PENAFSIRAN EMANSIPATORIS
Pendekatan Sosio-kultural sebagai
Alat Analisis Teks Kitab Suci[1]
Abstrak
Dalam studi keilmuan
Islam klasik, tafsir Al-Qur’an, selama ini bersifat single tradition,
belum dihubungkan langsung dengan realitas sosial serta problem-problem
kemanusiaan. Teks kitab suci dihadirkan menjadi pusat dan sekaligus pemegang
otoritas. Dengan demikian, yang berkuasa menyelesaikan problem-problem
kehidupan masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan
kemanusiaan, selalu dikembalikan pada teks kitab suci. Kerangka berpikirnya
bersifat deduktif yang berpangkal pada teks. Akhirnya, tafsir cenderung
bersifat teosentris dan bahkan ideologis. Tafsir pun tercerabut dari
persoalan-persoalan kemanusiaan riil yang dihadapi umat manusia. Tuhan menjadi
lebih penting untuk dibela, sementara manusia tetap dibiarkan sengsara.
Kerja metodologis tafsir
sekarang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu
sosial, penafsir akan mampu mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan
dengan model penyelesaian dogmatik kerohanian, tetapi secara kultural dan sosiologis.
Ikhtiar inilah yang dikenal dengan tafsir emansipatoris, yakni secara
konseptual Al-Qur’an ditempatkan dalam ruang sosial dan segala problematika
kehidupan yang terjadi, sehingga sifatnya tidak lagi abstrak, tetapi spesifik
dan praksis, karena dikaitkan langsung dengan problem sosial.
Dengan metodologi tafsir
yang demikian, masalah kemiskinan, kebodohan, ketimpangan jender, politik yang
menindas rakyat kecil, korupsi, rasisme, dan masalah-masalah sosial lain,
merupakan masalah yang penting untuk dipecahkan dalam konteks tafsir kitab
suci.
Pendahuluan
Tuhan mewahyukan
Al-Qur’an kepada Muhammad Saw. bukan sekadar sebagai inisiasi kerasulan,
apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Muhammad Saw.
merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial
dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi. Sebab, tujuan
dasar Islam adalah persaudaraan universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Kontemplasi yang
dilakukan Muhammad Saw. di gua Hira, yang kemudian mengantarkan dirinya
memeroleh pengalaman agung—menerima wahyu dari Tuhan untuk kali
pertama—hakikatnya merupakan refleksi dan transendensi atas kenyataan-kenyataan
sosial masyarakat Arab yang timpang saat itu: sistem ekonomi yang memihak kepada
golongan kaya, dominasi laki-laki, dan otoritas sosial serta politik memusat di
tangan klan-klan yang dominan.
Dengan demikian,
Al-Qur’an saat itu terinternalisasi pada diri Muhammad Saw. yang selalu aktif
mempersiapkan diri membuka kaca mata analisis sosial dalam merespons realitas
sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi masyarakat saat itu. Wahyu yang turun
masa awal kerasulannya, misalnya, sangat lekat dengan kritik etik sosial—kritik
atas orang yang mengakumulasi kekayaan dengan tanpa batas (Qs. Al-Takâtsur:
1-8), larangan menghardik anak yatim dan menelantarkan orang miskin (Qs.
Al-Dhuhâ: 6-10)—ketimbang corak kritik teologis. Hal ini menunjukkan betapa
transformasi sosial yang dilakukan Muhammad Saw., tidak lepas dari kemampuannya
dalam membaca problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat saat itu. Dan
dengan demikian, artinya bahwa Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya tidak lahir
dari ruang hampa yang kedap dari problem sosial, ekonomi dan politik yang
melilit masyarakat saat itu.
Kini, lima belas abad
telah berlalu. Al-Qur’an telah terkodifikasi ke dalam satu mushhaf dan
satu teks standar. Lalu, bagaimana kita mesti memahaminya dalam konteks problem
sosial yang kompleks yang kita hadapi sekarang?
Pertanyaan ini jelas
berkaitan dengan problem metodologi penafsiran. Perlu disadari, bahwa sebagai
wahyu yang telah mengalami tekstualisasi, Al-Qur’an telah menjadi teks
tertutup. Mohamed Arkoun menyebutnya sebagai corpus resmi. Artinya,
jumlah ayat dan surahnya tidak lagi bisa bertambah, pun apalagi dikurangi.
Namun, pembacaan terhadapnya, sebagai proses penggalian makna-makna konseptual
yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, tentu selaiknya tidaklah pernah
tertutup dan atau hanya dimonopoli oleh suatu komunitas tertentu secara
hegemonik. Sebab, sebagai teks, Al-Qur’an secara inhern tidaklah akan pernah
bisa ‘berbicara’ sendiri, ia mesti disuarakan dengan ‘pembacaan-pembacaan’
secara produktif. “Al-Qur’ân bayna daftayi al-mushhaf lâ yanthiqu, wa
innamâ yatakallamu bihi al-rijâl,” kata Imam Ali. Pembacaan yang produktif
ini tentu mengandaikan adanya metodologi tafsir.
Tafsir dalam Nalar
Teosentris-Ideologis
Sejauh ini dalam studi keilmuan
Islam klasik, sebagai suatu metode dalam memahami kitab suci Al-Qur’an, ilmu
tafsir termasuk dalam lingkup ilmu keislaman yang bersifat single tradition;
tidak dihubungkan secara langsung dengan ilmu-ilmu sosial. Kitab-kitab `Ulûm
al-Qur’ân yang selama ini menjadi standar dalam ilmu tafsir, secara umum
bicara dalam konteks problem teks. Belum memasuki ranah problem konteks sosial
di mana penafsir berada.[3]
Lalu, pada era sekarang muncul pemikir-pemikir baru yang merumuskan metodologi
baru dalam pembacaan teks kitab suci. Sekadar menyebut contoh, Riffat Hassan
membangun hermeneutik Al-Qur’an feminis dengan menyusun tiga prinsip
interpretasi: (1) linguistic accuracy, yaitu melihat terma dengan
merujuk pada semua leksikon klasik untuk memperoleh apa yang dimaksud dengan
kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan, (2) criterion of
philosophical consistency, yaitu melihat penggunaan kata-kata dalam
Al-Qur’an itu secara filosofis konsisten dan tidak saling bertentangan, dan (3)
ethical criterion, yakni bahwa praktik etis sesungguhnya harus
terefleksikan dalam Al-Qur’an.[4]
Amin
al-Khuli (w. 1966 M.) ketika berhadapan dengan teks Al-Qur’an, membangun
wilayah hermeneutik teks dari unthinkable menjadi thinkable. Ia
memperlakukan teks Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (Kitâb al-`Arabiyyah al-akbar), sehingga
analisis linguistik-filologis teks merupakan upaya niscaya untuk menangkap
pesan moral Al-Qur’an. Dalam usahanya ini, al-Khuli sama sekali tidak bermaksud
menyejajarkan status Al-Qur’an dengan teks sastra kemanusiaan, tetapi ia
bermaksud menemukan angan-angan sosial kebudayaan Al-Qur’an dan hidayah yang
terkandung dalam komposisinya sebagaimana telah ditangkap oleh Nabi Muhammad
SAW.[5]
Pandangan al-Khuli ini yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd.
Dia berpandangan bahwa studi Al-Qur’an haruslah dikaitkan dengan studi sastra
dan studi kritis. Studi tentang Al-Qur’an sebagai sebuah teks linguistik
meniscayakan penggunaan studi linguistik dan sastra. Untuk melakukan proyek ini
dia mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik dan
hermeneutika dalam kajiannya tentang Al-Qur’an.[6]
Hassan Hanafî (lahir 1935 M.)
mengintrodusir sebuah hermeneutik Al-Qur’an yang spesifik, temporal, dan
realistik. Menurutnya, hermeneutik Al-Qur’an haruslah dibangun atas pengalaman
hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dengan kajian atas problem manusia.
Interpretasi haruslah dimulai dari realitas dan problem-problem manusia, lalu
kembali kepada Al-Qur’an untuk mendapatkan sebuah jawaban teoretis. Dan jawaban
teoretis ini haruslah diaplikasikan dalam praksis. Teori Hanafî ini
didasarkan pada konsep asbâb al-nuzûl yang memberikan makna bahwa
realitas selalu mendahului wahyu.[7]
Dalam hermeneutik Al-Qur’an semacam ini, ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta
unsur triadik (teks, penafsir dan audiens sasaran teks) menjadi demikian
signifikan. Suatu proses penafsiran tidak lagi hanya berpusat pada teks, tetapi
juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
Dalam konteks problem
sosial kemanusiaan, model pembacaan kitab suci yang ditawarkan oleh Hassan
Hanafi di atas sungguh menarik. Sebab sejauh ini, pembacaan kitab suci dalam
sejarahnya yang amat panjang, tampak masih terasing dari realitas dan
problem-problem sosial kemanusiaan. Pada sisi lain, teks kitab suci menjadi
pusat dan sekaligus pemegang otoritas. Yang berkuasa di dalam menentukan suatu
paradigma adalah teks, ukuran untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan
masyarakat adalah teks. Problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan,
selalu dikembalikan (sebagai bentuk penyelesaian) kepada teks kitab suci.
Kerangka berpikirnya tentu bersifat deduktif yang berpangkal pada teks dan
realitas harus sesuai dan tunduk kepada teks. Maka, tafsir sebagai metode
pembacaan kitab suci dengan demikian masuk di dalam lingkaran “peradaban teks”.
Ia sangat lekat, meminjam pemetakan Mohamed Abied Al-Jabiri, dengan al-`aql
al-bayânî atau yang oleh Mohamed Arkoun dimasukkan ke dalam al-`aql
al-lâhûtî—sama halnya dengan Kalam, Fikih, Falsafah dan tasawuf, dalam mainstream
tradisi keilmuan Islam tradisional.[8]
Dalam lingkaran peradaban
teks tersebut, sejarah perkembangan tafsir dalam konteks nalar formatifnya,
secara umum setidaknya berkisar pada dua pendulum besar.[9]
Pertama, nalar teosentris. Yaitu penafsiran kitab suci yang dominan
memusatkan diri pada tema-tema ketuhanan. Tuhan harus disucikan, diagungkan dan
tentu dibela. Maka, ketika bicara mengenai masalah keadilan, maka keadilan yang
dimaksud adalah keadilan Tuhan. Ketika bicara soal kasih sayang, maka
konteksnya selalu ditarik dalam pengertian kasih sayang Tuhan. Ketika bicara
soal kekuasaan dan kebebasan, maka yang muncul adalah kekuasaan dan kebebasan
Tuhan. Begitulah seterusnya. Dalam konteks nalar tafsir yang demikian, Tuhan
telah diletakkan sebagai subyek yang tampak dirundung banyak masalah, sehingga
harus dibela dan diperjuangkan dalam kehidupan umat manusia. Para mufasir
dengan segala kemampuannya tampil untuk membela-Nya. Itulah akhirnya, tafsir
menjadi bersifat sangat teosentris.
Membesarkan, mensucikan
dan mengagungkan Tuhan memang suatu kesadaran yang logis di dalam syariat
agama. Namun, bila kemudian sikap ini menyingkirkan kajian atas problem-problem
kemanusiaan, maka wacana tafsir hanya dikembangkan dalam mainstream
pembelaan dan pengagungan Tuhan. Al-Qur’an dan penafsirannya, akhirnya hanya
dipersembahkan untuk Tuhan. Padahal, seperti kita tahu, Al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi kehidupan umat manusia di dunia ini, bukan untuk Tuhan. Al-Qur’an
merupakan inspirasi gerakan pembebasan dalam struktur masyarakat yang menindas,
rasis dan ahumanis, bukan sebatas praktik-praktik ritual sebagai bentuk
pengagungan Tuhan.
Tafsir era klasik sangat
didominasi dengan model tafsir teosentris ini. Polemik di kalangan para teolog
Muslim—seputar masalah sifat dan perbuatan Tuhan: apakah manusia bisa
melihat-Nya secara langsung kelak di surga, apakah Tuhan mempunyai tangan
seperti manusia, Kalam Allah makhluk atau tidak, dan seterusnya—telah mewarnai
dengan kental wacana tafsir pada masa itu. Para teolog memperdepatkan
masalah-masalah di seputar eksistensi Tuhan. Muktazilah yang sering dianggap sebagai
aliran rasionalisme di dalam Islam, pada kenyataannya rasionalisme mereka itu
hanya untuk membela keagungan dan kesucian Tuhan, bukan membela problem-problem
sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Secara praksis,
tafsir saat itu telah mengabaikan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan serta
menjadi kehilangan spirit pembebasan dalam mengurai problem sosial kemanusiaan
tersebut.
Yang kedua, nalar
tafsir ideologis. Yakni pembacaan atas kitab suci yang telah berorientasi pada
problem-problem manusia, tetapi masih bersifat abstrak dan intelektualis, tidak
substansial dan tidak mengacu secara langsung pada problem kemanusiaan yang
dihadapi umat. Tafsir ideologis ini berkutat pada pengukuhan atas paham, aliran
dan madzhab tertentu, baik itu dalam konteks fikih, teologi maupun tasawuf.
Tafsir ideologis ini tidak hanya bersifat teosentris, tetapi yang tampak
dominan adalah membela aliran dan madzhab tertentu yang berkembang di dalam
sejarah umat Islam. Nalar tafsir ini secara tendensius membela aliran dan
keyakinan tertentu yang hidup di dalam masyarakat Islam. Maka, muncullah aliran
tafsir Sunni, tafsir Syi`ah, tafsir Muktazilah, begitu juga dalam konteks
hukum, muncul tafsir yang membela madzhab-madzhab fikih.[10]
Misalnya, kalangan
Syi’ah memaknai surah Al-Rahmân: 19-22, marajalbahraini
yaltaqiyân, bainahumâ barzakhullâyabghiyân, fabiayyiâlâirabbikumâ tukadzdzibân,
yakhruju minhumal lu`lulu wal marjân—Dia memberikan dua lautan mengalir, yang
keduanya kemudian bertemu antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui. Dari
keduanya keluar mutiara dan marjan”, dua lautan dimaknai dengan Ali dan Fatimah;
barzakh (batas) adalah Muhammad; mutiara dan marjan adalah Hasan dan Husain.[11]
Al-Qusyairi menakwilkan ayat yang sama sebagai berikut: Allah menjadikan dua
lautan hati, yaitu lautan khauf dan lautan rajâ’. Mutiara dan
marjan adalah kondisi psikologis dan rahasia-rahasia spiritual kaum sufi.[12]
Nalar tafsir ideologis
maupun teosentris telah terjadi sangat lama dalam sejarah umat Islam, dan
melapuk di dalam sistem kesadaran mereka. Dalam rentang waktu yang lama
tersebut, tafsir ideologis telah memunculkan pertarungan ideologi dan
pertarungan madzhab, baik di dalam bidang teologi, fikih, filsafat maupun
tasawuf. Mereka saling rebut ayat kitab suci lalu ditafsirkannya secara
ideologis, untuk mengukuhkan paham-paham mereka. Akhirnya, yang muncul adalah
apa yang disebut Nashr Hâmid Abû Zayd sebagai qirâ’ah al-mughridhah
atau tafsir ideologis (talwîn).[13]
Orang membaca Al-Qur’an secara tendensius, diletakkan dalam kerangka ideologi
yang telah dibangunnya terlebih dahulu, tanpa mempunyai pijakan epistemologis
yang kuat terhadap gagasan pokok kitab suci. Sehingga, yang tampak seakan-akan
ada ayat-ayat Al-Qur’an yang pro aliran Qadariah dan pada sisi lain ada
ayat-ayat yang pro aliran Jabariah.[14]
Fakta ini di dalam sejarah bukan hanya akan menampilkan Al-Qur’an dalam
kerangka yang ambigu, tetapi bahkan yang lebih telak, menjadikan Al-Qur’an
kehilangan elan vital-nya di dalam mengurai dan mencari penyelesaian
atas problem-problem kehidupan dan sosial umat manusia.
Meski kedua nalar tafsir
tersebut telah berlangsung lama dalam sejarah umat Islam, tetapi tidak
memberikan sumbangan penting terhadap proses humanisasi di tengah problem riil
masyarakat Muslim, karena keduanya tidak mempunyai konsern dan tidak terkait
langsung dengan proses formasi sosial. Peran yang diambilnya, bila kita merujuk
pada tradisi fikih yang selama ini telah terbentuk, sebatas pada masalah
kontrak sosial antarindividu, belum masuk ke ranah bangunan sistem sosial,
politik dan kekuasaan yang membentuk formasi sosial.
Problem
Kemanusiaan sebagai Lokus Tafsir
Kitab suci Al-Qur’an
memang bersifat interpretatif. Sebagian umat Islam sering berdebat pada
perbedaan interpretasi, seperti yang terlihat di dalam dua nalar tafsir di
atas. Tapi, kita sadar bahwa problem umat Islam sekarang bukan sekadar problem
interpretasi, tetapi lebih riil, kita sekarang sedang menghadapi suatu realitas
sosial yang menindas, timpang, dan tidak manusiawi: terjadi ketidakadilan
relasi antara laki-laki dan perempuan, kemiskinan, kebodohan, terpuruknya kaum
petani, nelayan, dan buruh, serta masalah-masalah sosial yang lain.
Untuk menghadapi
problem-problem sosial yang akut tersebut, pertanyaan mendasar sekarang adalah
bagaimana secara konseptual tafsir mesti dibangun? Melampaui dua nalar tafsir
di atas—yang tidak punya fungsi di dalam menghadapi problem-problem sosial yang
sedang dihadapi umat Islam—maka kita mesti mengarahkan lokus penafsiran teks
kitab suci Al-Qur’an, pertama-tama ke arah problem-problem sosial kemanusiaan.
Namun, pilihan langkah ini bukan tanpa masalah. Sebab, bergumul dengan kitab
suci, kita selalu dihadapkan dengan suatu kepercayaan umat Islam yang sangat
kuat bahwa Al-Qur’an seabadi Tuhan sendiri, ia ada selama Tuhan ada. Kita pun
bertanya, mana yang lebih dahulu, firman atau umat manusia? Bukankah firman
diwahyukan Tuhan kepada umat manusia? Lalu, dari mana kita mesti memulai usaha
penafsiran Al-Qur’an: dari teks atau konteksnya, di tengah problem sosial
kemanusiaan sekarang ini? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Farid
Esack. Dia menghadapi dan mengalami langsung suatu problem kemanusiaan, berupa
rezim Apartheid di Afrika Selatan dan eksklusivisme beragama yang terjadi di
tanah kelahirannya. Dia pun kemudian bersikap tegas: memilih hermeneutika
pembebasan dan pluralisme untuk menghidupan firman Tuhan di bumi kelahirannya.[15]
Nah, bila lokus
pembahasan kita adalah problem sosial kemanusiaan, maka tafsir menjadi penting untuk digerakkan ke arah
praksis kehidupan sosial umat. Jadi,
orientasi nalar tafsir tidak lagi bersifat teosentris atau pun ideologis, tetapi
bersifat antroposentris. Tafsir yang
memilih lokusnya pada problem kemanusiaan dan praktik pembebasan inilah yang
oleh Masdar F. Mas’udi diistilahkan dengan nalar tafsir emansipatoris.[16]
Pilihan istilah emansipatoris, menurutnya tidak lepas dari sejarah teori
kritis. Dalam kritisisme ada dua elemen. Pertama, perhatian realitas
material, yaitu sebuah pemikiran yang mempertanyakan ideologi hegemonik yang
bertolak pada kehidupan riil dan material atau mempertanyakan hegemoni yang
bertolak pada realitas empirik. Kedua, visi struktur (relasi-relasi),
baik relasi kekuasaan dalam dunia produktif (majikan-buruh), maupun relasi
hegemonik, dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat), maupun
relasi politik (penguasa-rakyat).[17]
Karena mengacu dan bertitik
tolak pada realitas problem kemanusiaan kontemporer, maka tafsir emansipatoris
ini paradigmanya bukan lagi terpaku pada pembelaan terhadap Tuhan—karena memang
Tuhan tak butuh pembelaan kita—tetapi yang lebih utama adalah secara praksis
membangun komitmen terhadap berbagai problem sosial kemanusiaan. Komitmen ini
diwujudkan dalam bentuk aksi sosial dalam rangka membangun dan menegakkan
nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Sehingga, gerakannya ke arah
praksis pembebasan manusia; bukan dari kungkungan dogmatisme maupun ideologi,
tetapi dari struktur sosial politik yang menindas, yang dengan transparan telah
memunculkan kemiskinan, kebodohan, marjinalisasi perempuan, dan problem-problem
sosial lain. Tafsir emansipatoris dengan demikian, berikrar menghidupkan elan
vital gerakan sosial yang bergerak pada problem-problem sosial kemanusiaan.
Secara integral, tafsir emansipatoris tidak berhenti pada pembongkaran teks,
tetapi teks dijadikan sebagai sarana pembebasan. Sebab, realitas dominasi tidak
hanya pada wilayah wacana, tetapi juga dominasi bersifat riil dan materiil.[18]
Dan kita sepenuhnya sadar bahwa peran Al-Qur’an adalah sinar bagi sistem
kehidupan yang adil, beradab dan berperikemanusiaan.
Kita patut bangga, orang
menuntut agar Al-Qur’an dijadikan sebagai referensi moral dan daya gugah.
Namun, di tengah riuhnya tuntutan tersebut, muncul ambivalensi: yaitu
intensitas ritual keagamaan menjadi sangat romantik dan marak, namun dalam
kehidupan sehari-hari belum mampu melahirkan kesalehan diri, apalagi kesalehan
sosial. Kehidupan beragama tampak meriah dalam rutinitasnya, namun tanpa
disertai dengan keprihatinan dan tanggung jawab sosial. Maka yang terlihat,
agama hanya sebatas sebagai medan penyelamatan personal, tidak sebagai
keberkahan sosial. Tuhan, dengan sifat kasih dan sayangnya, tidak
(di)hadir(kan) dalam ruang problem sosial. Padahal, agama tanpa tanggung jawab
sosial, kata Muslim Abdurrahman, sama artinya dengan pemujaan belaka. Sebab,
hanya dengan tanggung jawab sosial, agama dengan semangat profetisnya akan
terintegrasikan dengan problematika sosial yang nyata. Di dalam problem sosial
itulah seseorang justru akan menemukan basis ketakwaannya dalam bentuk praksis
solidaritas sosial kemanusiaan.[19]
Inilah makna juga yang dimunculkan oleh Ali Asghar Engineer dalam rumusan
teologi pembebasannya.[20]
Merajut
Wahyu dengan Ilmu-ilmu Sosial
Dalam konteks terjadinya
ambivalensi tersebut, tafsir yang secara metodologis selama ini hanya berada
dalam lingkaran islamic studies yang kental dengan nalar teosentris (al-`aql
al-lâhûtî), maka meniscayakan adanya kebutuhan terhadap ilmu-ilmu sosial.
Maka, tafsir tidak lagi dikungkung dalam peradaban teks, tetapi mesti dirajut
dengan peradaban ilmu (science) yang oleh Arkoun disebut sebagai al-`aql
al-târihî wa `ilmiy. Sebab, memahami fenomena dan problem sosial
yang dihadapi manusia kontemporer sangat terkait dengan ilmu budaya, yang
mengungkap masalah yang terkait dengan ide dan nilai yang dianut di dalam
kelompok masyarakat; dan ilmu sosial yang terkait dengan sistem dan interaksi
kelompok di dalam masyarakat. Untuk mengetahui dan mengurai problem sosial
kemanusiaan di tengah masyarakat, kita bukan menggunakan analisis kerohanian
yang abstrak, seperti yang selama ini lebih sering terjadi, tetapi haruslah
dengan menggunakan kacamata analisis sosial. Hal ini penting untuk merumuskan
pemahaman keagamaan mengenai problem kemanusiaan, merefleksikannya secara
kritis, menteoritisasikan dalam bentuk perubahan, dan aksi perubahan itu
sendiri.[21]
Salah satu contoh adalah
ketika orang menguraikan masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan suatu hal
yang dibenci di dalam agama Islam. Tindakan
menelantarkan kaum miskin, oleh agama Islam juga dipandang sebagai
tindakan yang tidak etis. Namun, sebagian orang seringkali menggunakan analisis
kerohanian di dalam mengurai dan menjelaskan problem kemiskinan, yakni dikaitkan
dengan soal kualitas ketakwaan umat yang lemah. Lemahnya ketakwaan inilah yang
diklaim sebagai penyebabnya. Diagnosa seperti ini jelas membingungkan. Kita
tahu bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah sosial dan kongkret, namun
penyebabnya tiba-tiba dengan mudah dituduhkan pada soal ketakwaan yang abstrak.
Kita tahu bahwa sekarang ini mesjid didirikan di mana-mana—Pak Harto bahkan
pernah membuat proyek mesjid Pancasila di seluruh Indonesia—, acara pengajian
diselenggarakan di berbagai tempat, acara santapan rohani bahkan telah menjadi
trend dalam dunia entertaint, tapi toh kenyataannya kemiskinan justru semakin
kuat melilit umat Islam.
Nah, kita pun akan
bertanya kembali agak lebih keras: apa sesungguhnya penyebab kemiskinan dan
bagaimana cara penyelesaiannya? Diagnosa dengan jalan kerohanian di atas,
tampaknya memang tidak relevan, atau bahkan memang keliru. Sebab, kemiskinan
lebih merupakan problem sosial. Sebagai problem sosial, maka masalah kemiskinan
akan terlihat jelas faktor-faktor penyebabnya, bila dilihat dengan analisis
sosial. Pada kenyataannya, penyebab kemiskinan bukan hanya soal ketakwaan—yang
abstrak tersebut, tetapi menyangkut struktur relasi sosial di masyarakat yang
timpang. Maka, di sini akan terlihat bahwa kemiskinan terjadi bisa disebabkan
karena adanya monopoli ekonomi yang dilakukan oleh kalangan konglomerat,
kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh penguasa yang tidak memihak kepada
kepentingan masyarakat umum, dan atau bisa juga tidak adanya sikap dinamis dan
progresif di kalangan umat itu sendiri.
Dalam konteks ini, maka
penyelesaian masalah kemiskinan, tentu tidak cukup dengan pendekatan kerohanian
yang abstrak—lewat adagium-adagium yang tampak religius, seperti sabar,
tawakal, lapangdada menerima takdir Tuhan, dan seterusnya. Penyelesaian semacam
ini jelas hanya akan menyesatkan dan mengasingkan agama serta kitab sucinya
dari problem riil yang dihadapi umat manusia. Agama hanya jadi opium bagi
pemeluknya. Nah, ilmu-ilmu sosial dalam tafsir emansipatoris dapat membantu
kita di dalam mendiagnosa dan memahami problem sosial kemanusiaan yang dihadapi
umat manusia tersebut.
Dalam contoh kasus
kemiskinan di atas, kita bisa mengurainya dari kasus perkasus. Bila kemiskinan
disebabkan oleh adanya monopoli di kalangan kongklomerat dengan menguasai
sentra-sentra ekonomi, maka penyelesaiannya adalah perlu adanya sistem
distribusi ekonomi yang adil, baik dalam bentuk pembayaran pajak maupun
membangun jaringan kerja antara industri kecil dan kalangan konglomerat,
sehingga kekayaan tidak akan hanya berputar di kalangan konglomerat saja. Yang
kedua, bila kemiskinan disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak
adil, yang justru berpihak pada pengusaha besar, maka dalam faktor ini harus
ada kritik struktural terhadap pemerintah di dalam pembuatan
kebijakan-kebijakannya terkait dengan masalah-masalah ekonomi. Dan yang ketiga,
bila masalah kemiskinan terjadi disebabkan oleh tidak produktifnya masyarakat
di dalam menjalani hidup, maka perlu adanya penyadaran tentang perlunya
semangat hidup yang dinamis dan progresif dengan berbagai pelatihan dan
pengembangan skill.
Analisis semacam ini bisa
terjadi tidak lepas dari bantuan ilmu-ilmu sosial. Dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu sosial, penafsir kitab suci Al-Qur’an akan mampu menemukan dan
mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian
kerohanian, tetapi dengan analisis sosial dan kultural. Merefleksikan
problem-problem tersebut secara sosial, moral, dan teologis, lalu
menteoritisasikan perubahan sebagai landasan aksi pembebasan.
Tafsir
Bersifat Spesifik dan Praksis
Maka, tafsir
emansipatoris, secara konseptual menempatkan Al-Qur’an dalam ruang sosial di
mana penafsir berada, dengan segala problematika kehidupannya, sehingga
sifatnya tidak lagi terkait dengan sosio-kultural kearaban dan abstrak—yang
sebagiannya secara tradisional terekam di dalam asbâb al-nuzûl—tetapi
bersifat spesifik dan praksis yang dikaitkan langsung dengan problem-problem
sosial kemanusiaan yang dihadapi masyarakat, pada saat di mana proses tafsir
tersebut dilakukan.[22]
Kasus yang dialami oleh Farid Esack yang kemudian dia membangun hermeneutika
pembebasan dan pluralisme, dan Amina Wadud Muhsin yang membangun hermeneutika
kesetaraan jender, adalah dua contoh yang baik dalam masalah tersebut.
Dalam kerangka ini, kita
harus mampu mengubah pandangan “normatif” atas teks kitab suci Al-Qur’an
menjadi rumusan “teoretis” (teori ilmu).[23]
Misalnya, dalam memahami ayat-ayat tentang orang fakir miskin, secara tekstual seringkali
kita hanya melihatnya sebagai kelompok yang harus dikasihani dan berhak
menerima zakat-sedekah (Qs. Al-Taubah [9]: 60) dan sebagai peminta-minta yang
tidak boleh dihardik (Qs. Al-Dhuha [93]: 10). Dengan pendekatan teoretis
(meminjam teori-teori sosial), sebagaimana dicontohkan di atas, kita akan
mengetahui kalangan fakir miskin secara lebih real, lebih faktual, sesuai
dengan kondisi sosial, ekonomi dan kultural.
Penafsiran Al-Qur’an, di
sini lalu pertama-tama bersifat exegesis, yaitu mengeluarkan wacana dari
Al-Qur’an (reading out) dan kemudian eisegesis, yaitu memasukkan
wacana ‘asing’ ke dalam Al-Qur’an (reading into).[24]
Mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an maksudnya adalah merumuskan masalah-masalah
moral sosial di dalam Al-Qur’an. Misalnya, soal kemiskinan, kebodohan, jender,
rasialisme, diungkap dari dalam teks kitab suci Al-Qur’an. Kemudian, secara
teoretik konseptual, problem-problem tersebut direfleksikan secara kritis
dengan menggunakan analisis ilmu-ilmu sosial. Dengan cara inilah,
problem-problem sosial kemanusiaan tersebut bisa diurai secara komprehensif,
praksis dan riil. Dan di sinilah kita akan menemukan elan pembebasan
Al-Qur’an.
Ketika kita mendengarkan
suara adzan yang dikumandangkan, sebagai norma religius, kita bukan sekadar
perlu mendengarkannya. Tetapi, juga harus merefleksikannya ke dalam norma
sosial. Panggilan suci yang mengagungkan Tuhan tersebut, secara implisit dalam
konteks norma sosial dan historis, menurut Raof Khoury, berarti: berilah sanksi
kepada para lintah darat yang tamak! Tariklah pajak dari mereka yang
menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang
mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat
banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita….berikan
kebebasan, bentuklah majelis syura yang mandiri dan biarkan demokrasi yang
sebenar-benarnya bersinar. [25]
Dari
Praksis ke Refleksi
Proses tersebut
menjadikan gerakan tafsir tidak lagi bersifat top-down, yang berangkat
dari refleksi (teks) ke praksis (konteks), tetapi sebaliknya bersifat bottom
up, yaitu dari bawah ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi
(teks). Dengan pandangan yang demikian, pengertian “konteks” teks kitab suci tidak
hanya dilihat dalam konteks struktur teks (siyâq al-kalâm), juga tidak
hanya dalam pengertian konteks di mana teks tersebut diturunkan (siyâq
al-tanzîl). Namun, pengertian konteks juga dipahami dalam ruang sosial
budaya di mana penafsir hidup dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya
sendiri. Sebab, pada saat itu, penafsir tidak hanya berhadapan dengan teks
kitab suci, tetapi dia juga—dan ini yang lebih penting—berhadapan dengan
realitas sosial, sebagai teks sosial yang selalu hidup dan berkembang.[26]
Dalam kerangka ini,
pemahaman atas konsep asbâb al-nuzûl bukan hanya dalam pengertian
tradisional yang selama ini dipahami—yaitu sebab turunnya ayat Al-Qur’an yang
diriwayatkan para sahabat dari Nabi Saw—tetapi secara konseptual juga dalam
pengertian problem dan realitas kultural, sosial, ekonomi dan politik pada saat
ayat diturunkan. Dengan cara yang demikian ini, kita bisa mengurai problem
kultural, sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di masyarakat Arab saat
Al-Qur’an diturunkan dengan analisis ilmu-ilmu sosial. Lalu, dikaitkan dengan
problem-problem sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di tengah kehidupan
penafsir saat ini. Di sinilah, secara komprehensif kita akan merumuskan
mengenai problem kemanusiaan dan cara menyelesaikannya.
Dengan demikian, hal yang
mendasar dalam tafsir emansipatoris adalah mengenai tujuan dari penafsiran. Di
sini, sebagaimana dalam hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi, Al-Qur’an
dipahami secara spesifik, tematik, dan temporal. Penafsiran Al-Qur’an haruslah
berdasarkan atas pengalaman hidup di mana penafsir hidup dan dimulai dari
kajian atas problem-problem manusia yang muncul pada saat itu. Sebab, pada
dasarnya, realitas mendahului wahyu, sebagaimana yang kita lihat dalam konsep asbâb
al-nuzûl. Maka, interpretasi haruslah bertolak dari realitas, lalu kembali
kepada wahyu yang secara teoretis sebagai sinar pembebasan, dan kemudian harus
berujung pada tindakan praksis.[27]
Maka, dalam kasus ini
kita harus mengubah pemahaman atas tema-tema pokok dalam Al-Qur’an yang
“a-historis” menjadi “historis”. Misalnya, selama ini, kisah-kisah dalam
Al-Qur’an dipahami secara a-historis. Padahal, maksud Al-Qur’an mengisahkan
cerita tersebut agar kita berpikir historis. Misalnya, kisah tentang penindasan
Fir’aun terhadap bangsa Israel, hanya dipahami pada konteks zaman itu. Padahal,
kaum yang tertindas ada di sepanjang zaman, termasuk saat ini, saat kita hidup.
Penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim, bukan hanya terjadi
pada saat itu, tetapi juga terjadi di sepanjang zaman. Bahkan, berhala-berhala
pada era sekarang semakin berkembang; misalnya berhala itu dalam bentuk
kekuasaan, kapital, pemikiran dan yang lain.
Setelah itu, dalam
konteks memahami dasar-dasar tindakan moral juga mesti diubah: dari cara
berpikir “subjektif” ke arah cara berpikir “objektif”. Misalnya, konsep moral
tentang tujuan menunaikan zakat, Al-Qur’an menegaskan sebagai “pembersihan”
harta dan jiwa kita (Qs. Al-Taubah [9]: 103), atau dalam konteks ancaman.
Misalnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Mâ min shahibi
kanzin la yuaddî zakâtahu illâ uhmia `alaihi fî nâri jahannama,
fayuj`alu shafâ’iha fatukwâ bihâ janbahu wa jabhatuhu—seseorang
yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka
jahanam. Baginya akan dibuatkan setrika dari api, lalu dipakai menyetrika
lambung dan dahinya.”[28]
Jelas, perintah itu arahnya adalah sisi subjektif. Tetapi, sisi objektif tujuan
penunaian zakat adalah demi kesejahteraan sosial. Dari arah objektif inilah
lalu bisa kita kembangkan pada kasus-kasus yang lain, seperti larangan menumpuk
kekayaan, menghardik orang miskin dan menyia-nyiakan anak yatim.
Terkait dengan ini,
formulasi wahyu yang bersifat “umum” mesti dipahami dalam konteks “spesifik”
dan “empiris”. Misalnya, Al-Qur’an mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk
kekayaan secara pribadi sehingga kekayaan berputar hanya di kalangan kaum kaya.
Kita perlu mengartikan pernyataan wahyu tersebut pada pengertiannya yang
spesifik dan empiris. Ini berarti kita mesti menerjemahkan pernyataan itu ke
dalam realitas sekarang, yaitu adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan
ekonomi dan politik; adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di
lingkungan elite yang berkuasa. Dan juga memahami wahyu yang bersifat
“individual” ini ke arah yang “struktural”. Dalam contoh kasus di atas,
kekayaan yang hanya memusat pada satu orang atau kelompok, sesungguhnya
bukanlah semata-mata masalah individual tetapi juga menyangkut masalah
struktural, yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak membela kepentingan rakyat
kecil.
Penutup
Dari uraian di atas,
terlihat bahwa tafsir emansipatoris memperlakukan teks kitab suci dalam ruang
refleksi kritis sekaligus diaplikasikan dalam ranah praksis, bukan hanya secara
moral tetapi juga struktural. Di sini, teks kitab suci digunakan sebagai alat
untuk mempertajam kesadaran nurani dalam melihat, mempersepsikan dan sekaligus
memecahkan problem-problem sosial kemanusiaan. Prinsip interpretasi atas teks
kitab suci, di sini secara linguistik haruslah bersifat komprehensif dan
filosofis. Dan dalam konteks praksis, teks kitab suci secara etik pembebasan
harus terrefleksikan dalam kehidupan umat manusia.
Cara memahami wahyu
sebagaimana diuraikan di atas akan mampu mengungkap signifikansi yang implisit
di dalam teks Al-Qur’an, yang tak terkatakan di dalam struktur wacana teks.
Kita akan mampu memunculkan tema-tema sosial yang selama ini menjadi problem
sosial masyarakat dan belum diangkat dengan tegas di dalam wacana tafsir secara
komprehensif dengan basis ilmu sosial. Maka, tafsir emansipatoris bukan hanya
mengurai masalah ketidakadilan, deskriminasi jender, pembebasan umat yang
tertindas, baik secara ekonomi, politik, maupun ras. Tetapi, tafsir
emansipatoris juga akan membuka pintu dalam pembahasan masalah korupsi, suap, money
politics, hibah kepada pejabat, kolusi, nepotisme, perburuhan, petani,
nelayan dan masalah-masalah sosial lainnya, sekaligus bagaimana gerakan
penyelesaiannya.
Semuanya ini tentu
membutuhkan kesadaran kita, bahwa teks kitab suci bukanlah satu-satunya alat
dalam mencerahkan kemanusiaan, tetapi ia juga membutuhkan ilmu-ilmu lain di
dalam mengurai problem kemanusiaan yang terus berkembang. Sebab, mesti disadari
bahwa teks apa pun, termasuk teks Al-Qur’an, tidak dapat membangun dan
menegakkan peradaban manusia secara sendirian. Yang membangun dan menegakkan
peradaban manusia sesungguhnya adalah proses dialektika manusia dengan realitas
di satu pihak, dan dengan Al-Qur’an di pihak yang lain.
Bertemu Tuhan tidak harus
di tempat-tempat suci atau menghitung tasbih sambil melafalkan nama-nama-Nya,
tetapi juga perlu dilakukan di ruang-ruang sosial: menolong orang yang
tertindas, mengentaskan orang miskin dari jurang kemiskinan, membebaskan
masyarakat dan kebodohan. Karena memang demikian inilah iman dipraksiskan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Muslim. Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Abû
Zayd, Nashr Hâmid. Naqd al-Khithâb al-Dînî, Kairo: Sina li
al-Nashr, 1994.
Al-Ausi,
`Ali. al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih, Teheran: Mu`âwanah
al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî, 1985.
Al-Jâbirî,
Muhammad `Âbid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah
Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Beirut:
Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993.
Al-Qaththân,
Mannâ’ al-Khalîl. Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, t.tp.: Mansyûrât
al-`Ashr al-Hadîts, 1973.
Al-Rûm,
Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân. Ittijâhât al-Tafsîr fî Qarn
al-Râbi` `Asyr, Riyad: Maktabah Rusyd, 2002.
Al-Shâbûnî,
Muhammad `Ali. al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Âlam
al-Kutub, t.th.
Arkoun,
Mohamed. al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlah al-Ta’shîl, Beirut: Dar
al-Saqi, 2002.
Brenner, Louis (ed.), Muslim Identity and Social
Change in Sub-Saharian Africa, 1993.
Engineer,
Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Esack,
Farid. “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of
Qur’anic Heremeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2, no. 2, Desember
1991.
Esack,
Farid. Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of
Interrelegious Solidarity against Oppression, 1997. dialihbahasakan ke
dalam bahasa Indonesia berjudul Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung
A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
Gusmian,
Islah. Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi,
Jakarta: Teraju, 2003.
Hanafî, Hassan. Dirasât
Islâmiyyah, Kairo: Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981.
Hassan,
Riffat. “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans Thijsen (ed.), Women
and Islam in Muslim Society. The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994.
Ichwan,
Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.
Jansen,
J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt. Leiden: E.J.Brill,
1974. Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif
Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kuntowijoyo.
Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991.
Mas’udi,
Masdar F. “Eksplorasi Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”, Makalah,
2002.
Mas’udi,
Masdar F. “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris” Kata Pengantar dalam
Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis
Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004.
SOSOK YESUS DI MATA SANTRI
JAWA: SELAYANG PANDANG
MENGENAL KITAB KUNING
Dikutip dari buku "Menyongsong Ratu Adil"
Andi Offset th.2003
Kitab kuning adalah
sebutan untuk kitab-kitab Islam klasik (kutub al-qadimah) yang lazim
digunakan sebagai buku-buku teks di pesantren. Disebut demikian karena biasanya
kitab-kitab itu ditulis di atas kertas kuning berkualitas murah. Pada dasarnya
apa yang dipelajari di pesantren adalah mengupas dan mendalami isi al-Qur’an
dan Hadits Nabi Muhammad. Dengan mendalami al-Qur’an mengenai dasar-dasar
keyakinan Islam, lahirlah ushuluddin atau teologi Islam. Kitab-kitab
teks yang biasanya digunakan dalam bidang ini, misalnya Jawahir al-Tauhid
karya Syekh Ibrahim al-Baqani dan Sullamut Taufiq, karya Syeikh Nawawi
al-Bantani. Kitab-kitab Tafsir al-Qur’an yang lazim dipakai secara luas adalah
tafsir Jalalain, tafsir Munir dan tafsir Ibnu Katsir,
sedangkan kitab-kitab yang menyangkut ilmu-ilmu Hadits, antara lain: Arba’in
an-Nawawiyah, Shahih Bukhari, Bulugh al-Maram dan sebagainya.
Dari ayat-ayat al-Qur’an mengenai hukum lahiriah ilmu fiqh dengan berbagai
madzabnya. Karena di Indonesia madzab Syafi'’ yang banyak dianut, maka
kitab-kitab fiqh yang diajarkan bercorak syafi’iyyah. Untuk menyebut beberapa
saja diantara kitab-kitab itu, misalnya: Fath al-Qarib al-Mujib, Kifayat
al-Ahyar dan Safinatun Najah. Ilmu Tasawuf juga tak kalah penting,
karena melalui kajian ini seorang Muslim mendapat petunjuk untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Kitab-kitab yang lazim dipakai, misalnya al-Dalail
yang berisi wirid-wirid, Riyadh ash-Shalihin, al-Insan al-Kamil, dan
masih banyak lagi. Selain bidang-bidang penting di atas, tentu saja pengenalan
bahasa Arab menjadi syarat awal bagi kajian lebih lanjut. Dalam pada itulah,
timbul ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Badi’, dan salah satu kitab yang lazim
di bidang ini adalah Matan Jurumiyah yang cukup terkenal itu.
Pada Bab III buku ini sudah dikedepankan citra Yesus dalam kepustakaan Jawa,
terutama menunjuk kepada literatur-literatur Kejawen. Dengan mengangkat
literatur pesantren, Bab ini kiranya dapat melengkapi pandangan dari “salah
satu varian Islam Jawa” (menurut istilah Mark R.Woodward), --atau “kaum
Jawa sub-kultur santri” (menurut analisis kultural Clifford Geertz). Bagaimana
sosok Yesus, atau yang lebih dikenal dengan al-Masih ‘Isa bin Maryam itu,
ditampilkan dalam kitab-kitab kuning tersebut? Secara ringkas, pandangan pesantren
mengenai Yesus dan Kekristenan dapat disebut bersifat dialectical
relationship. Maksudnya, di satu pihak ‘Isa digambarkan sebagai tokoh yang
mulia, sangat dekat dengan Allah, bahkan tradisi Islam memberikan beberapa
gelar dan peranan yang tidak diberikan kepada nabi-nabi lain, termasuk Nabi
Muhammad sendiri. Misalnya, peranan ‘Isa pada akhir zaman sebagai Hakim yang
Adil yang mengalahkan al-Masih ad-Dajjal (Anti-Christ).
Tetapi pada pihak lain, karena latarbelakang perjumpaan teologis tertentu pada
masa lalu kedua agama semitik ini, tampaknya ‘Isa berusaha keras untuk
dipisahkan dengan Kekristenan. Mengapa? Karena Kekristenan dianggap telah
menyelewengkan ajaran ‘Isa yang sebenarnya, dan Injil yang beredar sekarang
dituduhnya sudah tidak asli lagi. Tetapi terlepas dari warisan teologis masa
lalu itu, melacak sosok historis ‘Isa dan peranannya dalam kesalehan normatif
Muslim, lebih menarik ketimbang mengembangkan sebuah apologi Kristiani menjawab
kesalahpahaman Islam. Bahkan masalah yang disebut terakhir ini, di kalangan
tertentu sudah banyak bergeser, seiring dengan kemajuan dialog antariman
akhir-akhir ini.
Kristologi “Kalimat Allah”di dalam al-Qur’an dan Citra ‘Isa al-Masih
Apabila kita
menelusuri perdebatan klasik Kristen-Islam mengenai sosok Yesus, patut dicatat
di sini bahwa baik penekanan akan kelilahian-Nya dalam Iman Kristen, maupun
penolakan atas klaim Kristen tersebut, keduanya didasarkan pada gelar yang sama
yang diakui kedua agama. Dalam hal ini, gelar ‘Isa sebagai Kalimat Allah (Firman
Allah) yang,--terlepas bagaimana penafsiran kedua pihak,--dikaitkan erat dengan
Roh Allah, baik dalam kelahiran maupun dalam karya
Yesus. Di bawah ini akan dicontohkan ayat
al-Qur’an yang memuat penegasan kedudukan Yesus sebagai Firman Allah dan Roh
Allah, dan bagaimana interpretasikan dalam beberapa tafsir al-Qur’an:
v Al-Qur’an, s.Ali
Imran/3:39
Anna llaha yubasyiruki bi yahya mushadiqan bi
kalimatin min Allah…Artinya: Sesungguhnya Allah akan memberi kabar gembira kepadamu
(wahai Zakaria) dengan seorang anak yaitu Yahya yang akan membenarkan Firman
dari Allah.”
Mengenai ayat di atas, Tafsir Jalalain menafsirkan makna ayat bi-kalimatin
min Allah (dengan Firman dari Allah) sebagai :
“…bi kalimatin (kelawan Kalimat), ka’inatin
min Allah (kang mujud saking Allah), ay bi ‘Isa (tegese kelawan Nabi
Isa) annahu Ruhullah (satuhune Nabi ‘Isa iku Roh Allah), wa summi
kalimatan (lan den arani kalimat) liannahu khuliqa bi kalimati kun (karana
Nabi ‘Isa iku den dadekaken) bi kalimati kun (karana kalimat Kun).
Terjemahan:
“…dengan Firman yang berwujud dari Allah, maksudnya
yaitu Nabi ‘Isa, sesungguhnya Ia adalah Roh Allah, dan disebut Firman karena
Nabi ‘Isa diciptakan dengan firman: Jadilah!”.
Ketika menjelaskan ungkapan dalam ayat: mushadiqan bi Kalimatin min Allah
(membenarkan Firman dari Allah), Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim,
mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang berbunyi:
Qala kana Yahya wa ‘Isa abnaya khalat, wa kaanat ummu Yahya
taquulu li Maryam, “Anni ajud alladzi fii bathni yasjudu li alladzi fii
bathniki”. Fadzalika tasdiiqi lahi fii bathni umihi, wa huwa awwali min
shaddaqa ‘Isa wa kalimati llahi ‘Isa.
Terjemahan:
Kata Ibnu ‘Abbas r.a.: Yahya dan
‘Isa adalah saudara sepupu dari pihak ibu, dan ibu Yahya pernah berkata kepada
Maryam: “Aku mendapati bahwa bayi yang ada dalam perutku bersujud kepada bayi
yang ada di perutmu”. Yahya sudah membenarkan ‘Isa sejak dalam kandungan
ibunya, dan dialah orang yang paling awal menyaksikan kebenaran ‘Isa, yaitu
‘Isa sebagai Firman Allah.
Ibnu Katsir juga mengutip riwayat Qatadah, bahwa putra Zakaria itu dinamakan
Yahya: “disebabkan Allah menghidupkan dia dengan iman” (lianna llahu ahyahu
bi al-iman). Selain Qatadah, dikutip pula riwayat dari Ikrimah, Mujahid,
al-Sudi, al-Rabi’ bin Anas, yang menjelaskan ciri-ciri anak yang akan
dilahirkan tersebut: “Dia adalah orang yang pertama membenarkan ‘Isa anak
Maryam” (huwa awwalu man shaddiqan bi ‘Isa ibnu Maryam). Membaca sekilas
tafsiran di atas, kita diingatkan dengan peranan Yahya Pembaptis sebagai
seorang bentara al-Masih dalam Injil yang mempersiapkan jalan bagi
kedatangan-Nya (Yohanes 1:29; 3:38). Sedangkan ucapan Ashba (Elizabet) kepada
Siti Maryam, secara harfiah dijumpai hampir sama dengan catatan Injil Lukas
1:39-45.
v
Al-Qur’an,s.Ali
Imran/3:45
Idz qalati al-Mala ‘ikatu Ya Maryam, Inna llaha
yubasyiruki bi Kalimatin minhu asmuhu al-Masih ‘Isa bnu Maryam wajihan fi
al-dunya wa al-akhirat wa min al-muqqarabin.
Artinya: “Ingatlah ketika Malaikat
berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu
dengan Firman dari Dia, namanya al-Masih ‘Isa putra Maryam, yang terkemuka di
dunia dan di akhirat, dan salah seorang dari mereka yang didekatkan di sisi
Allah”.
Tafsir Jalalain menafsirkan kata-kata: Innallaha yubasyiruki bi Kalimatin
minhu, “satuhune iku bungahe Allah ing sira, kelawan kalimat saking anak, (ay
waladin) tegese iku anak” (Sesungguhnya itu kabar gembira dari Allah kepadamu,
dengan Firman mengenai seorang anak, yaitu kelahiran seorang anak). Sedangkan
penyebutan Yesus yang selalu dihubungkan dengan nama ibunya, untuk menekankan
kelahiran insani-Nya dari perawan Maryam tanpa seorang bapa. Itulah “kristologi
Qur’an yang menolak klaim Kristen mengenai kelahiran kekal Firman Allah dari
Dzat-Nya. Dengan demikian ‘Isa bnu Maryam itu disebut namanya:
“… bi nisbatihi (kelawan nisbate iku) ilaiha
(maring Maryam) tanbina ‘ala (karana ngelingaken satuhune Maryam) annaha
taliduku (iku manake Maryam ing anak) bi laa ab (kelawan ora nana
bapa)”.
Terjemahan:
“… dengan menghubungkannya kepada
Maryam, karena untuk memperingatkan bahwa sesungguhnya Siti Maryam itu
melahirkan anaknya (‘Isa) tanpa melalui perantaraan seorang ayah.”
Jadi, meskipun kristologi gereja yang menekankan bahwa Yesus adalah Firman
Allah terdengar menggema dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas, tetapi Islam tidak
turut serta merta memindahkan makna teologisnya sebagaimana yang dipahami iman
Kristen. Ungkapan “bi kalimatin minhu” (dengan Firman dari-Nya), dalam sejumlah
tafsir al-Qur’an tidak dipahami sebagai Firman kekal yang bersifat ghayr
al-makhluq (bukan ciptaan), melainkan sebagai kalam takwiniyyah
(kata penciptaan kun, “Jadilah”). Meskipun demikian, berbeda dengan
makhluk lainnya, ‘Isa diciptakan melalui Firman Allah secara langsung seperti
Allah juga menciptakan Adam.
Meskipun teologi Islam tidak ragu-ragu menolak keilahian Yesus, tetapi pada
abad-abad kemudian gema dari perdebatan gereja mengenai kekal atau tidaknya
Firman Allah itu dipentaskan kembali, dan diterapkan untuk memahami al-Qur’an
sebagai Kalam Allah. Karena penekanan bahwa makhluk atau tidaknya Kalam Allah
tersebut, maka selanjutnya teologi Islam lebih dikenal sebagai Ilmu Kalam, sebagaimana
dikatakan oleh Syekh Muhammad ‘Abduh:
Wa qad yusama ‘ilm al-kalami, anna lianna asyhara
mas’alatin wa qa’a fiha al-khilaafu baina ‘ulama’I al-quruni al-ula, hiya ‘anna
kalam allah almatluwwa haditsu aw qadiim. Artinya: “Kadang-kadang disebut
ilmu Kalam karena masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama-ulama Islam pada abad-abad pertama Hijrah, yaitu
mengenai apakah Kalam Allah yang dibaca itu baru ataukah qadim (kekal).
Ibnu Jahm, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengejek para pengikut Iman
al-Asy’ari yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa
al-Jama’ah, dengan kata-kata yang cukup menarik dibandingkan dengan
pergumulan teologis Gereja ketika menghadapi kaum Arianisme:
Saya menemukan sebuah ayat dalam Firman Allah untuk
membuktikan bahwa al-Qur’an itu diciptakan. Demikianlah Firman Allah: “Al-Masih
‘Isa Putra Maryam itu Rasul Allah dan Firman-Nya”. Nah, kalau ‘Isa disebut
Firman Allah dan kita mengatakan bahwa ia itu diciptakan, mengapa pada saat
yang sama kita tidak mengatakan bahwa al-Qur’an itu juga ciptaan?
Selanjutnya dalam rangka menghadapi Mu’tazilah tersebut, al-Asy’ari mengenalkan
dalil bahwa “Sifat-sifat Allah itu tidak sama dengan Dzat tetapi juga tidak berbeda
dengan Dzat-Nya” (ash Shifat laysa al-Dzat wa laa hiya ghairuha). Kalau
kita cermati, sebenarnya dalil ini sangat dekat dengan kristologi gereja
mengenai kekekalan Firman Allah, yang dalam iman Kristen wujud temporal-Nya
dikenal dalam kemanusiaan ‘Isa al-Masih, sedangkan dalam Islam nuzul menjadi
al-Qur’an.
Karena itu, apabila iman Kristen menekankan kodrat ganda Yesus yang serentak
pula: kammala bi al-Lahut wa kammala bi an-nasut (sepenuhnya ilahi dan
sepenuhnya insani), begitu juga Islam mengenal al-Qur’an sebagai kalam nafsi
(kalam yang kekal) sekaligus kalam lafzi (kalam temporal). Merujuk
paralel yang begitu dekat itu, Sayyed Husein Nasr dalam Ideals ad Realities
of Islam, menyejajarkan posisi Yesus dalam Iman Kristen dengan al-Qur’an,
dan posisi Nabi Muhammad sebagai penerima Firman Allah dengan Sayidatina Maryam
yang juga menjadi mediator kelahiran Firman Allah yang menjadi manusia.
Kedudukan ‘Isa: wajihan fii al-dunya wa
al-akhirah wa min al-muqarrabin
Selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna “wajihan fii al-dunya wa
al-akhirah” (yang terkemuka di dunia dan di akhirat), bahwa ‘Isa adalah
seorang yang terkemuka dan berkedudukan di dunia karena Allah mewahyukan
kepadanya aturan-aturan agama, dan di akhirat karena Allah memperkenan
kepadanya memberikan syafaat di sisi Allah atas orang-orang dengan seijin-Nya (wa
fii dar al-akhirati yusyafa’I ‘indallah fii man bi-idzini lahi fihi).http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm -
_ftn16 Penjelasan yang sama dapat dijumpai pula
dalam tafsir Jalalain: “… fi al-dunya bi al-nubuwwati, wa al-akhirat
bi-syafa’ati wa al-darajat al-ula: tegese kagungan ing alam dunya klawan
kenabian, lan ing alam akhirat klawan syafaat dan pira-pira derajat kang
luhur”.http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm -
_ftn17 Maksudnya, ‘Isa al-Masih terkemuka di
dunia karena ia dikarunia kenabian, dan di akhirat dengan syafaat dan derajat
yang tinggi.
Selanjutnya, makna wa min al-muqarrabin (dan termasuk dari yang
didekatkan), dalam tafsir Jalalain dibubuhkan keterangan: ‘indallah(di
sisi Allah). Jadi, ‘Isa termasuk seorang diantara yang didekatkan di sisi
Allah. Sedangkan 2 tafsir lainnya, yaitu Marah Labid Tafsir al-Nawawi dan
Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa ‘Isa berada
di surga ‘Aden. “Wa min al-Muqarrabin” (dan termasuk yang didekatkan)”,
demikian Tafsir Ibnu ‘Abbas, “ila llah fii janat ‘and” (kepada Allah di
surga ‘Aden).http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm -
_ftn18
Sedangkan dalam tafsir Munir kita membaca keterangan bahwa ‘Isa
didekatkan: ‘ila ‘isa sirafa ‘ila as-sama’ wa tashahabal al-mala’ikah
(kepada Allah di surga ‘aden, dan hal itu menunjukkan seperti nubuatan yang
terjadi atas ‘Isa yang diangkat ke langit dan bersahabat dengan para malaikat).http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm -
_ftn19 Dalam al-Qur’an selain dalam kata al-Muqarrabun
dihubungkan dengan malaikat terdekat Allah (Q.s. an-Nisa’/4:172, “al-al-malaikat
al-muqarrabun”), dalam satu ayat dihubungkan kitab catatan orang-orang yang
berbakti, yang disebut ‘illiyyin.20
Wa maa adzra ‘aka maa ‘iliyyun? Kitabun marqum, yasyhaduhu al-muqarrabun.
Artinya:”Tahukah kamu apakah illiyin itu? Itulah kitab tertulis, yang
disaksikan oleh al-muqarrabun (Q.s. al-Muthaffifin/83:18-21). Syeikh
Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan : ay yasyhadu al-mala’ikat
al-muqarrabun (yaitu disaksikan oleh malaikat-malaikat yang terdekat dengan
Allah).21
Tetapi yang menarik, karena al-Muqarrabin dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan
‘Isa (Q.s. ali-Imran/3:45), maka Imam al-Ghazali juga menghubungkan Yesus
dengan penyaksian amal kebaikan itu di kerajaan langit. Al-Ghazali menulis
dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, yang akan kita kutip sebagai berikut:
Faa man
‘alima (maka sapane wong kang weruh) dzalika
(wong iku ing mangkono-mangkono) wa ‘amila bihi (wong kelawan ilmu) tsumma
‘allamahu (maka nuli mulanga wong) wa da’a ilaihi (lan ngajak-ajak
wong maring ilmu) fadzlika (maka utawi mangkono-mangkono) yud’u
‘adziman (wong iku diarani wong ing agung) fi malakut as-samawat
(ing dalem kraton pira-pira langit) bi syahadati ‘Isa ‘alaihi assalam
(kalawan disekseni Nabi ‘Isa ‘alaihi salam).22
Terjemahan:
Sebab bagi
siapapun yang mengetahui ilmu tersebut dan mengamalkannya, mengajarkannya dan
mendakwahkannya kepada orang lain, maka ia disebut orang yang mulia di kerajaan
langit dengan disaksikan oleh Nabi '’Isa alaihi salam.
Kitab yang dimaksud oleh al-Ghazali di atas adalah Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan
ilmu-ilmu Agama), yang memuat berbagai-bagai bidang dan sudah diterbitkan
ribuan kali. Lebih-lebih, di kalangan kamu Suni peranan al-Ghazali sangat
dominan, sehingga kitab-kitabnya menjadi acuan hampir di seluruh pesantren di
Indonesia. Ungkapan yang disebut dalam kitab Bidayat al-Hidayah yang
kita kutip di atas, ternyata termaktub juga dalam Kitab Ilya’ Ulumuddin
yang diredaksikan sebagai sabda Kanjeng Nabi ‘Isa sendiri:
Wa qala
‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam (Lan dhawuhe sapa
‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam).23
Man(utawi sapa wonga) ‘alima wa ‘amala (lamun iku pinter lan
nglakoni ilmu) wa ‘amala (lan mulangna) faa dzalika yud’u ‘adziman
(mangka iku bakal disebut wong kang mulya) fii al-malakut as-samawat
(ing alam malakut ana ing langit).24
Terjemahan:
Bersabda ‘Isa
shalallahu ‘alaihi wassalam: “Barangsiapa yang menguasai ilmu dan
melaksanakannya, lalu mengajarkan kepada orang lain ilmu itu, maka orang itu
akan disebut sebagai seorang yang mulia di alam malakut yang ada di langit.
Kesucian Yesus dan Peranannya sebagai
Teladan Kesalehan Muslim
Secara teologis, dengan memisahkan Yesus dari agama Kristen, Islam dapat
mengembangkan pandangannya sendiri secara khas, khususnya secara etis dengan
mengambil sosok ‘Isa sebagai salah satu teladan kesalehan Muslim. Lebih-lebih
dari perspektif sufi, yang bersamaan dengan penegasan bahwa Muhammad adalah
“puncak kenabian”, tanpa keberatan apapun ‘Isa digelari “puncak kesucian”.
Dalam konteks inilah, kita membaca narasi-narasi mengenai ‘Isa dalam literatur
pesantren, yang dalam beberapa hal juga menggemakan kembali kisah-kisah dalam
Injil.
v Al-Maidah: Mukjizat al-Masih Menurunkan Hidangan dari Langit
Salah satu
contoh, sebuah kisah mengenai mu’jizat ‘Isa mendatangkan makanan dari sorga.
Memang, dasar kisah ini juga dijumpai dalam al-Qur’an, bahkan surah kelima
dinamakan dengan al-Maidah (Hidangan). Latar belakang injil dari kisah
ini adalah Perjamuan Malam, yang juga menjadi sentralitas iman Kristen dan
mendasari perayaan ekaristi (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20).
Dalam Islam kisah ini diambil, tetapi makna sakramentalnya yang berpusat pada
pengorbanan ‘Isa al-Masih, sudah barang tentu tidak turut diambil alih.
Dalam kitab Duratun
Nashihin, karya ‘Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir, memuat pengembangan
kisah yang dimuat dalam Q.s. al-Maidah/5:111-115. Dikisahkan bahwa memenuhi
permintaan kaumnya, ‘Isa berdoa kepada Allah dan hidangan itu memang
benar-benar turun dari langit. Lalu ‘Isa berdoa, sementara hidangan berwarna
merah itu turun diantara awan-awan: Allahuma aj’alhun minasy syakirin.
Allahuma aj’alha rahmatan lil ‘alamin, wa laa taj/alha matslatan wa ‘uqubatan.
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang pandai bersyukur. Ya
Allah, jadikanlah hidangan itu sebagai rahmat untuk semesta alam, dan jangan
jadikan sebagai bencana dan siksaan”.25
Setelah mengambil air wudhu untuk sembahyang, sambil menangis Yesus berkata
kepada murid-murid-Nya: “Siapa diantara kamu yang baik amalnya, silahkan tegak
membuka hidangan itu, dengan menyebut nama Allah dan memakannya”. Tetapi Simon
(Syam’un), salah seorang tokoh dari kaum Hawariyin itu, mengatakan kepada
Yesus: “Engkau yang utama membukanya”. Maka ‘Isa pun berdiri untuk sembahyang,
ia menangis sambil membentangkan sapu tangan dan membaca kalimat: Bismillahi
khair ar-raziqin (Dengan Nama Allah Pemberi rezeki yang paling baik).26
Kisah ini kemudian disambung dengan mu’zijat penggandaan makanan yang dinikmati
oleh orang-orang miskin secara merata sampai 40 hari lamanya.
Membaca contoh kisah tersebut, kita diingatkan dengan beberapa penggalan kisah
dalam Injil dan disatukan. Doa yang berlatarbelakang liturgi Seder
Yahudi mengenai pembebasan dari Mesir, dan oleh Yesus dianggap telah digenapi
dalam pengurbanan-Nya sendiri, di sini menjadi sekedar doa ucapan syukur kepada
Allah sebagai sebaik-baik pemberi rezeki. Sedangkan pengakuan Petrus bahwa ‘Isa
adalah al-Masih, Putra Allah yang hidup (Matius 16:16), yang dalam Injil
terjadi dalam konteks lain dimasukkan dalam mukjizat al-Maidah tersebut. Dalam
kasus ini, dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah Yesus ini, sekalipun menggemakan
kisah-kisah dalam Injil, tetapi dengan melakukan reinterprestasi khas Islami
pandangan teologis Kristen itu tidak membebani lagi untuk mengangkat sosok
Yesus secara bebas dan kreatif dalam rangka kesalehan Muslim sendiri.
Sebagai catatan akhir, sang pengarang menutup kisah di atas dengan penekanan
moralitas Islam yang berbunyi sebagai berikut:
Ya ayyuhal
ikhwan (He para sedulur) sa’ala qauma ‘Isa min
‘Isa ‘alaihissalam thamaman (nyuwun sapa kaume Nabi ‘Isa saking Nabi ‘Isa
‘alaihissalam ing panganan) faa sa’aluu ‘aqiiba shaumukun (mangka padha
nyu-wuna sira kabeh ing dalam sakwuse pasanira kabeh) rahmatullah wa maghfiratuhu
(ing rahmat Allah lan pangapurane Allah).27
Terjemahan:
“Wahai
saudara-saudara, kaum Nabi ‘Isa minta kepada Nabi ‘Isa alaihissalam sekedar
makanan, tetapi mintalah kalian semua, yaitu pada penghujung puasa kalian semua
rahmat Allah dan pengampunan dari Allah).
v Sabda-sabda Yesus dalam Kitab Kuning
Sejumlah amsal
yang dihubungkan dengan ‘Isa al-Masih juga bertebaran di sejumlah kitab kuning,
yang sebagian menggemakan ayat-ayat Injil. Misalnya, dalam kitab Ihya
‘Ulumuddin al-Ghazali menulis bahwa Yesus melarang seorang meletakkan ilmu
hikmat kepada yang bukan ahlinya. Sebaliknya, kita tidak boleh menghalangi
seorang yang memang berkompeten untuk hal itu untuk mengajarkannya. Pada akhir
sabda Yesus tersebut, kita membaca ungkapan yang mirip sabda Yesus tersebut,
kita membaca ungkapan yang mirip dengan Matius 9:12; Markus 15:38 dan Lukas
5:31. Sabda Yesus itu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin berbunyi sebagai
berikut:
Kalthabibi (kaya dokter) al-rrafiqi (kang tumindak alus) yadda’u
al-ddawa’a (nyelehake sapa tabib ing tamba) fi mudhi’I al-dda’I (ing
dalem panggonane penyakit)28
Terjemahan:
Hendaklah kamu
bertindak seperti seorang tabib yang penuh kehalusan (kasih sayang) meletakkan
obat pada tempat yang sakit.
Demikian pula dalam kitab Bidayat al-Hidayah Imam al-Ghazali juga mencatat
sabda Yesus yang sekilas membayangkan pergumulan-Nya saat kematian pada waktu
mengadakan perjamuan malam dan di taman Getsemani:
Allahuma (Huwa Allah) la tusymitni aduwwi (ampun ngantos bungahaken
Tuwan sebab kula ing musuh kula), wa la tasu’ni fi shadiqi (lan ampun nyusahken
Tuwan sebab kula ing kanca kula) wa la taj’al musibati fi dini (lan
ampun ndadosken Tuwan ing musibah kula ing dalem agama kula).29
Terjemahan:
Ya Allah,
janganlah Engkau membiarkan musuhku bergembira melihat penderitaanku, dan
jangan pula Engkau membiarkan temanku bersedih melihat penderitaanku. Janganlah
Engkau menimpakan musibah kepada iman atau agamaku.
Ungkapan pertama kiranya khas seperti doa-doa dalam Mazmur (Mazmur 25:2-3;Lukas
23:33-42). Sedangkan doa berikutnya yang menyebut identitas agama, agaknya
merupakan formulasi Islam atas doa Yesus yang mengutip Mazmur: Eloi, eloi
lamma sabakhtani. Ya Ilahi, ya Ilahi, Mengapa Engkau meninggalkan aku
(Mazmur 22:2;Markus 15:34). Tetapi kemiripan-kemiripan itu sama sekali tidak
terlalu berarti secara teologis, karena pada dasarnya Islam menyangkal jalan
salib Yesus. Karena itu, doa-doa semacam ini dipindahkan sebagai sebuah
ungkapan pergumulan manusiawi secara umum, tidak harus merujuk kepada
penyaliban.
Selanjutnya, dalam Ihya ‘Ulumuddin kita juga membaca ungkapan Yesus,
yang sepintas membayangkan kisah simbolis Injil mengenai pohon ara yang tidak
berbuah (Matius 21:18-22) sebagai berikut:
Qala ‘Isa
‘alaihi salam: Maa aktsaran al-syajara wa laisa kulluha bimutsrin, wa maa
atsaran al-tsamara wa laisa kulluha bithaybin, wa maa atsaran al-muluma wa
laisa kulluha nafi’
Terjemahan:
Sabda ‘Isa
alaihissalam: “Alangkah banyaknya pohon dan tidak semua berbuah, alangkah
banyaknya buah-buahan dan tidak semua boleh dimakan, dan alangkah banyaknya
ilmu pengetahuan dan tidak semua berguna.30
Masih banyak kisah-kisah kesalehan Muslim dalam Ihya ‘Ulumuddin yang
secara tidak langsung menggemakan kembali kisah-kisah Injil mengenai pelayanan
Yesus. Misalnya, al-Ghazali mengisahkan mukjizat Yesus menyembuhkan penyakit
kusta. Dikisahkan bahwa ‘Isa alaihissalam melihat seorang penderita kusta
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan saya dari banyak hal yang
telah menimpa orang lain”. “Engkau bebas dari kesengsaraan apa?”,tanya ‘Isa
kepadanya. “Roh Allah”,jawab penderita kusta itu, “Saya lebih beruntung
ketimbang mereka yang tidak mengenal Allah”. “Engkau berkata benar”,kata ‘Isa
lagi, “ulurkanlah tanganmu”. Orang itu mengulurkan tangannya dan seketika
sembuh atas rahmat Allah.31
Dalam rangka teladan kehidupan zuhud, khususnya di kalangan kaum sufi, sosok
Yesus mengambil peranan cukup penting, ketimbang yang terbaca dalam tulisan
polemik akhir-akhir ini, yang sering menutup-nutupi keagungan Yesus hanya
karena khawatir akan dijadikan dalil untuk mendukung Kekristenan. Dalam
al-Qur’an sendiri, ‘Isa dan ibunya Maryam memang terlindung dari jamahan setan
(s.Ali Imran/3:36). Dalam penjelasannya atas ayat ini, Tafsir Jalalain mengutip
Hadits Riwayat Syaukan: Ma min mauludi yuladu ila massahu asy-syaithan haina
yuladu fayastahilla sharikhan ila maryam wa ibnaha. “Tidak ada seorang pun yang
ketika lahirnya tidak disentuh oleh setan sehingga bayi itu menangis, kecuali
Maryam dan anaknya”.32
Ide ini sebenarnya mengingatkan sifat imaculata (cf.Liturgi Kristen
Arab: bi-ghayr al-fasad wulidtu Kalimat Allah,”ketidakbernodaan Maryam
ketika melahirkan Firman Allah”),supaya Yesus yang secara fisik disebut “buah
rahim” Maryam (Lukas 1:42) benar-benar terjaga kesucian-Nya.
Sindroma Salib dan Sekitar Kematian
‘Isa al-Masih dalam al-Qur’an
Gambaran al-Qur’an dan kitab-kitab kuning mengenai keagungan ‘Isa sebagaimana
yang dikemukakan di atas, pada akhirnya toh harus dibedakan dengan iman Kristen
yang dianggap telah menyimpangkannya. Salah satu masalah yang menjadi
perdebatan klasik Islam-Kristen adalah masalah akhir kehidupan ‘Isa, khususnya
mengenai kematian-Nya di kayu salib. Padahal, seperti diakui oleh komentator
tertua al-Qur’an, Ibn Jarir ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fii Tafsir
al-Qur’an, berbagai penafsiran itu tidak pernah memuaskan. Bahkan banyak
penafsir Islam yang keberatan dengan teori penggantian itu berdasarkan prinsip
keadilan Ilahi.33
Misalnya, teori penggantian di kayu salib oleh orang lain (Simon dari Kirene,
Yudas Iskariot) yang didasarkan atas surah an-Nisa’/4:157-158, tidak selalu
memuaskan para penafsir Islam sendiri, karena secara gramatikal tidak cocok
dengan maksud tersebut. Pertama, kalau seorang menggantikan Yesus
mestinya digunakan kata ganti diri ketiga tunggal. Jadi, lakin syubiha lahu (melainkan
yang disamarkan bagi dia) dan bukan lakin syubiha lahum (melainkan yang
disamarkan bagi mereka). Kedua, ayat ini tidak menggunakan bentuk fi’il
mar’ruf dengan subyek penjelas, melainkan bentuk fi’il majhul yang
tidak menjelaskan siapa penggantinya.34
Munculnya teori penafsiran baru di kalangan sekte Ahmadiyyah, yang mengemukakan
bahwa Yesus mati secara wajar dan kuburan-Nya ditemukan di India,35
karena ketidakjelasan berita al-Qur’an sendiri mengenai akhir kehidupan ‘Isa
al-Masih.
Sebab selain ayat-ayat al-Qur’an menegaskan kenaikan ‘Isa ke langit,
pemberitaan mengenai kematian riil-Nya juga tidak kurang tegas. Teori
penggantian yang lebih populer diajarkan dalam kitab-kitab kuning dan dianut
kebanyakan umat Islam, juga mendapatkan ganjalan dari ayat-ayat yang menegaskan
kematian-Nya. Karena itu, ungkapan “mutawaffika” (mewafatkan engkau)
dalam surah Ali Imran/3:55, dalam sepanjang sejarah tafsir diartikan secara
berbeda-beda. Ada yang mengambil makna “menidurkan”,”memegang dan
menyempurnakan”, yaitu terkait dengan pengangkatan ‘Isa tanpa mengalami
kematian di kayu salib sesuai dengan surah an-Nisa’/4:157-158.
Sementara itu para penafsir lain mengatakan bahwa ungkapan tawaffa
adalah penghalus dari kata “mati”. Jadi mutawaffika maksudnya mumituka
(mematikan engkau). Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, mengutip pendapat-pendapat
‘Ulama terdahulu yang menganut paham bahwa ‘Isa sudah mati, antara lain
pendapat Qatadah:
Inni
rafi’uka ‘illaya wa mutawaffika, ya’ni ba’da dzalika.36
Artinya: “Aku
akan mengangkat engkau lebih dahulu kepada-Ku dan kemudian Aku mewafatkan
engkau sesudah itu.”
Makna ini diterima juga oleh Ibnu Abbas r.a menurut riwayat Ali bin Abi
Thalhah, tanpa menjelaskan kapan matinya: Inni mutawaffika ay mumituka.”Aku
mewafatkan engkau, yaitu mematikanmu”. Juga, Wahb bin Manabbih menurut riwayat
Ibnu Ishaq, mengatakan: tawaffihi llahi tsalatsa sa’at min awwal al-nahaar
haina rafa’ihi ilaih. “Allah mematikan dia selama tiga hari, kemudian
dihidupkannya kembali dan kemudian diangkatnya ke sisi-Nya”.37
Dari riwayat-riwayat tersebut, dibuktikan bahwa pada waktu dahulu masalah yang
dihadapi umat Islam sebenarnya bukan pada penyangkalan akan kematian ‘Isa
sendiri, baik yang dipercayai akan terjadi pada akhir zaman, maupun banyak
riwayat lain yang justru membuktikan bahwa kematian itu telah terjadi, tetapi
Allah menghidupkan kembali dan kemudian mengangkat ‘Isa ke sisi-Nya. Hal ini
sesuai dengan kata qabla mautihi (“sebelum kematian-Nya”) dalam surah
an-Nisa’/4:159 yang menegaskan kematian ‘Isa al-Masih. Para penafsir al-Qur’an
biasanya mengartikan kematian ‘Isa al-Masih itu terjadi pada hari kiamat.
Dengan demikian tafsiran ini disesuaikan dengan eskatologis hadits yang
menantikan kedatangan kembali ‘Isa pada akhir zaman untuk mengalahkan Dajjal,
dan kematian itu terjadi setelah ‘Isa menyelesaikan tugasnya sebagai Hakim yang
adil.
Jadi, ‘Isa belum mati pada masa dahulu, tetapi akan dimatikan Allah pada hari
kiamat. Tetapi kata yang mendahului ayat di atas: layu’minuna bihi (sungguh-sungguh
beriman kepada ‘Isa) di sini secara gramatika bukan menunjuk masa depan (istiqbal,
future tense) melainkan menggunakan kata kerja masa kini (mudhari’)
meskipun kejadiannya pada masa lalu. Dengan demikian, berimannya kaum ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam ayat tersebut terjadi pada masa hidup ‘Isa
bukan pada akhir zaman nanti.38
Dari uraian sekilas tersebut, persoalan sebenarnya pada sindroma salib, yang
agaknya mendapat dukungan dari surah an-Nisa’/157-159, meskipun ayat itu makna
sebenarnya masih kabur, dan konteksnya bahkan tidak sedang membicarakan iman
Kristen, melainkan reaksi atas kesombongan orang Yahudi. Salah satu buktinya,
para penafsir kuno tidak pernah keberatan bahwa ‘Isa sudah mati pada zamannya,
dan Allah telah membangkitkan kembali pada hari ketiga, asal saja kematian itu
tidak terjadi di kayu salib.
Dari uraian di atas, barangkali latar belakang ini dapat menjelaskan sindroma
“salib Kristus” di kalangan masyarakat Islam yang sangat mewarnai penilaian
mereka terhadap Kekristenan. Salah satu kitab kuning yang mungkin merekam salib
tersebut, dapat disebut misalnya Ta’lim al-Muta’allim, karya Syeikh
Zanuji, sebagai kitab panduan belajar santri yang sangat terkenal di pesantren:
Wa amma (anapun utawi) asbabu (pira-pira sebab) bisyani al-‘ilmi
(lali marang ilmu) fa aklu (mangka iku) al-kuzbati (mangan
tumbar) al-rrathbati (kang isih teles) wa aklu al-tufaa’i (lan
mangan buah-buah) al-haamidl (kang kecut) wa nanthararu (lan
ningali marang wong) ila al-mashlub (kang dipentheng)…39
Terjemahan:
Adapun
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang gampang lupa menghafal ilmu, antara
lain makan tumbar yang masih mentah, buah-buahan yang masam dan melihat kepada
salib …
Apakah karena dilatarbelakangi “sindron salib” ini, yang begitu kuat tanpa
disertai tafsiran yang cukup bernilai historis mengenai akhir hidup Yesus, dan
yang masih diperuncing oleh warisan perjumpaan kedua agama yang kurang
mengenakkan, telah melahirkan ejekan kepada Kekristenan di Jawa? "Aja
dadi Kristen (Jangan menjadi Kristen)”, begitu ejekan yang ditujukan kepada
orang-orang Jawa yang menjadi Kristen di Ngoro,”marga wong Kristen mengko
yen mati dipentheng” (sebab orang Kristen itu nanti matinya disalib). Kesan
ini cukup mencolok, tetapi agak kurang efektif menahan orang-orang Jawa dari
kultur abangan yang cukup besar melakukan konversi kepada Kekristenan, karena
kepercayaan bahwa Yesus adalah Ratu Adil yang lebih mengisi relung-relung
pengharapan dan degub kalbu kerinduan di dada mereka.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref1Tasawuf yang lazim diajarkan
di pesantren-pesantren adalah tasawuf Suni, khususnya diajarkan oleh Imam
al-Ghazali (wafat 1111M),bukan tasawuf Falsafi seperti yang antara lain dikenal
dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi. Antara kedua aliran tasawuf ini,diakui ada semacam
ketegangan. Kasus Syeh Siti Jenar pada salah satu aspeknya dapat dipandang
mewakili kedua aliran pemikiran ini. Di kalangan Nahdatul ‘Ulama, aliran-aliran
tarekat yang diakui masih berada dalam alur suni ini digabungkan dalam thariqah
al-Muktabarah. Dalam kaitan dengan pembahasan kita tentang citra Yesus
dalam Islam, dapat dikatakan bahwa tasawuf falsafi lebih liberal dalam
melakukan lompatan “bahasa teologis” ke dalam tradisi Kristiani. Misalnya, soal
metafora Anak Allah. Sedangkan dalam tasawuf suni yang lebih terikat dengan
bahasa teologis Islam, sehingga “passing over” semacam itu masih sulit terjadi,
lebih-lebih dengan alasan memelihara kemurnian ‘aqidah.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref2Imron Arifin, Kepemimpinan
Kiai. Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press, 1993),
h.47-48. Kajian lebih lengkap dapat dibaca: Zamakhsari Dhofir, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1984)
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref3Mrk R.Woodward, Islam Jawa,
Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: Lkis,1999).
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref4Clifford Geertz, The
Religion of Java (Chicago-London:The University of Chicago, 1960)
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref5Demikianlah misalnya
ditekankan dalam Jawahir al-Kalamiyah, bahwa kitab Taurat sudah dipalsukan dan
Injil tidak dapat dipercayai lagi karena banyaknya pertentangan dalam kitab
tersebut. Lihat: ‘Abd al-Hafidz, Tarjamah al-Jawahir al-Kalamiyah bi Lughat
al-Jawi (Surabaya:Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh, tanpa tahun),
h.32-44.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref6Menurut Geoffrey Parrinder,
penegasan al-Qur’an bahwa ‘Isa adalah Firman Allah yang diberikan kepada Maryam
dan Ruh dari-Nya tampaknya diarahkan kepada bidah-bidah Kristen tertentu,
khususnya melawan pengertian primitif bahwa Allah telah memperanakkan secara
jasmani ‘Isa melalui Maryam. Geoffrey Parrinder, Jesus in The Qur’an (New York:
Oxford University Press, 1977),p.45-51.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref7H.Muhammad Sa’id bin H.’Abd
al-Nafi’, Terjamah Tafsir al-Jalalain bi Lughat al-Jawi. Jilid I (Surabaya:
Syarikat Maktabah wa Mathba’at Ahmad bin Sa’id bin Nahban wa auladuh, tanpa
tahun),h.44
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref8Imam Ibnu Katsir al-Quraisyi
ad Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Jilid I (Beirut:Dar al-Fikr, 1412
H/1992),h.443-444.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref11Tafsir Jalalain bi Lughat
al-Jawi, Op.Cit,h.42.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref13Syaikh Muhammad “Abduh,
Risalah at-Tauhid (Kairo:Dar al-Hilal, 1963),h.27.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref14Dikutip oleh Abdiyah Akbar
Abdul Haqq, Sharing Your Faith with a Muslim ( Minneapolis, Minnesota: Bethany
House Publishers, 1990),p.68. Mengenai penekanan Mu’tazilah akan kemakhlukan
al-Qur’an dan hubungannya dengan teologi Kristen, lihat: Imam Muhammad Abu
Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Alih bahasa :Abu Rahman Dahlan
dan Ahmad Qarib (Jakarta : Logos Publishing House,1996),h.184-185.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref15S.H.Nasr, Islam dalam Cita
dan Fakta. Alih Bahasa: K.H.Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid
(Jakarta:LAPPENAS,1981).
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref17Tafsir Jalalain bi Lughat
al-Jawi, Op.Cit,h.42.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref18Abu Thahir Muhammad bin
Ya’qub al-Fairuzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas (Indonesia: Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,tanpa tahun),h.37.
http://www.angelfire.com/id2/yakos/Yesus.htm
- _ftnref19‘Allamah Asy Syeikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir an-Nawawi, Juzz I
(Surabaya:al-Hidayah,tanpa tahun),h.97. Ungkapan bahasa Ibrani Gan ‘Eden,
‘Taman Eden” (Kejadian 2:8).Sedangkan al-muqarrabun yang dalam al-Qur’an juga
dihubungkan dengan malaikat yang terdekat (Q.s.an-Nisa’/4:172), sejajar dengan
kerubim yang dalam tradisi Yahudi-Kristen dikaitkan dengan malaikat yang menjaga
taman Eden (Kejadian 3:24). Baik ungkapan qerubim maupun al-muqarrabin,
keduanya berasal dari akar kata yang menunjukkan kedekatan (Ibrani:kereb;
Arab:qarib,”dekat”).Karena para kerub adalah malaikat terdekat yang dihubungkan
dengan tahta Allah: Adonay Tsebaot yosyev ha-kerubim.”Tuhan semesta alam, yang
bersemayam di atas para kerub” (1 Samuel 4:4).
20 Kata ‘illiyin ini sejajar dengan bahasa Ibrani ‘elyon (yang
tinggi).Dalam bahasa Ibrani, kata ini biasanya menunjuk surga atau “Yang
Mahatinggi”(misalnya:El ‘elyon,”Allah yang Mahatinggi”).
22 Syeikh al-Allamah Hujjat al-Islam Abu Hamid bin Muhammad
al-Ghazali, Tarjamah Bidayat al-Hidayah (Surabaya:Maktabah al-Hidayah,tanpa
tahun),h.40.
23 Dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang sudah lazim bahwa Nabi
Muhammad disebut dengan shalallahu ‘alaihi wassalam, “shalawat Allah dan salam
atas beliau”(SAW), sedangkan nabi-nabi lain termasuk ‘Isa diberi sebutan
‘alaihissalam, “salam atas dia”(AS) saja. Tetapi kitab-kitab kuning seperti
yang salah satunya dikutip di atas tidak membedakan sama sekali.
24 K.H.Misbah bin Jaiz al-Mustafa, Ihya’ Ulumuddin bi al-Ma’na
al-Jawi. Juzz I (Pekalongan: Maktabah Raja Murah, tanpa tahun),h.52.
25 K.H.Asrar, Tarjamah Durat an-Nashihin. Jilid II (Pekalongan:
Maktabah wa Mathba’at Raja Murah,tanpa tahun),h.522.
31 Ihya ‘Ulumuddin, Juzz IV. Kisah ini dkutip oleh Idries Shah untuk
menekankan kedekatan tradisi Sufi Islam dengan sosok Yesus.Lihat: Idries Shah,
Meraba Gajah dalam Gelap. Sebuah dialog Islam-Kristen (Jakarta:Grafiti
Press,1978),h.25.
33 Mahmoud Mustafa Ayyoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam
Perspektif Islam (Yogyakarta:Fajar Pustakan Baru ,2001),h.105-153. Cf.Kamil
Husein, seorang penulis Arab-Muslim, malahan mengomentari teori ini: “No
cultured Muslim belivers in this nowadays.” Kamil Husein, City of Wrong.
Translated ini English by Kenneth Cragg (Amsterdam, 1959),h.222.
34 Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan (Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993),h.208-209.
35 Pencetus gagasan ini pertama kali Mirza Ghulam Ahmad, Nabi dan
pendiri sekte Ahmadiyyah, dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Urdu, Meshi
Hindustan Mein. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jesus in
India. Jesus escape from the Cross and his Journey to India (London:The London
Mosque,1978).
38 A.Hasan, Maulvi Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub, Officieel Verslag
Deebat antara Pembela Islam dengan Ahmadiyah Qadian (Jakarta:Jemaat Ahmadiyah
Indonesia,1986).
39 K.H.Misbah Zain al-Musthafa, Ta’lim al-Muta’allim li Zarnuji Rahmat
Allah. Tarjamah ila al-Lughat al-Jawiy (Surabaya: Maktabah Asy Syaikh Salim bin
Sa’d Nahban,tanpa tahun),h.65-66.
[1] Makalah disampaikan untuk melaksanakan tugas Mata Kuliah Filsafat
Ilmu : Dr. Phil. Sahiron Syamsudin : Program Pascasarjana (S2) Magister
Pendidikan Islam (M.Pd.I) 2009.
[2] Mahasiswa PPs UNSIQ Jawa
Tengah di Wonosobo Angkatan ke-3 smt 1.
[3] Ini bisa dilihat dari berbagai kitab `Ulûm al-Qur’ân yang
selama ini menjadi standar, misalnya Mannâ’ al-Khalîl al-Qaththân, Mabâhits
fî `Ulûm al-Qur’ân (t.tp.: Mansyûrât al-`Ashr al-Hadîts, 1973); Muhammad
`Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub,
t.th.).
[4] Riffat Hassan, “Women’s Interpretation of Islam”, dalam Hans
Thijsen (ed.), Women and Islam in Muslim Society (The Hague: Ministry of
Foreign Affairs, 1994), h. 116.
[5] Selengkapnya lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the
Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.Brill, 1974). Edisi Indonesia,
Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif
Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
[6] Tentang Abu Zayd dalam konteks studi Al-Qur’an baca kajian Moch Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd (Jakarta: Teraju, 2003). Buku ini berasal dari tesis penulisnya yang
ditulis dalam program S2 di Universitas Leiden Nederland dalam bahasa Inggris
yang kemudian diindonesiakan oleh penulisnya sendiri.
[7] Hassan Hanafî, Dirasât Islâmiyyah (Kairo:
Maktabat al-Anjilu al-Mishriyyah, 1981), hlm. 69.
[8] Mohamed Arkoun, al-Fikr al-Ushûlî wa
Istihâlah al-Ta’shîl (Beirut: Dar al-Saqi, 2002), h. 308.
[9] Masdar F. Mas’udi, “Rekonstruksi Al-Qur’an di Indonesia”, Makalah
yang dipresentasikan pada acara Semiloka FKMTHI di gedung PUSDIKLAT
Muslimat NU, Pondok Cabe, Jakarta Selatan, 2003, h. 4. Pemetaan tipologi nalar
ini berbeda dengan yang selama ini terjadi dalam aliran-aliran tafsir yang
dirumuskan berdasarkan ruang lingkup keilmuan. Misalnya, ada tafsir fiqhi,
tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir lughawi, tafsir al-`aqdi, tafsir
al-bathini, tafsir bi al-matsur, dan tafsir bi al-ra’yi. Lihat, Muhammad
`Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub,
t.th.); `Ali al-Ausi, al-Thabâthabâ’i wa Manhajuhu fî Tafsîrih (Teheran:
Mu`âwanah al-Riâsah lil`Alâqah al-Daulah fî Mundzimah al-Â`lam al-Islâmî,
1985).
[10] lihat, Fahd ibn `Abdurrahmân ibn Sulaimân al-Rûm, Ittijâhât
al-Tafsîr fî Qarn al-Râbi` `Asyr (Riyad: Maktabah Rusyd, 2002), jilid I.
Buku ini mengkaji tafsir-tafsir yang lahir pada abad 14 hijriah. Dari studi ini
terlihat bahwa nalar tafsir-tafsir tersebut masih terkungkung di dalam konteks
aliran fikih dan teologi. Perdebatan yang kuat masih memperjuangkan kesucian,
keadilan dan keagungan Tuhan.
[11] Muhammad `Âbid Al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî:
Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma`rifah fi al-Tsaqâfah
al-‘Arabiyyah (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabî, 1993), h. 306.
[12] Ibid., h. 315.
[13] Nashr Hâmid Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kairo:
Sina li al-Nashr, 1994), h. 926.
[14]Kajian tentang teologi di dalam Islam, terutama teologi di era
klasik, teologi Muktazilah, Asy’ariah, Qadariah dan Jabariah, sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kajian tentang problem penafsiran atas kitab suci
yang mereka lakukan. Hal ini penting disadari karena pertentangan antaraliran
di dalam sejarah Islam selalu mengaitkan diri pada dasar pijak yang sama, yaitu
teks Al-Qur’an. Ini berarti ada nalar penafsiran dan pilihan ayat yang berbeda
sehingga melahirkan paham-paham yang beragam.
[15] Hal ini bisa disimak dalam Farid Esack, Qur’an, Liberation &
Pluralism: An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity against
Oppression, 1997. Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia
berjudul Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung:
Mizan, 2000).
[16] Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”
Kata Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama
untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: P3M, 2004), h. xviii.
[17] Ibid., h. 94.
[18] Masdar F. Mas’udi, “Eksplorasi Paradigma dan Metodologi Islam
Emansipatoris”, Makalah, 2002.
[19] Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995), h. 198.
[20] Dalam teologi pembebasan lebih menekankan pada praksis daripada
teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang
ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi
dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”. Menafsirkan tauhid
bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia yang
tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat yang adil.
Selengkapnya, lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj.
Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[21] Masdar F. Mas’udi, “Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris”
Pengantar dalam Veri Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk
Praksis Pembebasan, h. xvii.
[22] Louis Brenner (ed.), Muslim Identity
and Social Change in Sub-Saharian Africa, 1993, h. 5-6).
[23] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), h. 284.
[24] Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and
The Emergence of Qur’anic Heremeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2,
no. 2, Desember 1991.
[25] Raif Khoury, al-Thahârah al-Qawmi al-`Arabî, Nahnu
Hummatuh wa Mukammiluh, dikutip oleh Asghar Ali Engineer, dalam Islam
dan Teologi Pembebasan, h. 5.
[26] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika
hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 248-9.
[27] Hassan Hanafi, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Al-Anjilu
al-Mishriyyah, 1981), h. 69.
[28] Shahîh Muslim, Kitâb Zakâh, hadis nomor 1648,
diriwayatkan dari Abu Hurairah.
مَا
مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهُ إِلاَّ أُحْمِيَ عَلَيْهِ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ فَيُجْعَلُ صَفَائِحَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبَاهُ وَجَبِينُهُ ….
0 comments:
Post a Comment