DALALAH
DALAM
PERSPEKTIF
MADZHAB
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh Perbandingan
yang
diampu oleh Bapak Arif al Wasim, M.S.I
Oleh
:
Misbahul
Huda
FAKULTAS
SYARIAH/HUKUM ISLAM (FSHI)
UNIVERSITAS
SAINS AL-QURAN(UNSIQ)
JAWA
TENGAH DI WONOSOBO
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nash Yang
Menjadi dalil hukum Islam baik dalam Al Qur’an maupun AsSunnah, keduanya adalah
menggunakan bahasa Arab. Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan
kemampuan memahami bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula.
Seseorang
yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut
harus betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul
kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena
itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau
dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Suatu teks
nash kadang-kadang dapat memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dari jalan-jalan
yang dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya (Thuruqud-Dalalahnya).
Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang
tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang
tersirat dibalik susunan kalimat itu.
Mencari illat
yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat
menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan
membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasionil.
Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun Ibarat, Dalaltul Isyarah,
Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’.
Pembicaraan
tentang Dalalah inipun merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni
pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya.
Memang Dalalah itu sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu.
Dalalah atau
petunjuk lafadh ini mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para
ulama’ Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan
pemakalah uraikan tentang Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
B.
Rumusan Masalah
Merunut pada
prolog di atas, maka pemakalah akan memberi batasan yang jelas dan tegas
mengenai permasalahan yang akan pemakalah tulis. Tema di atas memang begitu menarik
untuk dibahas dan juga sangat kompleks tetapi demi pemahaman atas tema bahasan,
alangkah arifnya jika pemakalah diperkenankan menawarkan rumusan masalah yang
mendasar yaitu:
- Apakah definisi dari Dalalah
itu?
- Apa saja macam-macamnya?
- Bagaimana dalalah menurut
madzhab-madzhab fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dalalah
Dalalah adalah
suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu
yang disebutkan pertama disebut madlul yang ditunjuk. Dalam
hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu
sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil yang menjadi
petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Adapun
pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu sendiri menurut
bahasa adalah maksud tertentu. Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa
Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain
petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah
hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah
lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh.
Contoh :
الصلاة (sholat). ini
namanya al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau
lughawi). Atau perbuatan yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam
(ma’na istilah). Maka penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
Pembahasan
Dalalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu dalil. Dalam mengambil
suatu dalil namanya istidlal (الأستدلال). Jadi antara al-dal,
al-madlul, Dalalah, dan al-istidlal itu tidaklah sama.
B.
Dalalah Menurut Dua Imam Mazhab (Ulama Hanafiyah Dan Ulama Syafi’iyah)
1. Dalalah menurut ulama Hanafiyah
Ø Dalalah Lafdhiyah
a. Dalalah Ibrotun Nash
Ialah petunjuk lafadz kepada suatu
arti yang mudah dipahami baik dari arti asli (arti yang mula-mula terpakai
dengan disusunnya lafadz itu dalam suatu nash ataupun arti tabi’i (arti lain
yang cukup jelas atau yang mudah dapat dipahami dari lafadz tersebut)
Sebagai contoh adalah ibarat
dalam Al-Qur’an misalnya firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:. “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).
Nash tersebut
menunjukkan, bahwa di antara perbuatan dzalim yang paling keji ialah memakan
harta benda anak yatim, dimana perbuatan tersebut adalah dosa yang menimbulkan
siksaan kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di dunia yang dilaksanakan oleh
pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi.
b. Dalalah nash
Ialah petunjuk lafadz kepada
berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafadz itu kepada peristiwa lain yang
tidak disebutkan hukumnya oleh suatu lafadz, illah yang dipahami dari lafasz
itu sama dengan illah suatu peristwa yang tidak disebutkan hukumnya.
Contohnya terdapat dalam firman
Allah SWT yang berbunyi:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Qs. Al-Isra’: 23-24)
Secara
eksplisit ayat tersebut menunjukkan tentang haramnya mengucapkan kata “ah”
kepada kedua orang tua. Bila ucapan ”ah” kepada kedua orang tua saja diharamkan
maka memukul dan mencerca serta segala perkataan dan perbuatan yang menyakitkan
hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan. Dalalah ini dapat difahami dari
nash ayat tersebut tanpa memerlukan sebuah istinbath.
c. Dalalah isyaratun nash
Ialah petunjuk lafdz kepada arti
yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman (kemestian) dari arti yang
dipahami dengan Dalalah ibrotun nash. Atau dengan bahasa Abu Zahroh, yaitu
dengan menyimpulkan dari arti yang dipahami dengan Dalalah iabrotun nash.
Sebagai contoh firman
Allah SWT yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)
Maksudnya
adalah memberi sifat terhadap catatan dengan benar, memberikan pemahaman secara
jelas bahwa apa yang ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang yang
mengimlakkan. Dan secara implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu
dapat dijadikan Argumentasi (data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia
tidak dapat terhadap apa-apa yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak
didustakan.
d. Dalalah iqtidhaun nash
Ialah yang mengandung suatu
pengertian dalam suatu hal yang tidak disebutkan lafadznya untuk ketepatan
artinya diperlukan suatu ungkapan (lafadz).
Misalnya firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا
فِيهَا
Artinya: Dan
tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami
datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”.
(Q.S.Yusuf:82)
Menurut dzahir ungkapan ayat
tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada
“kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan
sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu
dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung” yang dapat ditanya dan
memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang”
sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi orang-orang dalam “kafilah” yang
memungkinkan memberikan jawaban.
Ø
Dalalah Gairu Lafdhiyah
Dalalah
Ghairu Lafdhiyah adalah dalalah yang bukan lafadh, yaitu dalil yang digunakan
bukan dalam bentuk suara, bukan lafadh, dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal
ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuara”, sesuatu dapat pula memberi
petunjuk pada sesuatu. Contohnya “raut muka” seseorang mengandung arti
tertentu.
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:
a. ان يلزم عن مذكور مسكوت عنه
Artinya
adalah Lazim (harus ada) dari hukum yang disebutkan, suatu hukum bagi yang
tidak disebutkan (maskut ‘anhu).
Dalam suatu hukum yang tersurat
dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadh itu.
Contohnya:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ
إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Artinya: Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga. (Q.S.An-Nisa’:11)
Ibarat nash
dari ayat ini adalah ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima
sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, nemun dari
ungkapan ayat ini, dapat dipahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga
yaitu, dua pertiga.
b. دلالة حال الساكت الذي كانت وظيفته البيان مطلقا
Dalalah (petunjuk)
keadaan diamnya seseorang yang fungsinya untuk memberikan penjelasan seseorang
yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu namun ia dalam
keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula
seseorang yang diberi tugas suntuk melarang sesuatu perbuatan tapi sesuatu saat
ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja.
Diam nya itu memberi petunjuk atas suatu hukum.
Dalam hal ini
adalah izin untuk melakukan perbuatan itu. Sebab kalau perbuatan itu dilarang,
tentu ia tidak akan tinggal diam ketika melihat perbuatan tersebut. Karena ia
bertugas memberikan penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diam
nya itu memberikan izin untuk berbuat.
c. اعتبار سكوت الساكت دلالة كالنطق لدفع التغرير
Memandang
diam orang diam itu, satu petunjuk, sama dengan tuturannya, untuk menolak
penipuan.
Contohnya, seorang wali anak
bersikap diam saat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan
yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di bawah
pertaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya,
tidak hanya diam semata.
Namun, karena
jual beli itu sudah berlangsung dan kalau tidak mendapat persetujuan dari
walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah yang akan merugikan pihak lain.
Dalam rangka menghindari kerugian dari pihak lain maka meskipun wali itu hanya
diam tetapi sudah sah.
d. دلالة المسكوت على تعيين معدود تعورى حذفة ضرورة طول الكلام
بذكره
Dalalah diam
terhadap penentuan bilangan yang biasa dibuang (tidak disebut) dalam
pembicaraan.
Contoh dalam hal ini biasanya
muncul dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam bahasa Arab bila
seseorang berkata:
ارز وصاع من مائة (seratus dan satu gantang
beras).
Dalam pemakaian bahasa Arab yang
lengkap seharusnya dijelaskan dengan ucapan: مائة
صاع وصاع yang kalau yang kita terjemahkan menjadi:’
seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan 101 gantang. Namun
telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka menghindarkan
panjangnya ucapan.
2.
Dalalah menurut ulama Syafi’iyah
a.
Dalalah Mantuq
Ialah petunjuk lafadz kepada arti
yang disebut oleh lafadz itu sendiri. Atau apa yang ditunjukkan oleh lafadz
tentang apa yang dibicarakan. Syekh Muhammad Al Kkhudlari membagi Dalalah
mantuq kepada dua bagian yaitu, mantuq sharih dan ghairi sharih.
1). Dalalah Manthuk Sharih, yaitu pentunjuk
lafadz kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadz tersebut misalnya
dalam firman Allah Swt :
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya : maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah..(QS. 17 : 23)
Lafadz pada ayat diatas, secara
tegas menunjukan keharaman berkata kasar kepada kedua orang tua.
2). Dalalah Manthuk Ghoiru Sharih, yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut.
Arti yang ditunjuki dengan adalah manthuk
ghoiru sharih ini dapat berupa :
a) petunjuk lafadz kepada keharusan
adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran atau atau keabsahan suatu
pembicaraan sangat tergantung kepadanya. Dalalah-Dalalah semacam ini, menurut
ulama hanafiah disebutkan dengan Dalalah iqtidlaun nash. (untuk contohnya
periksa pada contoh dari Dalalah iqtidlaun nash).
b) Petunjuk lafadz kepada arti yang
disertai dengan sifat yang merupakan ’ illah (alasan) bagi adanya arti
tersebut, seandainya sifat bukan merupakan illahnya, maka tidak ada gunanya
dengan menysbutkan itu. Seperti dalam firman Allah Swt:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya : ” laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri. Potonglah tangan keduanya..” (QS. 5 : 38).
b.
Dalalah Mafhum
Dalalah mafhum ialah petunjuk lafadz
kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadz tersebut, tetapi dari faham
tersebut tersirat di dalam. Dalalah mafhum terbagi dua macam, yaitu Dalalah
mafhum muwafaqah dan Dalalah mafhum mukhalafah.
1) Dalalah Mafhum Muwafaqah
Dalalah mafhum muwafaqah adalah
pengertian yang menunjukan lafadz kepada berlakunya arti (hukum) sesuatu yang
disebutkan oleh lafadz atas suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya oleh
lafadz yang disebutkan karena antara keduanya terdapat persamaan ’illah hukum
ini adalah semata-mata difahami dari segi bahasa dari lafadz tersebut – bukan
diambil dengan jalan ijtihad.
2) Dalalah Mafhum Mukhalafah
Dalalah mafhum mkhalafah adalah
pengertian lafadz kepada berlakunya arti (hukum) yang disebutkan dalam nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafadz. Dalalah
mafhum mukhalafah ini disebut juga dengan dalilul khitab. Dalam Dalalah mafhum
mukhalafah dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu ; mafhum laqob, mafhum
hasshr, mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum ’adad.
a) Mafhum Laqab.
Mafhum laqab ialah menetapkan hukum
sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam
suatu nash, sebagai contoh dari sabda Rasulullah Saw. Artinya : pada gandum
dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak
dikenakan kepada selain gandum.
b) Mafhum Hasr
Mafhum hasr merupakan hukum
sebaliknya dari pada hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz
dalam suatu nash. Contoh sabda Nabi, artinya: hanya syuf’ah itu terdapat pada
suatu (benda tetap) yang belum dibagi.
c) Mafhum Shifat.
ialah petunjuk lafadz yang diberi
sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum
yang disebutkan oleh lafadz itu, pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang
disebutkan oleh lafadz tersebut. Contoh firman Allah (an-Nisa: 25)
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ
طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ
artinya: dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.
d) Mafhum Syarat
Ialah petunjuk lafadz yang
menfaedahkan adanya hukum yang dihubugnkan dengan atau syarat supaya dapat
berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak
memenuhi syarat yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman Allah
(at-Tholaq: 6)
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ
فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
artinya: dan jika mereka (para istri
yang ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkah hingga mereka
melahirkan.
e) Mafhum Ghoyah
ialah petunjuk lafadz yang
menfaedahkan sesuatu hukum samapi dengan batas yang telah ditentukan, apabila
telah melewati batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya. Contoh
firman Allah (al-Baqoroh:230)
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ
مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
artinya: kemudian jika suami
mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain.
f) Mafhum ’Adad
Ialah petunjuk lafadz yang
memfaedahkan suatu pengertian dinyatakan oleh hukum yang dengan bilang tertentu
dan akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu
yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafadz itu. Contoh firman
Allah (an-Nur : 2)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
artinya: perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali.
C.
Kekuatan Hujjah Dalalah
Empat macam
Dalalah yang telah disebutkan di atas tadi khususnya yang dalalah lafdhiyah
dapat dijadikan pegangan ataupun hujjah untuk menentukan arti suatu nash dalam
suatu penetapan hukum, hanya saja kekuatan di antara empat macam Dalalah
tersebut bertingkat-tingkat. Tingkatan Dalalah-Dalalah tersebut dalam
Istinbath hukum tidaklah sama. Dalalah Ibarat (eksplisit) yang paling
kuat, dan Dalalah iqtidha’ yang paling lemah. Menurut Madzhab Hanafi,
tingkatan Dalalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalalah.al-Ibarah
2. Dalalah.al-Isyarah
3. Dalalah.an-Nash
4. Dalalah.al-Iqtidha’
2. Dalalah.al-Isyarah
3. Dalalah.an-Nash
4. Dalalah.al-Iqtidha’
Dengan urutan-urutan
ini maka apabila dalam suatu peristiwa terjadi pertentangan arti yang dipahami
dengan Dalalah yang satudengan arti yang dipahami dengan dalalah yang lain, maka
didahulukan arti yang dipahami dengan dalalah yang lebih kuat. Jadi arti yang
dipahami dengan Isyarotun Nash didahulukan dari pada arti yang
dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.
Sebagai
contoh, pertentangan antara arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun
Nash, dari ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; (QS. Al-Baqarah:178).
Arti yang
dipahami dengan dalalah ibrotun nash dari ayat di atas yaitu bahwa pembunuh
baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja wajib dikenai hukuman qhishos.
Sedangkan dalam ayat yang lain disebutkan:
Artinya: Dan barangsiapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam,
kekal ia di dalamnya ….(Q.S, an-nisa’: 93).
Arti yang
dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash dari ayat di atas adalah bahwa
pembunuh dengan sengaja tidak dikenai hukuman qishas, sebab Allah SWT telah
menentukan balasannya, dengan demikian terjadilah pertentangan antara arti yang
dipahami dari kedua ayat di atas.
Dalam hal ini
dipilih arti bahwa pembunubh dengan sengaja wajib dikenai qishas, sebab arti
ini dipahami dengan Ibarotun Nash, dan arti yang dipahami dengan Ibarotun
Nash maka harus didahulukan dari arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah
yang lain.
Para Ulama sepakat bahwa mafhum
laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini
dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya;
yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun
tidak ada seorangpun para ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada
hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah
hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah
yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad,
ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan
ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak bertentangan
dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ
خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh
membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah,
karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
2. Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa.
Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai
dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah
(an-Nisa: 23)
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut
dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak
boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga
hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ
اللَّهُ لَهُمْ
d. Pembatasan hukum yang tersebut
dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya
tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang
mencari makan sendiri dikenakan zakat”.
Alasan ulama yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi
hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
3. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak
bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq
dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan
Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ
لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
Artinya: “Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu
bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia
disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum mukhalafah
nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ
اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ : رواه البخارى مسلم
Artinya: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaknya
ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al Baqarah: 187)
Kait dalam masjid-masjid mafhumnya
yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah menunjukkan b ahwa bagi
orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan isterinya.
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
5. kait tidak menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu kebiasaan yang umum, maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak istrimu yang
dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat Ali Imran: 130).
Kait dengan berlipat ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba. Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat ganda itu hukumnya mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan
banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi
hujjah.
Contoh ayat:
إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
Artinya: “Kendati pun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak
akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.
Kait tujuh puluh kali tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas, artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik). Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh puluh kali lalu mereka diampunkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai
penjabaran di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa jalan yang digunakan
oleh Imam Hanafi dalam mengambil petunjuk suatu nash, dibagi menjadi dua cara:
yang pertama yaitu menggunakan Dalalah Lafdhiyah yang kemudian dirinci menjadi
empat, antara lain: Dalalah ‘Ibarah, Dalalah ‘Isyarat, Dalalatun Nash, dan
Dalalatul ‘Iqtidha. Sedangkan cara yang kedua yaitu menggunakan Dalalah
Ghairu Lafdhiyah. Itu semua bertujuan untuk memahami makna ataupun kandungan
dari ayat Al-Qur’an, kemudian hasil dalalah nash tersebut menjadi dalil hukum
yang wajib diamalkan.
Dalam
memahami kandungan makna Al Qur’an, Imam Hanafi menggunakan
pengertian-pengertian yang diperoleh melalui-jalan tersebut merupakan
“Madlul Nash” (hasil penunjuk nash) dan nash tersebut menjadi
dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya setiap orang yang dikenakan nash
dibebani pula mengamalkan petunjuk dari nash tersebut.
Dan menurut
madzhab selain Hanafi (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali) dalalah dibagi dua yaitu
mantuq dan mafhum yang masing-masing terbagi dua yakni mantuq sharih dan ghairu
sharih serta mafhum muwafaqoh dan mafhum mukholafah.
Demikian
makalah yang berisi tentang pembahasan mengenai Dalalah Menurut Mazdhab
Hanafiyah pemakalah sampaikan. Pemakalah yakin di dalam pembuatan makalah
ini masih banyak kesalahan dan kekurangan karena keterbatasan pemakalah dalam
memahami dan menelaah. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif
sangat pemakalah harapkan. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Wassalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
Rahman, Drs. H. Asymuni A., dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986.
Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Yahya, Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus,1986.
Zahrah, Muhamad Abu., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
0 comments:
Post a Comment