Loading...
16 Sept 2012

Pesantren Dan Psikologi Kaum Santri

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Pesantren dan Psikologi Kaum Santri

Pengembangan implikasi pengetahuan lokal terkait dengan bentuk-bentuk pengasuhan psikologis seperti konseling dan terapi, secara indigenous berkembang ke ranah subkultur yang bervariasi. Peluang konseling akan meluas dan muncul bersamaan dengan ketrampilan orang untuk memberikan bentuk-bentuk pelayanan psikologis sesuai dengan konteks dunia tempat di mana hubungan antar orang itu terjalin dalam kultur dan dinamika kemasyarakatan yang lebih spesifik.

Pesantren sebagai subkultur memiliki identitas yang menggambarkan suatu realitas kehidupan dan berbagai miniatur makna psikologis yang unik. Ia melahirkan hibriditas kaum santri yang menurut Wahid (2001) sebenarnya tidak mewakili subkultur tertentu dari kultur masyarakat Indonesia karena pesantren memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia di luarnya. Pesantren memiliki kelengkapan nilai, bangunan sosial, dan tujuannya atas watak lokal yang dirajut oleh kerangka fenomenologis komunitas santri guna mencapai kualitas kemanusiaan yang powerfull melalui penguatan dimensi intelektualitas, moralitas, religiusitas, spiritualitas dan kemasyarakatan. Pesantren bahkan merupakan ajang pertapaan (zuhud) sekaligus medium penempa kemandirian dan kesalehan hidup bagi penghuni (santri) yang memiliki makna holistik membimbing kematangan kepribadian, memberikan kesempatan muhasabah dalam waktu yang cukup lama yang dipraktikan melalui cara hidup keseharian, hubungan keilmuan yang didasari oleh tawadhu’ dan punya keragaman pembelajaran, pembiasaan menuju kematangan melalui cara hidup sederhana, melalui ritus-ritus yang direplikasi secara emosional, psikologis dan spiritual sehingga kebiasaan itu memberikan konstribusi kekayaan psikologis kaum santri untuk siap menjadi pribadi yang matang.


Sahdan. Pesantren adalah laboratorium pelatihan diri, merajut pembentukan watak santri, pembelajaran diri, penataan instrumentasi nilai-nilai hidup, mengonstruksi masa depan dalam ranah cita-cita dan kebijaksanaan sehingga kehidupan kolektifnya adalah basis riil bagi tumbuh sumburnya pedoman dan teknik pengembangan diri yang sebenarnya merupakan praktik langsung dari sebuah proses terjadinya konseling dan terapi lokal. Proses ini lebih mengakar dalam fenomenologi kesadaran santri sehingga dalam kerangka pengasuhan dan penyembuhan bentuk-bentuk problema psikologis, pesantren memiliki landasan historis-antropologis untuk menyelesaikan sendiri persoalan yang dihadapi oleh kaum santri. Titik pijak dan kesadaran psikohistoris semacam ini perlu didaurulang, direplikasi untuk tujuan kontekstualisasi psikodinamika kepribadian santri sehingga pesantren tidak harus menoleh dan melirik asupan teknik psikologi populer yang terjebak pada perayaan pasar populer pengasuhan psikologis yang temporer dan bahkan pejoratif dalam kesadaran semu.

Pesantren memiliki local genius dan pengalaman historis yang menopang rajutan emosional, religiusitas, spriritualitas, dan kemasyarakatan. Habitat unik pesantren semacam ini penting digali. Psikoislamika untuk volume 5 nomor 2 kali ini mencoba mengurai secara kritis basis fenomenologis bagaimana pesantren membentuk dirinya dalam jaringan makna personal dan sosial komunitas santri dan membibit kematangan psikologi santri melalui berbagai ragam kreatifitas lokal terkait dengan pengasuhan dan penyembuhan psikologis yang lebih spesifik dan terfokus sehingga akan dikenali sebuah produksi generasi yang lahir bukan karena kecenderungan psikologis yang penuh kelatahan dan imitatif, tetapi mengoordinasi kekuatan kearifan lokal sebagai basis orisinal yang telah mengakar dimiliki oleh pesantren untuk pelayanan psikologis yang lebih mandiri dengan semangat “al-muhafadhatu ala al-qadim al-shalih ma’a al akhdu bi al-jadidi al-ashlah”.

0 comments:

 
TOP