Loading...
24 Aug 2012

Makalah Tahfizd

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
RENCANA DAN STRATEGI MATA KULIAH TAHFIDZUL QUR’AN

 BAB I 
PENDAHULUAN

Waktu adalah modal terbesar bagi seseorang dan merupakan pokok kehidupannya. Karena begitu pentingnya waktu bagi seorang muslim maka Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya, "Demi waktu Ashar", "Demi waktu Fajar", "Demi waktu Dhuha", "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari", "Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)", dan lain sebagainya yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur'anul Karim. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, "Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya; Yaitu kesehatan dan waktu luang". (HR. Imam al Bukhari). Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata menggambarkan tentang kehidupan, "Tahun adalah ibarat pohon.Bulan adalah cabang-cabangnya.Hari-hari adalah dahan-dahannya. Jam adalah daun-daunnya. Nafas-nafas adalah buahnya.Maka barangsiapa yang tarikan nafasnya berada dalam ketaatan, maka buahnya adalah pohon yang berbuah baik.Dan barangsiapa yang tarikan nafasnya berada dalam kemaksiatan maka buahnya adalah pohon yang buahnya pahit rasanya.

 BAB II 
PEMBAHASAN

Sesuatu yang paling layak untuk dihafal adalah Al-Quran, ia merupakan firman Allah, pedoman hidup umat Islam, sumber dari segala sumber hukum, dan bacaan yang paling sering diulang-ulang oleh umat muslim. Mahasiswa sebagai calon intelektual muslim hendaknya meletakkan hafalan Al-Quran sebagai prioritas kegiatannya. Inilah intisari dari pemikiran Imam Yahya bun Syaraf An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu”: “ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. Kalau sudah hafal Al Quran, berhati-hatilah dalam menyibukkan diri mempelajari hadis dan fiqh atau pelajaran lainnya, yakni kesibukan yang bisa menyebabkan hilangnya sebagian hafalan Al Quran atau beerpotensi lupa. “ Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66 Faktanya tidak semua orang yang memiliki niat untuk menghafalkan al-Quran mampu merealisasikan niatnya, juga tidak semua orang yang menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak semua orang yang hafal 30 juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar dan baik. Demikian juga, tidak semua hafidz diberikan karunia untuk menjadikan hafalannya sebagai dzikir yang selalu dilantunkannya secara istiqamah sampai akhir hayatnya. Untuk itul, perlu kiranya seorang mahasiswa melakukan pengaturan (manajemen) secara sistematis, agar target yang direncanakan bisa tercapai, dengan beberapa menejemen,metode atau strategi yang akan saya bahas selanjutnya. 
  1. Rencana Tahfidzul Qur’an.
A.Berbicara tentang rencana mata kuliah Tahfidzul Qur’an, tentunya sebuah hal yang sulit untuk diuraikan, namun lebir berat lagi, mengamalkan sesuatu yang telah terencanakan. Mulai dari sebisa mungkin membuang rasa malas, memanfa’atkan waktu dengan baik dan apa-apa yang menjadi batu sandungan dalam menghafal Al-Qur’an.Mungkin dengan cara menghilangkan noda-noda hitam yang selama ini mengotori hati, sebuah Ghirroh untuk menghafal bisa hidup kembali dan tumbuh lebih baik lagi, salah satu cara untuk menghidupkanyayaitu dengan sebuah spiritual, mulai dari muhasabah binnafsi dan lain-lain, semoga dengan hati hidup, penyakit-penyakit hatipan akan hilang termasuk yang namanya kemalasan. Untuk menghidupkan hati juga bisa dengan menghayati sisi-sisi religious yang tinggi. Dengan program ini rasa malas sedikit demi sedikit akan hilang dan semoga terbebas dari jeratan setan.

B.Manajemen niat.

Bagi mereka yang pernah menghafal, baik hingga selesai maupun berhenti di tengah perjalanan, pasti mempunyai motivasi-motivasi tertentu, atau paling tidak, ada mitos-mitos yang menggerakkan hati dan pikiran untuk menghafal. Adakalanya mereka termotivasi oleh adanya pemuliaan, penghormatan dari masyarakat, kemudian tergerak hatinya untuk meraih ‘prestise’ tersebut. Atau juga karena tergiur dengan predikat sebagai calon penghuni surga yang kelak bila meninggal jasadnya akan tetap utuh. Bisa juga termotivasi oleh hidup “glamour”nya para hafidz yang sering mendapatkan job “khataman” serta pulang dengan membawa berkat dan amplop tebal. Patut disyukuri memang, gara-gara motivasi dan mitos di atas, banyak dari mereka yang akhirnya bisa hafal al-Quran dengan baik. Hanya saja, secara normatif-etis mitos-mitos itu jelas tidak bisa dibenarkan secara aqidah sebab lebih mendahulukan li ajlin naas-nya daripada li ajlillaah. Ini berbahaya, al-Quran yang semestinya sebagai al-huda, al-furqan, adz-dzikr telah dimanipulasi menjadi sumber penghasilan (ma’isyah), atau sebagai wahana unjuk kehebatan dan kesalehan. Biarlah, yang sudah terjadi biarlah berlalu, selanjutnya ditata kembali dengan niat yang lebih ikhlas. Sebenarnya yang paling esensi dari al-Quran adalah pesan yang dikandungnya. Ibarat secarik kertas yang berisi route perjalanan bagi seorang musafir. Kalau kertas tersebut hanya dibaca keras dan tidak berusaha difahami isinya, sangat mungkin orang itu akan tersesat. Demikian halnya seorang muslim yang hanya menjadikan al-Quran sebagai mantra, jimat, ornamen, dan tidak memposisikannya sebagai pesan ilahi, oleh Allah ia laksana keledai yang dipundaknya dipenuhi buku-buku, kamatsalil himar yahmilu ashfara. Konsekuensi dari motivasi yang salah tersebut, sering seorang hafidz itu menonjolkan performance inklusif agar dimuliakan orang lain atau dia enggan bekerja ‘kasar’ sebagaimana orang kebanyakan, khawatir akan menurunkan kredibilitas kehafidzannya. Lebih-lebih lagi, na’udzubillah, ada hafidz yang mempromosikan diri supaya diundang khataman, sambil melakukannya dengan bacaan hadr (super cepat) dan membayangkan berapa honor yang akan diterimanya. Bisa jadi, akhirnya dia pulang menggerutu, bila ternyata bisyarah yang diterimanya lebih kecil dari yang terbayang. Tidak sedikit pula, hafidz yang ‘malas’ memahami isi kandungan al-Quran, bahkan isi surat-surat pendek pun tidak tahu artinya, meski sudah hafal puluhan tahun. Hendaknya yang dijadikan target utama dari menghafal adalah kemamampuan memahami al-Quran. Kompetensi hafalan merupakan wasilah (media) efektif untuk lebih memahami al-Quran secara holistik (menyeluruh). Tidak sebaliknya, sesuatu yang semestinya sebagai media dijadikan tujuan (ghayah).

C.Memanfa’atkan waktu.

Allah memberikan masing-masing waktu dengan keutamaan dan kemuliaan yang berbeda-beda, diantaranya ada waktu-waktu tertentu yang sangat baik untuk melakukan sesuatu yang akan kita kerjakan, seperti contoh menghafal Al-qur’an dan lain-lain. Akan tetapi kebanyakan orang menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut.Mereka mengira bahwa seluruh waktu memiliki nilai yang sama dan tidak berbeda. Bagi setiap muslim seharusnya memanfaatkan waktu-waktu yang utama dan mulia dengan sebaik-baiknya, agar mendapatkan kemanfaatan kesuksesan, keberuntungan, kemenangan dan keselamatan. waktu yang tidak digunakan dengan baik maka akan terbuang untuk perkara yang sia-sia. Semua orang merasakan hal itu.Maka jika seseorang tidak mengisi waktunya dengan kebaikan, seperti pada waktu liburan atau waktu luang pada hari-hari biasa.Malah di habiskan waktunya untuk kejelekan. Orang yang tidak mengambil faedah dari waktu mereka, menyia-nyiakannya untuk perkara yang merugikan, maka waktunya itu akan menjadi padang rumput bagi syetan-syetan yang senantiasa membolak-balikkannya dalam kesesatan.

Menjauhi Maksiat dan Dosa Hati yang penuh dengan kemaksiatan dan sibuk dengan dunia, tidak ada baginya tempat cahaya al-Qur’ân.Maksiat merupakan penghalang dalam menghafal, mengulang dan mentadabburi Al-Qur‘ân.Adapun godaan-godaan setan dapat memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. (Qs al-Mujâdilah/58:19). Abdullah bin Al-Mubarâk meriwayatkan dari adh-Dhahhak bin Muzâhim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorang pun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala :
(Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy- Syûra/42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (Qs al-Muthaffifin/83:14). Barang siapa menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan hatinya untuk selalu mengingat-Nya, mencurahkan hidayah kepadanya dalam memahami ayat-ayat-Nya, memudahkan baginya menghafal dan mempelajari Al-Qur‘ân, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs al-’Ankabût/29:69).

D.Manajemen strategi/metode.

Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al-Quran, Masing-masing orang akan mengambil metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Di sini akan disebutkan dua metode yang sering dipakai oleh sebagian penghafal, dan terbukti sangat efektif, yaitu: Metode Pertama: Menghafal satu persatu halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara Kudus). Kita membaca satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga atau lima kali secara benar, setelah itu kita baru mulai menghafalnya. Setelah hafal satu halaman, baru kita pindah kepada halaman berikutnya dengan cara yang sama. Dan jangan sampai pindah ke halaman berikutnya kecuali telah mengulangi halaman-halaman yang sudah kita hafal sebelumnya. Metode Kedua : Menghafal per- ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begitu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama.

E.Manajemen istiqamah.

Setelah Al-Quran dihafal secara penuh (30 juz), seringkali seorang hafidz disibukkan oleh studinya, atau menikah atau sibuk dengan pekerjaan, dan tidak lagi mempunyai program untuk menjaga hafalannya kembali, sehingga Al-Qur’an yang sudah dihafalnya beberapa tahun, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. ia merasa berat untuk mengembalikan hafalannya lagi. Yang terpenting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita melestarikan hafalan tersebut agar tetap terus ada dalam dada kita. Sering diungkapkan bahwa tugas seorang hafidz adalah menjaga hafalan. Istilah “menjaga hafalan” ini sebenarnya cenderung negatif, sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu tugasnya seperti petugas security (Satpam) yang hanya menjaga tidak menikmati apa yang dijaganya. Bayangan yang muncul dibenak masyarakat umum, bahwa menghafal al-Quran itu identik dengan menambah beban hidup menjadi lebih berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan “melestarikan hafalan atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai sarana hiburan diri. Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al-Quran, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya. Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam shalat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa lebih ringan, hendaknya setiap shalat dibagi menjadi dua bagian, sebelum shalat dan sesudahnya. Misalnya, sebelum shalat: sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum azan agar waktu untuk mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah shalat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da shalat atau dzikir pagi pada shalat shubuh dan setelah dzikir selepas shalat Asar. Seandainya saja, ia mampu mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak seperempat juz dan sesudah shalat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia boleh mengulangi hafalannya sebanyak dua juz setengah.
F. Manajemen tempat Tempat yang kondusif akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kesuksesan menghafal. Mereka yang tinggal di lingkungan yang cuek atau bahkan anti dengan bunyi-bunyian al-Quran akan merasa canggung untuk menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka yang tinggal di pesantren khusus tahfidz, akan merasakan sebuah lingkungan yang kondusif, mau menghafal kapan saja dan dimana saja dan dengan cara apapun, tidak ada problem. Secara umum, tempat yang paling kondusif untuk menghafal adalah masjid. Namun, kadang masing-masing orang memiliki selera dan tingkat kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan alternatif tempat lain yang sunyi, seperti: di sawah, sungai, gunung, pesisir. Ada juga yang menghafal di dekat makam ulama-ulama terkenal, seperti di makam syeikh Hasyim Asyari Jombang yang sering dipakai tempat menghafal oleh santri-santri Pesantren “Madrasatul al-Quran”. Ketika seseorang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi soal. Sebab, ia bisa melakukan murajaah di manapun; di atas pesawat, motor, mobil atau di tempat keramaian sekalipun. Terutama, saat al-Quran sudah dapat dimasukkan ke ponsel (HP), dengan begitu tidak ada lagi rasa “sungkan” membawa dan membaca al-Quran di tengah kerumunan massa. Tentu, itu dilakukan dengan suara pelan yang tidak sampai mengusik atau menyita perhatian orang lain.

BAB III

 PENUTUP

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa rasa malas merupakan penyakit hati yang bisa menghancurkan segalannya.Oleh karena itu kita harus menghidupkan hati kita untuk memberantas penyakit ini, dan memanfa’atkan sebuah waktu dalam kehidupan sehari-hari, karana hidup laksana “Tahun adalah ibarat pohon.Bulan adalah cabang-cabangnya.Hari-hari adalah dahan-dahannya. Jam adalah daun-daunnya. Nafas-nafas adalah buahnya.Dengan begitu barangsiapa yang tarikan nafasnya berada dalam ketaatan, maka buahnya adalah pohon yang berbuah baik.Dan barangsiapa yang tarikan nafasnya berada dalam kemaksiatan maka buahnya adalah pohon yang buahnya pahit rasanya. Demikianlah makalah ini kami buat, bila masih ada banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karna itu sebuah kritik dan saran sangat saya nantikan.Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi orang yang bersedia membaca pada umumnya. “Wallohu A’lam Bisshowaaab” 

 DAFTAR PUSTAKA
 Risalah Syarah Hadits Syaddâd bin Aus, karya Imam Ibnu Rajab
 Rahmatullah, Azam Syukur, S.H.I, M.S.I, M.A, Psikologi Kemalasan. Kebumen: Azkiya Media. 2010 
3. Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Ashal Nidham Li Hifdhi Al-Quran, ( Kairo, Maktabah Al Islamiyah, 2002 ) Cet. Ketiga
 4. Abu Dzar Al Qalamuni, ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al-Quran, ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitsam, 1998 ) Cet Pertama

0 comments:

 
TOP