Loading...
15 Dec 2012

Alquran,Tafsir,dan Kesetaraan Gender

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Oleh: Lutfil Kirom A NABI Muhammad merupakan pionir dalam pembebasan ketertindasan perempuan yang terjadi di Arab pada zaman jahiliyah. Akan tetapi, saat ini disebabkan masih kuatnya budaya patriaki, ternyata membuat perempuan muslim lebih banyak yang termarjinalisasi dalam ruang domestik dan sosial-politik. Lebih-lebih dalam lingkup ibadah. Lagi pula masih adanya pandangan bahwa persentase akal perempuan hanya 1 persen, sedangkan, 99 persen lainnya dikuasai oleh emosi. Adapun laki-laki sebaliknya. Maka, tidak mengherankan perempuan lebih cenderung bertindak emosional, sehingga logis jika mereka tak diberikan tanggung jawab di luar batas kemampuan "kodrati" tersebut. Ironisnya, masih ada perempuan yang membenarkan pandangan tersebut. Bahkan mereka menjadikan ayat-ayat Alquran untuk menjustifikasi ketidakmampuan diri dan berperilaku bak Cinderella yang harus dilindungi, dijaga, dan diperhatikan. Kondisi ini berakibat munculnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Baik disadari atau tidak oleh korban dan pelaku. Tanpa disadari, telah terjerumus dalam praktik misoginis yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara kasar maupun halus. Bahkan, pihak perempuan mengalami kekerasan fisik maupun mental. Dalam lingkup keluarga, misalnya, ternyata kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagi masyarakat Indonesia bukanlah fenomena baru. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mengatakan bahwa 11,4 persen dari penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Sementara menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2 persen perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum. Sedangkan mayoritas (45,2%) memutuskan pindah rumah dan hanya 10,9 persen memilih diam. (Gadis Arivia : 2004) Padahal beberapa dekade terakhir, ada usaha-usaha dari kalangan LSM, pemerintah, dan lainnya untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya, lahirnya UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun, sebagian kalangan berpendapat dengan UU ini tak bisa berbuat banyak. Yang diharapkan mampu meredam kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan rumah tangganya, nyatanya, sejak lahirnya UU ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penafsiran Alquran setidaknya, ada tujuh isu kontroversial di dalam Islam yang erat kaitannya dengan isu gender. Yakni, asal mula penciptaan perempuan, konsepsi kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, dan peran publik perempuan. Ayat-ayat yang berhubungan dengan persoalan-persoalan tersebut, bisa muncul kesan adanya ketimpangan atau berat sebelah terhadap perempuan. Prof Nasaruddin Umar, MA (2002) menyatakan penafsiran Alquran dalam kitab tafsir masih sering dijadikan referensi dalam melegalkan pola hidup patriarki. Sebab kitab-kitab tafsir tersebut menyebutkan bahwa laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin utama, sedangkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Pandangan ini sebagai "ketelodoran" utama fikih Islam dan tafsir Alquran konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Akibatnya, hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20. Maka, tidak mengejutkan ketika munculnya wacana gender ini barulah terasa ada "kejanggalan" dalam praktik keseharian. Lebih-lebih dalam produk-produk fikih (hukum Islam). Sebab para ulama fikih pada periode awal telah "lengah" dalam menafsirkan ayat-ayat gender dalam Alquran. Mereka hanya memahaminya secara literal. Akibatnya, hukum Islam saat ini dituduh telah menindas kaum perempuan, dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat kelas dua. Salah satu contohnya adalah tentang surat An Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Ayat ini sering dijadikan keputusan final bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, dalam semua aspek bidang kehidupan, baik dalam wilayah ibadah dan muamalat (sosial), sehingga isu ini mengemuka tatkala pencalonan presiden Megawati dalam Pemilu 1999. Terakhir, tentang DR Amina Wadad, profesor studi Islam di Departemen Filsafat dan Studi Agama Universitas Virginia Commonwealth, yang bertindak selaku imam dan khatib dalam shalat Jumat di New York. Tidak mengherankan jika banyak kaum muslimin yang terperangah, bahkan langsung bereaksi keras. Padahal, makna qawwamah sendiri, menurut Nasaruddin Umar tidak mesti diterjemahkan menjadi "pemimpin" tetapi jga bisa berarti "pemelihara" atau "pendamping", atau "pelindung", sehingga pemaknaan seperti ini, maka konotasi hubungan laki-laki dan perempuan menjadi hubungan struktural. Sedang bila diartikan sebagai pelindung, pemelihara, maka hubungan itu bersifat fungsional, tanpa harus ada yang di atas dan di bawah. Arti terakhir inilah sebetulnya yang sesuai dengan tujuan Alquran tentang pola relasi gender laki-laki dan perempuan, yaitu hubungan yang bersifat fungsional dan komplementar yang didasari cinta damai dan kasih. Oleh karena itu menurut Nasaruddin, ada beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya bias gender dalam menafsirkan Alquran. Pertama, pembakuan tanda huruf dan tanda baca. Pembakuan ini ternyata dengan sendirinya mengeliminir beberapa versi bacaan Alquran "Ayat-ayat Alquran dimungkinkan dibaca lebih dari satu macam, yang dikenal dengan tujuh huruf atau bacaan tujuh. Akibat pembakuan ini berakibat pada pemahaman dan penetapan hukum. Seperti masa haid. Versi pertama, menurut Abu Hanifah, perempuan yang selesai haidnya,dengan sendirinya sudah bersih tanpa harus mandi wajib. Yang kedua, menurut Imam Syafii sebaliknya. Perempuan yang telah menyelesaikan masa haid harus mandi wajib, baru dinyatakan bersih. Kedua, perbedaan makna kosakata. Contohnya tentang bacaan quruí dalam surat Al-Baqarah ayat 288. Kata ini bila diartikan "bersih, suci", maka masa menunggu perempuan setelah bercerai lebih pendek daripada diartikan "kotor". Ketiga, struktur dan kosakata bahasa Arab adalah bahasa yang sarat dengan bias gender. Hal ini tidak lepas dari kesejarahan Bahasa Arab sendiri yang termasuk dalam kelompok bahasa semit. Sementara itu kosmologi Semit menganggap perempuan berasal dari rusuk laki-laki. Keempat, penerjemahan Alquran. Salah satunya penerjemahan suarat An Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Departemen Agama menerjemahkannya kata qawwamah dengan pemimpin.Padahal kata ini tidak mesti diartikan seperti itu, tapi bisa berarti "pemelihara", "pendamping" atau "pelindung". Selain itu, dalam metode tafsir pun terjadi bias gender yang menyebabkan posisi perempuan tidak setara dengan laki-laki. Yakni metode tahlili. Sebuah metode yang menganalisa secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek di dalam Alquran, dan pembahasannya berdasarkan bagian tertentu dari Alquran, dan salah satu cirinya adalah menadi teks sebagai fokus. Dalam menganalisa suatu kasus, perhatian utama langsung tertuju pada bunyi teks terhadap kasus tersebut, bukan pada apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Lagi pula, interpretasi ayat-ayat gender, menurut Muhammad Syahrur (1993), para ulama fikih mencampuradukkan ayat-ayat ini yang bersifat taílimat (informasi) dengan yang bersifat hudud (teori perbatasan). Ayat-ayat yang bersifat taílimat bisa dilanggar atau tidak dikerjakan, atau malah mengerjakan yang sebaliknya, karena hanya berfungsi sebagai petunjuk etis. Adapun ayat-ayat hudud harus bisa menoleransi perilaku-perilaku manusia, selama perilaku tersebut dalam koridor hudud. Yakni konsep ada batas minimal, batas maksimal, dan yang di antara keduanya. Lebih-lebih, bagi Syahrur penafsiran Alquran kontemporer memiliki kekurangan. Salah satunya, tidak adanya metode penelitian ilmah yang objektif yang berkaitan dengan kajian nash Alquran. Hal ini berakibat pada kajian-kajian yang ada seringkali bertolak dari perspektif lama yang sudah mapan, yang terperangkap dalam subjektivitas, bukan objektivitas. Yakni, lebih banyak memperkuat asumsi yang dianutnya. Selain itu, kurang dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mengendapnya pandangan miring terhadap pemikiran Barat. Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasasi mazhab, yang mengakibatkan kurang berkembangnya pemikiran Islam. Kondisi ini, mengakibatkan produk-produk fikih sekarang, kurang relevan dengan tuntutan modernitas. Kegelisahan ini sudah muncul, tapi umumnya terhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru. sehingga munculnya wacana kesetaraan gender ini, bisa memunculkan dimensi universalitasnya dalam menafsirkan Alquran. Terutama yang barkaitan dengan gender, diperlukan metode yang tepat. Seperti metode semantik, hermeneutic, ilmu linguistik modern, dengan premisnya bahwa bahwa lisan kemanusiaan tidak mempunyai kata yang sinonim. Membaca teks dengan metode analisis ini akan memberikan pemahaman bahwa ayat-ayat Alquran tentang gender merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat. Di samping itu, menurut Syahrur, tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi Alquran yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Islam modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama tafsir Alquran konvensional sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakterstik dan fleksibilitas pengertian Alquran. Maka, kesetaraan gender, sebagai yang dibahas dalam disertasi Nazaruddin Umar dan Zaitunah Anwar (1998) memberikan dasar teologi yang membebaskan mendasarkan argumentasinya pada munculnya tafsir yang bias gender karena faktor budaya patriarki, sehingga memunculkan teologi perspektif Islam yang cenderung melihat perempuan sebagai makhluk yang harus dibedakan dari laki-laki. Namun demikian, adanya penafsiran yang tidak sejalan dengan pemikiran kontemporer, tidak berarti dianggap salah, karena setiap ahli tafsir adalah anak zamannya. Mereka mempunyai hak dan kemampuan tersendiri dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Alquran menurut logika dan konteks budaya yang sesuai dengan zamannya. Maka, risalah Rasulullah saw menitikberatkan kepada manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat. Tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (Alam), dan Tuhan, sehingga, manusia bisa mencapai derajat hamba (abdi) sesunguhnya.(11) Bahasa Alquran: Antara Linguistik dan Kultural I. PENDAULUAN Islam sebagai agama yang terakhir, karena –dalam aqidah Islam– tidak ada lagi agama sesudahnya, telah Allah turunkan pertama kali di Jazirah Arabia, tepatnya di tanah Makkah pada 14 abad yang lalu. Ia diturunkan untuk umat manusia melalui utusan terakhir-Nya, Muhammad bin Abdullah yang juga asli keturunan bangsa Arab. Karenanya, wahyu yang diturankan berupa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Sebab, tidak logis jika Allah SWT. mewahyukan ajaran Islam menggunakan bahasa non-Arab. Ini ditegaskan dalam AlQur’an, “Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".(QS:41.44). Meski demikian, kita wajib mengimani bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat Islam di seantero alam; bukan hanya orang Arab an-sich, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya , supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”(QS:14.4) *** Di tengah “perang” wacana Arabisasi Islam antara kelompok muslim liberal dan literal, kita tetap harus objektif dalam menilai Arab. Jika ada yang merelatifkan penggunaan bahasa Arab sebagai media penyampai dalam Al-Qur’an, dikarenakan Nabi Muhammad adalah orang Arab, seyogyanya ia tidak mencukupkan “kekritisan”nya hanya sampai disini. Kenapa Allah lahirkan Muhammad melalui rahim seorang Aminah; wanita berkebangsaan keturunan Arab? Kenapa tidak melalui wanita-wanita lain; wanita Yunani, Romawi, Cina, atau India? Bukankah pada 14 abad yang lalu peradaban bangsa Arab jauh tertinggal dibandingkan empat bangsa di atas? Jika jawabannya agar Islam menjadi sebuah peradaban yang baru, karenanya harus diturunkan di tengah komunitas berperadaban rendah, maka masih banyak pada waktu itu bangsa yang jauh lebih katrok dari bangsa Arab! Jadi, semestinya kita berfikir lebih arif. Pasti ada hikmah di balik skenario Allah menjadikan Muhammad sebagai sosok berkebangsaan Arab. Untuk menilai sebuah komunitas, tidak cukup hanya membaca karya-karya tulis, atau menyaksikan film, apalagi hanya mendengar cerita tanpa mengetahui secara pasti karakteristik penduduk setempat. Demikian halnya saat kita ingin menilai Arab sebagai peradaban. Untuk tidak sekedar mencaci-maki atau berapologi. Saat ini yang terjadi, banyak muslim non-Arab yang mengaku sebagai pemikir Islam, dengan jargon ‘Menyegarkan Pemahaman Islam’, kemudian mementahkan makna Arab sebagai tempat transit Islam pertamakali sebelum tersebar kepada umat manusia di penjuru alam. Padahal, mereka yang merelativkan “Arab”, saat di tanah Arab –jika memang pernah– secara eksplisit tidak pernah melakukan penelitian tentang “kenapa Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab?” Jika terjawab, tidak akan lebih dari sekedar replay: karena Nabi Muhammad orang Arab. Sekali lagi, tidak lebih. Dan sampai saat inipun masih belum ada hasil penelitian yang bisa menjawab secara empiris; kenapa Allah memilih Rasul-Nya dari kalangan bangsa Arab? Ada apa dengan peradaban, dalam hal ini bahasa Arab dan kebudayaannya; kemarin, hari ini dan esok? Mestinya, jika mengaku pemikir Islam, apalagi cinta, buktikan dengan mencoba tinggal (untuk sementara) di Makkah, kota kelahiran Muhammad dan Islam. minimal untuk mengetahui bagaimana tanah Arab, khususnya Makkah dan Madinah, serta watak penduduk setempat. *** II. AL-QUR’AN “Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Demikian terjemahan Al-Qur’an (QS. 2:2), sebagai penegas bagi orang-orang yang bertaqwa; bahwa tidak akan pernah ada kesalahan dalam al-Qur’an, baik secara harfiah atau kandungan ajarannya untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad, Al-Qur’an terbukti, dan harus kita yakini akan selalu otentik sepanjang zaman. Secara bahasa, Al-Qur’an berarti “bacaan sempurna”. Kesempurnaannya dapat kita tinjau dari beberapa aspek, yang sekiranya dibandingkan dengan bacaan-bacaan lainnya, tidak akan ada alasan untuk menafikan kesempurnaanya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menuturkan beberapa aspek yang menjadi sebagian dari mukjizat Al-Qur’an: Pertama, Al-Quran adalah bacaan ratusan juta orang bahkan milyaran sejak awal pembukuannya; bukan saja bagi yang mengerti, tapi juga “enak” dibaca oleh mereka yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Kedua, Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Adakah buku bacaan atau kitab suci yang menyerupai Al-Qur’an dari aspek-aspek tersebut? III. ARAB DAN KEUTAMAAN Ust. Ahmad Sarwat, Lc saat menjawab pertanyaan prihal alasan turunnya Islam di Jazirah Arab, di situs ‘era muslim’ mengatakan: sedikitnya ada dua sebab mendasar yang bisa dijadikan alasan untuk hal tersebut: aspek kultur dan budaya Arab, serta faktor intrinsik bahasa Arab itu sendiri yang menurut para pakar bahasa memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak dijumpai pada bahasa lainnya. A. Aspek Kultur dan Kebudayaan 1. Tempat Rumah Ibadah Pertama Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam. Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di tengah gurun pasir jazirah arabia. Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka'bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari kiamat menjelang. Ketika Adam as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka'bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya ka'bah. Maka jadilah wilayah sekitar ka'bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka'bah sebagai tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia.” (QS. Ali Imran: 96) 2. Kawasan strategis Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia. Sejak masa Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia. Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku. Ini menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di Selatan. Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi Jazirah Arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua peradaban. Kita tidak bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia. Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran. Sebaliknya, jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah. Sehingga di abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara ini. Dan bahkan salah seorang shahabat yaitu Yazid bin Mu'awiyah ikut dalam rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar. 3. Kesucian Bangsa Arab Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang Arab di masa Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah. Padahal yang dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Qur’an adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam. Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah lawan dari semangat Islam. Bangsa Arab memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa Arab hidup dengan kemurnian nilai kemanusiaan yang masih asli. Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota. Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri seorang Arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang bagi bangsa Arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar. Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa Arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang ada di sekeliling ka'bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban Barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di Arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya Romawi, Yunani dan Yaman. Termasuk juga minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar peradaban mereka. Namun sifat jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama. Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, maka sinar itu membentuk proyeksi iman dan amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali didustainya. Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya. Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu bangsa Arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya sebagian besar bangsa Arab di sekeliling nabi. Bandingkan dengan sejarah Kristen yang berakhir dengan terbunuhnya (diangkat) sang nabi. Atau Yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran nabinya. Hanya bangsa yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia. B. Aspek Bahasa Secara historis, bahasa Arab adalah termasuk salah satu dari rumpun bahasa Semit, yang meliputi bahasa-bahasa Babilonia, Asyuria, Aramy, Ibrani, Yaman Lama, Habsyi Semit dan bahasa Arab itu sendiri. Ketiga bahasa yang pertama telah lenyap, demikian pula sebagian dari bahasa-bahasa Yaman Lama. Sedangkan tiga yang terakhir masih ada, tapi bahasa Arab adalah yang paling menonjol dan paling luas tersiar dan tersebar. Realita inilah yang menjadi salah satu penyebab keunggulan bahasa Arab dari bahasa lainnya; sampai saat ini masih “hidup” dan menjadi alat berkomunikasi resmi, setidaknya oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Jazirah Arab dan Asia Tengah Secara temporal, konteks yang penulis maksud dengan keutamaan bahasa Arab sebagai linguistik yang dipakai untuk sebuah kitab (bacaan) suci adalah saat masa penurunan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Biruni, salah seorang ilmu¬wan non-Arab berpendapat, seperti yang ditulis oleh Budhy Munawwar Rahcman: bahwa menulis ilmu harus dalam bahasa Arab. Hal ini karena memang wak¬tu itu tidak ada bahasa yang bisa memuat ilmu pengetahuan selain bahasa Arab, sebanding dengan bahasa Inggris dalam perannya di zaman modern. Banyak dalil dari Al-Qur’an yang mengungkap alasan kenapa ia turun dengan menggunakan bahsa Arab. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 44: 58, dan 46 : 12. Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam “bahasa Arab”. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan “tidak universal”. Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak “ketuhanan” Allah yang jelas tidak bisa kita kritisi untuk menafikannya. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah dengan beberapa point argument berikut: 1. Bahasa Tertua Yang Terbukti Masih Aktif Rasulullah saw. dengan suatu mukjizat Ilahi, yang merupakan wujud dari rancangan azali (rancangan primordial) tampil dengan menggunakan bahasa Arab yang secara kebetulan merupakan salah satu dari empat bahasa yang sangat kaya dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Hingga saat ini bahasa Arab masih tetap ada, sementara tiga bahasa lainnya, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, dan Romawi serta Latin telah mati. Di samping itu, bahasa Arab lah yang menjadi bahasa kitab suci yang masih aktif dipakai. Ia juga termasuk dari rumpun bahasa Semit yang masih bertahan dan berkembang. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama (PL). Meskipun begitu, menurut Isrâ’il Wilfinson, dalam bukunya Târîkh al-Lughât al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani. Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif. Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa Yunani juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai’ saktralitas Injil yang diklaim sebagai ‘firman Tuhan’? Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di Arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa Arab. Ternyata bahasa Arab itu adalah bahasa tertua di dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as, bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa umat manusia yang pertama. Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga adalah bahasa Arab. Seperti keimanan umat Islam dan umat-umat agama samawi lainnya, asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa kedua 'Bapak Ibu' itu adalah bahasa Arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka mengajarkan bahasa surga itu kepada para putra-putri mereka, yaitu bahasa Arab. 2. Bahasa Terkaya Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa Arab memiliki jumlah kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang Arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing ada sekitar 100 kata. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan. Selain itu, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan, di antaranya: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain. 3. Bahasa Penunjang Kekekalan Al-Qur’an Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan “syirik” kepada cahaya “tauhid”, dari kegelapan “kebodohan” kepada cahaya “pengetahuan”, dan dari kegelapan “kesesatan” kepada cahaya “hidayah”. Tiga kesatuan poin agama Islam; risalah (Islam), kitab (Al-Qur’an) dan utusan Allah (Muhammad SAW), berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur. Karena Islam adalah risalah (misi) yang universal dan kekal, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal juga. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur’an, seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur’an) dan Kami pula yang memeliharanya.” (Qs. 15: 9). Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali. Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah bahasa Arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan. IV. KESIMPULAN / PENUTUP Prof. Dr. H. Mujiya Rahardjo, Guru besar UIN Malang, saat memberikan mata kuliah Language Change in Social Perspective, menjelaskan: “…adalah fenomena; pergeseran suatau bahasa (pen: tercampur) bahasa asing.” Dan tidak menutup kemungkinan, lambat laun sebuah bahsa akan punah. Sebagai contoh, Mujia Raharjo memaparkan: tidak kurang dari 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Itu artinya, saat ini tinggal 13 bahasa daerah yang dijadikan sebagai alat tutur oleh jumlah masyarakat di atas satu juta orang. Itupun sebagian besar dilakoni para generasi tua. Banyak sekali penyebab kepunahan suatu bahasa. Salah satunya, dan penulis setuju menjadikannya sebagai faktor utama adalah kurang atau bahkan tidak adanya nilai guna atau manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, jika suatu bahasa masih berguna, secara otomatis ia akan tetap eksis. Nilai guna bahasa selalu berbanding lurus dengan sinergitas dan perkembangannya. Sampai saat ini, nilai guna suatu bahasa terjadi pada dua titik utama; ekonomi dan sains. Merupakan keinginan semua insan berkelayakan hidup dalam bidang ekonomi. Maka wajar, segala upaya akan dilakukan oleh manusia untuk mensejahterakan kehidupannya. Hubungan serta komunikasi adalah satu cara utama mencapai maksud di atas. Bahasa, sebagai alat komunikasi berperan penting meningkatkan komunikasi tersebut. Maka tidak heran; saat ini bahasa Cina, Mandarin dan Jepang, menjadi bahasa faforit masyarakat untuk dipelajari. Tujuannya tidak lain, karena perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut berkembang pesat, perhatian masyarakat dunia pun terarah ke sana, termasuk mampu dan aktif berkomunikasi dengan bahasa mereka. Demikian juga nilai guna sebuah bahasa di bidang sains, tekhnologi dan ilmu pengetahuan (IPTEK). Pada dimensi ini, bahasa sebagai media komunikasi akan terus hidup dan tumbuh seiring pertumbuhan IPTEK. Kaitannya dengan Al-Qur’an sebagai kitab ajaran dan petunjuk bagi umat Islam sepanjang zaman dan tempat, maka otomatis hal tersebut berimplikasi pada eksistensi dan perkembangan bahasa Arab. Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalnya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalnya secara cermat dan tepat, meskipun ia orang buta atau anak usia dini. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil. Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir, sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus “The True Furqon.” Barangkali itulah cara Allah menjaganya. Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah sejak dulu banyak berdiri pesantren-pesantran tahfiidzul al-Qur’an. Sebaliknya, bagi kita, belum pernah mendengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka, termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Sekali lagi, inilah rahasia al-Qur’an dengan bahasa Arabnya. Penulis yakin, dengan alasan-alasan rasional di atas, Anda setuju untuk tidak merelatifkan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. Melacak Akar Tafsir Feminis di Dunia Islam Munculnya tafsir feminis tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang perjuangan kaum wanita Barat dalam menuntut kebebasannya. Ide pembebasan wanita muncul sebagai respon dari ketidakberhasilan sistem kapitalisme dan sosialisme dalam mengayomi masyarakatnya. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi akibat kedua sistem tersebut memicu dan menumbuhsuburkan isu penindasan dan pelecehan hak-hak perempuan. Selanjutnya, pemikiran dan sistem hukum kapitalisme yang ditanamkan oleh orang-orang kafir penjajah yang diterapkan oleh antek-anteknya dan diadopsi oleh kaum Muslim di negeri-negeri Islam lambat-laun membuat umat Islam berpikir seperti Barat. Tanpa disadari, semua ini memicu perasaan bahwa Muslimah pun harus bangkit memperjuangkan haknya sebagaimana perempuan-perempuan Barat. Namun, langkah ini seolah dihadang oleh nilai-nilai dan hukum agama yang masih membudaya di masyarakat. Bagi pejuang pembebasan wanita Muslim, bagaimanapun nama Islam tak hendak ditanggalkan. Akhirnya, muncul gagasan untuk mengemas hukum Islam dalam perspektif perjuangan mereka. Teks-teks al-Quran dan as-Sunnah pun menjadi sasaran. Keduanya ditakwilkan agar mendukung gagasan awal yang telah menjadi landasan perjuangan mereka. Berbagai alasan dikemukakan, antara lain: tafsir yang ada telah bersifat klasik sehingga perlu ditinjau ulang agar sesuai dengan realitas yang dihadapi; banyak ajaran tidak terpakai lagi di zaman ini meski bersifat mapan dan berasal dari nash-nash yang qath‘î (bersifat pasti). Dengan pola berpikir liberal khas Barat, nash-nash yang ada—sekalipun bersifat qath‘î—akan diteliti dan ditimbang kembali. Dengan begitu, logika dan cara berpikir ilmiah dihadapkan pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Para feminis yang bergaya tegas akan mengatakan, “Bila nash-nash keagamaan ini tidak relevan lagi dengan kemajuan zaman (yang mengacu ke Barat) maka ia tertolak untuk diterapkan.” Mereka yang lebih ‘santun’ lagi mengambil cara mempertanyakan dan membuka keraguan, “Apakah penafsiran tersebut masih relevan bagi persoalan masyarakat saat ini?” Mereka Mempersoalkan Nash-nash Qath‘î Nash yang sering diangkat oleh para feminis antara lain adalah al-Quran surat an-Nisa’ ayat 34. Masdar F. Mas’udi, dalam bukunya, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, mengajukan usul untuk mengganti makna pemimpin dari kata qawwâm menjadi penopang atau penguat (qâ’im). Ia mengatakan bahwa kata qawwâm ada yang bermakna penopang atau penguat, seperti yang dipakai dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 8 dan surat an-Nisa’ ayat 153. Menurutnya, makna ini lebih sesuai dengan prinsip yang qath‘î (versi Masdar) yaitu mu‘âsyarah bi al-ma‘rûf (QS an-Nisa’ [4]: 19) dan prinsip saling melindungi (QS al-Baqarah [2]: 187). Dengan cara yang lebih halus, feminis asal Malaysia, Amina Wadud Muhsin, dalam bukunya, Wanita dalam al-Quran, menyatakan bahwa ia tidak menyalahkan penafsiran yang mengemukakan bahwa suami adalah pemimpin bagi istrinya. Namun, ia membuka keraguan, apakah penafsiran ini sesuai dengan keluarga dalam sistem masyarakat kapitalistik, ketika pendapatan tunggal sang ayah tidak cukup bagi kelangsungan hidup yang nyaman? Sebagai penguat, Amina menanyakan juga, apakah seorang perempuan yang mandul juga tetap menjadi yang dipimpin seperti perempuan lain? Intinya ia membuka keraguan, apakah bila sudah tidak terjadi keserasian hak dan tanggung jawab seperti yang dikemukakan oleh al-Quran, suami tetap bisa dianggap pemimpin istrinya? Nash lain yang juga sering disorot adalah al-Quran surat an-Nisa’ ayat 11-12. Di sana terdapat ungkapan (yang artinya): bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Berkenaan dengan ayat ini, Masdar mengajukan bahwa ini adalah pembagian minimal, bukan maksimal. Yang penting adalah keadilan. Menurut Masdar, ayat ini sesuai dengan prinsip keadilan, karena sebelum ayat ini turun, perempuan tidak mendapatkan waris. Sesuai dengan kondisi dan struktur ekonomi keluarga saat itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2:1. Selanjutnya, Masdar menggunakan kaidah, “Batasan kuantitatif yang diberikan setelah minus, pada dasarnya bukan maksimal, melainkan minimal.” Artinya, dalam kasus-kasus lain, tuntutan keadilan bisa saja menghendaki pembagian laki-laki-perempuan sama banyak, atau perempuan bahkan lebih banyak. Amina juga mengemukakan hal yang serupa, bahwa ayat ini hanyalah satu kemungkinan yang dapat dipilih, bukan keharusan. Kritik Terhadap Tafsir Feminis Dalam menafsirkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, mereka menggunakan metode berikut ini: 1. Kebebasan Akal sebagai Asas. Dengan metode ini, para feminis tidak mau terikat dengan dasar-dasar ijtihad yang shâlih serta kaidah yang murni dan tepat. Mereka menafsirkan nash sesuai dengan pendapat dan keyakinan yang ingin mereka sampaikan. Dalam kerangka berpikir liberal ini para ‘penafsir’ feminis berdalih bahwa fikih merupakan hasil penentuan manusia. Menurut mereka, manusia itu lemah dan mutlak dipengaruhi kondisi masyarakatnya ketika menentukan sesuatu. Bila seseorang manusia berhak menentukan status hukum suatu perbuatan, maka manusia yang lain pun berhak untuk melakukan kajian ulang, siapa pun dia, baik mujtahid ataupun bukan. Sebagai contoh (untuk melegalisasi bahwa pendapat mereka diambil dari al-Quran), mereka menggunakan ayat berikut: ]إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ[ Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa. (QS al-Hujurat [49]: 13). Tanpa memperhatikan makna keseluruhan ayat dan ilmu serta kaidah apa pun dalam penafsiran yang shâlih, mereka langsung mengklaim bahwa al-Quran membawa pesan kesetaraan (equalitas) dan kebebasan (egalitarianisme) bagi semua manusia. Kesetaraan dan kebebasan ini selanjutnya dijadikan sebagai kaidah dasar dalam penafsiran-penafsiran nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, setiap ide dan hukum-hukum yang mereka anggap tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan harus ditafsirkan kembali. Mereka, misalnya, menolak konsep penciptaan Hawa dari Adam a.s., kepemimpinan rumah tangga bagi pria, hukum pewarisan, kewajiban mengenakan jilbab, kebolehan poligami, dan lain-lain. Mereka juga menolak keharaman melakukan hubungan seksual suami-istri ketika istri sedang haid, menolak keharaman wanita melakukan shalat ketika haid, ketentuan shaf wanita, dan keharaman wanita menjadi penguasa. Penolakan ini dalam rangka menempatkan posisi wanita agar memiliki kebebasan serta hak dan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Membiarkan akal secara bebas menafsirkan ayat-ayat al-Quran sangatlah berbahaya. Sebab, hal itu berarti memposisikan akal manusia yang serba lemah sebagai penilai al-Quran. Ketika nash al-Quran menunjukkan makna yang tidak sesuai dengan keinginan akalnya, muncullah penolakan terhadap sebagian ayat, keraguan terhadap penunjukan makna ayat (sekalipun ayat tersebut qath‘î), yang ujung-ujungnya menganggap al-Quran tidak relevan lagi untuk diterapkan saat ini. Padahal, pengkajian terhadap ilmu-ilmu syariat dan tafsir harus memperhatikan sejumlah syarat dan adab. Hal ini bertujuan agar pengkajiannya dapat bersifat jernih dan memelihara posisi nash-nash al-Quran sebagai wahyu Allah yang mulia. Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir antara lain adalah: (1) keyakinan yang benar terhadap al-Quran sebagai wahyu Allah Swt.; (2) Bersih dari hawa nafsu; (3). Terlebih dulu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran; (4) Mencari penafsiran dari as-Sunnah; (5) Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam as-Sunnah, ditinjau pendapat para sahabat, karena mereka yang lebih mengetahui tentang tafsir al-Quran dan menyaksikan langsung berbagai indikator (qarînah)-nya; (6) Pengetahuan Bahasa Arab dengan segala cabangnya; (7) Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Quran—seperti qirâ‘ah, ilmu ushul, asbâb an-nuzûl, nâsikh mansûkh, dll—disertai dengan adanya pemahaman yang cermat dalam mengukuhkan suatu makna atas yang lain. Selain persyaratan-persyaratan di atas, seorang mufassir juga harus sangat memperhatikan adab-adab seperti niat yang baik, tujuan yang benar, jujur, taat, tawadhu, mulia, berani menyampaikan kebenaran sekaligus mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik. Fakta membuktikan, para ‘mufassir’ feminis sangat jauh dari syarat dan adab ini sebagai penafsir. Akibatnya, tafsirnya pun tidak layak disebut tafsir. 2. Historis Sosiologis Sebagai Kaidah. Ada kaidah—yang sering dianggap sebagai kaidah syariat—yang menyatakan, “Tidak bisa ditolak adanya perubahan hukum karena perubahan zaman.” Para mufassir feminis sering menggunakan kaidah ini dengan alasan bahwa penafsiran para mufassir sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis zamannya. Adanya perubahan historis-sosiologis sampai pada era ini mengharuskan revisi penafsiran yang telah lalu. Penafsiran klasik dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi sosiologis masyarakat saat ini. Dengan kaidah yang keliru ini, sebenarnya yang mereka lakukan adalah melakukan aktivitas berdasarkan realitas yang ada. Apa yang dilakukan disesuaikan dengan keadaan. Hukum potong tangan dan rajam perlu dihapus karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Kepemimpinan suami atas istri menjadi tidak perlu karena wanita sekarang dianggap mampu mandiri secara ekonomi. Wanita boleh menjadi kepala negara karena zaman telah memberi peluang wanita untuk tampil dan menguasai sektor publik (luar rumah) sebagaimana laki-laki. Demikian seterusnya. Realitas yang seharusnya diupayakan pemecahannya sesuai dengan hukum Islam akhirnya berbalik menjadi acuan sumber pemikiran yang mereka anggap tak mungkin diubah lagi. Akhirnya, hukum dipaksa harus sesuai dengan realitas yang bobrok dan rusak. Padahal, seharusnya yang dilakukan adalah mempelajari realitas yang ada, kemudian mencari hukum Allah yang berkaitan dengan masalah itu dengan cara menggalinya dari al-Quran dan as-Sunnah atau dari sumber yang telah disahkan oleh keduanya. Langkah selanjutnya adalah mengubah realitas tersebut agar sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah yang menurunkan wahyu berupa al-Quran dan as-Sunnah. 3. Sejarah Sebagai Sumber Rujukan. Sebagian penafsir feminis menggunakan alasan kebolehan wanita menjadi kepala negara dengan melihat adanya ratu-ratu Islam dalam sejarah atau apa yang dilakukan wanita di suatu masa. Padahal, sejarah tidak dapat dijadikan sebagai sumber rujukan. Kita tidak bisa memahami sistem komunis dari sejarah Rusia. Kita juga tidak dapat memahami perundang-undangan Inggris dari sejarah Inggris. Kaidah ini berlaku untuk setiap sistem dan undang-undang. Begitu pula dengan Islam. Kita tidak dapat menggunakan sejarah Islam sebagai rujukan hukum Islam. Hukum Islam harus dipahami dari sumber yang dapat dipastikan berasal dari Allah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah, dan apa saja yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma Sahabat dan Qiyas. Sementara itu, sejarah sendiri, kalaupun mau kita lirik, hanya sekadar untuk mengetahui bagaimana penerapannya; bukan dijadikan dasar penggalian hukum. Sejarah yang diambilpun hanya yang ditulis oleh sejarahwan Muslim saja, bukan yang berasal dari musuh-musuh Islam; itu pun setelah diteliti dengan cermat. Sebab, tidak semua sejarah bisa diterima sebagai sumber sejarah. Catatan-catatan sejarah, misalnya, tidak bisa dijadikan sumber sejarah, karena selalu dipengaruhi oleh situasi politik di setiap zaman dan senantiasa tercampur dengan kepalsuan. Sering didapati catatan-catatan sejarah mendukung orang-orang tertentu pada masa penulisannya, kemudian menentang orang-orang yang didukungnya pada masa sesudah mereka tidak berkuasa lagi. Tafsir Feminis Mendekatkan Umat Islam dengan Hukum-hukum Barat Bila kita cermati lebih jauh, akan kita temukan bahwa agenda kaum feminis sangat sejalan dengan upaya Barat dalam menyesatkan dunia Islam. Setiap propaganda kaum feminis akan ditopang dan didukung oleh musuh-musuh Islam karena visi dan misi kaum feminis memang sangat ampuh untuk mengubah pandangan keislaman kaum Muslim terhadap wanita. Secara kritis, kita pun akan dapat menemukan benang merah keterkaitan feminisme dengan imperialisme Barat di Dunia Islam dalam bidang pemikiran. Agenda emansipasi wanita ini tak ubahnya seperti agenda-agenda imperialisme Barat lainnya seperti pluralisme, dialog antaragama, dan kebebasan berekspresi yang berakhir pada kepentingan politik imperialis, yaitu dalam rangka mengejar glory, gold dan gospel. Barat dan kaki tangannya akan berjuang keras dan mencari jurus-jurus yang jitu untuk mencapai kepentingan dan kemaslahatannya serta demi mempropagandakan ideologi kapitalisme-sekularisme berikut turunannya seperti westernisasi, liberalisme, demokrasi, termasuk feminisme. Oleh karena itu, kaum Muslim dituntut agar senantiasa waspada terhadap daya upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dalam segala bentuknya, termasuk dalam bentuk metodologi yang dikembangkan kaum feminis dalam menafsirkan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang sangat jauh menyimpang dari metodologi penafsiran yang diakui dalam Islam. Metode tersebut hanya akan menjauhkan kaum Muslim dari pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam yang menjadi pemecah problematika manusia. Implikasi selanjutnya, umat Islam akan dapat dihinakan dengan diterapkannya hukum-hukum kufur atas mereka. Na‘ûdzu bi Allâh min dzâlik. [] Lathifah Musa, pengasuh program “Mutiara Fajar” Radio Tidar FM, tinggal di Magelang. Daftar Bacaan 1. Manna Khalil al-Qattan. Studi ilmu-ilmu Quran. Litera Antarnusa. Bogor, 2000. 2. Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer. Al-Izzah. Bangil, 1997. 3. Laporan Simposium Nasional Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer. Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 4. Fathima Mernisi. Wanita dalam Islam. Penerbit Pustaka, 1994. 5. Amina Wahdud Muhsin. Wanita di dalam al-Quran. Penerbit Pustaka, 1994. 6. Masdar F. Mas’udi. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Penerbit Mizan. 7. Budhi Munawar Rahman, dalam Rekonstruksi Fiqh Perempuan (Ed. M. Hajar Dewantoro dan Asnawi). Penerbit Ababil, 1996. 8. Siti Ruhaini Dzulhayatin, dalam Rekonstruksi Fiqh Perempuan. (Ed. M. Hajar Dewantoro dan Asnawi). Penerbit Ababil, 1996. 9. Ulumul Qur’an. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan no. 3, vol. IV, 1993. Taqiyuddin Annabhani, Peraturan Hidup dalam Islam. Pustaka Tariqul Izzah. Bogor, 1993. TAFSIR AL -QUR’AN DAN PARADIGMA SOSIAL Pengertian tafsir al-Qur`an. Dalam ilmu Tafsir dan Ulum al-Qur’an, tafsir Al-Qur`an diartikan sebagai berikut, di antaranya : al-Zarkashi dalam kitabnya, al-Burhan fi’ Ulum al-Qur`an menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui tentang cara-cara memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, dan menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya, al-Futuhat al-Ilahiyat menjelaskan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur'an al-Majid dari segi petunjuknya sebagaimana yang dikehendaki Allah menurut ukuran kemampuan manusia”. Kedua pengertian tafsir tersebut sudah memberikan wawasan bahwa objek yang dikaji dalam tafsir adalah al-Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari segi dalalah (petunjuk lafal) terhadap makna-makna yang terkandung di dalamnya menurut kemampuan manusia (mufassir). Dalam hal ini, tidak semua manusia berhak melakukan penafsiran tetapi hanya manusia yang mempunyai persyaratan tertentu, yaitu (a) berpengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya, (b) berpengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur`an, sejarah turunnya, hadis dan Usul al-Fiqh, (c) berpengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat, dan (d) berpengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan. Artinya, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka tidak dibenarkan menafsirkan al-Qur`an. Dalam pengertian tafsir tersebut terdapat kata dalalah (petunjuk lafal atas makna), yang berarti dalam menafsirkan al-Qur`an harus memahami dalalat al-alfaz yang dalam paradigma jumhur ulama’ (Shafi’iyah) dikenal dengan dalalat al-mantuq dan dalalat al-mafhum. Sedangkan dalam paradigma Hanafiyah dikenal dengan dalalat al-‘ibarat, dalalat al-isharat, dalalat al-iqtida dan dalalat al-dalalat (dalalat al-nas). Dengan demikian pendekatan fenomologi sangat dibutuhkan dalam memahami al-Qur`an. Artinya, toeri verstehen Weber dan teori meaning full Schultz, termasuk fenomologi Husserl dan konstruksi sosial Peter L. Berger dapat diterapkan dalam menafsirkan al-Qur`an sebagai pendekatan paradigma sosial. Hal ini karena dalam menafsirkan al-Qur`an tidak hanya terfokus pada makna lahir lafal al-Qur`an tetapi juga makna yang tersembunyi. Paradigma penafsiran al-Qur`an Al-Qur`an sering menyebutkan kalimat tanya tetapi maksudnya tidak untuk dijawab seperti أفلا تعقلون, أفلا تتفكرون, أفلا تتدبرون. kalimat tersebut menunjukkkan bahwa al-Qur`an diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di manapun. Artinya, mereka yang hidup sekarang dan yang akan datang dituntut untuk memahami al-Qur`an sebagaimana tuntutan yang diajukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Qur`an. Dari sini seseorang tidak dihalangi untuk merenungi memahami dan menafsirkan al-Qur`an karena hal ini merupakan perintah al-Qur`an itu sendiri. Selama penafsiran al-Qur`an tersebut dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab sesuai dengan persyaratan mufassir. Dalam melakukan penafsiran al-Qur`an terdapat beberapa paradigma yaitu legalistis leteralis dan tekstualis atau skriptualis, kontektualis, modernis atau demitologis dan egoistis. Artinya, dalam konteks penafsiran al-Qur’an, pemakaian paradigama tertentu akan akan menghasilkan sikap tertentu terhadap al-Qur`an. Paradigma literalistis Kaum literalis berpendapat bahwa al-Qur`an merupakan kitab suci yang berasal dari wahyu Allah baik redaksi (lafal) maupun subtansinya. Karena itu, mustahil ada kesalahan atau kekurangan. Walaupun al-Qur`an dari Tuhan tetapi bahasa al-Qur`an merupakan bahasa manusia di mana ia turunkan. Oleh karena itu, bahasa al-Qur`an adalah bahasa yang terang dan mudah dipahami, bukan puisi gelap atau misterius. Huruf-huruf dan kata-kata (kalimat) dalam al-Qur`an bersifat suci dan merupakan hakikat dari wahyu itu sendiri. Pesan atau kehendak Tuhan melekat dalam huruf atau kata itu sendiri. Karena itu, untuk mengetahui kehendak Tuhan harus mengetahui huruf-huruf yang tertulis. Dalam hal ini, hanya penafsiran yang paling benar. Artinya, mereka beranggapan bahwa semua kata, kalimat, ayat, surat dan seluruh al-Qur`an dibaca dan dimengerti sebagaimana tertulis dengan arti apa adanya. Kaum literalistis kurang memperhatikan bentuk-bentuk sastra, konteks bagian-bagian dalam keseluruhan, struktur teks, konteks sosiologis atau situasi historis, baik sewaktu teks diturunkan maupun konteks kekinian dan kedisinian, kesempatan dan maksud teks (maqasid al-tashri’), kondisi subyektif penulis teks seperti pergumulan hidupnya, kejiwaan dan pengalaman sewaktu menulis. Dalam memahami huruf atau ayat per ayat dalam al-Qur`an timbullah bentuk-bentuk penafsiran literalistis sebagai berikut : huruf atau ayat al-Qur`an ditafsiri dengan huruf atau ayat al-Qur`an lainnya. Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan) dan lampu penerang (sirajan muniran), mustahil jika al-Qur`an menimbulkan kebingunan akibat bahasanya yang misterius. Dengan demikian, tidak perlu tafsir karena sudah jelas, bahkan jika ditafsirkan justru akan membuat yang terang menjadi gelap. Penafsiran model ini sebenarnya menafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya,baik dalam rangka melengkapi, menjelaskan dengan yang lainnya, mengkhususkan pengertian satu dengan yang lainnya maupun menghapuskan satu dengan yang lainnya. Model ini dalam istilah lain dikenal dengan tafsir al-mujmal, takhsis al-am, taqyid al-mutlaq, dan al-naskh. Dalam model ini, mufassir yang hendak menafsirkan ayat al-Qur`an terlebih dahulu melihat al-Qur`an, mengumpulkan ayat-ayat yang bersama-sama membahas satu topik dan merujuk silangkan (cross referencing) satu ayat kepada lainnya untuk mendapatkan keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebutkan secara ringkas dengan bantuan berbagai ayat tersebut. Al-Qur`an dengan Nabi (Sunnah atau Hadis), karena Nabilah yang paling mengetahui makna-makna huruf atau ayat per ayat sebagaimana dikehendaki Tuhan. Model ini menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai mufassir baik berfungsi sebagai penguat (ta’kid) al-Qur`an, pentakhsis lafal-lafal yang masih umum dalam al-Qur`an, pembatas atau penentu lafal mutlaq al-Qur`an maupun sebagai naskh al-Qur`an. Untuk fungsi nasakh ini masih diperdebatkan para ulama. Dalam hal ini, posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul tentunya beliau merupakan tumpuan segala permasalahan dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Karena itu nabi bukan saja menjadi penjelas, tetapi juga sumber otoritas agama yang kedua setelah Allah swt. Al-Qur`an dengan perkataan sahabat dan tabi’in walaupun sebagian mufassir masih mempermasahkan menafsirkan ayat dengan perkataan tabi’in. Para sahabat tidak hanya sekedar sebagai orang yang intens bergaul dengan nabi Muhammad dan berjuang bersama beliau, melainkan juga sebagai mujtahid yang memiliki kapasitas intelektual dan moral yang diragukan. Karena itu, sejalan dengan kompleksnya permasalahan dalam umat Islam para sahabat berperan penting dalam memberikan konfirmasi bahka elaborsi ajaran atau nuansa keberagaman itu sendiri. Begitu juga kedudukan para tabi’in sangat penting dalam kondifikasi tafsir al-Qur`an karena tafsir dibukukan pada masa tabi’in. Bahkan, para ulama sekarang pun memiliki peranan penting dalam menafsirkan al-Qur`an karena al-Qur`an bukan dokumen sejarah yang mati melainkan sebuah fenomena yang hidup yang senantiasa berdialog dengan zaman. Al-Qur`an dengan tradisi, yaitu tradisi masyarakat baik sebelum atau sesudah Islam, karena pada dasarnya bahasa merupakan simbol dari tradisi atau budaya setempat, Al-Qur`andengan ahli bahasa Arab Tafsir kaum literalistis ini dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ma`thur, tafsir bi al-manqul atau tafsir bi al-riwayat. Paradigma demitologis Demitologis bermakna membersihkan kitab suci dari unsur cerita dan dongeng serta nilai-nilai mistisnya yang terdapat dalam teks atau peristiwa yang menyertai teks dalam rangka menemukan pesan aslinya. Dalam hal ini kaum demitologis lebih menekankan isi pesan daripada struktur bahasa atau media yang dipergunakan dalam kitab suci. Bahasa atau teks hanya sebagai simbol, tanda, isyarat, ayat (sign) yang membawa pesan tertentu sebagaimana dikehendaki. Bahasa Arab bukan satu-satunya bahasa Tuhan juga bukan bahasa surga, ia hanya sekedar alat atau media yang secara kebetulan al-Qur`an diturunkan pada nabi dan lingkungan sosial yang berbahasa Arab. Al-Qur`an yang hakiki berada di lawh al-mahfuz, berbeda dengan teksnya itu sendiri. Beragama yang benar adalah beragama yang mampu menangkap pesan atau ide moralnya, bukan terjebak dalam simbolisme. Hal ini dapat dilakukan jika mitos-mitos seputar kitab suci dihilangkan agar tidak menjadi penghalang dalam upaya menangkap makna hakikinya. Sesudah pesan atau ide moral “asli” atau “hakiki” dari al-Qur`an ditemukan, pesan itu kemudian diungkapkan dalam bahasa yang dapat di pahani dalam semangat zaman. Kemudian muncullah tafsir kontekstual, tafsir maqasid al-shar’i, tafsir bi al-ilmi, tafsir al-mawdu’i. Tafsir Demitologis ini dikenal dengan istilah tafsir bi al ra’y. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena dalam kenyataannya tafsir bi al-mathur juga bi al-ra’y sebab yang namanya tafsir adalah upaya untuk menerangkan atau menjelaskan agar dipahami. Sedangkan aktivitas menerangkan atau memahami itu merupakan aktifitas intelektual, bagaimanapun caranya. Paradigma legalistis Kaum legalistis memandang hidup beragama sebagai melaksanakan hukum Allah itu tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam hal ini al-Qur`an terutama dan pertama-tama dipahami berisi hukum agama. Sedangkan isi lainnya dipandang bersifat melengkapi hukum agama tersebut. Sementara itu kesalehan diukur dengan ketaatan melaksanakan hukum agama. Dalam konteks metode tafsir ini, muncullah tafsir al-ahkam baik dalam bidang ibadah maupun mu’amalah. Paradigma Egoistis Jika tiga kelompok sebelumnya menafsirkan al-Qur`an bertitik tolak dari al-Qur`an itu sendiri, maka kaum egoistis menafsrikan al-Qur`an tidak harus berdasarkan iman terhadap Tuhan atau kebenaran al-Qur`an sebagai doktrin atau norma suci. Mereka memahami kitab suci tidak lebih dari dokumen sejarah atau buku-buku lainnya karangan manusia yang bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi mereka menyadari bahwa eksistensi al-Qur`an memiliki pengaruh besar dan diterima sebagai sumber kewibawaan dalam ajaran dan moral. Kaum egoistis ini menafsirkan al-Qur`an untuk kepentingan si penafsir atau kelompoknya. Misalnya untuk mendukung pendapatnya sendiri, untuk mendapatkan popularitas, untuk membenarkan tindakannya membenakan mazhab, partai politik atau untuk menjatuhkan atau mencari kelemahan al-Qur`an itu sendiri. Dalam kampanye politik, sering seorang politisi membawa-bawa ayat al-Qur`an untuk dijadikan pembenar atau komoditas dagangan politiknya walaupun penafsirannya jauh menyimpang. Al-Qur`an dan Tuhan diperalat demi tujuan tertentu. Dalam hal ini tafsir-tafsir sektarian dan tafsir-tafsir non-muslim (orientalis dan islamis) dapat dikategorikan dalam tafsir kaum egoistis. Metode tafsir kaum egoistis ini sangat bervariasi dan bisa jadi sebagaimana yang digunakan tiga kelompok sebelumnya. Pendekatan penafsiran Al-Qur`an Tujuan tafsir al-Qur`an adalah menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan kitab suci serta pesan yang terkandung di dalamnya, baik hukum, moral, spiritual, perintah maupun larangan sehingga dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Oleh karena itu, dalam rangka menjelaaskan isi kitab suci, tafsir menggunakan beberapa pendekatan sesuai dengan disiplin ilmu. Pendekatan sastra dan bahasa, timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab itu sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan arti kedalaman arti kandungan al-Qur`an di bidang ini. Pendekatan filosofis dan teologi, akibat penerjemahan kiab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak serta akibat masuknya penganut agama-agama lain kepada Islam yang dengan sadar atau tidak sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. Pendekatan ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an sejalan dengan perkembangan ilmu. Pendekatan Fiqh atau hukum, akibat berkembangnya ilmu Fiqh dan terbentuknya mazhab-mazhab Fiqh di mana setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Pendekatan tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi terhadp reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Pendekatan sosiologis dan kultural, pendekatan yang menjelaskan petujuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti. Melalui pendekatan-pendekatan tafsir tersebut dapat dipahami bahwa ayat yang sama jika ditafsiri dengan pendekatan yang berbeda, maka akan menghasilkan isi pesan yang berbeda pula. Adapun metode penafsiran al-Qur`an yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam dan cukup populer sebagai berikut: Tafsir tahlili, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menguraikan secara detail kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat yang ada dalam al-Qur`an dari awal hingga akhir. Metode ini memadukan antara tafsir bi al-mathur dan tafsir bi al-ra’yu. Tafsir ijmali, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menafsirkan ayat-ayat dalam kitab suci dengan cara menunjukkan kandungan makna kitab suci secara global dan penjelesannya pun biasanya secara global pula. Tafsir muqaran, yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara membandingkan ayat al-Qur`an dengan ayat lainnya yang memiliki kemiripan redaksi, baik dalam kasus yang sama maupun berbeda. Metode ini juga dapat berarti membandingkan ayat al-Qur`an dengan hadis, hadis dengan hadis atau pendapat para ulama tafsir. Tafsir mawdu’i (tematik), yaitu metode penafsiran al-Qur`an dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Bahkan M. Quraish Shihab membagi metode tafsir mawdu’i menjadi dua, yaitu, a. penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur`an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainny dan juga dengan tema tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. b. Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur`an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur`an secara utuh. Paradigma sosial dan metode tafsir Klasifikasi model tafsir berdasarkan pandangan-dunia mufassir terhadap al-Qur’an berwujd literalistus, demitologis, legalistis, dan egoistis adalah lebih bersifat analisis intelektual, bukan berdasarkan polarisasi sosial. Hal ini karena dalam realitas sosialnya, bisa jadi semua metode digunakan, termasuk metode kaum egostis. Dalam ilmu Sosial terdapat multi paradigma yang dijadikan weltanschuung yang dijadikan frame terhadap realitas sosial. Dalam hal in dapat dilihat pendapat Ritzer mengenai tiga paradigma dalam ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi, yaitu paradigma sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma fakta sosial. Bahkan, ada juga yang memasukkan paradigma terpadu. Paradigma fakta sosial Paradigma fakta sosial dalam sosiologi dipelopori oleh Emile Durkheim. Dia mengatakan bahwa realitas sosial itu memiliki daya paksa dan menentukan perilaku. Realitas sosial itu meliputi pranata sosial –seperti institusi, norma hukum, adat, agama (kitab suci)- dan struktur sosial – seperti organisasi yang di dalamnya terdapat jaringan hubungan sosial dan interaksi berproses dan menjadi terorganisir dan dengannya posisi-posisi sosial, individu, dan kelompok sosial dapat dibedakan. Aliran teori yang dapat dikelompokkan dalam paradigma ini meliputi teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Secara umum mufassir yang menganut paradigma ini beranggapan bahwa (1) al-Qur’an memiliki daya paksa terhadap perilaku manusai, (2) al-Qur’an adalah fenomena “mati” atau pasif. Karena itu mufassir berusaha semaksimal mungkin agar al-Qur’an itu diakui apa adanya. Kebenaran adalah sesuainya kehidupan manusia dengan fakta huruf-huruf al-Qur’an. Hubungan al-Qur’an dan manusia dipahami secara kaku, diibaratkan seperti jalan dengan mobil. Dalam hal ini, bukan jalan yang menyesuaikan dengan mobil, tetapi sebaliknya. Bukan al-Qur’an yang menyesuaikan dengan kehidupan manusia, tetapi manusia yang harus menyesuaikannya. Dalam paradigma fakta sosial, paling tidak ada empat teori yang mendukungnya, yaitu teori struktural fungsional, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Teori struktural fungsional Dalam teori ini, agama dan kitab suci merupakan pranata sosial yang melingkupi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Agama menjadi fungsional ketika agam itu menjadi dan norma kultural bersama dalam suatu masyarakat sehingga memiliki daya paksa terhadap perilaku anggota-anggotanya. Sebagai pranata sosial, agama berperan sebagai penjaga ketertiban (order) dan keseimbangan (equiblrium) dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, selama dua peran itu dapat dimainkan oleh agama, berarti agama masih berfungsi. Sedangkan jika tidak berfungsi, niscaya agama akan ditinggalkan. Karena itu, dalam konteks ilmu Tfasir, aliran struktural fungsional senantiasa menerjemahkan al-Qur’an sebagai pranata sosial yang fungsional bagi masyarakat. Agar fungsional, diperlukan intrepretasi kontekstual dengan dinamika masyarakatnya. Teori konflik Konflik dalam masyarakat akan muncul dengan sendirinya jika pranata dan struktur sosial yang dianggap tidak memadai lagi. Norma-norma lama perlu diganti dengan yang baru, struktur sosial yang lama juga perlu diganti atau direformasi, dalam rangka menciptakan tatanan baru dan keseimbangan baru. karena itu, konflik dalam sebuah masyarakat atau negara diperlukan agar masyarakat dan negara itu tidak lengyap. Dalam suatu kelompok yang memiliki wewenang dan posisi (penguasa) dan yang dikuasai, baik secara politik maupun ekonomi. Dua kelompok itu senantiasa melakukan pergumulan semacam the struggle of life and survival of the fittestnya Darwin. Pertentangan dua kubu ini membuat perubahan dan kemajuan, yaitu tatanan sosial yang lebih seimbang (adil). Mufassir yang mengembangkan teori konflik ini akan lebih peka terhadap nasib kaum tertindas (mustadh’afin) dan rakyat jelata (dhu’afa) yang seringkali menjadi korban keserakahan para penguasa dan orang-orang kaya (mutrafin). Agama secara normatif idealistik senantiasa memihak orang-orang lemah, tetapi dalam realitas sejarahnya justru agamalah yang mengabsahkan tindakan represif terhadap orang-orang yang tak berdaya. Teori Sistem Sistem sering diartikan sebagai bersatunya komponen-komponen yang memang saling bergantung dalam rangka menghasilkan sesuatu. Teori sistem mengatakan bahwa kehidupan adalah sistem, baik dalam konteks mikro (mikrokosmos/manusia) mapum makro (makrokosmos/alam jagad raya). Sebagai makhluk individu manusia terikat oleh sistem dan sebagai makhluk sosial manusia juga terikat oleh sistem, bahkan berbagai sistem. Perilaku sosial manusia pada dasarnya digerakkan oleh sistem. Dalam hal ini, mufassir dengan teori sistem akan berpendapat bahwa agama merupakan komponen atau bagian dari sistem. Al-Qur’an adalah bagian dari sistem kehidupan dunia yang keberadaannya harus senantiasa harmoni dan serasi dengan komponen-kompoenen lainnya seperti kebudayaan, sains dan teknologi, politik dan ekonomi. Karea penafsiran al-Qur’an sebagai salah satu komponen, tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan komponen lainnya. Al-Qur’an tidak dapat disterilkan dari hiruk pikuk kehidupan yang sistematik itu. Paradigma definisi sosial Paradigma definisi sosial dipelopori oleh Weber. Weber mengartikan Sosiologi sebagai sutau studi tentang tindakan sosial “penuh arti” antar hubungan sosial. Adapun yang dimaksud tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna ataua arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan bagi tindakan orang lain. Teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial antara lain teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi. Hal ini berbeda dengan paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial akan memandang bahwa al-Qur’an sebagai fenomena yang dinamis, “hidup” sehingga dapat terjadi interaksi dialogis antara manusia dan al-Qur’an. Perilaku manusia dianggap benar apabila didasarkan atas hubungan dialogis dengan al-Qur’an. Al-Qur’an dan manusia saling berinteraksi, saling memberikan aksi dan reaksi yang pada gikirannya terdapat “makna” dan “tindakan penuh arti” atau penghayatan agama secara mendalam. Weber dalam hal ini mengedepankan interpretative understanding atau verstehen. Dalam paradigma fakta sosial, al-Qur’an dipahami sebagai pranata sosial (norma) yang keberadaannya digunakan sebagai frame untuk membaca/menilai suatu masyarakat. Pranata sosiallah yang melingkupi pandangan dunia manusia dan keberadaannya memiliki daya paksa terhadap manusia. Manusia adalah korban dari struktur yang dibuatnya sendiri. Sedangkan, dalam definisi sosial justru sebaliknya. Manusia merupakan makhluk yang aktif dan kreatif yang kesadarannya menentukan perbuatan dan dunia sosialnya. Bukan dunia sosial yang membentuk pribadinya, tetapi kepribadiannyalah yang membentuk dan menentukan dunia sosial. Paradigma sosial benar-benar menghendaki tafsir yang kontekstual da fungsional. Tafsir yang kontekstual adalah tafsir yang tidak fungsional. Tafsir yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi sebagai tafsir. Tafsir yang hidup adalah tafsir yang mampu mendialogkan kitab sci dengan kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya, ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan tafsir baru. Karena itu tafsir harus kreatif dan dinamis, dan dialogis dengan realistis. Tafsir yang kontekstual dan fungsional bukan hanya sekedar merk tafsir sebagaimana tafsir tekstual atau lainnya, melainkan tafsir itu sendiri. Dalam hal ini, sia-sialah melakukan penafsiran terhadap kitab suci jika penafsirannya tidak kontekstual, tidak fungsional. Sebab sebuah tafsir [ada hakikatnya adalah sebagai upaya mempertemukan secara dialektis, kreatif serta seksistensial antara “teks” dan “konteks”, antara “dalil” yang universal dan “dalalahnya” yang kontekstual. Tafsir harus memperhitungkan teks dan konteks secara seimbang dan bersama-sama. Sebuah tafsir kontekstual harus berangkat dari keyakinan tentang posisi teks itu, yaitu sebagai simbolisasi firman Tuhan yang berlaku universal dan kontekstual. Sedangkan yang menjadi permasalahan, bagaimana umat beriman menangkap kemudian merumuskan semangat dari kehendak Tuhan itu dalam konteks ruang dan waktu tertentu, mengingat bahwa kehendak dan tindakan Tuhan senantiasa kontekstual. Wahyu al-Qur’an meiliki konteks kesejarahannya (asbab al-nuzul) walaupun dalil (teks) dari wahyu itu berlaku universal. Mufassir yang mempelajari al-Qur’an berarti menghdapkan teks ayat al-Qur’an yang universal di dalam konteks tertentu. Konteks itu bersifat tematik (ekonomi, politik, budaya, iptek) atau area (kondisi wilayah atau masyarakat tertentu). Karena itu, “teks” senantiasa berada dalam “konteks”. Mufassir berparadigma definisi sosial berpendapat bahwa “teks” dalam kitab suci al-Qur’an bukan akhir dari firman dan kehendak Tuhan. Allah yang berfirman dan menyatakan kehendakNya adalah Allah yang berkenan untuk berfirman dan menyatakan kehendakNya terus menerus pada setiap zaman dan tempat. Allah bisa berfirman dan menyatakan kehendakNya lewat hati nurani dan pikiran para ulama yang bijaksana, lewat fenomena sosial dan fenomena alam. Karena itu, kebenaran bukan hanya diukur dengan teks, tetapi juga dengan konteks sehingga terjadi inter-tekstualitas antara teks dan konteks. Dari sini, seorang mufassir bukan lagi to learn aboaut the people berdasarkan kitab suci, melainkan to learn from the people ================================= Cah angon- cah cah angon Penekeno belimbing kuwi Lunyu- lunyu penekna Kanggo seba mengko sore Mumpung padhang rembulane Mumpung jembar kalangane BAIT di atas adalah bagian dari tembang Jawa terkenal berjudul Ilir- Ilir. Sebuah tembang gubahan Sunan Kalijaga dan belakangan di era 1999-an dipopulerkan kembali oleh Emha Ainun Nadjib beserta Kyai Kanjeng-nya. Cak Nun, demikian Emha akrab disapa, sengaja mempopulerkan kembali tembang tersebut sebagai upaya memasyarakatkan nilai- nilai spirtualitas dan filosofis yang terkandung dalam tembang gubahan Sunan Kalijaga tersebut, disamping sebagai upaya memasyarakatkan kembali nilai- nilai tradisi yang seolah- olah mulai dilupakan akibat maraknya imperialisme budaya asing. Tembang Ilir-ilir mengingatkan kita pada tokoh sentral "Cah Angon" ( anak gembala) yang dilukiskan sebagai seorang pemimpin. Anak gembala adalah pemimpin bagi piaraannya. Perumpaan yang tidak jauh berbeda dari kesimpulan yang bisa ditarik jika kita mengulas sejarah para nabi. Kebanyakan dari mereka adalah penggembala. Pemaknaan penggembala sebagai pemimpin juga diambil dari hadist "kullukum ra'in", setiap dari kamu adalah penggembala. Ketilka Cak Nun mempopulerkan kembali tembang ini, pasti tersirat dalam harapannya, sekiranya kita semua, bangsa Indonesia, berperan sebagai "cah angon". Cah Angon yang berarti pemimpin. Pemimpin bagi diri sendiri, pemimpin bagi keluarga, sahabat, dan teman yang pastinya akan dipertanyakan pertanggungjawabannya kelak bila rembulan tak lagi padhang, dan lingkarannya ( kalangane) tidak lagi luas ( jembar ). Ada yang menarik selain kisah filosofi Cah Angon dalam tembang Ilir-Ilir. Pemakaian kata belimbing sebagai objek yang harus dipanjat Cah Angon, pun, menyimpan makna yang tak kalah filosofis. Belimbing dalam tembang ini, oleh banyak ahli, dimaknai sebagai ajaran Islam yang bersendikan 5 aspek rukun Islam. Namun, apakah penafsiran belimbing dalam tembang ini hanya sebatas asosiasi Islam yang terbangun atas lima sendi? Allah SWT dalam QS. Ibrahim :24-25, mengisahkan pada kita semua tentang syajaratun thayyibah ( pohon yang baik ) sebagai perumpamaan dari kalimatun thayyyibah ( kata-kata yang baik). Dalam ayat tersebut, Allah mendiskripsikan syajaratun thayyibah sebagai pohon yang berakar teguh ( asluha tsabit), cabangnya menjulang ke langit ( far'uha fis sama'), serta dapat berbuah di tiap musim ( tu'ti ukulaha kulla hiin). Para ulama tafsir termasuk Ibnu Katsir menafsirkan syajaratun thayyiubah sebagai pohon kurma. Namun, Sunan Kalijaga menafsirkannya dengan penafsiran yang jauh berbeda. Sunan Kalijaga menafsirkan kata syajaratun thoyyibah sebagai pohon belimbing sebagaimana yang terkandung dalam tembang Ilir- Ilir. Adalah sebuah keberanian yang begitu besar yang dilakukan oleh sang Sunan. Mengingat gaya penafsiran yang berbeda dengan consensus mayoritas mufasssir besar, kala itu ( sampai sekarang) bisa jadi dianggap sebagai hal yang buruk. Pemaknaan syajaratun tayyibah sebagai pohon belimbing oleh Sunan Kalijaga sangatlah rasional. Belimbing, adalah pohon yang familiar dengan kultur penduduk Jawa. Semua penduduk Jawa pastinya tahu apa itu pohon belimbing. Kalau kemudian Sunan Kalijaga mengasosiasikan syajaratun thayyyibah bukan sebagai pohon kurma namun sebagai pohon belimbing, hal itu murni didasarkan pada pertimbangan cultural. Pohon kurma bagi masyarakat Jawa saat itu adalah pohon yang imajinatif, abstrak, dan tidak nyata. Berbeda dengan pohon belimbing. Disamping itu, pohon belimbing juga memilki karakteristik- karakteristik yang serupa dengan apa yang telah Allah isyaratkan dalam QS. Ibrahim 24:25. Pohon belimbing berakar tunggang, kokoh, dan kuat (asluha tsabit). Penanaman pohon ini pun mudah dan dapat tumbuh besar ( far'uha fis sama'). Pohon belimbing pun tidak harus menunggu musim- musim tertentu untuk berbuah ( tu'ti ukulaha kulla hin). Al-Quran memang diturunkan dalam bahasa Arab. Namun, pembahasaan Al- Quran dalam bahasa Arab bukan menunjukkan superioritas bahasa tersebut atas bahasa lain. Pemilihan bahasa arab sebagai bahasa Alquran lebih disebabkan oleh alasan cultural sebagai grand approach, dimana komunitas pertama yang menjadi audien adalah komunitas Arab. Itu tentu akan lebih memudahkan bagi mereka. Namun seiring waktu umat Islam bukan saja berasal dari komunitas Arab. Umat Islam sat ini hampir tersebar di seluruh pelosok dunia. Sehingga guna memudahkan, tidaklah mustahil, jika Al-Quran ditafsirkan dalam konteks cultural yang berbeda dengan kultur awal penurunannya. Penafsiran alquran yang cenderung arab sentris, bukan saja menafikkan pluralitas cultural umat Islam, tapi juga bisa menyebabkan keterpisahan alquran dengan realitas audiennya yang berasal dari kultur berbeda. Upaya penafsiran cultural oleh Sunan Kalijaga dalam memaknai kalimat syajaratun thayyibah adalah upaya muylia. Al Quran harus familiar dengan audiennya. Olehkarenanya, jika Sunan Kalijaga memaksakan penafsiran yang Arab sentries semacam pemaknaan syajaratun thayyibah sebagai pohon kurma, pastilah terjadi miss-komunikasi antara alQuran dengan audien Jawa. Karena, kurma, sekali lagi, adalah pohon yang imajinatif bagi masyarakat Jawa. Sehingga dengan pengkonsumsian tafsir pohon kurma tersebut, dikhawatirkan, Al- Quran tidak membumi, dan tidak sejalan dengan alur pemikiran masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga memahami pentingnya pembumian al-Quran. Beliau pun paham, Al-Quran adalah teks suci , kalam ilahi, yang tidak terbatas hanya untuk konsumsi bangsa Arab saja. Ada seribu satu bangsa dan suku lainnya di dunia ini yang memilki kewajiban dan hak sama untuk menjadikan Al- Quran sebagai living guidance-nya, sehingga, penafsiran Al-Quran tidak boleh dipaksakan hanya mengikuti gaya penafsiran yang identik denagn nuansa satu bangsa saja ( baca: Arab). Oleh karenanya, Al- Quran harus terus didialogkan bersama. Dialog dalam artian berupaya mencari titik temu antara Al-Quran yang universal dengan kultur setempat yang local. Ini perlu dilakukan agar tujuan utama di-nuzul-kannnya alQuran; yakni sebagai penunjuk hidup universal; bisa benar- benar terwujud. Harus ada usaha dan keberanian untuk mewujudkannya. ------------------------------------------------ Menggugat Monopoli Tafsir Al-Qur'an Kitab Suci Manusia Oleh Nur Rofiah Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia...(al-Baqarah, 185). omen Nuzul Al-Qur'an adalah saat paling tepat untuk merenungkan kembali makna kehadiran Al-Qur'an dalam kehidupan manusia. Terhitung sejak ayat pertama turun (tahun 10 sebelum Hijrah), Al-Qur'an telah bergaul dengan manusia selama kurang lebih 1.433 tahun. Sebagai pedoman hidup, tak pelak asumsi-asumsi awal tentang Al-Qur'an turut mewarnai dengan pekat sikap-sikap Muslim di berbagai belahan dunia. Sebagaimana kitab samawi lainnya, Al-Qur'an mengklaim diri sebagai petunjuk manusia di sepanjang sejarah. Klaim ini sesungguhnya menegaskan bahwa masyarakat tertentu yang menjadi setting sejarah kehadirannya hanyalah sebuah "sasaran antara" menuju sasaran utamanya yaitu manusia secara umum. Atas dasar itu, komitmen Kitab Suci sesungguhnya berada pada nilai-nilai kemanusiaan hakiki, bukan nilai-nilai kemanusiaan primordial. Karenanya, konsekuensi kultural dari penggunaan bahasa Arab mesti dipahami sebagai sarana, bukan substansi pesan Al-Qur'an. Pada masa pewahyuan, perbedaan dua jenis komitmen ini tidak begitu kentara. Bahkan komitmen kemanusiaan hakiki itu menjadi aktual dan komunikatif justru karena disampaikan dengan simbol-simbol primordial. Tidaklah Kami utus seorang Rasul melainkan dengan bahasa kaumnya (QS. Ibrahim: 4) adalah sebuah ayat yang mengingatkan betapa pentingnya pembumian prinsip-prinsip universal melalui budaya lokal. Karena itu Asghar Ali Engineer mengingatkan perlunya membedakan pe-san-pesan normatif dan kontekstual yang dikandung Al-Qur'an. Muslim Arab tidak begitu mengalami kesenjangan kedua jenis pesan ini karena struktur budaya mereka dengan Al-Qur'an relatif sama sehingga pesan kontekstual Al-Qur'an secara otomatis kontekstual bagi masyarakat Arab. Namun demikian perkembangan budaya dan teknologi yang dialami masyarakat Arab pascaturunnya Al-Qur'an tak jarang membawa Muslim modern Arab pada kegamangan yang sama. Karakteristik Problem penafsiran Al-Qur'an dalam banyak hal berawal dari perkembangan karakteristik Al-Qur'an modern. Pertama, Al-Qur'an hadir tidak secara berangsur-angsur tapi sekaligus. Ketika orang kafir mempermasalahkan kenapa tidak diturunkan sekaligus, Al-Qur'an menegaskan alasannya agar Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami bacakan secara tartil (QS. Al-Furqan: 32). Graduasi ini memungkinkan Al-Qur'an merespons secara langsung perkembangan yang dihadapi masyarakat selama turunnya Al-Qur'an sehingga berdampak pada eratnya ikatan emosional audiens Al-Qur'an baik yang menolak maupun yang menerimanya. Sebaliknya ketika Al-Qur'an datang sekaligus pada Muslim modern, maka Al-Qur'an tidak lagi secara langsung merespons problem sosial yang mereka hadapi sehingga petunjuk Al-Qur'an tidak lagi bersifat instan. Sementara itu persoalan-persoalan aktual yang dihadapi Muslim modern di berbagai belahan dunia sangat beragam dan terus bertambah. Tak pelak Muslim seringkali kesulitan dalam memperoleh petunjuk literal mengenai sesuatu hal. Kedua, Al-Qur'an telah ada sebelum mereka. Al-Qur'an menjadi bagian dari tradisi yang cenderung dihayati secara taken for granted. Penghayatan terhadap pesan Al-Qur'an cenderung bersifat ritual dan kehilangan greget transformatifnya. Dimensi sosial syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji yang begitu kentara pada saat munculnya menjadi kabur ketika dihayati sebatas aktivitas ritual. Di samping itu terobosan-terobosan dalam pemaknaan Al-Qur'an menjadi sama tabunya dengan pelanggaran terhadap tradisi. Muslim menjadi tidak terbiasa dengan kemungkinan munculnya pemaknaan alternatif selain pemaknaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nasib pahit yang menimpa banyak pemikir Islam adalah bukti otentik mengenai hal ini. Ketiga, khusus bagi Muslim non Arab, Al-Qur'an tidak menggunakan bahasa mereka. Perbedaan bahasa ini melahirkan kesenjangan luar biasa. Al-Qur'an seakan tidak bicara sepatah kata pun pada Muslim yang tidak menguasai bahasa Arab. Budaya lokal yang mereka miliki bukanlah budaya yang dipakai Al-Qur'an dalam mengemas nilai-nilai kemanusiaan hakiki sehingga penerapan pesan normatif Al-Qur'an dalam bingkai lokal mereka tak jarang melahirkan benturan dengan pesan kontekstual Al-Qur'an. Terlebih ketika konteks kehidupan Muslim modern semakin beragam. Perbedaan karakteristik tersebut pada akhirnya menuntut kesadaran adanya relativitas pemaknaan Al-Qur'an yang cukup tinggi. Al-Qur'an yang sama telah melahirkan berjilid-jilid kitab tafsir dan ribuan rumusan pemaknaan yang tak jarang bertentangan satu sama lain. Produk penafsiran Al-Qur'an semakin beragam ketika perspektif teologi dan politik ikut bermain. Ditambah lagi dengan munculnya beberapa metodologi baru yang membuat aktivitas penafsiran Al-Qur'an semakin semarak. Karena itu disadari atau tidak, dihambat atau tidak, selama Al-Qur'an diyakini mampu menjawab segala tantangan zaman, aktivitas penafsiran sesungguhnya terus berlangsung. Beragamnya penafsiran Al-Qur'an ini sudah barang tentu perlu disikapi dengan kritis. Perkembangan konteks sosial yang dihadapi Muslim modern dapat berdampak pada dua hal yang berlawanan. Di satu sisi hal ini menyebabkan penerapan petunjuk literal Al-Qur'an seringkali justru bertentangan dengan semangat awalnya. Konsep naskh-mnasukh dan asbabun nuzul dalam banyak hal telah menunjukkan tidak memadainya pemahaman literal Al-Qur'an. Penolakan penerapan syariat Islam tak lain disebabkan kekhawatiran adanya kecenderungan yang kuat untuk memaknai teks-teks agama secara literal sehingga komitmen syariat Islam bukan lagi pada nilai-nilai kemanusiaan hakiki melainkan pada bunyi teks. Di sisi lain, perkembangan konteks sosial Muslim modern justru memungkinkan pemaknaan yang lebih progresif. Klaim Kitab Suci manusia sepanjang masa, dapat pula berarti bahwa simbol-simbol bahasa dalam Al-Qur'an mempunyai potensi untuk dikembangkan secara tak terbatas bagi kesejahteraan manusia. Dengan beragam bakat, keahlian dan keterampilan di berbagai disiplin ilmu, manusia dapat memperoleh kesan masing-masing ketika berdialog dengan Tuhannya melalui Al-Qur'an. Bagi sastrawan, ayat kauniyyah (tentang alam semesta) mungkin akan memberi kesan tingginya nilai bahasa Al-Qur'an, tetapi ayat yang sama bisa memberikan petunjuk yang lebih signifikan pada pembaca yang menguasai disiplin kosmologi, biologi, matematika, kimia, fisika, dan lain-lain. Asumsi Al-Qur'an hanya sebagai Kitab Moral agaknya perlu dipertanyakan kembali karena bisa jadi asumsi ini justru mengkerdilkan potensi Al-Qur'an dalam memberikan kontribusi pada perubahan yang terus terjadi sepanjang kehidupan manusia. Sebagai sebuah Kitab yang berasal dari Dzat Maha-Tahu, Al-Qur'an tidak mustahil memiliki potensi yang jauh lebih luas dalam kapasitasnya sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Persoalannya tinggal sejauhmana manusia mampu menangkap makna simbol-simbol bahasa Al-Qur'an yang tentu saja tergantung pada kapasitas ilmu yang dimilikinya. Jika wacana Qur'ani yang muncul ke permukaan selama ini hanya wacana moral, tentu saja karena penafsiran Al-Qur'an selama ini dimonopoli kelompok agamawan yang ladangnya adalah persoalan moral. Sayangnya kelompok agama pada umumnya tidak menguasai perkembangan teknologi dan ilmu humaniora yang sesungguhnya sangat diperlukan dalam perumusan moralitas. Pada kasus aborsi misalnya, kelompok agama cenderung segera mendefinisikannya sebagai pembunuhan tanpa peduli pada fakta-fakta yang berkembang di dunia kedokteran dan ilmu- ilmu sosial. Sudah saatnya penafsiran Al-Qur'an dipahami sebagai hak setiap manusia yang mempercayainya (beriman) sebagai petunjuk. Demikian pula sudah saatnya Muslim memandang ilmu-ilmu lain sama pentingnya dengan ilmu agama dalam memproduksi makna Al-Qur'an. Jika signifikansi Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia paralel dengan kontribusinya dalam menyelesaikan persoalan manusia, maka memahami realitas kekinian mereka dengan segala perkembangan mutakhirnya menjadi syarat yang tak kalah pentingnya dalam penafsiran Al-Qur'an. Untuk itu kelompok agamawan mesti bekerja sama dengan kelompok disiplin ilmu lain dalam mengembangkan wacana Al-Qur'an. Disiplin ilmu agama tidak bisa sendirian dalam menafsirkan Al-Qur'an jika wacana Al-Qur'an ingin menyentuh persoalan kemanusiaan yang begitu kompleks dan terus berkembang. Pluralitas Sosio-kultural Oleh Shofwan Karim Pendahuluan Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk., 2002:107) Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama. Tulisan berikut mencoba mendiskripsikan dan menganalisis secara terbatas , pertama, tentang hubungan perguruan tingi dengan tranformasi sosial-budaya. Kedua, wacana dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi intelectual mind-set atau pemahaman intelektual tentang pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Perguruan Tinggi dan Transformasi Sosial-Budaya Salah satu tanggungjawab kaum intelegensia (Hatta, 1956: 1-12) adalah menjadi agen perubahan masyarakat atau transformasi sosial dan budaya. Oleh karena itu apa yang menjadi titik perhatian bangsa yang terus menerus menjadi concern (kepedulian) masa kini dan masa depan, menjadi relevan untuk ditranformasikan di dalam dunia pendidikan, apalagi pendidikan tinggi.[1] Sejak beberapa waktu yang lalu, langkah ini di antaranya direalisasikan melalui komponen kurikulum Masyarakat Berkehidupan Bersama (MBB) dalam mata kuliah Ilmu Sosial, Budaya Dasar (ISBD). Sebagai transformator, perguruan tinggi menjadi amat strategis dan penting karena pada saatnya alumni perguruan tinggi dalam berbagai stratanya akan menjadi subyek dominan untuk menggeluti kehidupan bangsa saat ini dan ke masa depan. Dalam bahasa lain perguruan tinggi adalah alat perjuangan bangsa dan alat pencerdas bangsa (T.Jacob, Mandiri Sianipar, 1984: 218). Lebih-lebih lagi pada dekade terakhir ini, dilihat dari substansi implikatifnya, tugas perguruan tinggi amat signifikan. Di antaranya untuk mengantisipasi gejala bangsa yang semakin rentan (fragile) konflik. Begitu pula makin menggejalanya cara pandang dan koridor pemikiran sebagian masyarakat yang cendrung menyempit. Bahkan ada kecendrungan klaim kebenaran menjadi milik dan monopoli golongan, kelompok dan aliran. Parahnya, klaim kebenaran bukan terbatas sebagai milik sendiri dan kelompok tetapi ingin diyakinkan kepada pihak lain dengan berbagai cara yang kadang-kadang tidak bijak. Maka secara kasat mata terlihat bahwa di mana-mana potensi konflik muncul. Baik konflik horisontal maupun vertikal. Serta-merta dengan sebab yang amat ringan dan tanpa disangka menimbulkan gesekan, adu fisik, mass-riot atau huru-hara massal. Untuk menghindari itu, maka pemahaman pluralisme melalui pendidikan, merupakan keharusan dan bukan sekedar menjalankan keputusan formal otoritas pendidikan. Lebih dari itu harus merupakan usaha sadar yang sistematik. Perlu ditumbuhkembangkan kesadaran pluralitas kehidupan bremasyarakat berkeadaban dan bermartabat terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam masyakat. Bukan hanya untuk menjaga harmoni sosial tetapi juga meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing kelompok yang dinamis dan damai. Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui sebuah kompetisi antarkelompok dengan aturan main yang dapat dipahami. Kesadaran peluralisme masyarakat, dengan demikian diharapkan dapat menghindarkan pecahnya konflik antarkelompok setiap kali terjadi persaingan di dalamnya . Berkeadaban dan Bermartabat Cita-cita masyarakat utama yang berakhlak mulia dan bermarbat, begitu luhurnya sehingga menjadi titik sentral misi kenabian dan kerasulan Muhammad saw. “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt ke permukaan bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih mulia (HR.Mutafaqun alaih). Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dari masa klasik sampai moderen Sultan Hasanudin, Imam Bonjol, Diponegoro sampai ke Agus Salim, Mohammad Natsir dan Mohammat Hatta samapai ke tokoh bangsa lain seperti Benyamin Franklin, semua mereka mempelajari dan mempraktekkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, diam itu emas (tidak gembar-gembor), tertib (disiplin), tenang, teguh hati, hemat, rajin, moderat, bersih (sehat), hidup murni dan rendah hari. Ketigabelas budaya beradab tersebut dipraktekkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat dan terhormat. Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu harus dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural. Dimulai dari pemahaman peorangan, keluarga dan warga masyarakat tentang perlunya cinta-kasih antara sesama; memupuk reasa keindahan; empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang lain; menghormati hukum dan keadilan, memiliki padangan positif untuk hidup bersama; mempunyai tanggungjawab dalam pengabdian; dan memiliki harapan yang optimis dalam kehidupan (M Habid Mustopo, 1983: 89-274). Kata beradab dan bermartabat, sejatinya tidaklah terbatas sebagai inti kualitas dan kapasitas manusia serta masyarakat yang berbudi luhur. Lebih jauh adalah menyangkut pula makna kebudayaan dan sistem kehidupan yang lebih luas. Koentjaraningrat (1974: 20) mengatakan : Istilah peradaban dapat disejajarkan dengan kata asing civilization. Istilah itu biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sering juga dipakai istilah peradaban itu untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Manusia berperadaban dan bermartabat dengan demikian diharapkan dapat mensinerjikan antara suasana dan format bathin yang luhur dengan kreatifitas imaginasi yang tinggi dalam melahirkan karya tinggi serta menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada posisi yang tinggi pula. Mesin-mesin tidak hanya menyebabkan manusia bisa terbang, menyelam, melihat dan mendengar dari jarak jauh, membangun gedung-gedung pencakar langit, tetapi juga mengembangkan manusia itu sendiri (Weston La Barre, Parsudi Suparlan, 1984:19). Artinya, betapa tinggi penguassan ilmu dan teknologi, kalau digunakan untuk menghasilkan mesin-mesin perang pembunuh massal, menciptakan perang dan teror di mana-mana, maka hal itu tidaklah dapat dikatakan karya manusia yang beradab dan bermartabat Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-15. Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang, bahwa bobot dan kualitas berkeadaban dan bermartabat itu, lahir dari rahim masyarakat yang majemuk, plural dan berbeda-beda serta beragam-ragam. Memasuki abad ke-20, paling tidak, ada tiga karakter diskursus tentang trend (arah) pemahaman kolosal masyarakat Indonesia tentang dirinya yang pluralis, beradab dan bermartabat yang selalu didengungkan sejak pra, pada dan pasca kemerdekaan. Ketiganya dapat dielaborasi menurut watak awal yang asli sosio-klutural-ideologis; keterkaitan dengan politik dan demokrasi dalam kecendrungan globalisme; dan keterkaitan dengan agama-agama. Dengan begitu, maka kosa kata dan moto kemajemukan, bhinneka tunggal ika atau unity in diversity dan pluralitas dalam berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat perlu dikaji lebih dalam. Watak Pluralitas Secara umum pandangan dunia atau world-view bangsa ini terhadap dirinya tentang kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama) menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan . Baik secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas, dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak reformasi, priode sekarang dan ke depan . Karakter Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda, dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20, dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika: masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi apolikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Katrakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan sosio-kulktralnya sendiri. Karakter kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai pengaruh kultur politik kosmo-globalisme dimulai. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945 tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada dibolehkannya hidup banyak partai. Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan keikaan yaitu turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 : 284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika sudah dikerdilkan dari plate-form politik. Keadaan serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari penjara Orla seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain, partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belangan terlalu dekat dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap lebih dekat dengan Orba seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai, termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2 Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2 parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan. Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975 dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur. Selain itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Binagraha untuk kantor Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan. Karakter ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998. Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat primordialistik, selalu ditekan. Khusus hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya. Pada dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana nanti akan disinggung, pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat. Pluralitas Agama Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang dianut. Pengakuan formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang dirujuk kepada QS.49:13[2]. Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah(QS, 30:22).[3] Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS, 5:48). [4] Di dalam kenyataan kehidupan pluralisme sosio-kultural itu ternyata telah menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu, kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka. Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Akan tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan akidah-tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52). Pertama, sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil . Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan, kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di seluruh dunia” (Ibid, 45). Sikap ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah adalah Islam”.[5] Kedua, sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri. Dalam hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid: “Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya”. “ Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85) dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS, 3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47). Dalam tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS, Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi : Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para nabi itu. Menurut Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh Nurcholish Madjid (Ibid, 48). Ketiga, sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan analogi astronomi sebagai berikut : “ Menurut Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno (maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani dan mengelili-Nya. (Ibid). Di kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan “perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmtis mengenai trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49).[6]. Tentu saja paradigma pluralis demikian ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif. Kesimpulan Kenyataan pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan agama-agama dalam konteks berteologi . Pluralisme agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan alasan-alasan mereka. Dengan begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik. Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwankarim@plasa.com[7] Daftar Kepustaakaan Asykuri Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia Foundation. Mohammad Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. T. Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan. M. Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional. Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan. Parsudi Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU, Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali. Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES Sahar L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press. Sutopo Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia. Tobroni-Syamsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press. [1] Dengan diputuskannya oleh Mahkamah Agung hasil uji konstitusi oleh Komisi Yudisial tentang tuntutan menaikkan biaya pendidikan dari 9,5 persen menjadi 20 persen sesuai tuntutan Amandemen UUD 1945, maka APBN perubahan dan tambahan pada tahun ini untuk pendidikan akan cukup besar. Konsekuensi logisnya memberikan tangungjawab besar pula kepada dunia pendidikan terhadap kemajuan bangsa. [2] 13- Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [3] 22- Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. [4] 48- Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, [5] [6] Budhy Munawar-Rachman merujuk kepada Seyyed Hossein Nasr dalam “The One and The Many” dalam Parabola terbitan 22/3/94. [7] Drs. H. Shofwan Karim Elha, MA., adalah Dosen Fakultas Ushuludin IAIN Imam Bonjol Padang; Dosen Kolej Islam Muhammadiyah (KIM) Singapore; Dosen Pascasarjana UMSB. Ketua Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Sumbar 2000-2005 dan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar (UMSB) 2006-2010. Pendidikan Sarjana muda (BA) dan Sarjana Lengkap (Drs) Fakultas Tarbiyah IAIN IB padang 1976 dan 1982. Magister Artium/MA, Pascasarna (S2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1991; dan sekarang sedang menyelesaikan Pascasarjana, Program Doktor/S3 pada UIN Jakarta. Pengalaman yang relevan dengan relasi pluralitas: Menjadi peserta International Visitor Programme on Grass Root Democracy di San Fransisco, CA; Washington, D.C.; Portland, MN; Hunstville dan Birmingham, AL; Abarbeque, NM dan Seattle, WA, Amerika Serikat, Mei-Juni 2005; Seminar Mambangkik Batang Tarandam: Peranan Ulama Minangkabau, KMM, Kairo, dan kunjungan perpustakaan internasional, Alexandria, Mesir, Juli 2004 . Peserta Three Face Forum Dialogue di London dan Introduction to Oxford Centre for Islamic Studies, di Oxford, Inggris, Agustus 2004; Peserta Seminar Islam serantau Asean, Kualalumpur, Agustus 2004; Penceramah, Islam di Indonesia: Perkembangan Islam dan Politik Kontemporer, Islamic Centre, Mesjid Indonesia, Long Island, New York City, Agustus 1998; peserta World Constitution and Parliament Association Assembly IV , Andorra dan Barcelona, Spanyol, September 1996; Silaturrahim Muslim Indonesia dan Cina, Mesjid Nun Jie, Beijing, September 1995;Peserta Assembly VI World Conference on Religion and Peace, Oktober-November 1994 di Roma dan Riva del Garda, Italia; Meninjau pusat Islam Singapura, Bangkok, Hongkong , Juni 1992; Utusan KNPI pada Youth Agenda on United Nation General Assembly, New York City, September-Oktober 1988; Utusan KNPI untuk Seminar MBNS, Sremban dan Kualalumpur, Juni 1987; Participant, Group Leader dan Country Co-ordinator , Pemuda Indonesia dan Canada World Youth di Alberta, Saskachewan dan Ongtario dengan Maluku, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur , 1980-198

0 comments:

 
TOP