutuhkan ilmu-ilmu lain di dalam mengurai problem kemanusiaan yang terus berkembang. Sebab, mesti disadari bahwa teks apa pun, termasuk teks Al-Qur’an, tidak dapat membangun dan menegakkan peradaban manusia secara sendirian. Yang membangun dan menegakkan peradaban manusia sesungguhnya adalah proses dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dengan Al-Qur’an di pihak yang lain.
Bertemu Tuhan tidak harus di tempat-tempat suci atau menghitung tasbih sambil melafalkan nama-nama-Nya, tetapi juga perlu dilakukan di ruang-ruang sosial: menolong orang yang tertindas, mengentaskan orang miskin dari jurang kemiskinan, membebaskan masyarakat dan kebodohan. Karena memang demikian inilah iman dipraksiskan.


DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Muslim. Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Abû Zayd, Nashr Hâmid. Naqd al-Khithâb al-Dînî, Kairo: Sina li al-Nashr, 1994.
Al-Ausi, `Ali. al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih, Teheran: Mu`âwanah al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî, 1985.
Al-Jâbirî, Muhammad `Âbid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993.
Al-Qaththân, Mannâ’ al-Khalîl. Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, t.tp.: Mansyûrât al-`Ashr al-Hadîts, 1973.
Al-Rûm, Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân. Ittijâhât al-Tafsîr fî Qarn al-Râbi` `Asyr, Riyad: Maktabah Rusyd, 2002.
Al-Shâbûnî, Muhammad `Ali. al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.
Arkoun, Mohamed. al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl, Beirut: Dar al-Saqi, 2002.
Brenner, Louis (ed.), Muslim Identity and Social Change in Sub-Saharian Africa, 1993.
Engineer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Esack, Farid. “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Qur’anic Heremeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2, no. 2, Desember 1991.
Esack, Farid. Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity against Oppression, 1997. dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003.
Hanafî, Hassan. Dirasât Islâmiyyah, Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981.
Hassan, Riffat. “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society. The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994.
Ichwan, Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.
Jansen, J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt. Leiden: E.J.Brill, 1974. Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991.
Mas’udi, Masdar F. “Eksplorasi Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”, Makalah, 2002.
Mas’udi, Masdar F. “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” Kata Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004.

SOSOK YESUS DI MATA SANTRI

JAWA: SELAYANG PANDANG

MENGENAL KITAB KUNING


 Dikutip dari buku "Menyongsong Ratu Adil" Andi Offset th.2003


          Kitab kuning adalah sebutan untuk kitab-kitab Islam klasik (kutub al-qadimah) yang lazim digunakan sebagai buku-buku teks di pesantren. Disebut demikian karena biasanya kitab-kitab itu ditulis di atas kertas kuning berkualitas murah. Pada dasarnya apa yang dipelajari di pesantren adalah mengupas dan mendalami isi al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Dengan mendalami al-Qur’an mengenai dasar-dasar keyakinan Islam, lahirlah ushuluddin atau teologi Islam. Kitab-kitab teks yang biasanya digunakan dalam bidang ini, misalnya Jawahir al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Baqani dan Sullamut Taufiq, karya Syeikh Nawawi al-Bantani. Kitab-kitab Tafsir al-Qur’an yang lazim dipakai secara luas adalah tafsir Jalalain, tafsir Munir dan tafsir Ibnu Katsir, sedangkan kitab-kitab yang menyangkut ilmu-ilmu Hadits, antara lain: Arba’in an-Nawawiyah, Shahih Bukhari, Bulugh al-Maram dan sebagainya.
          Dari ayat-ayat al-Qur’an mengenai hukum lahiriah ilmu fiqh dengan berbagai madzabnya. Karena di Indonesia madzab Syafi'’ yang banyak dianut, maka kitab-kitab fiqh yang diajarkan bercorak syafi’iyyah. Untuk menyebut beberapa saja diantara kitab-kitab itu, misalnya: Fath al-Qarib al-Mujib, Kifayat al-Ahyar dan Safinatun Najah. Ilmu Tasawuf juga tak kalah penting, karena melalui kajian ini seorang Muslim mendapat petunjuk untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Kitab-kitab yang lazim dipakai, misalnya al-Dalail yang berisi wirid-wirid, Riyadh ash-Shalihin, al-Insan al-Kamil, dan masih banyak lagi. Selain bidang-bidang penting di atas, tentu saja pengenalan bahasa Arab menjadi syarat awal bagi kajian lebih lanjut. Dalam pada itulah, timbul ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’, dan salah satu kitab yang lazim di bidang ini adalah Matan Jurumiyah yang cukup terkenal itu.
          Pada Bab III buku ini sudah dikedepankan citra Yesus dalam kepustakaan Jawa, terutama menunjuk kepada literatur-literatur Kejawen. Dengan mengangkat literatur pesantren, Bab ini kiranya dapat melengkapi pandangan dari “salah satu varian Islam Jawa” (menurut istilah Mark R.Woodward), --atau  “kaum Jawa sub-kultur santri” (menurut analisis kultural Clifford Geertz). Bagaimana sosok Yesus, atau yang lebih dikenal dengan al-Masih ‘Isa bin Maryam itu, ditampilkan dalam kitab-kitab kuning tersebut? Secara ringkas, pandangan pesantren mengenai Yesus dan Kekristenan dapat disebut bersifat dialectical relationship. Maksudnya, di satu pihak ‘Isa digambarkan sebagai tokoh yang mulia, sangat dekat dengan Allah, bahkan tradisi Islam memberikan beberapa gelar dan peranan yang tidak diberikan kepada nabi-nabi lain, termasuk Nabi Muhammad sendiri. Misalnya, peranan ‘Isa pada akhir zaman sebagai Hakim yang Adil yang mengalahkan al-Masih ad-Dajjal (Anti-Christ).
          Tetapi pada pihak lain, karena latarbelakang perjumpaan teologis tertentu pada masa lalu kedua agama semitik ini, tampaknya ‘Isa berusaha keras untuk dipisahkan dengan Kekristenan. Mengapa? Karena Kekristenan dianggap telah menyelewengkan ajaran ‘Isa yang sebenarnya, dan Injil yang beredar sekarang dituduhnya sudah tidak asli lagi. Tetapi terlepas dari warisan teologis masa lalu itu, melacak sosok historis ‘Isa dan peranannya dalam kesalehan normatif Muslim, lebih menarik ketimbang mengembangkan sebuah apologi Kristiani menjawab kesalahpahaman Islam. Bahkan masalah yang disebut terakhir ini, di kalangan tertentu sudah banyak bergeser, seiring dengan kemajuan dialog antariman akhir-akhir ini.

Kristologi “Kalimat Allah”di dalam al-Qur’an dan Citra ‘Isa al-Masih


                Apabila kita menelusuri perdebatan klasik Kristen-Islam mengenai sosok Yesus, patut dicatat di sini bahwa baik penekanan akan kelilahian-Nya dalam Iman Kristen, maupun penolakan atas klaim Kristen tersebut, keduanya didasarkan pada gelar yang sama yang diakui kedua agama. Dalam hal ini, gelar ‘Isa sebagai Kalimat Allah (Firman Allah) yang,--terlepas bagaimana penafsiran kedua pihak,--dikaitkan erat dengan Roh Allah, baik dalam kelahiran maupun dalam karya Yesus.       Di bawah ini akan dicontohkan ayat al-Qur’an yang memuat penegasan kedudukan Yesus sebagai Firman Allah dan Roh Allah, dan bagaimana interpretasikan dalam beberapa tafsir al-Qur’an:
 v      Al-Qur’an, s.Ali Imran/3:39
 Anna llaha yubasyiruki bi yahya mushadiqan bi kalimatin min Allah…Artinya: Sesungguhnya Allah akan memberi kabar gembira kepadamu (wahai Zakaria) dengan seorang anak yaitu Yahya yang akan membenarkan Firman dari Allah.”

          Mengenai ayat di atas, Tafsir Jalalain menafsirkan makna ayat bi-kalimatin min Allah (dengan Firman dari Allah) sebagai :
“…bi kalimatin (kelawan Kalimat), ka’inatin min Allah (kang mujud saking Allah), ay bi ‘Isa (tegese kelawan Nabi Isa) annahu Ruhullah (satuhune Nabi ‘Isa iku Roh Allah), wa summi kalimatan (lan den arani kalimat) liannahu khuliqa bi kalimati kun (karana Nabi ‘Isa iku den dadekaken) bi kalimati kun (karana kalimat Kun).
 Terjemahan:
“…dengan Firman yang berwujud dari Allah, maksudnya yaitu Nabi ‘Isa, sesungguhnya Ia adalah Roh Allah, dan disebut Firman karena Nabi ‘Isa diciptakan dengan firman: Jadilah!”.

          Ketika menjelaskan ungkapan dalam ayat: mushadiqan bi Kalimatin min Allah (membenarkan Firman dari Allah), Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang berbunyi:
Qala kana Yahya wa ‘Isa abnaya khalat, wa kaanat ummu Yahya taquulu li Maryam, “Anni ajud alladzi fii bathni yasjudu li alladzi fii bathniki”. Fadzalika tasdiiqi lahi fii bathni umihi, wa huwa awwali min shaddaqa ‘Isa wa kalimati llahi ‘Isa. 
Terjemahan:
Kata Ibnu ‘Abbas r.a.: Yahya dan ‘Isa adalah saudara sepupu dari pihak ibu, dan ibu Yahya pernah berkata kepada Maryam: “Aku mendapati bahwa bayi yang ada dalam perutku bersujud kepada bayi yang ada di perutmu”. Yahya sudah membenarkan ‘Isa sejak dalam kandungan ibunya, dan dialah orang yang paling awal menyaksikan kebenaran ‘Isa, yaitu ‘Isa sebagai Firman Allah.

          Ibnu Katsir juga mengutip riwayat Qatadah, bahwa putra Zakaria itu dinamakan Yahya: “disebabkan Allah menghidupkan dia dengan iman” (lianna llahu ahyahu bi al-iman). Selain Qatadah, dikutip pula riwayat dari Ikrimah, Mujahid, al-Sudi, al-Rabi’ bin Anas, yang menjelaskan ciri-ciri anak yang akan dilahirkan tersebut: “Dia adalah orang yang pertama membenarkan ‘Isa anak Maryam” (huwa awwalu man shaddiqan bi ‘Isa ibnu Maryam). Membaca sekilas tafsiran di atas, kita diingatkan dengan peranan Yahya Pembaptis sebagai seorang bentara al-Masih dalam Injil yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan-Nya (Yohanes 1:29; 3:38). Sedangkan ucapan Ashba (Elizabet) kepada Siti Maryam, secara harfiah dijumpai hampir sama dengan catatan Injil Lukas 1:39-45.

v      Al-Qur’an,s.Ali Imran/3:45

Idz qalati al-Mala ‘ikatu Ya Maryam, Inna llaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu asmuhu al-Masih ‘Isa bnu Maryam wajihan fi al-dunya wa al-akhirat wa min al-muqqarabin.
Artinya: “Ingatlah ketika Malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan Firman dari Dia, namanya al-Masih ‘Isa putra Maryam, yang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan salah seorang dari mereka yang didekatkan di sisi Allah”.

          Tafsir Jalalain menafsirkan kata-kata: Innallaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu, “satuhune iku bungahe Allah ing sira, kelawan kalimat saking anak, (ay waladin) tegese iku anak” (Sesungguhnya itu kabar gembira dari Allah kepadamu, dengan Firman mengenai seorang anak, yaitu kelahiran seorang anak). Sedangkan penyebutan Yesus yang selalu dihubungkan dengan nama ibunya, untuk menekankan kelahiran insani-Nya dari perawan Maryam tanpa seorang bapa. Itulah “kristologi Qur’an yang menolak klaim Kristen mengenai kelahiran kekal Firman Allah dari Dzat-Nya. Dengan demikian ‘Isa bnu Maryam itu disebut namanya:
“… bi nisbatihi (kelawan nisbate iku) ilaiha (maring Maryam) tanbina ‘ala (karana ngelingaken satuhune Maryam) annaha taliduku (iku manake Maryam ing anak) bi laa ab (kelawan ora nana bapa)”.

Terjemahan:
“… dengan menghubungkannya kepada Maryam, karena untuk memperingatkan bahwa sesungguhnya Siti Maryam itu melahirkan anaknya (‘Isa) tanpa melalui perantaraan seorang ayah.”

          Jadi, meskipun kristologi gereja yang menekankan bahwa Yesus adalah Firman Allah terdengar menggema dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas, tetapi Islam tidak turut serta merta memindahkan makna teologisnya sebagaimana yang dipahami iman Kristen. Ungkapan “bi kalimatin minhu” (dengan Firman dari-Nya), dalam sejumlah tafsir al-Qur’an tidak dipahami sebagai Firman kekal yang bersifat ghayr al-makhluq (bukan ciptaan), melainkan sebagai kalam takwiniyyah (kata penciptaan kun, “Jadilah”). Meskipun demikian, berbeda dengan makhluk lainnya, ‘Isa diciptakan melalui Firman Allah secara langsung seperti Allah juga menciptakan Adam.
          Meskipun teologi Islam tidak ragu-ragu menolak keilahian Yesus, tetapi pada abad-abad kemudian gema dari perdebatan gereja mengenai kekal atau tidaknya Firman Allah itu dipentaskan kembali, dan diterapkan untuk memahami al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Karena penekanan bahwa makhluk atau tidaknya Kalam Allah tersebut, maka selanjutnya teologi Islam lebih dikenal sebagai Ilmu Kalam, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad ‘Abduh:

Wa qad yusama ‘ilm al-kalami, anna lianna asyhara mas’alatin wa qa’a fiha al-khilaafu baina ‘ulama’I al-quruni al-ula, hiya ‘anna kalam allah almatluwwa haditsu aw qadiim. Artinya: “Kadang-kadang disebut ilmu Kalam karena masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama Islam pada abad-abad pertama Hijrah, yaitu mengenai apakah Kalam Allah yang dibaca itu baru ataukah qadim (kekal). 
          Ibnu Jahm, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengejek para pengikut Iman al-Asy’ari yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, dengan kata-kata yang cukup menarik dibandingkan dengan pergumulan teologis Gereja ketika menghadapi kaum Arianisme:
Saya menemukan sebuah ayat dalam Firman Allah untuk membuktikan bahwa al-Qur’an itu diciptakan. Demikianlah Firman Allah: “Al-Masih ‘Isa Putra Maryam itu Rasul Allah dan Firman-Nya”. Nah, kalau ‘Isa disebut Firman Allah dan kita mengatakan bahwa ia itu diciptakan, mengapa pada saat yang sama kita tidak mengatakan bahwa al-Qur’an itu juga ciptaan? 
          Selanjutnya dalam rangka menghadapi Mu’tazilah tersebut, al-Asy’ari mengenalkan dalil bahwa “Sifat-sifat Allah itu tidak sama dengan Dzat tetapi juga tidak berbeda dengan Dzat-Nya” (ash Shifat laysa al-Dzat wa laa hiya ghairuha). Kalau kita cermati, sebenarnya dalil ini sangat dekat dengan kristologi gereja mengenai kekekalan Firman Allah, yang dalam iman Kristen wujud temporal-Nya dikenal dalam kemanusiaan ‘Isa al-Masih, sedangkan dalam Islam nuzul menjadi al-Qur’an.
          Karena itu, apabila iman Kristen menekankan kodrat ganda Yesus yang serentak pula: kammala bi al-Lahut wa kammala bi an-nasut (sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya insani), begitu juga Islam mengenal al-Qur’an sebagai kalam nafsi (kalam yang kekal) sekaligus kalam lafzi (kalam temporal). Merujuk paralel yang begitu dekat itu, Sayyed Husein Nasr dalam Ideals ad Realities of Islam, menyejajarkan posisi Yesus dalam Iman Kristen dengan al-Qur’an, dan posisi Nabi Muhammad sebagai penerima Firman Allah dengan Sayidatina Maryam yang juga menjadi mediator kelahiran Firman Allah yang menjadi manusia.

Kedudukan ‘Isa: wajihan fii al-dunya wa

al-akhirah wa min al-muqarrabin



          Selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna “wajihan fii al-dunya wa al-akhirah” (yang terkemuka di dunia dan di akhirat), bahwa ‘Isa adalah seorang yang terkemuka dan berkedudukan di dunia karena Allah mewahyukan kepadanya aturan-aturan agama, dan di akhirat karena Allah memperkenan kepadanya memberikan syafaat di sisi Allah atas orang-orang dengan seijin-Nya (wa fii dar al-akhirati yusyafa’I ‘indallah fii man bi-idzini lahi fihi).http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftn16 Penjelasan yang sama dapat dijumpai pula dalam tafsir Jalalain: “… fi al-dunya bi al-nubuwwati, wa al-akhirat bi-syafa’ati wa al-darajat al-ula: tegese kagungan ing alam dunya klawan kenabian, lan ing alam akhirat klawan syafaat dan pira-pira derajat kang luhur”.http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftn17 Maksudnya, ‘Isa al-Masih terkemuka di dunia karena ia dikarunia kenabian, dan di akhirat dengan syafaat dan derajat yang tinggi.
          Selanjutnya, makna wa min al-muqarrabin (dan termasuk dari yang didekatkan), dalam tafsir Jalalain dibubuhkan keterangan: ‘indallah(di sisi Allah). Jadi, ‘Isa termasuk seorang diantara yang didekatkan di sisi Allah. Sedangkan 2 tafsir lainnya, yaitu Marah Labid Tafsir al-Nawawi dan Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa ‘Isa berada di surga ‘Aden. “Wa min al-Muqarrabin” (dan termasuk yang didekatkan)”, demikian Tafsir Ibnu ‘Abbas, “ila llah fii janat ‘and” (kepada Allah di surga ‘Aden).http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftn18
          Sedangkan dalam tafsir Munir kita membaca keterangan bahwa ‘Isa didekatkan: ‘ila ‘isa sirafa ‘ila as-sama’ wa tashahabal al-mala’ikah (kepada Allah di surga ‘aden, dan hal itu menunjukkan seperti nubuatan yang terjadi atas ‘Isa yang diangkat ke langit dan bersahabat dengan para malaikat).http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftn19 Dalam al-Qur’an selain dalam kata al-Muqarrabun dihubungkan dengan malaikat terdekat Allah (Q.s. an-Nisa’/4:172, “al-al-malaikat al-muqarrabun”), dalam satu ayat dihubungkan kitab catatan orang-orang yang berbakti, yang disebut ‘illiyyin.20 Wa maa adzra ‘aka maa ‘iliyyun? Kitabun marqum, yasyhaduhu al-muqarrabun. Artinya:”Tahukah kamu apakah illiyin itu? Itulah kitab tertulis, yang disaksikan oleh al-muqarrabun (Q.s. al-Muthaffifin/83:18-21). Syeikh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan : ay yasyhadu al-mala’ikat al-muqarrabun (yaitu disaksikan oleh malaikat-malaikat yang terdekat dengan Allah).21 Tetapi yang menarik, karena al-Muqarrabin dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan ‘Isa (Q.s. ali-Imran/3:45), maka Imam al-Ghazali juga menghubungkan Yesus dengan penyaksian amal kebaikan itu di kerajaan langit. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, yang akan kita kutip sebagai berikut:

Faa man ‘alima (maka sapane wong kang weruh) dzalika (wong iku ing mangkono-mangkono) wa ‘amila bihi (wong kelawan ilmu) tsumma ‘allamahu (maka nuli mulanga wong) wa da’a ilaihi (lan ngajak-ajak wong maring ilmu) fadzlika (maka utawi mangkono-mangkono) yud’u ‘adziman (wong iku diarani wong ing agung) fi malakut as-samawat (ing dalem kraton pira-pira langit) bi syahadati ‘Isa ‘alaihi assalam (kalawan disekseni Nabi ‘Isa ‘alaihi salam).22

Terjemahan:
Sebab bagi siapapun yang mengetahui ilmu tersebut dan mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya kepada orang lain, maka ia disebut orang yang mulia di kerajaan langit dengan disaksikan oleh Nabi '’Isa alaihi salam.

          Kitab yang dimaksud oleh al-Ghazali di atas adalah Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama), yang memuat berbagai-bagai bidang dan sudah diterbitkan ribuan kali. Lebih-lebih, di kalangan kamu Suni peranan al-Ghazali sangat dominan, sehingga kitab-kitabnya menjadi acuan hampir di seluruh pesantren di Indonesia. Ungkapan yang disebut dalam kitab Bidayat al-Hidayah yang kita kutip di atas, ternyata termaktub juga dalam Kitab Ilya’ Ulumuddin yang diredaksikan sebagai sabda Kanjeng Nabi ‘Isa sendiri:

Wa qala ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam (Lan dhawuhe sapa ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam).23 Man(utawi sapa wonga) ‘alima wa ‘amala (lamun iku pinter lan nglakoni ilmu) wa ‘amala (lan mulangna) faa dzalika yud’u ‘adziman (mangka iku bakal disebut wong kang mulya) fii al-malakut as-samawat (ing alam malakut ana ing langit).24

Terjemahan:
Bersabda ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam: “Barangsiapa yang menguasai ilmu dan melaksanakannya, lalu mengajarkan kepada orang lain ilmu itu, maka orang itu akan disebut sebagai seorang yang mulia di alam malakut yang ada di langit.




Kesucian Yesus dan Peranannya sebagai

Teladan Kesalehan Muslim


          Secara teologis, dengan memisahkan Yesus dari agama Kristen, Islam dapat mengembangkan pandangannya sendiri secara khas, khususnya secara etis dengan mengambil sosok ‘Isa sebagai salah satu teladan kesalehan Muslim. Lebih-lebih dari perspektif sufi, yang bersamaan dengan penegasan bahwa Muhammad adalah “puncak kenabian”, tanpa keberatan apapun ‘Isa digelari “puncak kesucian”. Dalam konteks inilah, kita membaca narasi-narasi mengenai ‘Isa dalam literatur pesantren, yang dalam beberapa hal juga menggemakan kembali kisah-kisah dalam Injil.

v      Al-Maidah: Mukjizat al-Masih Menurunkan Hidangan dari Langit

Salah satu contoh, sebuah kisah mengenai mu’jizat ‘Isa mendatangkan makanan dari sorga. Memang, dasar kisah ini juga dijumpai dalam al-Qur’an, bahkan surah kelima dinamakan dengan al-Maidah (Hidangan). Latar belakang injil dari kisah ini adalah Perjamuan Malam, yang juga menjadi sentralitas iman Kristen dan mendasari perayaan ekaristi (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20). Dalam Islam kisah ini diambil, tetapi makna sakramentalnya yang berpusat pada pengorbanan ‘Isa al-Masih, sudah barang tentu tidak turut diambil alih.
Dalam kitab Duratun Nashihin, karya ‘Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir, memuat pengembangan kisah yang dimuat dalam Q.s. al-Maidah/5:111-115. Dikisahkan bahwa memenuhi permintaan kaumnya, ‘Isa berdoa kepada Allah dan hidangan itu memang benar-benar turun dari langit. Lalu ‘Isa berdoa, sementara hidangan berwarna merah itu turun diantara awan-awan: Allahuma aj’alhun minasy syakirin. Allahuma aj’alha rahmatan lil ‘alamin, wa laa taj/alha matslatan wa ‘uqubatan. Artinya: “Ya Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang pandai bersyukur. Ya Allah, jadikanlah hidangan itu sebagai rahmat untuk semesta alam, dan jangan jadikan sebagai bencana dan siksaan”.25
          Setelah mengambil air wudhu untuk sembahyang, sambil menangis Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Siapa diantara kamu yang baik amalnya, silahkan tegak membuka hidangan itu, dengan menyebut nama Allah dan memakannya”. Tetapi Simon (Syam’un), salah seorang tokoh dari kaum Hawariyin itu, mengatakan kepada Yesus: “Engkau yang utama membukanya”. Maka ‘Isa pun berdiri untuk sembahyang, ia menangis sambil membentangkan sapu tangan dan membaca kalimat: Bismillahi khair ar-raziqin (Dengan Nama Allah Pemberi rezeki yang paling baik).26 Kisah ini kemudian disambung dengan mu’zijat penggandaan makanan yang dinikmati oleh orang-orang miskin secara merata sampai 40 hari lamanya.
          Membaca contoh kisah tersebut, kita diingatkan dengan beberapa penggalan kisah dalam Injil dan disatukan. Doa yang berlatarbelakang liturgi Seder Yahudi mengenai pembebasan dari Mesir, dan oleh Yesus dianggap telah digenapi dalam pengurbanan-Nya sendiri, di sini menjadi sekedar doa ucapan syukur kepada Allah sebagai sebaik-baik pemberi rezeki. Sedangkan pengakuan Petrus bahwa ‘Isa adalah al-Masih, Putra Allah yang hidup (Matius 16:16), yang dalam Injil terjadi dalam konteks lain dimasukkan dalam mukjizat al-Maidah tersebut. Dalam kasus ini, dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah Yesus ini, sekalipun menggemakan kisah-kisah dalam Injil, tetapi dengan melakukan reinterprestasi khas Islami pandangan teologis Kristen itu tidak membebani lagi untuk mengangkat sosok Yesus secara bebas dan kreatif dalam rangka kesalehan Muslim sendiri.
          Sebagai catatan akhir, sang pengarang menutup kisah di atas dengan penekanan moralitas Islam yang berbunyi sebagai berikut:

Ya ayyuhal ikhwan (He para sedulur) sa’ala qauma ‘Isa min ‘Isa ‘alaihissalam thamaman (nyuwun sapa kaume Nabi ‘Isa saking Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ing panganan) faa sa’aluu ‘aqiiba shaumukun (mangka padha nyu-wuna sira kabeh ing dalam sakwuse pasanira kabeh) rahmatullah wa maghfiratuhu (ing rahmat Allah lan pangapurane Allah).27

Terjemahan:
“Wahai saudara-saudara, kaum Nabi ‘Isa minta kepada Nabi ‘Isa alaihissalam sekedar makanan, tetapi mintalah kalian semua, yaitu pada penghujung puasa kalian semua rahmat Allah dan pengampunan dari Allah).

v      Sabda-sabda Yesus dalam Kitab Kuning

Sejumlah amsal yang dihubungkan dengan ‘Isa al-Masih juga bertebaran di sejumlah kitab kuning, yang sebagian menggemakan ayat-ayat Injil. Misalnya, dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali menulis bahwa Yesus melarang seorang meletakkan ilmu hikmat kepada yang bukan ahlinya. Sebaliknya, kita tidak boleh menghalangi seorang yang memang berkompeten untuk hal itu untuk mengajarkannya. Pada akhir sabda Yesus tersebut, kita membaca ungkapan yang mirip sabda Yesus tersebut, kita membaca ungkapan yang mirip dengan Matius 9:12; Markus 15:38 dan Lukas 5:31. Sabda Yesus itu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin berbunyi sebagai berikut:

Kalthabibi (kaya dokter) al-rrafiqi (kang tumindak alus) yadda’u al-ddawa’a (nyelehake sapa tabib ing tamba) fi mudhi’I al-dda’I (ing dalem panggonane penyakit)28

Terjemahan:
Hendaklah kamu bertindak seperti seorang tabib yang penuh kehalusan (kasih sayang) meletakkan obat pada tempat yang sakit.

          Demikian pula dalam kitab Bidayat al-Hidayah Imam al-Ghazali juga mencatat sabda Yesus yang sekilas membayangkan pergumulan-Nya saat kematian pada waktu mengadakan perjamuan malam dan di taman Getsemani:

Allahuma (Huwa Allah) la tusymitni aduwwi (ampun ngantos bungahaken Tuwan sebab kula ing musuh kula), wa la tasu’ni fi shadiqi (lan ampun nyusahken Tuwan sebab kula ing kanca kula) wa la taj’al musibati fi dini (lan ampun ndadosken Tuwan ing musibah kula ing dalem agama kula).29

Terjemahan:
Ya Allah, janganlah Engkau membiarkan musuhku bergembira melihat penderitaanku, dan jangan pula Engkau membiarkan temanku bersedih melihat penderitaanku. Janganlah Engkau menimpakan musibah kepada iman atau agamaku.

          Ungkapan pertama kiranya khas seperti doa-doa dalam Mazmur (Mazmur 25:2-3;Lukas 23:33-42). Sedangkan doa berikutnya yang menyebut identitas agama, agaknya merupakan formulasi Islam atas doa Yesus yang mengutip Mazmur: Eloi, eloi lamma sabakhtani. Ya Ilahi, ya Ilahi, Mengapa Engkau meninggalkan aku (Mazmur 22:2;Markus 15:34). Tetapi kemiripan-kemiripan itu sama sekali tidak terlalu berarti secara teologis, karena pada dasarnya Islam menyangkal jalan salib Yesus. Karena itu, doa-doa semacam ini dipindahkan sebagai sebuah ungkapan pergumulan manusiawi secara umum, tidak harus merujuk kepada penyaliban.
          Selanjutnya, dalam Ihya ‘Ulumuddin kita juga membaca ungkapan Yesus, yang sepintas membayangkan kisah simbolis Injil mengenai pohon ara yang tidak berbuah (Matius 21:18-22) sebagai berikut:

Qala ‘Isa ‘alaihi salam: Maa aktsaran al-syajara wa laisa kulluha bimutsrin, wa maa atsaran al-tsamara wa laisa kulluha bithaybin, wa maa atsaran al-muluma wa laisa kulluha nafi’

Terjemahan:
Sabda ‘Isa alaihissalam: “Alangkah banyaknya pohon dan tidak semua berbuah, alangkah banyaknya buah-buahan dan tidak semua boleh dimakan, dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidak semua berguna.30

          Masih banyak kisah-kisah kesalehan Muslim dalam Ihya ‘Ulumuddin yang secara tidak langsung menggemakan kembali kisah-kisah Injil mengenai pelayanan Yesus. Misalnya, al-Ghazali mengisahkan mukjizat Yesus menyembuhkan penyakit kusta. Dikisahkan bahwa ‘Isa alaihissalam melihat seorang penderita kusta berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan saya dari banyak hal yang telah menimpa orang lain”. “Engkau bebas dari kesengsaraan apa?”,tanya ‘Isa kepadanya. “Roh Allah”,jawab penderita kusta itu, “Saya lebih beruntung ketimbang mereka yang tidak mengenal Allah”. “Engkau berkata benar”,kata ‘Isa lagi, “ulurkanlah tanganmu”. Orang itu mengulurkan tangannya dan seketika sembuh atas rahmat Allah.31
          Dalam rangka teladan kehidupan zuhud, khususnya di kalangan kaum sufi, sosok Yesus mengambil peranan cukup penting, ketimbang yang terbaca dalam tulisan polemik akhir-akhir ini, yang sering menutup-nutupi keagungan Yesus hanya karena khawatir akan dijadikan dalil untuk mendukung Kekristenan. Dalam al-Qur’an sendiri, ‘Isa dan ibunya Maryam memang terlindung dari jamahan setan (s.Ali Imran/3:36). Dalam penjelasannya atas ayat ini, Tafsir Jalalain mengutip Hadits Riwayat Syaukan: Ma min mauludi yuladu ila massahu asy-syaithan haina yuladu fayastahilla sharikhan ila maryam wa ibnaha. “Tidak ada seorang pun yang ketika lahirnya tidak disentuh oleh setan sehingga bayi itu menangis, kecuali Maryam dan anaknya”.32 Ide ini sebenarnya mengingatkan sifat imaculata (cf.Liturgi Kristen Arab: bi-ghayr al-fasad wulidtu Kalimat Allah,”ketidakbernodaan Maryam ketika melahirkan Firman Allah”),supaya Yesus yang secara fisik disebut “buah rahim” Maryam (Lukas 1:42) benar-benar terjaga kesucian-Nya.


Sindroma Salib dan Sekitar Kematian

‘Isa al-Masih dalam al-Qur’an


          Gambaran al-Qur’an dan kitab-kitab kuning mengenai keagungan ‘Isa sebagaimana yang dikemukakan di atas, pada akhirnya toh harus dibedakan dengan iman Kristen yang dianggap telah menyimpangkannya. Salah satu masalah yang menjadi perdebatan klasik Islam-Kristen adalah masalah akhir kehidupan ‘Isa, khususnya mengenai kematian-Nya di kayu salib. Padahal, seperti diakui oleh komentator tertua al-Qur’an, Ibn Jarir ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fii Tafsir al-Qur’an, berbagai penafsiran itu tidak pernah memuaskan. Bahkan banyak penafsir Islam yang keberatan dengan teori penggantian itu berdasarkan prinsip keadilan Ilahi.33
          Misalnya, teori penggantian di kayu salib oleh orang lain (Simon dari Kirene, Yudas Iskariot) yang didasarkan atas surah an-Nisa’/4:157-158, tidak selalu memuaskan para penafsir Islam sendiri, karena secara gramatikal tidak cocok dengan maksud tersebut. Pertama, kalau seorang menggantikan Yesus mestinya digunakan kata ganti diri ketiga tunggal. Jadi, lakin syubiha lahu (melainkan yang disamarkan bagi dia) dan bukan lakin syubiha lahum (melainkan yang disamarkan bagi mereka). Kedua, ayat ini tidak menggunakan bentuk fi’il mar’ruf dengan subyek penjelas, melainkan bentuk fi’il majhul yang tidak menjelaskan siapa penggantinya.34 Munculnya teori penafsiran baru di kalangan sekte Ahmadiyyah, yang mengemukakan bahwa Yesus mati secara wajar dan kuburan-Nya ditemukan di India,35 karena ketidakjelasan berita al-Qur’an sendiri mengenai akhir kehidupan ‘Isa al-Masih.
          Sebab selain ayat-ayat al-Qur’an menegaskan kenaikan ‘Isa ke langit, pemberitaan mengenai kematian riil-Nya juga tidak kurang tegas. Teori penggantian yang lebih populer diajarkan dalam kitab-kitab kuning dan dianut kebanyakan umat Islam, juga mendapatkan ganjalan dari ayat-ayat yang menegaskan kematian-Nya. Karena itu, ungkapan “mutawaffika” (mewafatkan engkau) dalam surah Ali Imran/3:55, dalam sepanjang sejarah tafsir diartikan secara berbeda-beda. Ada yang mengambil makna “menidurkan”,”memegang dan menyempurnakan”, yaitu terkait dengan pengangkatan ‘Isa tanpa mengalami kematian di kayu salib sesuai dengan surah an-Nisa’/4:157-158.
          Sementara itu para penafsir lain mengatakan bahwa ungkapan tawaffa adalah penghalus dari kata “mati”. Jadi mutawaffika maksudnya mumituka (mematikan engkau). Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, mengutip pendapat-pendapat ‘Ulama terdahulu yang menganut paham bahwa ‘Isa sudah mati, antara lain pendapat Qatadah:

Inni rafi’uka ‘illaya wa mutawaffika, ya’ni ba’da dzalika.36
Artinya: “Aku akan mengangkat engkau lebih dahulu kepada-Ku dan kemudian Aku mewafatkan engkau sesudah itu.”

          Makna ini diterima juga oleh Ibnu Abbas r.a menurut riwayat Ali bin Abi Thalhah, tanpa menjelaskan kapan matinya: Inni mutawaffika ay mumituka.”Aku mewafatkan engkau, yaitu mematikanmu”. Juga, Wahb bin Manabbih menurut riwayat Ibnu Ishaq, mengatakan: tawaffihi llahi tsalatsa sa’at min awwal al-nahaar haina rafa’ihi ilaih. “Allah mematikan dia selama tiga hari, kemudian dihidupkannya kembali dan kemudian diangkatnya ke sisi-Nya”.37
          Dari riwayat-riwayat tersebut, dibuktikan bahwa pada waktu dahulu masalah yang dihadapi umat Islam sebenarnya bukan pada penyangkalan akan kematian ‘Isa sendiri, baik yang dipercayai akan terjadi pada akhir zaman, maupun banyak riwayat lain yang justru membuktikan bahwa kematian itu telah terjadi, tetapi Allah menghidupkan kembali dan kemudian mengangkat ‘Isa ke sisi-Nya. Hal ini sesuai dengan kata qabla mautihi (“sebelum kematian-Nya”) dalam surah an-Nisa’/4:159 yang menegaskan kematian ‘Isa al-Masih. Para penafsir al-Qur’an biasanya mengartikan kematian ‘Isa al-Masih itu terjadi pada hari kiamat. Dengan demikian tafsiran ini disesuaikan dengan eskatologis hadits yang menantikan kedatangan kembali ‘Isa pada akhir zaman untuk mengalahkan Dajjal, dan kematian itu terjadi setelah ‘Isa menyelesaikan tugasnya sebagai Hakim yang adil.
          Jadi, ‘Isa belum mati pada masa dahulu, tetapi akan dimatikan Allah pada hari kiamat. Tetapi kata yang mendahului ayat di atas: layu’minuna bihi (sungguh-sungguh beriman kepada ‘Isa) di sini secara gramatika bukan menunjuk masa depan (istiqbal, future tense) melainkan menggunakan kata kerja masa kini (mudhari’) meskipun kejadiannya pada masa lalu. Dengan demikian, berimannya kaum ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam ayat tersebut terjadi pada masa hidup ‘Isa bukan pada akhir zaman nanti.38 Dari uraian sekilas tersebut, persoalan sebenarnya pada sindroma salib, yang agaknya mendapat dukungan dari surah an-Nisa’/157-159, meskipun ayat itu makna sebenarnya masih kabur, dan konteksnya bahkan tidak sedang membicarakan iman Kristen, melainkan reaksi atas kesombongan orang Yahudi. Salah satu buktinya, para penafsir kuno tidak pernah keberatan bahwa ‘Isa sudah mati pada zamannya, dan Allah telah membangkitkan kembali pada hari ketiga, asal saja kematian itu tidak terjadi di kayu salib.
          Dari uraian di atas, barangkali latar belakang ini dapat menjelaskan sindroma “salib Kristus” di kalangan masyarakat Islam yang sangat mewarnai penilaian mereka terhadap Kekristenan. Salah satu kitab kuning yang mungkin merekam salib tersebut, dapat disebut misalnya Ta’lim al-Muta’allim, karya Syeikh Zanuji, sebagai kitab panduan belajar santri yang sangat terkenal di pesantren:

Wa amma (anapun utawi) asbabu (pira-pira sebab) bisyani al-‘ilmi (lali marang ilmu) fa aklu (mangka iku) al-kuzbati (mangan tumbar) al-rrathbati (kang isih teles) wa aklu al-tufaa’i (lan mangan buah-buah) al-haamidl (kang kecut) wa nanthararu (lan ningali marang wong) ila al-mashlub (kang dipentheng)…39

Terjemahan:
Adapun perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang gampang lupa menghafal ilmu, antara lain makan tumbar yang masih mentah, buah-buahan yang masam dan melihat kepada salib …

          Apakah karena dilatarbelakangi “sindron salib” ini, yang begitu kuat tanpa disertai tafsiran yang cukup bernilai historis mengenai akhir hidup Yesus, dan yang masih diperuncing oleh warisan perjumpaan kedua agama yang kurang mengenakkan, telah melahirkan ejekan kepada Kekristenan di Jawa? "Aja dadi Kristen (Jangan menjadi Kristen)”, begitu ejekan yang ditujukan kepada orang-orang Jawa yang menjadi Kristen di Ngoro,”marga wong Kristen mengko yen mati dipentheng” (sebab orang Kristen itu nanti matinya disalib). Kesan ini cukup mencolok, tetapi agak kurang efektif menahan orang-orang Jawa dari kultur abangan yang cukup besar melakukan konversi kepada Kekristenan, karena kepercayaan bahwa Yesus adalah Ratu Adil yang lebih mengisi relung-relung pengharapan dan degub kalbu kerinduan di dada mereka.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref1Tasawuf yang lazim diajarkan di pesantren-pesantren adalah tasawuf Suni, khususnya diajarkan oleh Imam al-Ghazali (wafat 1111M),bukan tasawuf Falsafi seperti yang antara lain dikenal dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi. Antara kedua aliran tasawuf ini,diakui ada semacam ketegangan. Kasus Syeh Siti Jenar pada salah satu aspeknya dapat dipandang mewakili kedua aliran pemikiran ini. Di kalangan Nahdatul ‘Ulama, aliran-aliran tarekat yang diakui masih berada dalam alur suni ini digabungkan dalam thariqah al-Muktabarah. Dalam kaitan dengan pembahasan kita tentang citra Yesus dalam Islam, dapat dikatakan bahwa tasawuf falsafi lebih liberal dalam melakukan lompatan “bahasa teologis” ke dalam tradisi Kristiani. Misalnya, soal metafora Anak Allah. Sedangkan dalam tasawuf suni yang lebih terikat dengan bahasa teologis Islam, sehingga “passing over” semacam itu masih sulit terjadi, lebih-lebih dengan alasan memelihara kemurnian ‘aqidah.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref2Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai. Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press, 1993), h.47-48. Kajian lebih lengkap dapat dibaca: Zamakhsari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1984)
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref3Mrk R.Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: Lkis,1999).
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref4Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago-London:The University of Chicago, 1960)
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref5Demikianlah misalnya ditekankan dalam Jawahir al-Kalamiyah, bahwa kitab Taurat sudah dipalsukan dan Injil tidak dapat dipercayai lagi karena banyaknya pertentangan dalam kitab tersebut. Lihat: ‘Abd al-Hafidz, Tarjamah al-Jawahir al-Kalamiyah bi Lughat al-Jawi (Surabaya:Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh, tanpa tahun), h.32-44.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref6Menurut Geoffrey Parrinder, penegasan al-Qur’an bahwa ‘Isa adalah Firman Allah yang diberikan kepada Maryam dan Ruh dari-Nya tampaknya diarahkan kepada bidah-bidah Kristen tertentu, khususnya melawan pengertian primitif bahwa Allah telah memperanakkan secara jasmani ‘Isa melalui Maryam. Geoffrey Parrinder, Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University Press, 1977),p.45-51.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref7H.Muhammad Sa’id bin H.’Abd al-Nafi’, Terjamah Tafsir al-Jalalain bi Lughat al-Jawi. Jilid I (Surabaya: Syarikat Maktabah wa Mathba’at Ahmad bin Sa’id bin Nahban wa auladuh, tanpa tahun),h.44
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref8Imam Ibnu Katsir al-Quraisyi ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Jilid I (Beirut:Dar al-Fikr, 1412 H/1992),h.443-444.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref11Tafsir Jalalain bi Lughat al-Jawi, Op.Cit,h.42.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref13Syaikh Muhammad “Abduh, Risalah at-Tauhid (Kairo:Dar al-Hilal, 1963),h.27.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref14Dikutip oleh Abdiyah Akbar Abdul Haqq, Sharing Your Faith with a Muslim ( Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers, 1990),p.68. Mengenai penekanan Mu’tazilah akan kemakhlukan al-Qur’an dan hubungannya dengan teologi Kristen, lihat: Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Alih bahasa :Abu Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib (Jakarta : Logos Publishing House,1996),h.184-185.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref15S.H.Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta. Alih Bahasa: K.H.Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid (Jakarta:LAPPENAS,1981).
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref17Tafsir Jalalain bi Lughat al-Jawi, Op.Cit,h.42.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref18Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,tanpa tahun),h.37.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm - _ftnref19‘Allamah Asy Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir an-Nawawi, Juzz I (Surabaya:al-Hidayah,tanpa tahun),h.97. Ungkapan bahasa Ibrani Gan ‘Eden, ‘Taman Eden” (Kejadian 2:8).Sedangkan al-muqarrabun yang dalam al-Qur’an juga dihubungkan dengan malaikat yang terdekat (Q.s.an-Nisa’/4:172), sejajar dengan kerubim yang dalam tradisi Yahudi-Kristen dikaitkan dengan malaikat yang menjaga taman Eden (Kejadian 3:24). Baik ungkapan qerubim maupun al-muqarrabin, keduanya berasal dari akar kata yang menunjukkan kedekatan (Ibrani:kereb; Arab:qarib,”dekat”).Karena para kerub adalah malaikat terdekat yang dihubungkan dengan tahta Allah: Adonay Tsebaot yosyev ha-kerubim.”Tuhan semesta alam, yang bersemayam di atas para kerub” (1 Samuel 4:4).
20 Kata ‘illiyin ini sejajar dengan bahasa Ibrani ‘elyon (yang tinggi).Dalam bahasa Ibrani, kata ini biasanya menunjuk surga atau “Yang Mahatinggi”(misalnya:El ‘elyon,”Allah yang Mahatinggi”).
21 Marah Labid Tafsir an-Nawawi,Juzz II.Op.Cit.h.433.
22 Syeikh al-Allamah Hujjat al-Islam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Tarjamah Bidayat al-Hidayah (Surabaya:Maktabah al-Hidayah,tanpa tahun),h.40.
23 Dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang sudah lazim bahwa Nabi Muhammad disebut dengan shalallahu ‘alaihi wassalam, “shalawat Allah dan salam atas beliau”(SAW), sedangkan nabi-nabi  lain termasuk ‘Isa diberi sebutan ‘alaihissalam, “salam atas dia”(AS) saja. Tetapi kitab-kitab kuning seperti yang salah satunya dikutip di atas tidak membedakan sama sekali.
24 K.H.Misbah bin Jaiz al-Mustafa, Ihya’ Ulumuddin bi al-Ma’na al-Jawi. Juzz I (Pekalongan: Maktabah Raja Murah, tanpa tahun),h.52.
25 K.H.Asrar, Tarjamah Durat an-Nashihin. Jilid II (Pekalongan: Maktabah wa Mathba’at Raja Murah,tanpa tahun),h.522.
26 Ibid,h.523.
27 Ibid,h.527.
28 Kiai Misbah bin Jaiz al-Mustafa, Op.Cit, h.248.
29 Terjemah Bidayat al-Hidayah,h.34.
30 Ihya ‘Ulumuddin bi Lughat al-Jawiy, Juzz I,h.203.
31 Ihya ‘Ulumuddin, Juzz IV. Kisah ini dkutip oleh Idries Shah untuk menekankan kedekatan tradisi Sufi Islam dengan sosok Yesus.Lihat: Idries Shah, Meraba Gajah dalam Gelap. Sebuah dialog Islam-Kristen (Jakarta:Grafiti Press,1978),h.25.
32 Tafsir Jallalain bi Lughat al-Jawiy,Juzz I,h.42.
33 Mahmoud Mustafa Ayyoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:Fajar Pustakan Baru ,2001),h.105-153. Cf.Kamil Husein, seorang penulis Arab-Muslim, malahan mengomentari teori ini: “No cultured Muslim belivers in this nowadays.” Kamil Husein, City of Wrong. Translated ini English by Kenneth Cragg (Amsterdam, 1959),h.222.
34 Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993),h.208-209.
35 Pencetus gagasan ini pertama kali Mirza Ghulam Ahmad, Nabi dan pendiri sekte Ahmadiyyah, dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Urdu, Meshi Hindustan Mein. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jesus in India. Jesus escape from the Cross and his Journey to India (London:The London Mosque,1978).
36 Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I,h.450.
37 Ibid, h.450-451.
38 A.Hasan, Maulvi Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub, Officieel Verslag Deebat antara Pembela Islam dengan Ahmadiyah Qadian (Jakarta:Jemaat Ahmadiyah Indonesia,1986).
39 K.H.Misbah Zain al-Musthafa, Ta’lim al-Muta’allim li Zarnuji Rahmat Allah. Tarjamah ila al-Lughat al-Jawiy (Surabaya: Maktabah Asy Syaikh Salim bin Sa’d Nahban,tanpa tahun),h.65-66.



[1] Makalah disampaikan untuk melaksanakan tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu : Dr. Phil. Sahiron Syamsudin : Program Pascasarjana (S2) Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I)  2009.
[2] Mahasiswa PPs UNSIQ  Jawa Tengah di Wonosobo Angkatan ke-3 smt 1.
[3] Ini bisa dilihat dari berbagai kitab `Ulûm al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar, misalnya Mannâ’ al-Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân (t.tp.: Mansyûrât al-`Ashr al-Hadîts, 1973); Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.).
[4] Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h. 116.
[5] Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.Brill, 1974). Edisi Indonesia, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
[6] Tentang Abu Zayd dalam konteks studi Al-Qur’an baca kajian Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003). Buku ini berasal dari tesis penulisnya yang ditulis dalam program S2 di Universitas Leiden Nederland dalam bahasa Inggris yang kemudian diindonesiakan oleh penulisnya sendiri.
[7] Hassan Hanafî, Dirasât Islâmiyyah (Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981), hlm. 69.
[8] Mohamed Arkoun, al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl (Beirut: Dar al-Saqi, 2002), h. 308.
[9] Masdar F. Mas’udi, “Rekonstruksi Al-Qur’an di Indonesia”, Makalah yang dipresentasikan pada acara Semiloka FKMTHI di gedung PUSDIKLAT Muslimat NU, Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 2003, h. 4. Pemetaan tipologi nalar ini berbeda dengan yang selama ini terjadi dalam aliran-aliran tafsir yang dirumuskan berdasarkan ruang lingkup keilmuan. Misalnya, ada tafsir fiqhi, tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir lughawi, tafsir al-`aqdi, tafsir al-bathini, tafsir bi al-matsur, dan tafsir bi al-ra’yi. Lihat, Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.); `Ali al-Ausi, al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih (Teheran: Mu`âwanah al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî, 1985).
[10] lihat, Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân al-Rûm, Ittijâhât al-Tafsîr fî Qarn al-Râbi` `Asyr (Riyad: Maktabah Rusyd, 2002), jilid I. Buku ini mengkaji tafsir-tafsir yang lahir pada abad 14 hijriah. Dari studi ini terlihat bahwa nalar tafsir-tafsir tersebut masih terkungkung di dalam konteks aliran fikih dan teologi. Perdebatan yang kuat masih memperjuangkan kesucian, keadilan dan keagungan Tuhan.
[11] Muhammad `Âbid Al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993), h. 306.
[12] Ibid., h. 315.
[13] Nashr Hâmid Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, 1994), h. 926.
[14]Kajian tentang teologi di dalam Islam, terutama teologi di era klasik, teologi Muktazilah, Asy’ariah, Qadariah dan Jabariah, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang problem penafsiran atas kitab suci yang mereka lakukan. Hal ini penting disadari karena pertentangan antaraliran di dalam sejarah Islam selalu mengaitkan diri pada dasar pijak yang sama, yaitu teks Al-Qur’an. Ini berarti ada nalar penafsiran dan pilihan ayat yang berbeda sehingga melahirkan paham-paham yang beragam. 
[15] Hal ini bisa disimak dalam Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity against Oppression, 1997. Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000).
[16] Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” Kata Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), h. xviii.
[17] Ibid., h. 94.
[18] Masdar F. Mas’udi, “Eksplorasi Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”, Makalah, 2002.
[19] Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 198.
[20] Dalam teologi pembebasan lebih menekankan pada praksis daripada teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”. Menafsirkan tauhid bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia yang tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat yang adil. Selengkapnya, lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[21] Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, h. xvii.

[22] Louis Brenner (ed.), Muslim Identity and Social Change in Sub-Saharian Africa, 1993, h. 5-6).
[23] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), h. 284.
[24] Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Qur’anic Heremeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2, no. 2, Desember 1991.
[25] Raif Khoury, al-Thahârah al-Qawmi al-`Arabî, Nahnu Hummatuh wa Mukammiluh, dikutip oleh Asghar Ali Engineer, dalam Islam dan Teologi Pembebasan, h. 5.
[26] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 248-9.
[27] Hassan Hanafi, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981), h. 69.
[28] Shahîh Muslim, Kitâb Zakâh, hadis nomor 1648, diriwayatkan dari Abu Hurairah.
مَا مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهُ إِلاَّ أُحْمِيَ عَلَيْهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُجْعَلُ صَفَائِحَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبَاهُ وَجَبِينُهُ ….

Next
This is the most recent post.
Older Post

0 comments:

 
TOP